POV ZAHRA Aku termenung dikamar ini menatap keluar jendela. Sesekali kulihat bingkisan mewah dari keluarga Mas Danu. Orangtua laki-laki itu kini benar-benar resmi melamar ku untuk putranya. Sebenarnya ada rasa kecewa dalam diriku pada Bapak. Kenapa harus berhutang pada keluarga Mas Danu? Hingga membuatku harus menanggung semua ini. Sedang aku belum lama berada dirumah ini, baru saja 4 bulan dirumah ini. Aku masih rindu Emak. Malah sekarang aku sudah resmi dilamar Keluarga sahabat Bapak. Apalagi Mas Danu itu sama sekali bukan tipeku. Meskipun dia bergelimang harta dan tampan rupawan, dua kriteria laki-laki yang biasa diincar kaum wanita masa kini. Tapi, aku Mutiara Azahra, tak sedikitpun terpikat oleh kekayaan yang dimiliki keluarga Mas Danu. Bukannya semua itu cuma titipan? Dan bisa lenyap kapan saja Jika Allah menghendaki.Tak munafik juga, ku akui hidup ini butuh uang, harta, tahta, dan yang lainya. Tapi apakah cukup itu saja? Buat apa kekayaan di dunia ini bila hanya di sombon
POV DANUTanpa terasa air mata ini menetes saat ku mengenang kembali kisah hijrahku. Dikamar dengan fasilitas lengkap ini ku bersandar memeluk guling. Ah,,, apa ini aku 'kan laki-laki tak boleh cengeng. Azdan Maghrib sayup sayup terdengar. Segera ku bangkit tak terasa lama juga aku bersandar tadi.Aku harus bersiap siap untuk shalat Maghrib.Ah tapi aku ingin menelpon Zahra dulu ingin bertanya langkah apa yang akan ku ambil. Aku tak boleh buang-buang waktu hari ini sudah masuk dalam hitungan hari untuk memenuhi syarat mahar bidadari ku. "Aaarrggh," Ku acak rambut melampiaskan kebingungan ini duduk di spring bed. Aku harus bagaimana dulu? "Telpon nggak. Telpon nggak telpon." Menghitung 5 jariku. Telpon. Yah aku telpon Zahra saja timbang mati penasaran.Segera ku raih ponsel yang ada diatas spring bed ku buka pola ponsel kemudian mencari kontak Zahra. Kuhubungi bidadari itu."Tut, tuuut." Suara khas telepon tersambung dibalik ponsel . "Nyambung." Menempatkan ponsel di dekat telinga
POV Danu"Kalau Zahra tak mencintaiku, kenapa dia mau dijodohkan dengan ku, Ma?" Hati kecilku ikut bertanya."Lho, jangan tanya sama mama dong, mama bukan Zahra." Mama mengacak rambutku yang sedikit basah."Bangun, rambut kamu basah Danu!" Kini mama mendorong paksa bahuku berusaha membuatku bangun."Bisa aja 'kan, Ma Zahra itu nurut sama orangtuanya hingga mau nerima perjodohan ini." Asal tebak saja lalu bangun dari rebahan di paha mama duduk bersila diatas spring bed dengan bedcover berlogo Manchester united. "Kamu nggak mengharapkan Zahra cinta sama kamu?" Kini mama menatapku lekat.Ah, mama ini nanya yang lain kek."Heem." Ku ambil guling dan memeluknya. Mama memperhatikan tingkahku dengan seksama. "Kamu nggak mengharapkan Zahra mencintaimu?" tanya mama lagi. Kenapa mama nanya begitu sih, bukanya kasih semangat. Mama sebenernya merestui beneran apa cuma pura-pura? "Harapan itu pasti ada, Ma. Cuma aku nggak mau maksa Zahra mencintaiku." Hatiku lumayan galau, rasanya kaya digant
Aku bernyanyi sambil berteriak melampiaskan rasa yang ada dihati ini, untung saja bangunan rumah ini kokoh, kalau tidak sudah gubrak, karena efek suara teriakan lagu yang ku nyanyikan menggema seperti memakai sound system dengan volume high.Mama kini menutup telinganya sambil memerintahkan padaku untuk berhenti. Setelah puas melampiaskan isi hati, ku jatuhkan tubuh ini di atas spring bed, seperti orang pingsan yang tak bisa menopang sendiri badannya. Tubuhku terhempas cukup keras, tapi nggak sakit tentunya.Napas terengah-engah, tangan ku telentang. Ah, lumayan cukup bisa mengurangi beban yang ada dihati ini. Bola mataku mengerling mencari sosok mama. Rupanya beliau masih duduk di atas spring bed tempat tidur ternyaman ku kini tangannya sudah tidak menutupi telinga. "Benar-benar gila kau, Danu!" umpat mama menggeleng kepala, tangannya menepuk kening gaya khas ala capek deh."Akan lebih gila jika aku hidup tanpa Zahra, Ma." Aku langsung bangkit dari rebahan."Mama, pliiiiissss deh
"Papa ini, malah ngejek mama. Bukan-nya jawab pertanyaan mama," rutuk ibu Herlambang kesal. "Sudah papa bilang, habiskan dulu makanan mama, baru nanti kita bicara," tegur pak Herlambang halus."Iya, iya," jawab Ibu Herlambang menghabiskan makanannya. Ibu Herlambang menyantap makan malamnya dengan raut wajah masam, tapi bibirnya sudah tidak maju seperti bibir tokoh kartun berkarakter bebek. "Eh, Ma. Tadi mama bilang Danu sholat 'kan. Wah, berarti sudah mulai ada perubahan pada Danu, Ma," Pak Herlambang membuka pembicaraan lagi."Katanya tadi kalo makan jangan sambil ngobrol. Kenapa sekarang malah papa ngajak ngobrol mama?" Ibu herlambang fokus menyantap makanannya tanpa memandang suaminya sedetikpun.Bagai senjata makan tuan saat pak Herlambang mendengar jawaban istrinya. Ia hanya tersenyum menyadari bahwa sang istri melakukan serangan balik terhadap nya."Sudahlah, ku biarkan saja mama begitu," gumam Pak Herlambang dalam hati sambil memilih buah yang ada di keranjang mengambil buah
"Ya sudah, ayo kita sholat Isya' berjama'ah, Papa tunggu di kamar," ungkap Pak Herlambang suaranya sedikit gemetar. Bangkit dari kursi duduknya dan berjalan ke kamar. Saat hendak ke kamar istrinya bertanya."Mama juga ikut, Pa?" tanya Ibu Herlambang masih duduk di kursinya. "Iya dong, Ma. Kita sholat jama'ah bertiga, kata Ustadz yang Danu temui di masjid waktu itu, sholat berjama'ah itu pahalanya 27 kali lipat. Kalo nggak salah sih, begitu katanya," ungkap Danu sambil berusaha mengingat-ingat kejadian yang lalu. "I-iya, deh," ucap Ibu Herlambang. Bangkit dari duduknya kemudian berjalan masuk kamar mendahului suami dan putra bungsunya. Pak Herlambang dan putranya mengekor dibelakang Ibu Herlambang. Mereka masuk kamar yang luasnya 6x5 meter didalamnya berfasilitas lengkap, seperti hotel berbintang, kamar mandi pun tersedia.Ibu Herlambang mengambil wudhu duluan, saat membasuh muka, ada rasa CES, dihati seorang Melinda-istri Pak Herlambang, rasa tenteram dan damai merasuki hatinya per
Gelisah mendera hati dan jiwa Danu kala sang bidadari tak kunjung membalas chatingan yang ia kirim. Danu menghentikan permainan gitarnya. Ia meraih ponselnya meletakkan gitar bersandar di meja dekat kolam renang. Danu mondar-mandir sambil menatap layar ponsel. "Zahra, kemana sih kamu? Kok nggak bales chat-ku," Danu menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Telpon aja kali ya," Danu berbicara sendiri. Di sisi lain Zahra bidadari-Danu sedang asyik larut mengulang hafalan Al-Qur'an di dalam kamarnya tanpa menggubris apapun yang terjadi. Danu menatap layar ponsel lagi, dilayar tertera angka 19.35, "Apa Zahra tidur, ya?" Danu berpikir menerka-nerka apa yang sedang di lakukan bidadarinya itu. Danu kembali duduk di kursi yang tersedia. Sekekali jarinya memetik senar gitar tak beraturan hingga menibulkan bunyi tak beraturan. Teng, jreng. Danu memutuskan untuk langsung menghubungi Zahra, ia mencoba melakukan panggilan video. "Berdering," ucap Danu sumringah. Zahra tak bergeming saat pon
Kini kedua insan itu sama-sama membisu. Danu larut dalam kenangan hijrahnya, sementara Zahra larut dengan ungkapan yang diutarakan Danu tadi. Telepon masih tersambung. "Kenapa Mas Danu nggak bahas alasan perjodohan ini? Apa pak Herlambang menyembunyikan alasan itu dari Mas Danu? Kok yang diceritakan tak sesuai harapanku." "Jadi penyebab nekatnya dia kemarin karena jatuh cinta. Ah, betapa dahsyatnya pengaruh cinta itu melebihi sulap, hingga mampu mengubah jalan hidup seseorang." Pikiran Zahra terbagi antara senang dan penuh tanya. "Zahra, apa kamu masih disitu?" Danu bersuara lagi. Zahra masih bergelut dengan fikiran-nya. Cicak didinding kamar Zahra merayap seakan ikut bertanya, "ada apa denganmu Zahra." "Zahra." Suara Danu kembali muncul. "Iya, M-mas. Kenapa?" Zahra terbata. "Salahkah bila aku mencintaimu, Zahra?" tanya Danu dari balik telepon. Zahra tersenyum mendengar pertanyaan calon suaminya. "Mas nggak salah kok. Cinta itu suatu perasaan yang lumrah dimiliki setiap insan,
Mau tak mau Danu harus menimba air sumur untuk mengisi bak mandinya. Beberapa kali ia menimba air membuatnya berkeringat, maklum saja dia tak pernah susah selama ini. Usai mengisi bak air, Danu beristirahat sejenak sambil mengusap peluh yang mengucur di dahinya. "Capek nya ngisi bak air mandi. Coba aja di kamar mandi kamarku, tinggal puter langsung mancur," keluhnya lirih. Ia duduk sejenak di teras dapur sambil melepas kaosnya. Danu berpikir sejenak. "Baju ini kalo kotor mau nggak mau, aku yang nyuci juga," pikirnya. Danu menepuk jidatnya. "Sib, nasib! Gini amat sih, mana semuanya masih manual," gerutunya dalam hati. Tiba-tiba ada yang menepuk punggungnya dari belakang. "Katanya mau mandi, kok masih duduk disini?" Suara Pak Husen mengejutkan Danu. Ia spontan menoleh. "Eh, Bapak. Kaget saya." Danu mengusap dadanya yang putih mulus. "Kenapa belum mandi juga?" "Anu, Pak ... saya istirahat dulu, capek nimba air," ungkap Danu nyengir kuda. Pak Husen tertawa mendengar ungkapan Danu.
"Ayo masuk, Mas Danu," ajak Pak Husen. "Baik, Pakde, Simbah," Danu bingung hendak memangil dengan sebutan apa. Pak Husen menyunggingkan senyuman lalu menepuk pundak Danu. "Le, nggak usah takut, gugup, ataupun bingung. Panggil saya Bapak, atau Pak'e dan istri saya panggil saja Simbok atau Mbok'e, karena mulai hari ini, kamu sepenuhnya menjadi tanggung jawab kami disini." Laki-laki setengah abad itu berbicara dengan santai dan mantap, penuh karismatik. "Le, ayo barang-barangnya dibawa masuk ke kamarmu, sudah Simbok siapkan," Ibu Aminah keluar memanggil Danu. Danu menoleh kepada ibu Aminah, wanita berbusana khas Jawa itu berusaha menarik koper Danu, namun Danu langsung refleks membantunya. "Biar saya aja, Mbok ... ini berat," ucap Danu meraih kopernya. Pak Husen menatap istrinya dan pemuda kota itu sambil mesem ngguyu. Danu dan Ibu Aminah berjalan menuju sebuah kamar yang sudah dipersiapkan oleh ibu Aminah. "Ini kamarmu, Le. Bajunya bisa dimasukkan ke lemari sini," ucap wanita it
Danu masih bertanya-tanya mengapa Pak tua, dihadapannya ini seperti bisa melihat masadepan. Sepertinya beliau bukan orang sembarangan. "Tidak usah bingung. Ayo istirahat lagi." Pak Husen bangkit dari duduknya lantas berlalu meninggalkan Danu. Danu termenung menelaah setiap ucapan laki-laki setengah abad itu. "Ah, sudahlah. Mungkin memang beliau punya kelebihan. Lebih baik aku tidur saja." Danu memutuskan untuk tidur lagi. ***Adzan Subuh berkumandang, Danu terbangun dari istirahat malamnya, ia segera menuju kamar mandi yang terletak diluar rumah. Suasana masih gelap, lagi-lagi Danu harus menimba air. "Sudah bangun, Mas," Suara wanita mengejutkan Danu. Danu berjingkat mendengar suara itu. "Eh, Ibu. Iya, saya sudah bangun. Mau solat subuh," ucap Danu kepada wanita itu. Ia membawa sebuah periuk berisi beras. Ia menunggu Danu selesai menimba air, lantas iapun menimba air hendak mencuci beras. Danu mengamati kegiatan bundenya Pak Kasno itu sambil berwudhu. Pak Husen datang dari ar
Adzan Maghrib berkumandang. Lagi, Danu meminta menepi lagi di sebuah masjid dan menunaikan shalat berjamaah. Usai shalat Danu berdo'a. "Ya Allah, kumohon, berilah aku kemudahan untuk menjalani semua ini, bimbinglah aku menuju apa yang ingin ku capai, tuntun aku dalam menjalani semua ini, hanya kepadaMu aku memohon pertolongan." Danu khusyu sekali berdo'a. Pak Kasno dan Papanya menunggu Danu selesai berdo'a, lalu mereka melanjutkan lagi perjalanan mereka. Perut keroncongan membuat mereka menepi kembali mencari tempat istirahat dan makan malam di sebuah warung kaki lima. Pak Herlambang tak kikuk saat diajak makan di kaki lima, benar-benar sosok yang patut di contoh. Penampilan Pak Herlambang yang sederhana, meskipun ia bisa dibilang sultan, namun ia tak malu ataupun gengsi makan di kaki lima. "Masih jauh enggak, Pak?" Danu bertanya perihal jarak yang hendak ditempuh sesaat usai menikmati santap malam."Mungkin sekitar jam sembilan malam, kita baru sampai, Den." Pak Kasno menjawab sam
Sementara itu, Pak Herlambang dan Danu masing-masing menyiapkan diri. Danu bersiap dengan apa-apa yang ia perlukan. Sementara itu, papanya menyiapkan sejumlah uang yang akan diserahkan kepada pakdenya Pak Kasno. Danu menghampiri Bi Surti yang sedang menyiapkan baju-baju nya dikamar."Bi, banyakin celana pendek, sama kaos, ya," pinta Danu. "Iya, Den. Tapi kenapa harus bawa baju jelek si, Den? Emang mau nggarap proyek apa selama 3 bulan?" Bi Surti yang penasaran akhirnya bertanya. "Nggarap proyek cinta, Bi." Danu terkekeh sendiri. "Proyek Cinta? Apa ada?" Bi Surti bermain dengan pikirannya sendiri. Danu membawa serta gitar kesayangannya, tak lupa ia membawa perlengkapan yang ia butuhkan. Setelah semua baju dan perlengkapan terkemas rapi, Danu segera menggiring kopernya turun kelantai bawah, Bi Surti mengekor dibelakang Danu. "Bi, jangan bilang-bilang sama mama, ya ... kalo saya pergi selama tiga bulan," ucap Danu berpesan kepada ART-nya. "Beres, Den. Aman pokonya. Yang penting Ad
Danu menghentikan suapan makan siangnya lalu meraih gelas berisi air mineral. "Masa harus ganti hape segala, Pak?" Danu setengah protes. Pak Kasno menghela nafas lalu menjelaskan alasannya. "Begini, Den, di desa tempat tinggal pakde saya itu, rata-rata pemuda-pemudi nya dari kalangan menengah kebawah. Nah, kalo mereka lihat pemuda seperti Aden, wah bisa jadi Aden nggak bakalan jadi nanem padi, Aden jadi selebriti dadakan di kampung." Pak Kasno memberi penjelasan. "Kenapa bisa begitu, Pak?" Danu penasaran tentang keterangan Pak Kasno. "Mungkin yang pak Kasno maksud itu sebaiknya kamu menyamar menjadi umumnya seperti muda-mudi di kampung itu," Pak Herlambang ikut menjelaskan sambil mengupas jeruk untuk cuci mulut. Danu hening, berpikir sejenak. "Hem, jungkir balik beneran ini mah. Tapi mau gimana lagi, demi Zahra," batin Danu. "Okelah kalo begitu. Nanti kita sambil berangkat ke desa pakdenya Pak Kasno sambil beli ponsel baru saja, sekalian ganti nomor juga, biar aku tenang. Soal
Danu berpikir sejenak, "Wah, sepertinya ini jawaban atas do'aku, secepat ini ku mendapat jalan keluar, sungguh Allah Maha tahu apa yang aku butuhkan." Danu mengulas senyum menanggapi sang Papa. "Danu si, mau-mau aja, Pa. Yang penting bisa segera menanam padi. Waktunya makin sempit. Mumpung mama lagi liburan juga, jadi Danu bisa aman dari mama." Danu antusias dan sumringah. "Nah, maka dari itu, mumpung mamamu masih liburan, sebaiknya kita segera menuju desa tempat tinggal pakdenya Pak Kasno, biar kamu bisa segera menjalankan misimu," usul Pak Herlambang. "Wah, Papa briliant banget. Danu setuju, Pa. Kapan kita berangkat? Kalo bisa secepatnya, ya" Danu memohon kepada sang Papa. Pak Herlambang tertawa melihat putranya begitu semangat. "Ya sudah, kapan maumu berangkat kesana?" tanya Pak Herlambang sambil menepuk pundak putranya. Danu berpikir sejenak sambil menghitung hari yang tersisa. "Kalo bisa hari ini, Pa. Waktuku tekor terus kalo diundur-undur," Danu menoleh papanya. Pak Herl
Perjalanan pulang hari ini sungguh membawa oleh-oleh rasa gembira tiada tara dihati seorang Danu Herlambang, wajahnya nampak berbinar apalagi setelah berpamitan dengan Simbah Danu memperoleh do'a terbaik dari kakeknya Zahra. Ditambah pula dengan iringan senyuman manis Bidadari hatinya membuat Danu semakin melambung ke angkasa cinta. "Hati-hati dijalan, Mas. Kalo sudah sampai segera kabari, ya," ucap si Bidadari berjilbab coklat susu. "Insyaallah, Zahra akan segera ku kabari," ucap Danu sambil masuk ke mobil yang sudah ia keluarkan dari garasi milik Simbah Zahra sebelumnya. Lambaian tangan keluarga Zahra mengiringi kepergian Danu. Laki-laki itu dimabuk asmara lagi, asanya mengembara jauh di pulau bunga cinta. Benih asmara dihatinya makin hari makin tumbuh subur meskipun nyatanya cinta yang ia miliki belum berbalas. Ia hanya yakin bila Zahra itu benar-benar jodohnya Allah pasti akan mempermudah untuk menuju halal. ***** Danu sampai di istana Keluarga Herlambang, tepat ba'da Dzuhur.
"Ah, benar dia Zahra," batin Danu. Ia berjalan mendekat. "Ehem, boleh aku bantu?" sapa Danu dari jarak 2 meter. Zahra terperanjat, lalu menoleh sumber suara. "Eh, Mas Danu. Nggak usah, Mas. Ini sudah mau selesai," tolak Zahra halus, ia menundukkan pandangannya."Ini, sayuran apa namanya?" Danu mencoba mengajak Zahra ngobrol sambil sesekali mencuri pandang ke wajah ayu bidadarinya. "Ini, namanya daun singkong, Mas," jawab Zahra seperlunya. Danu manggut-manggut sok paham, padahal ia sama sekali tak mengetahui sayuran itu. Yang ia tahu hanya sayuran yang sering dimasak oleh asisten rumah tangganya dirumah. "Permisi, Mas. Ini sudah cukup, Zahra masuk duluan, mau masak sayur ini," pamit Zahra berlalu sambil menundukkan pandangannya berjalan membelakangi Danu menuju kedapur. Tangan Danu berusaha menahan agar Zahra tak pergi. Namun, yah hanya sebatas gerakan tak menyentuh sedikitpun tubuh Zahra, bahkan bayangannya juga. Danu menurunkan perlahan tangannya yang hendak meraih Zahra. "Hh