Zoey menyambutku dengan senyuman yang mengembang ketika aku menghampirinya. Aku menyempatkan diri menoleh ke belakang untuk memastikan cowok ini tidak melihat apa pun yang terjadi antara aku dan Jace tadi. Posisiku memang sedikit terhalang oleh tembok pos jaga di samping gerbang. Itu membuatku bisa bernapas lega karena tidak perlu mencari alasan untuk menjelaskan pada Zoey tentang kejadian aneh yang baru saja aku alami.
Bagaimana tidak aneh. Jace berbisik dengan cara yang vulgar di telingaku. Mengucapkan kalimat yang sangat tidak masuk akal. Kalimat yang membuatku mengambil langkah untuk segera pergi meninggalkannya. Bahkan aku masih merinding jika harus mengingat kalimat yang diucapkan oleh pacar sahabatku ini.
“Maaf lama,” ucapku ketika masuk ke dalam mobil milik Zoey.
Zoey tersenyum sambil menyalakan mesin mobilnya. “Santai aja. Memang habis apa tadi di pos?”
“Aku ada urusan dulu sama pacarnya Sheryl,” jawabku mencoba tetap jujur.
“Ada apa sama pacarnya Sheryl?” tanyanya lagi seiring dengan mobil yang mulai bergerak.
“Mereka ada sedikit masalah. Sheryl minta tolong aku buat sampein pesan ke Jace.”
“Oh, aku kira ada apa,” gumamnya seraya tersenyum kecil padaku.
Mobil sudah melaju meninggalkan sekolah dan berbelok menuju jalan utama. Aku sempat melihat Jace dan teman-temannya keluar dari tempat parkir motor di sisi barat sekolah. Dia mendahului mobil Zoey sambil sedikit menoleh ke arahku. Aku bisa melihat seringainya dari balik kaca helm. Entah kenapa, Itu membuatku merinding.
“Mau makan siang di mana?” Zoey menyentak lamunanku.
“Enggak. Aku mau makan siang di rumah aja,” tolakku dengan sopan.
“Ummp, oke.”
Aku mendengar nada kecewa dari suaranya.
“Kamu ikut makan siang di rumahku aja.” Aku mencoba menghiburnya.
“Boleh?” Dia balik bertanya.
“Boleh.”
Mobil sudah sampai di depan gerbang rumahku. Berhubung rumahku tidak punya garasi yang cukup untuk mobil Zoey, akhirnya mobil itu diparkirkan di bahu jalan depan rumah.
Kami masuk rumah dan aku berteriak memanggil Ibuku. Itu sudah menjadi kebiasaanku.
“Mah, Aku pulang!!”
Biasanya ibuku menjawab dari dapur. Namun, kali ini tidak ada jawaban. Tanda kalau dia sedang tidak ada di rumah.
“Langsung ke meja makan aja, yuk,” ajakku. Aku sudah lapar dan berharap sekali kalau meja makan sudah penuh dengan menu makan siang kesukaanku.
Zoey menurut. Dia menaruh tas sekolahnya di ruang tamu dan mengekor di belakangku menuju ruang makan.
“Ibu kamu ke mana?” tanya Zoey. Dia mengedarkan matanya ke penjuru rumah. Memandang setiap gambarku dan keluargaku di dinding ruang makan.
“Mungkin belum pulang dari restoran,” jawabku. Aku mengangkat penutup makanan di meja makan dan menemukan lauk pauk yang masih hangat di sana. Ibuku pasti ada di rumah tadi siang.
“Ibumu kerja di restoran?” Zoey berjalan ke arahku setelah selesai melihat dua buah foto yang terpajang di nakas.
Aku mengangguk sambil sibuk menyiapkan piring untuk kami berdua. “Mamaku punya restoran sunda kecil-kecilan.”
“Wah, berarti makanannya enak-enak dong?”
Aku tersenyum dan mengangguk dengan bangga. Masakan ibuku memang paling enak se-indonesia.
“Tunggu sebentar, ya. Aku taruh tas sama cuci muka dulu,” kataku. Zoey mengangguk setuju dan duduk di kursi meja makan.
Aku merogoh tas untuk mengambil handphone. Menggeser menu pesan dan menemukan pesan dari ibuku. Dia bilang, dia pergi lagi untuk menyelesaikan pekerjaannya yang belum selesai dan akan kembali malam. Aku disuruh mencuci piring kotor ketika selesai makan dan menghangatkan kembali makanan siang ini untuk makan malam aku dan Aiden.
Selesai mengganti atasan seragam dengan kaus dan juga mencuci muka, aku kembali ke ruang makan bersama Zoey.
“Yuk, makan,” ajakku. Zoey sumringah mendengarnya.
“Kamu cantik banget, Kat,” ujar Zoey ketika melihatku keluar dari kamarku menuju meja makan.
“Thanks.” Aku tersipu mendengarnya.
Kami banyak bercerita ketika sedang makan. Dia menceritakan keadaan sekolahnya yang tidak banyak wanita cantik. Katanya, yang cantik-cantik larinya ke SMA-ku semua. Aku terkekeh mendengar dia menggombal. Dia pandai membuatku senang dan merasa terhibur.
Sampai tidak terasa langit sudah gelap. Adikku, Aiden sudah pulang dan memilih langsung mengunci diri di kamar. Dia pasti masih ngambek gara-gara pertengkarannya semalam dengan ibuku.
Sebenarnya, di pagi hari, aku sempat bertanya pada ibuku. Dia tidak menjawab detailnya. Menurutnya, ada yang tidak disukai adikku dari keputusan yang ibuku ambil. Aku menduga, mungkin ini tentang pendaftaran SMA untuk Aiden setelah lulus nanti. Kondisi ibuku yang terlihat baik-baik saja membuatku tidak terlalu memikirkan lagi pertengkaran itu. Namanya juga anak remaja.
Aku dibantu Zoey menghangatkan makanan tadi siang untuk kami makan kembali. Aku menghubungi ibuku dan menanyakan kapan dia pulang. Namun, Ibuku tidak menjawab pesan-pesanku.
“Aiden, makan dulu!!” Aku berteriak di depan kamar adikku. Namun, suara musik yang kencang menenggelamkan panggilanku.
Aku abaikan Aiden dan memilih kembali ke meja makan. Aku tadi sempat melihat lasagna di kulkas dan aku hangatkan untuk Zoey.
“Masakan ibu kamu enak semua,” puji Zoey.
“Nanti kalau ada orangnya, bilang aja langsung,” kataku menahan senyum. Aku menjadi penasaran bagaimana reaksi ibuku jika aku mengenalkan Zoey nanti. Apakah ibuku akan menyukainya? Kuharap begitu.
Usai makan, kami duduk santai di ruang tamu. Zoey sudah memakai kaus kakinya kembali dan bersiap untuk pamit pulang.
“Titip salam buat Ibumu. Semoga masakan anaknya seenak ibunya.” Dia mengerling padaku.
Aku terkekeh melihatnya. “Kapan-kapan aku masak buat kamu, deh.”
“Beneran?” Bola mata Zoey membulat terlihat antusias.
Aku mengangguk sambil tersenyum. “Iya.”
***
Sheryl dan Jace sudah berbaikan. Mereka sudah terlihat mesra lagi, membuat seantero sekolah menjadi iri. Apalagi Sheryl memilih untuk masuk ke dalam klub pemandu sorak dan Jace masuk ke dalam klub basket. Jadi, di mana ada Sheryl, di sana ada Jace.
Aku memilih klub yang lain. Aku masuk klub teater karena tidak diterima di klub pemandu sorak. Masalah tinggi badan kendalanya. Oke, aku memang pendek. Sudahlah jangan bahas tentang itu.
Jadwal klub teater selalu satu jam lebih cepat dibanding jadwal latihan basket. Itu membuatku selalu diminta Sheryl untuk menemaninya menunggu Jace selesai latihan.
Seperti pada hari ini. Jace ada jadwal latihan gabungan dengan klub basket SMA lain. Aku duduk di samping Sheryl yang tampak antusias menonton pacarnya berlari mondar-mandir mengejar dan menangkap bola basket. Dia senang karena Jace tidak perlu lagi bergabung dengan teman-temannya yang urakan. Dan bisa menghabiskan waktunya di dalam klub basket.
Aku berbalas pesan dengan Zoey. Aku memberitahu kalau aku masih menonton basket di sekolah sampai sore. Zoey bilang jangan sampai ada yang naksir aku. Aku terkekeh geli. Selama ada Sheryl di sampingku, maka semua sorot mata laki-laki akan tertuju padanya. Aku akan menjadi wanita yang tidak terlihat dan diabaikan. Kata Zoey, itu tidak mungkin. Aku tetap yang paling cantik di matanya. Aku adalah versi sempurna wanita yang dia impikan. Sungguh cowok yang pintar berkata manis. Namun, aku tetap senang mendengarnya.
Aku sedikit bersyukur karena mempunyai Zoey di sisiku saat ini. Keberadaannya membantukku tidak selalu tenggelam dalam pusaran yang ditimbulkan karena perlakuan aneh Jace padaku. Pengaruh Jace yang besar terhadapku sedikit bisa aku atasi dengan mengingat semua sikap dan ucapan Zoey yang manis.
“Hujan! Kepinggir, yuk,” seru Sheyl mengagetkanku.
Aku terkesiap karena terlalu hanyut dengan handphone-ku. Lalu ikut berlari mengikuti Sheryl ke arah koridor sekolah.
Acara latihannya selesai. Beberapa cowok membuka kaosnya yang basah kuyup dan mulai bertelanjang dada. Mataku mulai berjalan-jalan liar pada setiap otot perut yang dipamerkan di sana. Sungguh pemandangan yang menyegarkan. Seperti habis melihat pepohonan hijau di pegunungan. Hehehe.
“Wey, biasa aja dong liatnya.” Sheryl menyenggol lenganku.
“Pemandangannya indah, ya,” selorohku sambil terkekeh. “Gue baru tahu, anggota klub basket itu enggak ada yang buncit.”
“Enggak nyesel kan lo ikut gue nonton basket? Tiap hari begini gue enggak perlu makan wortel, deh. Mata gue udah sehat,” ujar Sheryl ikut-ikutan terkekeh.
Kami menemukan Jace yang sudah memakai baju kering. Dia menggosok rambutnya yang basah dengan handuk kecil. Beberapa percikan air beterbangan ketika dia mengibaskan rambut basahnya dan itu membuatku merasakan sesuatu yang aneh.
Keadaan menjadi hening. Gerakannya melambat. Semuanya menjadi buram. Yang terlihat jelas hanya Jace yang masih mengeringkan rambutnya sendiri. Ada apa ini?
“Gimana nih?”
Aku tersentak dan langsung mengerjap. “Hah?”
“Hujan gede banget.”
Aku menoleh ke arah Sheryl. Wajahnya terlihat khawatir. Apalagi ketika beberapa kilat menyambar dan hujan malah semakin deras.
“Tunggu sampai reda,” ucap Jace datar.
Aku mengangguk setuju. Namun, tidak dengan Sheryl.
“Tapi udah mau gelap. Kasian nyokap gue sendirian,” rengek Sheryl.
Jace mendengkus dan memandang kami secara bergantian. Dia diam beberapa saat. Tampak berpikir dan tiba-tiba memanggil seseorang di belakangnya. “Rully!”
Yang dipanggil mendongak. Jace menyuruh cowok bernama Rully itu mendekat dengan gerakan kepalanya.
“Kenapa?” tanya Rully ketika dia sudah berdiri di samping Jace.
“Antar mereka pulang,” perintah Jace. Selalu dengan nada datar.
“Mobil gue penuh. Udah ada Fiki, Udin sama Samuel. Mobil gue kan kecil,” tutur Rully dengan nada menyesal. Dia berpikir sebentar, “Kalau satu orang lagi, sih, masih bisa.”
Jace kembali memandang kami berdua. Aku diam saja menunggu keputusan. Yang minta buru-buru pulang, kan Sheryl.
“Sheryl?” panggil Jace terdengar lembut.
“Katy gimana?” Sheryl memandang padaku dengan wajah ragu.
“Gue bisa minta jemput cowok gue.” Aku menenangkan. Padahal aku tidak yakin Zoey bisa jemput atau tidak.
“Lo yakin?” tanya Sheryl yang tampak masih khawatir.
Aku mengangguk dengan cepat. Namun, Sheryl masih diam. Dia pasti berat meninggalkan aku sendirian. Aku pun meyakinkannya dengan tatapanku.
“Ya udah, gue duluan sama mereka ya, Kat.” Sheryl meremas tanganku. Drama sekali wanita ini.
“Oke. Bye, Sher.” Aku tersenyum sambil memandanginya yang menjauh dan meninggalkanku bersama Jace.
Aku mendesah samar, melihat langit sudah gelap dan hujan masih belum menunjukan tanda-tanda akan berhenti. Angin semakin menusuk dan aku mulai kelaparan.
“Kantin masih buka enggak, ya?” gumamku pelan. Di sampingku, Jace sedang mengobrol dengan beberapa temannya yang masih setia menunggu hujan reda.
Dia menoleh ke arahku. “Mau gue anter?”
Aku melirik sedikit tanpa harus melihat wajahnya. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya aku mengangguk meski ragu.
Dia kemudian bangkit dari kursi besi di lorong sekolah tempat kami duduk tadi. Aku mengikutinya dari belakang.
Tidak ada pembicaraan apa-apa dari Jace selain menanyakan pacarku bisa menjemput atau tidak. Aku jawab saja bisa. Padahal Zoey belum membalas pesanku dari tadi. Aku semakin yakin kalau dia tidak bisa menjemputku.
“Kantinnya tutup.”
Aku menghentikan langkah dan memandang ke depanku. Pintu besi di depan kantin sudah dikunci. Membuatku mendengkus kecewa. Padahal perutku sudah sakit karena lapar. Belum lagi udara dingin dan angin kencang membuat kepalaku semakin berat dan kedinginan.
“Gue anter lo pulang,” ujarnya tiba-tiba.
Aku segera menoleh, nyaris tak percaya. Itu bukan sebuah pertanyaan apakah aku bersedia atau tidak. Itu adalah sebuah perintah.
“Oke.”
Jace berjalan cepat menuju kursi besi di lorong tempat teman-temannya berkumpul. Sementara aku terseok-seok mengejar langkahnya.
Dia mengambil sesuatu dari tasnya, “Nih, pake ini. Elo bisa masuk angin.” Sebuah jaket denim yang robek bagian lehernya diberikan padaku.
Aku diam beberapa saat sambil menatap jaket yang disodorkan Jace. Apakah aku tak apa-apa mengenakan ini? Jaket milik pacar sahabatku sendiri?
Ragu, tetapi udara yang dingin membuatku tak mampu menolak. “Makasih,” kataku ketika menerima jaket itu dari tangan Jace.
Ketika aku mengenakan jaket denim itu, seketika pula aku dapat mencium aroma parfum dan tubuh Jace. Seolah kini cowok itu sedang memelukku. Aku mengerjap. Jantungku langsung berpacu. Aku tak bisa menampik hati dan tubuhku yang merasakan nyaman mengenakan jaket ini.
“Gue cabut duluan,” pamit Jace pada yang lain.
Tanpa menunggu ada yang bicara, dia kembali berjalan cepat. Aku kewalahan menyamai langkah kakinya yang panjang.
Kami berjalan menuju area parkir motor yang sepi. Penerangan yang minim dan hujan yang deras, membuat suasana malam ini menjadi menakutkan. Aku merapat pada Jace yang sedang memakai jas hujannya.
“Mundur sedikit.” Jace protes ketika aku berdiri terlalu dekat dengannya.
“Gue takut.” Aku meringis, hampir merengek.
Di sini benar-benar tidak ada siapa-siapa. Area parkir motor memang sudah terkenal dengan cerita mistisnya. Mengingat itu, aku semakin bergidik ngeri.
Namun, Jace malah tersenyum kecil. Dia menggeleng pelan ketika melihat wajahku yang hampir menangis karena ketakutan di tengah hujan deras dan area parkir yang menyeramkan.
“Ayo naik,” perintahnya.
Aku mendekat dan hendak mendaki motor besar miliknya. Lalu tiba-tiba suara petir menggelegar sangat keras membuatku terlonjak. Mata dan telinga aku tutup rapat-rapat. Namun, aku masih bisa mendengar pekikan suaraku sendiri.
Beberapa saat aku membeku karena syok dengan suara petir. Sampai ada suara lembut yang menyadarkanku.
“Kat?”
Aku membuka mata.
Astaga! Aku berada di dalam dekapan Jace?! Mataku membulat tak percaya.
“Sorry.” Aku melepaskan diri dan hendak mundur. Namun, sebuah tangan menahan punggungku, membuatku kembali merapat pada tubuh tinggi di depanku.
Tidak mungkin. Aku tak ingin percaya, tetapi Jace benar-benar sedang menahanku untuk tetap berada dipelukannya. Ini tidak benar.
Di bawah sinar lampu yang temaram dan rintik hujan, jantungku kembali berpacu cepat. Aku berharap Jace tak mampu mendengar dan merasakan debaranku di dadanya. Namun, lebih dari itu, kini pikiranku berkecamuk. Mampukah aku menarik diri dari pelukan yang terasa begitu salah, tetapi juga terasa sangat hangat ini?
Hujan tidak pernah berhenti sampai kami tiba di rumahku. Gigiku gemerutuk, lututku bergetar dan mataku perih. Aku sampai tidak bisa merasakan jari-jari kakiku karena kedinginan.Aku dibimbing Jace menuruni motornya. “T-thanks,” kataku terbata karena terlalu menggigil kedinginan.Aku kemudian buru-buru berlari memasuki pelataran rumah seraya mendekap tubuhku sendiri. Sungguh, rasanya aku ingin segera berganti pakaian dan memeluk selimut yang hangat. Dengan buru-buru, aku pun menggedor pintu rumah dengan kencang agar segera bisa masuk.“Ma!” teriakku.Aku menoleh ke belakang. Jace ikut turun dari motor dan berdiri di teras melihat ke arah langit. Dia menggosok-gosok tangannya yang berkerut. Dia juga pasti sangat kedinginan.“Kat? Hujan-hujanan?” Ibuku keluar dari ambang pintu dengan wajah terkejut.Aku tidak menjawab dan langsung masuk ke dalam rumah. Namun, aku kembali lagi ke luar dan berseru pada
“Katy!” Aku menoleh ke arah suara orang yang memanggilku berasal. Ada Sheryl yang sedang melambaikan tangannya dan mengejarku dengan langkah cepat. Aku berhenti melangkah demi menunggunya menyusulku. “Tumben enggak telat.” Aku menyambut tangannya yang lebih dahulu melingkari pundak. Sheryl mengerucutkan bibirnya. “Gue enggak pernah telat. Lo aja yang kepagian. Orang normal tuh, dateng ke sekolah saat detik-detik gerbang akan di tutup.” Aku tertawa kecil sambil kembali melangkah menuju ruang kelasku. “Eh, Semalem Zoey jadi jemput lo kan?” tanya Sheryl tiba-tiba. Seketika jantungku berhenti berdetak. Ingatanku kembali pada kejadian malam tadi yang membuatku tidak bisa tidur. Pada tatapan mata Jace yang mengurungku di bawah kendalinya. Pada sentuhannya yang menarik semua oksigen di sekitarku. Lalu pada kalimatnya yang memporak-porandakan keyakinanku bahwa aku sudah bisa melupakan perasaanku pada kekasih sahabatku ini. Aku mengambi
Aku melenguh pelan. Rasa sakit yang tidak tertahankan segera menyerang kepalaku. Rasanya seperti habis dibenturkan dengan kencang. Aku mengerang dan mencoba untuk membuka mataku perlahan. Beberapa detik kemudian akhinya aku bisa menangkap beberapa cahaya yang menulusup masuk lewat bulu-bulu mataku. “Argh.” Suaraku terdengar serak. Mataku mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya terbuka dengan sempurna. Tunggu, aku tidak kenal ruangan ini. Mataku menyapu sekeliling ruangan tanpa jendela yang berukuran empat kali tiga meter ini. Dua buah lemari buku usang. Beberapa vas bunga retak. Bahkan ada yang hancur sama sekali. Lalu ada sebuah grand piano penuh debu. Lengkap dengan tumpukan partitur yang sudah menguning. Aku terbatuk beberapa kali. Rasanya, tenggorokanku kering dan sakit. Aku juga merasa nyeri di pergelangan kakiku. Aku raba dan melihat di tempat sakit itu berasal. Ada lebam dan guratan bekas tali yang mengikat kakiku. Jelas sekali kakiku
“Bisa ceritakan kembali apa yang anda lihat di sana?” sudah ke sekian kalinya polisi di depanku ini bertanya padaku. Aku ingin ceritakan semua. Namun, lidahku tiba-tiba terasa kelu. Tanganku masih gemetar dan fokusku masih belum kembali. Aku masih bingung harus memulai cerita mengerikan tadi malam itu dari mana. Seorang perawat mendekatiku dan berbisik dengan ramah. “Tarik napas dalam-dalam dan keluarkan perlahan. Ceritakan saja apa yang kamu ingat. Selebihnya bisa menyusul nanti.” Aku melirik ibuku yang duduk di sampingku. Dia menggenggam tanganku erat dan mengangguk pelan. “Enggak apa-apa. Pelan-pelan aja ceritanya. Yang penting kamu bikin laporan dulu. Supaya kasus ini bisa cepat diproses.” Ibu memelukku sedikit lebih erat. Ternyata, hanya pelukannya lah yang aku butuhkan. Pelukan yang bisa meredakan ketakutanku saat ini. “Temanku gimana, Sus?” tanyaku dengan suara parau. “Kondisinya sudah stabil. Sudah masuk ruang rawat. Tinggal me
“Kalian pernah pulang bersama saat malam?” Sheryl mengulangi pertanyaan yang sempat aku alihkan tadi. Dia memicingkan matanya padaku dan Jace secara bergantian. Membuatku tidak mampu berkilah atau membuat alasan yang bagus dalam waktu singkat. “Jace?” panggil Sheryl, karena si tersangka utama ini malah terlihat tidak peduli. “Itu udah lama. Enggak perlu dibahas lagi,” jawabnya santai. Lalu memejamkan mata seolah keadaan ini tidak terlalu penting untuk dibahas. Seiring dengan itu, Zoey masuk ke dalam ruangan. Memotong ketegangan yang sedang berlangsung di ruangan ini. “Sher, lama banget cuma bawa handphone doang,” celetuk Zoey sebelum menyadari ada yang tidak beres dari ekspresi kami bertiga. “Ada apa nih?” Sheryl membuang wajahnya ke arah Zoey. “Lo tahu mereka pernah pulang bersama malam-malam?” Wajah Zoey seketika berubah. Dia menatap lurus padaku, seolah ingin mengatakan bahwa aku seharusnya sudah membereskan hal ini
Zoey mendesak, dan mendorong badanku ke belakang. Ini membuatku tidak lagi menyukai apa yang sedang Zoey perbuat padaku. Aku tidak nyaman dan merasa terancam. Zoey sudah melewati batasnya Aku tidak membuka bibir ketika Zoey terus mendesaku. Dia mencari kesempatan dan sedikit memaksa. Sampai akhirnya aku mampu mendorongnya dan menyudahi apapun kegiatan kami itu. “Zoey stop,” erangku dengan suara serak. Zoey menghentikan ciumannya ketika sadar aku menekan dadanya dengan tanganku. Dia menatapku penuh tanya. Kemudian menarik napas dan mengembuskan dengan kasar. “Maaf, aku enggak bisa ...” “No, It’s on me. Aku yang minta maaf.” Zoey memotong ucapanku. Suaranya masih terdengar bergetar. Lalu kami saling diam. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Ada sesuatu yang mengganjal hatiku atas perlakuan Zoey tadi. Apa aku belum siap? Atau memang aku tidak terlalu menyukai Zoey? Oh, Tuhan. Ide yang kedua terdengar san
Aku dan Zoey bergandengan tangan menuju tempat di mana mobil Zoey terparkir. Wajahnya dipenuhi senyuman karena kami baru saja berkomitmen untuk saling memperbaiki komunikasi satu sama lain. Itu memang hal yang bagus karena Zoey pantas mendapatkan perlakuan yang lebih baik dariku. Dia itu cowok baik-baik yang tidak seharusnya menjadi pria ke dua di hatiku.Zoey tidak memarkirkan mobilnya di tempat parkir sekolah, melainkan di bahu jalan tepat samping gor. Membuat kami berjalan sedikit lebih lama. Namun, aku menikmati itu karena langkah kami di temani obrolan ringan dan senda gurau.“Kita ke mall dulu ya sebelum pulang,” ajaknya. Aku tersenyum dan mengangguk setuju.Seperti kataku tadi, aku harus memperbaiki perlakuanku pada Zoey. Jadi aku harus mau untuk sekedar hang out di mal bersamanya. Lagi pula ini masih siang dan tidak ada kegiatan lain yang harus aku lakukan setelah ini.“Aku tahu kedai dimsum yang enak. Mau coba?
“Aku dan Jace enggak ada apa-apa.” Kataku dengan spontan. Padahal Zoey tidak bertanya apapun sepeninggalnya Jace barusan. Sebetulnya ekspresi Zoey yang membuatku bicara begitu. Ekspresi seseorang yang seperti sedang menanggung kekalahan bahkan sebelum dirinya bertanding. Apalagi ketika Jace dengan santai berkata padanya bahwa aku dan dia sudah selesai. Seolah sebelumnya telah terjadi sesuatu yang tidak Zoey ketahui. Dia tidak membantah ucapanku. Matanya masih terpaku pada punggung yang semakin bergerak menjauh. Aku duga, Mungkin dia ingin mendengarkan pengakuanku lebih lanjut. “Tadi Jace bilang, aku harus menjauhinya. Dia takut aku bakal terlibat masalah lagi kalau berada di sekitarnya.” Aku diam sebentar seraya menunggu perubahan ekpresi pada wajah Zoey sebelum melanjutkan kalimatku. “Lagi pula aku sama dia memang enggak terlalu akrab kalau bukan karena Sheryl. Jadi seharusnya dia enggak perlu bilang begitu.” Zoey menunduk dan menekan bibirnya sehing
Suara gemericik air dari kamar mandi perlahan membuatku membuka mata. Seesekali terdengar siulan ringan membuatku sedikit tersenyum. Dia pasti sedang dalam suasana hati yang bagus pagi ini.Aku mengedarkan tangan mencari handphone di sepanjang nakas. Setelah menemukannya, aku mengetuk layarnya dan melihat tampilan penanda waktu.“Masih jam enam pagi.” Lirihku dengan dahi mengkerut. Kenapa dia sudah bangun bahkan sudah mandi sepagi ini?Tidak berselang lama, pintu kamar mandi terbuka. Sosok cowok tampan yang sudah membuat jari manisku tersemat cincin cantik, melangkah keluar dari kamar mandi. Dia menoleh ke arahku ketika dia sadar aku juga sudah terbangun pagi ini.“Lho? Kamu bangun?” tanyanya sambil mendekat. Tangannya sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil berwarna pink milikku.Aku mengangguk. Menarik badanku supaya duduk lebih tinggi dan bersandar pada kepala ranjang. Kamu kenapa udah mandi jam segini? Ini masih jam enam pagi.”Cowok tinggi dengan senyuman paling sempurna
“Kaitlyn,” Om Khalid menyapa ketika dia sudah berjarak satu meter di depanku. “Boleh saya bicara denganmu?” Aku mengerjap beberapa saat. Namun buru-buru mengangguk dan menjawab. “Iya, Om. Boleh.” Dengan gerakan pelan nan berwibawa, Om Khalid duduk di kursi bekas Sheryl. Satu kaki ditumpangkan pada kaki lainnya mencoba membuat dirinya nyaman di kursi yang sebetulnya terlalu kecil untuk tubuhnya yang besar. Tak lama, tangannya bergerak merogoh saku dibalik jasnya, kemudian mengeluarkan amplop putih dari sana Dia mengangsurkan amplop itu padaku sambil berucap, “hadiah kecil dariku.” Sempat mengerutkan dahi karena keheranan, tetapi segera aku terima uluran amplop dari tangan Om Khalid dengan canggung. “Terima kasih.” Mataku menangkap sosok Jace di seberang meja jamuan utama sedang memandang ke arahku penuh curiga. Dahi yang berkerut dengan alis yang menukik tajam memperlihatkan sikap waspada. Mungkin dia khawatir karena melihaku bicara dengan ayahnya tanpa ada yang mendampingi. Dia se
Rencana Tuhan sangat tidak bisa aku tebak. Segala hal menyangkut takdir memang selalu menjadi misteri yang pada akhirnya akan ditunjukan dengan cara-Nya yang paling indah. Hanya tinggal menunggu waktu. Kelahiran, kematian, dan cinta. Itu yang aku yakini sekarang. Ketika dengan sangat mengejutkan, pria yang selalu menjadi pujaan hatiku dari semenjak aku baru mengenal cinta, mempersembahkan cincin bertahtakan berlian ke hadapanku. “Kejutan,” ucapnya dengan senyum yang terukir di bibir. Detak jantungku mungkin sempat berhenti beberapa saat. Mataku tidak bisa lepas dari wajah penuh senyum yang semakin membuat aliran darahku berdesir kecang. Gerakan pelan dari kursi roda yang di dorong ibuku membuat jiwaku kembali ke raga. Setelah beberapa saat terlepas dan berkelana mencari jawaban, apakah ini nyata, atau hanya khayalanku saja? Seperti halnya aku, semua yang hadir pun menunjukan wajah penuh tanya. Yang mereka tahu, malam ini adalah malam pertunangan Khalid Ashad dengan ibuku. Bukan ac
Dengan bantuan Sheryl, aku menjalankan kursi roda menuju barisan kursi paling kanan. Ada panggung kecil setinggi lima belas sentimeter yang nampak cantik, dihiasi bunga chamomile dan hortensia di sepanjang garis tepiannya. Di kiri panggung disediakan jalur khusus kursi roda untuk naik. Mungkin ibuku menginginkan aku menemaninya di sana. Namun, aku rasa itu tidak bisa aku wujudkan Untuk bisa hadir di sini saja, aku harus menarik napas berkali-kali. Melepaskan segala perasaan sesak agar bisa tersenyum lebar untuk ibuku secara tulus. Aku senang jika ibuku bisa berbahagia. Seberat apa pun nanti, aku pasti bisa menerima keluargaku yang baru dengan dada seluas samudera. “Lo udah siap?” Suara serak adikku terdengar dari arah belakang. Aku terkejut melihat penampilannya yang rapi dan wangi. Apalagi melihat dia tersenyum lebar tanpa beban. “Lo di sini?” tanyaku masih tidak percaya. Maksudku, selain aku dan Jace, Aiden adalah orang yang paling membenci rencana pertunangan ini. Dia merasa ib
“Cantik banget sih, temen gue. Senyum dong.” Sheryl mengusap anak rambut yang masih mencuat nakal lalu menyelipkannya ke belakang telingaku. Sebagai sentuhan terakhir, dia menjepitkan hiasan rambut kecil berbentuk kupu-kupu di kepala bagian kiri. “Selesai,” gumamnya nampak puas akan hasil karyanya yang terpantul pada cermin di depan kami. “Makasih, Sher. Gue jadi menghemat anggaran make up artist,” gurauku diselingi senyum tipis di bibir. “Sama-sama, Sayang.” Sheryl meremas pelan kedua bahuku dari belakang. Lalu memutar kursi penunjang aktifitas yang aku duduki ini menjadi saling berhadapan. “Lo baik-baik aja, kan?” Aku mengangguk meyakinkannya. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Aku hanya perlu menebar senyum pada semua yang hadir. Setidaknya untuk malam ini saja. Sheryl menghela napasnya dalam-dalam dan menatapku dengan mata sendu. Namun, buru-buru dia bergeleng dan merubah lengkungan bibirnya menjadi tarikan ke atas. “Eh, udah latihan jalan belum hari ini?” “Udah tadi pagi. Ta
Aku mengerjap. Gejolak menyakitkan dari bagian atas perut memaksaku untuk membuka mata. Namun, terlalu silau. Sinar-sinar itu terlalu menyakiti mataku. Lalu dorongan kuat itu kembali mendera perutku. Seolah isinya sedang diaduk dan sebentar lagi akan meledak melewati kerongkongan.Aku mengerang dengan lemah sambil mencoba membuka mataku lagi. Semoga kali ini sinar itu tidak terlalu menusuk bola mata.“Kat?”Ah, suara Aiden. Untunglah ada orang di sampingku. Cahaya putih yang menyelusup melewati bulu mataku menampilkan siluet sosok yang familar. Aku kembali mengerjap berharap bayangan buram itu bisa segera menjadi jelas.Bau antiseptik, cairan infus yang menggantung, dan selang oksigen di hidung menjelaskan bahwa aku sedang di rumah sakit. Tentu saja. Aku habis tertabrak mobil.Ingatan tentang bagaimana aku harus berakhir di rumah sakit ini membuat kepalaku diserang rasa nyeri yang hebat. Jeritan klakson dan decitan ban yang kencang kembali berdengung di telinga. Duniaku berputar kenca
Jace's POV Suara orang berdebat di luar ruangan membuatku jengah. Pertengkaran konyol, saling tuduh dan menyalahkan tak berkesudahan. Beberapa kali suster mengingatkan untuk mereka tetap tenang, tetapi para manusia yang rata-rata berumur hampir setengah abad itu tetap saja bersitegang. Di ujung ruangan, pria muda dengan wajah dan raut serupa dengan kakaknya sedang tertunduk lesu. Sama denganku yang tengah di rundung gelisah, dia pun tampak terganggu dengan ucapan-ucapan tidak masuk akal yang selalu menjadi perdebatan para orang tua di luar sana. “Nyokap lo bikin rusuh,” ucapnya ketika pria muda itu mendongak ke arahku. Aku terkekeh pelan. Tidak ada yang lucu. Hanya kekehan pengganti rasa getir yang sedang menggelayuti dadaku sekarang. “Sorry enggak ngabarin lo semalam. Gue terlalu ketakutan dan lupa ngasi tahu keluarganya,” sesalku mengingat Aiden yang baru mengetahui berita ini saat Katy sudah selesai menjalani operasi darurat. Aiden menegakkan punggung. Melepaskan napas panjang
“Katy!” Aku mendengar Alex berteriak, menghentikan langkahku yang masih saja mengejar mobil Jace tanpa melihat keadaan sekeliling. “Lo mau ngapain?” Tanganku di tarik dengan kencang membuatku tersentak ke bahu jalan. Aku menoleh dan baru menyadari aku berlari terlalu ke tengah. Membuatku hampir tersenggol mobil yang sedang melaju dari arah belakang. “Alex, tolongin gue. Susul dia.” Aku merengek. Entahlah, hanya ini yang bisa aku pikirkan sekarang. Aku terlalu takut dia kembali menghilang. Alex mengembuskan napas dengan kasar lalu menggerakan kepalanya ke belakang. Memintaku untuk segera naik ke atas skuternya. “Naik.” Tidak sulit untuk mengejar mobil Jace yang tidak mungkin memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tiba di persimpangan, dia harus berhenti karena lampu lalu lintas berwarna merah. “Jace!!” Aku mengetuk kaca mobilnya ketika posisiku sudah berada tepat di samping mobilnya. Sekilas, aku melihat raut terkejut dari wajah Jace. Namun, Dia tidak sempat membuka kaca mobil
Aku mematung memandangi mobil Jace yang menjauh. Meninggalkanku dengan kebingungan atas tuduhan yang di layangkan padaku, tanpa pernah menanyakan kebenarannya terlebih dahulu.Aku mengerjap demi menahan butiran air yang hendak meluncur dari sudut mata. Menghela napas beberapa kali, lalu segera membuka layar handphone. Mencoba mencari tahu penyebab sikap Jace yang berubah drastis seperti ini.Sebuah pesan dari nomor baru dengan waktu kirim paling kini telah terbuka. Aku usap layar demi menampilkan isi pesan itu.‘Kat, ini gue Alex. Gue dapet nomor lo dari Arula. Makasi ya udah nemenin gue malam tadi. Maaf gue enggak anterin lo pulang. Istirahat yang cukup. Lo pasti kelelahan.’Aku menelan ludah sambil meremas handphone dalam gegaman. Pantas saja Jace semarah ini. Siapa pun yang membaca kalimat di dalam teks tadi tentu akan berpikir negatif tentang apa yang telah terjadi semalam.Aku harus segera menjelaskan semuanya sebelum dia memutuskan untuk menjauhiku lagi. Aku tidak bisa membiarka