Adnan tersenyum ia membawa mobilnya pulang ke rumah. Hatinya bahagia luar biasa, ia macam anak SMA yang balik merasakan indahnya cinta. Redita punya perasaan yang sama dengan dirinya. Ia juga jatuh cinta pada Adnan, walaupun Adnan sudah tidak muda lagi, walaupun Adnan sudah beranak dua dan Redita masih lajang.
"Saya bahagia banget, Re bisa memiliki kamu, saya bahagia banget bisa dapetin cinta kamu, Sayang!" desis Adnan sambil tersenyum.
Dan tugas Adnan sekarang adalah meyakinkan Edo dan Aldo tentang gadis yang ia pilih itu? Tentang calon mama tiri mereka? Yang faktanya bahkan lebih muda dari Edo? Mungkin terdengar seperti lelucion bahwa Adnan jatuh cinta dan hendak menikahi gadis yang bahkan selisih lima tahu dari Edo, namun apa boleh buat? Adnan tidak bisa membohongi perasaannya sendiri bahwa dia mencintai dan ingin menikahi gadis itu.
"Edo, Aldo, papa harap kalian semua bisa mengerti perasaan papa, kemauan papa dan pilihan papa."
Tentu itu yang sekarang
“Halo,” guman Redita ketika smartphone miliknya berdering, ada panggilan dari Yanven.“Re ... kamu kemana sih? Aku panik cariin kamu? Maaf kemarin kalau aku terlalu lama kumpul sama temen-temen, kamu baik-baik aja kan?” tampak suara itu begitu khawatir.“Tenang dong, aku baik-baik saja nih. Aku nggak apa-apa kok, Ven!” Redita tersenyum, agaknya ia harus berterima kasih pada Yanven, karena dialah semua ini bisa terjadi bukan?“Serius? Nggak ada yang gangguin kamu kan semalam?” suara itu masih tampak begitu menginterupsi dirinya, membuat Redita rasanya ingin tertawa terbahak-bahak.“Nggak kok, kamu jangan terlalu khawatir gitu ah, aku baik-baik saja nih,” rasanya tidak perlu menceritakan apa yang Rangga lakukan bukan? Ia tidak bisa menjelaskan pada Yanven mengenai bagaimana kemudian ia bisa lolos dari bajingan itu. Bisa pingsan nanti temannya ini kalau tahu siapa laki-laki yang menjadi malaikan pen
Redita membaca satu persatu identitas yang tertulis di lembar-lembar laporan yang sekarang sudah ada di tangannya itu. Sesuai titah sang kekasih tadi, dia disuruh mengumpulkan dan membawa weekly report itu ke ruangan dia, bukan?"Ini weekly report-nya sudah semua kan?" Redita menatap beberapa orang yang berdiri di hadapannya itu."Sudah semua kak," jawab Adisti sambil tersenyum menggoda, mengundang gelak tawa anak-anak yang lain yang otomatis membuat wajah Redita sontak berubah masam."Bully terus, iya deh yang nggak pada ngulang Stase!" cibir Redita kesal pada teman satu angkatannya yang kali ini di rolling di bagian bedah itu."Bukan bully, faktanya yang paling lama di bagian bedah kan kamu," tambah Yosi sambil mengacungkan dua jarinya."Bodo, ngeselin semua!" Redita memanyunkan bibirnya ia melangkah keluar dari ruang koas dan bergegas menuju ruangan Adnan.Jantungnya berdegup kencang, ini kali pertama dia masuk keruangan itu dengan status
“Ven, bentar aku angkat telepon dulu!” Redita memberi kode kepada Yanven bahwa ia harus mengangkat panggilan itu, Yanven hanya mengangguk pelan, ia kemudian melangkah ke kamar mandi, ada sesuatu yang harus ia ganti sebelum sampai kemana-mana.“Hallo,” jawab Redita dingin.“Kamu di mana, Sayang? Saya tunggu di apartemen, pulanglah. Ada yang harus kita bicarakan segera,” guman suara itu dari seberang.“Maaf, belum bisa pulang,” jawab Redita ketus.“Perlu saya kesana jemput dan paksa kamu balik? Saya bisa lacak lokasi kamu saat ini juga!” ancam suara itu yang langsung dibalas dengan hempasan kasar nafas dari Redita.“Tidak usah repot-repot,” Redita masih enggan bermanis-manis dengan sosok itu, dasar! Nggak muda, nggak tua, semua laki-laki itu sama saja, buaya!“Pulanglah, jangan seperti anak kecil!” guman suara itu frustasi.“Oh jadi kayak anak keci
"Lakukan!"Redita kembali memagut bibir itu, sungguh ia tidak mengerti lagi, tubuhnya mengingnkan lebih daripada ini! Rasanya ia sudah tidak sanggup lagi menahan semua ini, panas tubuh dan gelayar itu benar-benar menyiksanya!Adnan mencoba melepaskan diri dari Redita, namun sayang gadis itu benar-benar berubah liar. Gairahnya sendiri sudah memuncak luar biasa. Ia sudah cukup lama bukan? Dan akhirnya Adnan lebih memilih menyerah kalah, ia sudah tidak sanggup melawan gairahnya sendiri.Dibalasnya pagutan itu dengan ganas, Redita yang minta bukan? Ia yang menantang Adnan bukan? Jadi jangan salahkan Adnan jika petang ini Redita harus bermadikan peluh dibawah kungkungan tubuhnya, Adnan sudah benar-benar tidak sanggup! Adnan balas menyerang, ia tidak mau kalah dari Redita, sore ini ia harus jadi pemenangnya.Cukup lama bibir meraka bertaut, hingga kemudian mereka sadar bahwa tubuh mereka sudah begitu polos. Tampak wajah Redita memerah luar biasa, dan itu
Adnan mengacak gemas rambutnya, ia duduk di sofa dengan nafas yang sudah mulai kembali normal. Keringatnya masih membasahi seluruh tubuh, setelah sekian lama puasa, akhirnya hari ini ia mendapatkan pelampiasan gairah yang begitu luar biasa. Nikmat itu kembali ia teguk, menuntaskan segala macam dahaga birahi yang membelenggu Adnan lima tahun ini.Dapat perawan? Mana pernah Adnan kira bahwa ia akan mendapatkan gadis yang masih perawan? Apakah ini suatu prestasi membanggakan? Tapi yang jelas Adnan merasa sangat beruntung dan cintanya pada Redita makin dalam.Adnan bangkit setelah memunguti pakaiannya yang berceceran, snelli-nya juga cuma tergeletak di sofa. Snelli yang menjadi saksi bisu apa yang sudah ia lakukan bersama mahasiswi Koas-nya tadi. Sebuah perbuatan yang seharusnya tidak mereka lakukan.Adnan bergegas melangkah masuk ke dalam kamar, dan tepat disaat yang sama, Redita keluar dari kamar mandi dengan rambut setengah basah. Mata mereka bertemu
"Yud!" Adnan memburu langkah Yudha, menarik tangannya lalu membawa Yudha ke ruangannya. Kalau ke ruangan Yudha bisa gawat, ada Amanda kan pasti? Jadi rasanya tidak ada tempat aman lain selain ruang prakteknya."Eh ... eh ... ada apa sih Nan?" Yudha sedikit terkejut, ia menatap Adnan dengan seksama, ia mau dibawa dokter bedah itu kemana?"Aku mau ngomong sesuatu nih, ada waktu kan?" Adnan melepas genggaman tangan mereka, aneh juga kan kalau dilihat orang ia dan Yudha berjalan bergandengan tangan macam ini? Dikira ACDC nanti mereka, padahal Adnan masih normal, buktinya ia berhasil membuat Redita terkapar lemas berkali-kali kemarin"Soal apa?" tanya Yudha penasaran, kenapa sampai Adnan menyeretnya macam ini?"Soal Amanda," jawab Adnan serius.Yudha mengangguk pelan dan terus mengikuti langkah Adnan masuk ke dalam ruangannya. Poli masih sepi, belum jam buka poli, sehingga Yudha dan Adnan masih ada waktu sejenak untuk saling berbincang, membahas masalah
"Suruh Redita ke OK, saya mau dia ikut asistensi," guman Adnan tegas pada salah satu koas itu."Baik, Dokter!" gadis itu tersenyum dan mengangguk, kemudian melangkah pergi dari ruangan Adnan.Adnan tersenyum geli, ia suka melihat gadisnya, eh salah, wanitanya itu tremor dan pucat pasi di OK, pokoknya selama dia masih di Stase bedah, ia harus dapat ilmu sebanyak-banyaknya di OK. Lagipula Adnan merasa begitu nyaman dengan kehadiran Redita di dalam ruang operasi.Adnan hendak bangkit ketika kemudian sosok itu sudah muncul di ruangannya."Eh kan saya suruh ke OK, kenapa malah kemari, Sayangku?" Adnan tersenyum penuh arti, sementara Redita mencebik dengan tatapan kesal."Mas ... aku nggak mau masuk OK lagi ah!" protesnya sambil memanyunkan bibirnya."Lho kamu masih tiga Minggu di bagian bedah, mau ngapain kalau nggak masuk OK, Sayang?" Adnan melangkah mendekati sosok itu lalu meraihnya dalam pelukannya, mendekap sosok yang tengah mencebik kesal i
"Lanjutkan!" perintah Adnan santai, lalu bergegas keluar dari ruangan itu. Dari sudut matanya tampak Redita menatap tajam ke arahnya. Adnan hanya menahan tawa, lalu melepas handscoon dan mencuci tangannya bersih-bersih. Adnan pastikan nanti kekasihnya itu bakal ngambek nggak karuan ketika pulang nanti. Bahkan mengamuk mungkin? Ah entah lah, yang jelas sudah dapat dipastikan bahwa sosok itu akan mengamuk dan mencaci makinya. Ia sengaja kok, lagian mau berapa lama sih Redita betah marah-marah sama dia? Ia bergegas melapas gown-nya dan masuk ke ruang dokter, duduk di sana dan menyenderkan tubuhnya di kursi. Mengendurkan sejenak syaraf-syaraf otak dan tubuhnya yang tegang selama operasi berlangsung. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, hari ini Redita kan berangkat sendiri kan? Wah jadi Adnan nggak bisa bareng dong pulangnya? Tak apalah, ia bisa sampai lebih dulu ke apartemen kan? Adnan tersenyum, ia bergegas bangkit dan meraih snelli-nya lalu dengan santai ia melangka