"Ya Tuhan." Brak.Aku melompat dari kasur saat kudapati Mbak Kania ada di sampingku dengan selimut yang membalut tubuh polosnya."Apa-apaan ini?"Kupegangi kepalaku yang masih terasa nyeri dan berat."Kok bisa aku di sini sama dia?"Kuingat-ingat kembali kejadian terakhir saat aku meminum teh buatan Mbak Kania. Tapi setelah mataku buram aku justru tak ingat apa-apa lagi dan saat kupaksakan untuk meningatnya kepalaku terasa makin sakit."Aku kenapa ini? Ya Tuhan."Kutengok lagi Mbak Kania yang masih tidur lelap di dalam selimut miliknya.Cemas, takut dan bingung jadi satu. Pasalnya bahaya kalau sampai Mas Haris tahu, ia pasti akan sangat murka dan salah paham.Tanpa berpikir lagi segera kupunguti pakaianku yang sudah berserakan di lantai."Arghh di mana kolorku?" Kuedarkan pandangan ke sekitar.Dan sialnya kolorku ada di dekat kepala Mbak Kania. Perlahan akhirnys kakiku kembali mendekat ke bibir ranjang.Saat kutarik kolor itu ...."Eh hei udah bangun sayang?" Mbak Kania malah membuk
"Mauku? Kamu tanggung jawab Ridho," jawabnya dengan senyuman miring.Aku melotot."Perempuam stres, tanggung jawab gimana maksudnya ha?""Nikahi aku, jadikan aku yang kedua."Geram, ingin sekali ku putar kepalanya sampai copot lalu kulempar kepalanya itu seperti yang kulakukan pada mainan barbie milik Suci waktu masih kecil."Dasar ipar stres, aku tahu kamu sengaja menjebakku 'kan?" Mbak Kania tertawa puas."Apapun alasannya nyatanya kamu udah tidur sama aku Ridho, dan--kamu harus nikahi aku," tegasnya lagi dengan tatapan tajam."Bedebah."Mbak Kania lagi-lagi tertawa. "Kenapa? Bukannya gak ada masalah seorang lelaki menikahi lebih dari satu wanita?""Ya memang, tapi bukan menikahi perempuan yang sepertimu juga, sudah ular, otak jahat, istri kakakku pula, dasar ipar stres," umpatku."Aku akan ceraikan Mas Haris yang kere dan gak punya pendirian itu, dan kita menikahlah," ujarnya dengan tatapan lekat.Tanganku mengepal, sudah tidak aneh, wanita licik ini pasti ingin masuk dalam hidup
"Eh ini teh kamu kenapa Nia? Ada apa? Kok nangis begini?" Bunda mulai panik karena si ipar ular itu menangis tak henti-hentinya.Aku di balkon juga mulai panik, entah bagaimana jika si ipar ular itu mengatakan hal yang tidak-tidak pada Bunda, argh sial nya punya ipar macam si Kania."Bunda ... hiks hiks hiks tolongin Kania Bunda hiks.""Tolongin apa? Kenapa? Apa Haris melakukan KDRT?" cecar Bunda lagi seraya mengguncang kedua pipi si ipar ular.Aku makin cemas dan berkeringat, entahlah padahal di rumahku ini setiap sudutnya sudah kupasang AC."Jangan sampe, jangan sampe dia berbuat ulah, si ular itu emang harus kuberi pelajaran," gerutuku.Sekilas kulihat mata si ular itu berputar ke arahku, sejurus dengan itu ia juga menyunggingkan senyuman kemenangan."Cihh dasar ipar stres, pagi-pagi udah buat rusuh," desisku."Mbak Kania kenapa sih? Dateng-dateng nangis gitu, ngomong yang jelas Mbak," sahut Ranti kecut."Ranti ... udah gih kamu pergi ke belakang," kata Bunda."Ya udah sini biar ba
"Oh Mbak Kania, ada apa?" Mataku melebar, secepat kilat kurebut ponsel itu dari tangan Ranti."Abaaang apa sih?" tanyanya kesal.Cepat kumatikan sambungan telepon."Maaf sayang.""Maaf maaf, itu Mbak Ranti yang telepon, ada apa dia telepon ke nomor Abang? Jadi penasaran kan gara-gara Abang rebut gitu aja hape nya." Ranti merajuk.Aku menarik napas dalam dan menyiapkan diri untuk bicara."Udahlah gak penting, palingan dia mau curhat masalah Ibu," balasku beralasan.Ranti menjebik lalu kembali pergi ke atas kasur.Ufhh untunglah Ranti percaya padaku, kalau enggak bisa-bisa aku mati tercekik karena belum menyiapkan segala alasannya.Tapi sampai kapan? Sampai kapan aku akan hidup dalam ketakutan begini?Kutengok Ranti lagi, setelah aku berpikir agak lama mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk memberitahu Ranti soal ini.Bergegas aku duduk di bibir ranjang sebelahnya."Ran ....""Hm apa, Bang?" Ranti yang masih sibuk dengan ponselnya hanya menjawab seadanya.Aku menarik napas dal
Ranti memicingkan mata, tampak rahang-rahangnya mengerat hebat dengan jari-jari mengepal kuat."Jangan Ran, jangan percaya sama si ular ini, dia bedebah!" semburku akhirnya saat Ranti sedang menatap serius wanita itu."Silakan kau katakan apa pun tentang Mbak, Rid, tapi nyatanya kamu sudah menanam benih di sini," tunjuk Mbak Kania pada perutnya."Enggak! Aku gak pernah merasa melakukan apa-apa, kau yang jebak aku, kau yang-""Baik," sambung Ranti.Aku menoleh dengan tatapan cemas."Baik? Apa ini sayang? Abang-""Kalau Mbak Kania mau dinikahi oleh suamiku, Mbak Kania harus bisa membuktikan apa yang Mbak Kania bicarakan itu.""Ini, kamu lihat foto ini Ranti."Si ular lalu menyodorkan ponselnya pada istriku."Sayang jangan percaya, dia ini ular, ular berkepala manusia.""Oke, jadi berhubung Mbak Kania punya bukti aku izinkan suamiku menikahimu tapi dengan syarat.""Ranti." Aku menolak keberatan, tapi entah kenapa istriku terus saja bicara seolah tak mendengarkan ucapanku lagi."Syarat? S
"Tos."Plak. Kedua telapak tangan kita beradu, pasangan kompak dilawan.Selesai memastikan Mbak Kania pergi kini giliran menjelaskan semuanya sama Ayah dan Bunda.Ranti mengajakku ke kamar mereka."Mau ngapain lagi kamu bawa suamimu yang gak tahu terimakasih ini kemari Ranti?" Ayah langsung mencecar tanpa ampun."Begini Ayah, Ranti mau bicara sesuatu, tadi Ayah salah paham.""Salah paham?"Ranti pun mulai bercerita di depan Ayah dan Bunda, meski sekilas kutangkap rasa ragu di wajah mereka apakah cerita yang mereka dengar nyata adanya atau tidak tapi seenggaknya aku merasa lega karena Ranti sudah menjelaskan semua kejadian yang sebenarnya.-"Apa ceritamu ini bisa Ayah percaya? Kamu jangan terlalu mudah dikadalin sama laki-laki Ranti." Ayah memastikan lagi dengan tatapan menelisik.Ranti mengangguk lalu menatap wajah Ayah dengan yakin."Ranti yakin dan Ranti percaya sama Bang Ridho," ucapnya membuat sudut mata ini basah.Entahlah aku harus bersyukur dengan cara apalagi, punya pasangan
Wajah si Suci berubah masam. Cian deh rencananya meras kita gagal lagi. Tawaku dalam hati."Percuma ya ternyata undang kalian ke sini, bukannya uang Suci keganti malah Suci diintrogasi gak jelas begini," katanya lagi.Lagi-lagi aku tertawa puas dalam hati."Ya makanya kamu tuh kalau mau minta sesuatu itu dipikir dulu lah Suci, bukannya kami gak mau bayar rumah sakit ibu tapi kami juga butuh bukti, siapa yang tahu kalau kamu juga bohong kayak ibu," sahutku lagi."Bener," kata Mas Haris."Dah lah susah ngomong sama kalian, dah sama bubar semuanya bubar." Si Suci marah-marah lalu membanting pintu ke kamarnya.Alisku terangkat."Buang-buang waktu aja, tahu gitu meningan tidur di rumah," dengus Mas Haris.Ia lalu bangkit keluar."Mas, jadi ke rumah enggak? Jemput Mbak Kania." Ranti berteriak."Ya entar Mas ke rumah," ketusnya seraya menyalakan motor lalu pergi."Kenapa sih tuh orang? Kusut banget mukanya," tanyaku."Mungkin lagi pusing karena bininya mau kawin lagi sama adeknya haha." Ran
Kami semua bangkit dari kursi makan saat mendengar suara ribut-ribut di depan."Kamu belum makan, Mas? Ya urus aja sendiri perutmu itu, aku juga udah males sama kamu," sengit Mbak Kania."Kaniaaa."Plakk. Tamparan keras mendarat di pipi Mbak Kania.Sontak Mbak Kania memegangi pipinya yang memerah."Berani kamu, Mas?""Berhentiiiii!" Ayah teriak."Pergi kalian dari sini, siang-siang bikin ricuh di rumah orang."Tanpa bicara lagi Mas Haris menarik paksa istrinya pergi.***Sebulan berlalu.[Mbak Kania keluar]Kulihat tulisan notifikasi di grup keluarga."Kenapa nih si ular keluar grup?" Aku bertanya sendiri.Ranti yang mendengar langsung menyahut, "tahu deh penggemarmu masa gak tahu haha.""Isshh."Baru saja kutekan nomor Suci, anak itu sudah memanggil lebih dulu."Hallo.""Kak Ridho, kirim uang buat ibu," kecutnya tanpa basa-basi."Uang buat apa? Kakak 'kan udah kirim minggu kemarin Suci.""Kurang, sekarang anggota rumah makin banyak, biaya makan juga makin gede," jawab Suci tak acuh.
"Benar 'kan apa kata Ibu? Si Suci memang pelakunya, dasar anak kurang ajar." Ibu geram dan tak bisa mengendalikan emosinya. Beliau pun melangkah ke dalam dengan emosi yang meluap-luap, aku tak bisa mencegahnya sebab langkah ibu yang terlalu cepat seperti kilat. "Suciii." Ibu berteriak di bibir pintu.Suci menoleh dengan wajah terkejut."Kalian?"Tapi kemudian anak itu tertawa kencang."Oh hahaha baguslah kalian sudah datang," ujarnya menantang sambil melotot ke arah kami.Sementara tangan kanan nya memegang sebilah bambu. Rupanya selama diculik istriku disiksa oleh si Suci dengan sebilah bambu itu karena saat kulihat Ranti ia tengah terikat dengan luka-luka lebam di sekitar kaki dan tangannya."Apa yang kamu lakukan pada istriku Suci? Lepaskan dia!" semburku."Dia??" Suci menunjuk kearah Ranti."Hahaha aku gak akan pernah melepaskannya, coba saja kalau kalian bisa lepaskan, lepaskan saja." Suci lalu mengayunkan sebilah bambu yang dipegangnya itu dan hendaknya memukulkannya pada Ran
Aku mematung sebentar, perkataan ibu mungkin ada benarnya tapi apa iya si Suci yang menculik istriku? Untuk apa ia melakukan itu? Dan kenapa harus Ranti? Anak itu memang nekat? Tapi aku harap Jika benar Ranti diculik sama dia, semoga Ranti baik-baik saja dan suci tidak melakukan apapun pada istriku. "Apa Ibu yakin bisa Suci yang melakukannya?" tanyaku lagi, memastikan."Ibu yakin sekali, gak mungkin orang lain, si Suci pasti si Suci."Aku manggut-manggut, sekarang aku sama yakin nya dengan ibu. Bedebah kalau sampai si Suci yang melakukannya, aku pasti akan menangkapnya dan menyeretnya kembali ke dalam penjara. "Tapi kira-kira untuk apa ia melakukan ini, Bu?" Aku bicara lagi."Jangan bodoh Ridho, orang yang sedang dendam apapun akan dilakukan demi hatinya merasa puas."Benar juga apa yang dikatakan ibu."Sekarang kita harus berpikir gimana caranya kita bisa menangkap si Suci dan mencari bukti bahwa dialah yang sudah menculik Ranti," kata Ibu lagi.Aku dan ibu pun diam mencoba menca
Pov Ridho."Ada apa, Bang?" tanya Ranti."Suci kabur.""Apa?" sahut Ibu di belakang."Iya, Bu, katanya Suci kabur dari tahanan.""Ya Tuhan bisa-bisa nya si Suci kabur, itu tahanan atau tempat apa? menjaga anak bau kencur saja tidak bisa." Ibu terdengar makin kesal."Entahlah," balasku sama kesalnya.Mobil pun melaju semakin kencang, gara-gara kabar kaburnya suci dari lapas membuat kami semua resah dan ingin segera sampai ke rumah. Entah apa yang sudah terjadi, kok bisa-bisanya si Suci kabur dari Lapas.Ya Tuhan Semoga saja anak itu tidak berbuat ya aneh-aneh.-Pukul 3 sore kami sampai di rumah.kami langsung masuk dan beristirahat sebab perjalanan yang kami tempuh cukup jauh, lebih-lebih kami tidak menyempatkan diri untuk beristirahat di rest area tadi siang tadi.Malam hari aku menghubungi pengacaraku. Ia ternyata sudah mengetahui tentang kaburnya suci dari lapas."Iya ini juga sedang saya usahakan, Pak, katanya lapas sedang ada perbaikan, Suci meminta izin untuk membeli pembalut
"Aduh jauh juga ya Ran rumahmu ini, Ibu sampe encok," katanya sambil memegangi pinggang yang sakit.Memang lumayan juga perjalanan dari Jakarta ke Kuningan-Jabar.Bisa 6 sampai 7 jam perjalanan, sayangnya ke Kuningan belum ada kereta atau pesawat jadi hanya bisa ditempuh dengan mobil saja."Emang jauh. Bu, gak ada AC lagi," sahut Ayah lagi-lagi setengah menyindir."Aa." Bunda memberi kode. Spontan ayah pun nyengir.Kami masuk ke dalam rumah. Di dalam makanan enak sudah tersedia, rupanya Bunda menelepon Bik Mursi untuk menyiapkannya saat tadi kami akan pulang."Ayo pada makan dulu, perjalanan jauh capek." Bunda menggelar karpet di ruang keluarga dan mulai menaruh nasi serta lauk pauknya di tengah-tengah."Eh kok udah ada makanan aja, Bu?" tanya Ibu keheranan."Kalau hidup di kampung emang gak usah khawatir Bu, jangankan makanan, uang saja berhamburan di luar rumah," sahut Ayah. Bunda menggeleng kepala."Eh masa sih?""Kalau enggak percaya nanti ikut jalan-jalan keliling desa.""Aa." B
PoV Ranti."Ran, kamu berhasil, Ibu sudah menyesali semua perbuatan buruknya sama kita terutama sama kamu, kamu hebat," bisik Bang Ridho di telingaku.Karena tubuhku masih lemas dan tak bisa bergerak aku hanya membalas dengan senyuman."Kamu seneng 'kan? Makanya kamu harus cepat sembuh ya sayang," ucap Bang Ridho lagi.Aku memejamkan mata."Iya, Bang.""Saya juga mau lihat anak saya, Sus." Kudengar suara gaduh Bunda dan Ayah di luar.Mereka tampak memaksa ingin masuk ke dalam."Maaf Bu, tapi di dalam hanya boleh dua orang saja yang menjenguk."Ibu mertua bangkit, beliau menatapku sekali lagi sebelum akhirnya beliau mengalah dan memberi kesempatan untuk Bunda masuk bergantian."Cepet sembuh ya Lus," katanya pelan nyaris tak terdengar.Sejurus dengan itu ada bagian di hatiku yang rasanya teriris, kali ini bukan karena hal yang menyakitkan tapi karena terharu sekaligus tak percaya ibu mertuaku kini sudah bisa membuka hatinya untuk menerimaku.Ibu mertua keluar, Bunda tergesa-gesa masuk k
"Bisa, Ibu sudah jauh lebih baik hari ini."Aku tersenyum lebar seraya mengusap dada, untunglah aku diberi kesempatan mendonor untuk Ranti. Semoga dengan cara ini aku bisa menebus sedikit kesalahanku padanya.Selesai dilakukan pemeriksaan aku dibawa ke ruang khusus, di sana segera darahku diambil.Selesai melakukan donor aku kembali dibawa ke ruang rawat inap, sebetulnya aku merasa sudah lebih baik tapi dokter menyarankanku agar aku tetap dirawat dulu sampai 2 hari ke depan, lebih-lebih karena aku baru saja melakukan donor."Makasih Bu, Ridho pikir Ibu--.""Ibu minta maaf ya Rid, penyesalan memang selalu datang di akhir," potongku.Ridho mengangguk ragu, kasihan dia, gara-gara aku yang keterlaluan Ridho mau tak mau harus rela menerima batunya juga.Entah bagaimana keadaan Ranti sekarang, semoga menantuku itu bisa sehat kembali."Kapan operasinya dimulai?""Sekarang sedang dipersiapkan Bu dan akan segera dimulai.""Bawa Ibu ke depan ruang operasi Rid, Ibu ingin menunggu Ranti juga di s
PoV Ibu Mertua"Maaf Bu, pasien masih harus istirahat banyak karena tubuhnya banyak yang cidera, luka bekas operasinya juga belum sepenuhnya sembuh," kata Dokter.Aku terpaksa melepaskan diri dari Ranti. Padahal saat ini aku benar-benar tengah menyesali kebodohanku.Kupikir selama ini Ranti adalah menantu yang kurang ajar. Sejak kehadirannya di rumahku sebagai istri nya Ridho aku tak pernah sedikitpun menyayangi dan menerimanya.Bagiku dia adalah benalu, pemisah antara aku dan anak laki-lakiku karena sejak Ridho menikah dengannya ia jadi lebih sering menghabiskan banyak waktu dengan wanita itu.Jujur saja aku cemburu dan tak terima, aku mengizinkan kedua anak lelakiku menikah bukan agar mereka hidup bahagia lantas melupakanku.Aku hanya ingin mereka tidak merusak anak gadis siapapun dan bisa menyalurkan hasrat bilogisnya pada istri mereka masing-masing.Tapi sial, setelah menikah mereka justru memilih jalan sendiri-sendiri, mereka tak lagi meminta bantuan atau pendapatku lagi. Mereka
Tapi tidak, aku tidak boleh ragu-ragu pergi ke kantor polisi, dengan bantuan layar monitor cctv di ponselku aku akan terus memantau gerak-gerik mereka dan memastikan mereka tak banyak bertingkah di dalam rumahku.Pukul setengah 9 aku sampai di kantor polisi, segera kuberikan bukti rekaman suara Suci yang ada di dalam ponselku itu."Baik, Bu, kami akan segera melakukan penangkapan dan pemeriksaan pada terduga.""Baik, Pak, saya tunggu, terduga ada di rumah saya sekarang dan dia berniat terbang ke Surabaya siang nanti," ujarku lagi.Petugas polisi mengangguk paham.Aku kembali bangkit saat sudah menyelesaikan urusanku. Di koridor kantor polisi kutelepon kembali Bang Ridho."Bang, semua beres.""Oke, makasih istriku."Dari sana aku tak kemana-mana lagi, karena khawatir dua brekele itu akan berbuat ulah segera aku kembali pulang.-Sampai di rumah aku mendengar suara ribut-ribut di kamar ibu dan Suci. Perasaanku langsung tak enak, secepat kilat aku berlari menaiki anak tangga."Ibu bilang
"Kenapa Ibu pucat? Apa jangan-jangan bener ya?" tanyaku lagi tanpa jeda.Ibu menggeleng cepat."Mungkin si Suci kecapekan karena udah pergi seharian ke pasar," jawabnya cemas. Kening ibu mendadak basah oleh keringat dingin."Ah masa? Tapi kok si Suci tidurnya kayak orang kena obat ya?" sindirku lagi, ibu makin tersesak-sesak memegangi dadanya."Hati-hati loh Bu, pemakaian obat tidur berlebihan bisa menyebabkan tidak sadar lagi seumur hidup." Aku berbisik di telinganya. Ibu yang sedang panik makin ketakutan."Apaan sih ngaco aja kalau ngomong.""Dih kalau gak percaya tanya aja sama dokter."Ibu makin cemas, ia berusaha membangunkan anaknya berkali-kali. Sementara aku memilih pergi."Ci Suci bangun hei Suci, masa kamu gak mau bangun lagi sih?"Aku terkikik di tangga. Puas rasanya bisa memberi mereka pelajaran meski entah kapan mereka berubahnya.Aku masuk dalam kamar, bosan juga rasanya tak ada Bang Ridho di rumah, aku jadi kesepian meski ada dua brekele yang selalu bikin ulah.Kubanti