"Yud!" Adnan memburu langkah Yudha, menarik tangannya lalu membawa Yudha ke ruangannya. Kalau ke ruangan Yudha bisa gawat, ada Amanda kan pasti? Jadi rasanya tidak ada tempat aman lain selain ruang prakteknya.
"Eh ... eh ... ada apa sih Nan?" Yudha sedikit terkejut, ia menatap Adnan dengan seksama, ia mau dibawa dokter bedah itu kemana?
"Aku mau ngomong sesuatu nih, ada waktu kan?" Adnan melepas genggaman tangan mereka, aneh juga kan kalau dilihat orang ia dan Yudha berjalan bergandengan tangan macam ini? Dikira ACDC nanti mereka, padahal Adnan masih normal, buktinya ia berhasil membuat Redita terkapar lemas berkali-kali kemarin
"Soal apa?" tanya Yudha penasaran, kenapa sampai Adnan menyeretnya macam ini?
"Soal Amanda," jawab Adnan serius.
Yudha mengangguk pelan dan terus mengikuti langkah Adnan masuk ke dalam ruangannya. Poli masih sepi, belum jam buka poli, sehingga Yudha dan Adnan masih ada waktu sejenak untuk saling berbincang, membahas masalah
"Suruh Redita ke OK, saya mau dia ikut asistensi," guman Adnan tegas pada salah satu koas itu."Baik, Dokter!" gadis itu tersenyum dan mengangguk, kemudian melangkah pergi dari ruangan Adnan.Adnan tersenyum geli, ia suka melihat gadisnya, eh salah, wanitanya itu tremor dan pucat pasi di OK, pokoknya selama dia masih di Stase bedah, ia harus dapat ilmu sebanyak-banyaknya di OK. Lagipula Adnan merasa begitu nyaman dengan kehadiran Redita di dalam ruang operasi.Adnan hendak bangkit ketika kemudian sosok itu sudah muncul di ruangannya."Eh kan saya suruh ke OK, kenapa malah kemari, Sayangku?" Adnan tersenyum penuh arti, sementara Redita mencebik dengan tatapan kesal."Mas ... aku nggak mau masuk OK lagi ah!" protesnya sambil memanyunkan bibirnya."Lho kamu masih tiga Minggu di bagian bedah, mau ngapain kalau nggak masuk OK, Sayang?" Adnan melangkah mendekati sosok itu lalu meraihnya dalam pelukannya, mendekap sosok yang tengah mencebik kesal i
"Lanjutkan!" perintah Adnan santai, lalu bergegas keluar dari ruangan itu. Dari sudut matanya tampak Redita menatap tajam ke arahnya. Adnan hanya menahan tawa, lalu melepas handscoon dan mencuci tangannya bersih-bersih. Adnan pastikan nanti kekasihnya itu bakal ngambek nggak karuan ketika pulang nanti. Bahkan mengamuk mungkin? Ah entah lah, yang jelas sudah dapat dipastikan bahwa sosok itu akan mengamuk dan mencaci makinya. Ia sengaja kok, lagian mau berapa lama sih Redita betah marah-marah sama dia? Ia bergegas melapas gown-nya dan masuk ke ruang dokter, duduk di sana dan menyenderkan tubuhnya di kursi. Mengendurkan sejenak syaraf-syaraf otak dan tubuhnya yang tegang selama operasi berlangsung. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, hari ini Redita kan berangkat sendiri kan? Wah jadi Adnan nggak bisa bareng dong pulangnya? Tak apalah, ia bisa sampai lebih dulu ke apartemen kan? Adnan tersenyum, ia bergegas bangkit dan meraih snelli-nya lalu dengan santai ia melangka
“Kita berangkat sama-sama, saya nggak mau kamu bawa motor sendiri,” titah Adnan tegas ketika Redita muncul dari dalam kamar, sementara Adnan sudah duduk di kursi mini bar sambil menyesap kopi.“Lha tapi nanti bagaima-”“Tidak usah pedulikan kata orang, Sayang!” potong Adnan tegas, ia sudah begitu serius!“Bukan begitu, Mas. Kalau Mas ada cito gimana?” Redita duduk di sebelah Adnan.“Ya kamu ikut saya ke dalam dong, asistensi kayak biasanya!” jawab Adnan tegas, matanya melirik sang kekasih dengan senyum jahil.Redita menghela nafas panjang, ia meraih cangkir kopi Adnan dan menyesap isinya. Pahit kopi dan reaksi kafeinnya langsung membuat mata Redita melek sempurna, ia melirik Adnan yang mulai melingkarkan tangannya di pinggang Redita itu.“Cepat mandi, apa perlu saya mandiin?” bisik Adnan lembut tepat di telinga sang kekasih.“Uhuk ... uhuk ...,” Redita
Edo mematikan mesin mobilnya, lalu melangkah turun. Ia sudah sampai di RSUD tempat papanya dinas. Ia sengaja langsung kesini, tanpa pulang dulu kerumah. Dan satu-satunya poli yang hendak ia datangi pertama kali adalah poli interna, ruang praktek dokter Yudha Bhaskara. Ia malah belum kepikiran untuk mengunjungi ruang praktek sang papa."Dokter Yudha ada?" tanya Edo pada perawat yang ada di nurse station."A-ada, tapi beliau sedang istirahat," tampak perawat itu tergagap. Sudah biasa sih bagi Edo, dia sudah tidak kaget. Bukan salah dia, kan, kalau banyak gadis yang akan bertingkah demikian tiap bertemu dengan dirinya?Edo tampak merogoh iPhone-nya lalu menghubungi nomor Yudha."Hallo Om, Edo ada di nurse station poli interna nih," guman Edo yang masih berdiri di depan nurse statision. Beberapa perawat masih melongo memandangi Edo dengan seksama."Hallo, nurse station mana, Do?""Ya nurse station poli om lah, kalau poli rumah sakit lain k
Adnan dan Yudha manggut-manggut setelah mendengar cerita Edo, tampak Edo memejamkan matanya dan menelungkupkan wajahnya di atas meja. Dua bapak itu tampak saling pandang, kemudian Yudha menepuk lembut punggung Edo yang duduk di sampingnya itu."Papa bisa mengerti, Do. Biar nanti papa bicara dengan Arra," Yudha tersenyum, ia kembali membahasakan dirinya dengan sebutan papa."Tolong Pa, bantu Edo. Edo pusing banget rasanya, Arra benar-benar lain sekarang dan Edo benar-benar nggak bisa membujuk Arra lagi, Pa!" renggek Edo pada Yudha macam anak kecil."Yudha, sudah boleh aku lamar sekarang belum si Arra?" tanya Adnan tegas, ia ikut pusing memikirkan masalah dua sejoli ini. Kalau masalahnya dari dulu seperti ini dan tidak selesai-selesai lebih baik sekalian dinikahkan saja bukan?Yudha tampak berpikir, ia menundukkan wajahnya. Masalahnya Arra masih delapan belas tahun. Sudah benar-benar siapkah Arra dengan kehidupan rumah tangga? Mana Edo juga masih residensi,
Edo menatap nanar sang papa, jadi semua itu benar? Benar bahwa papanya akan menikahi gadis dua puluh satu tahun itu? Astaga, apakah ini yang dinamakan tanda akhir zaman? Dari banyaknya wanita, bahkan wanita potensial yang Om Yudha sodorkan sebagai bakal calon mama tiri Edo, kenapa harus gadis itu yang papanya pilih?Edo kira hal seperti ini hanya terjadi di kisah novel dan sinteron saja, ternyata benar terjadi di dunia nyata dan ia sendiri yang sedang menghadapinya sekarang! Sungguh ironis sekali!"Papa sadar? Pa ayolah tolong kenapa harus yang semuda itu sih?" Edo tampak tidak terima, bagaimana dia bisa terima kalau dia dan ibu tirinya nanti lebih muda lima tahun ibu tirinya itu?"Do ...," guman Adnan lirih, "Papa juga tidak tahu kenapa, tapi papa sudah benar-benar jatuh cinta dengan dia, Do!" kembali Adnan menjelaskan, menegaskan dan mencoba memberi pengertian, berharap bahwa anaknya itu akan segera luluh dan bisa memahami apa yang tengah Adnan alami dan rasak
"Mas, aku naik ojek aja deh, ada Edo." guman Redita sambil menempelkan ponsel itu di telinganya. Ia sudah berada di depan rumah sakit, hendak memesan ojek online karena ia tahu tidak mungkin kan dia pulang bersama Adnan sedangkan anaknya saja sedang berada di sini."Kan bisa saya antar dulu kamu, sayang. Baru saya nanti pulang ke rumah. Edo sudah di rumah ini pasti," jawab Adnan lembut."Tapi Mas, ak-""Jangan membantah, saya tunggu di parkiran!" guman Adnan lalu menutup teleponnya.Redita menghela nafas panjang, ia kemudian berbalik dan melangkah menuju parkiran. Untung ia belum jadi memesan ojek online, kasihan, kan, kalau Redita harus membatalkan orderannya? Jujur ia takut anak Adnan datang kemari dan Redita harus bertemu lagi dengannya. Entah mengapa ia begitu takut.Redita tahu betul mata Edo memerah, kan, tadi? Pasti ia ribut dengan sang ayah perihal hubungan Redita dengan dokter Adnan. Pasti Edo menolak Redita menjadi ibu tiri untuk dia dan
Adnan melangkah keluar dari rumah, ia kembali masuk mobilnya dan bergegas membawa mobilnya pergi meninggalkan rumah. Ia tidak peduli dengan penolakan Edo, dia yang mau menikah dan ia tidak bisa dipaksa begitu saja! Dia tidak mau dipaksa menikahi wanita yang tidak ia cintai.Menikahi Amanda? Bagaimana bisa ia menikahi Amanda kalau dia tidak mencintai wanita itu? Ia hanya mencintai Redita, hanya itu! Kenapa sulit sekali sih menjelaskan semua perasaan Adnan pada gadis itu?"Papa tidak peduli, papa akan tetap menikahi Redita, papa tidak mau harus kembali hancur!" guman Adnan pada dirinya sendiri. Pernah hancur, pernah terluka dan itu yang membuat Adnan kemudian bertekad bahwa ia harus mendapatan kebahagiaannya.Rasanya dada Adnan begitu sesak, kenapa disaat ia kembali mencintai dan dicintai ada saja masalahnya? Kenapa? Kenapa harus perkara umur yang menjadi masalah? Kenapa harus perkara restu dari anak-anaknya yang menjadi penghalang? Padahal dimana letak salahnya?
Redita hendak kembali pulang selepas jaga malam pagi itu ketika ia mendapati Land Cruisser yang ia tahu betul adalah milik sang suami sudah terparkir di halaman parkir rumah sakit. Tak beberapa lama sosok itu turun dari mobil, tersenyum begitu manis ke arahnya.Rasanya Redita ingin berlari dan menjatuhkan diri di pelukan sang suami kalau saja mereka tidak sedang berada di halaman rumah sakit saat ini. Jadi Redita sekuat tenaga menahan keinginannya untuk melakukan hal itu, ia melangkah perlahan mendekati sang suami yang tersenyum begitu lebar ke arahnya.“Hai suamiku,” sapa Redita lalu mengulurkan tangannya, bergegas mencium punggung tangan Adnan begitu uluran tangannya terbalas.“Hai juga isteriku, kamu tampak lelah. Bisa kita pulang sekarang? Aku rindu dengan jagoan kecilku.”Redita sontak mencebik, ia memanyunkan bibirnya yang sukses membuat Adnan terkekeh melihat perubahan wajahnya itu.“Jadi pulang cuma kangen sama
Beberapa hari kemudian ... “Dokter!” Redita setengah berlari mengejar langkah dokter Ricard, beliau adalah dokter bedah yang bertanggung jawab pada sang nenek pasca operasi kemarin. Dan hari ini adalah visiting terakhir, bukan? Kondisi sang nenek sudah lebih baik, dan itu artinya dia sudah boleh pulang. Untuk itu Redita ingin melihat wajahnya, mungkin untuk terakhir kalinya dia bisa melihat wajah-wajah yang dulu menorehkan luka dengan begitu dalam di relung hati Redita itu. “Ada apa, Re?” tanya dokter Richard yang tampak mengerutkan kening melihat Redita berlari-lari menghampirinya itu. “Boleh saya ikut visiting, Dok?” mohon Redita dengan nafas terenggah-enggah. “Tentu boleh, bukan kah pasien itu pertama kali datang kamu yang pegang?” tampak dokter Ricard tersenyum, ia sudah hendak kembali melangkah ketika kemudian tangan Redita mencekal tangan dokter Richard, mencegahnya melangkah lebih jauh. “Dok, tunggu sebentar!” Dokter Ric
Redita tersenyum menatap sosok itu yang masih terbaring tidak sadarkan diri. Beberapa alat medis masih menempel di tubuh renta itu. Ia sudah berhasil melewati masa kritisnya, tinggal menanti dia kembali sadar dan kondisinya pulih.Redita meraih tangan berkeriput itu, meremasnya perlahan dengan hati yang teramat pedih. Bayangan masa lalu dimana sosok itu dengan tangan yang saat ini Redita genggam, sering menamparnya, menjewer telinga Redita sampai memerah, mecubit pahanya sampai memar membiru dan terkadang memukul kakinya dengan gagang sapu. Belum lagi, mulut yang sekarang terpasang ventilator itu, dulu begitu pedas tiap mengata-ngatai dirinya, mencaci-maki Redita yang bahkan dulu masih begitu kecil dan tidak paham apa-apa.Redita menghela nafas panjang, berusaha melupakan semua itu meskipun rasanya begitu sulit dan tidak semudah yang ia katakan. Redita melirik jam dinding, sudah pukul setengah enam, ia bergegas merogoh saku snelli-nya, mengambil masker medis yang
"Iya Sayang, stok ASIP Adta sudah ready banyak di kulkas, jangan khawatir ya." Redita tersenyum, malam ini ia harus jaga IGD sampai besok pukul tujuh pagi. Dan Adnan sudah ribut khawatir dengan Adta katanya."Benar? Apa perlu aku balik ke sana sekarang?"Sontak Redita tertawa, ah lebay sekali bapak tiga orang anak itu? Sebelum mereka kembali bertemu, toh Adta baik-baik saja jika dia ada jaga malam, kenapa sekarang dia jadi begitu khawatir?"Sudah, tenang saja! Jagoan kecil kita aman dan akan baik-baik saja, Sayang." guman Redita lirih, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, semua akan baik-baik saja."Yasudah, kabari aku terus ya. Aku benar-benar khawatir dengan kalian berdua."Redita tersenyum, hatinya berbungga-bungga mendengar nada kekhawatiran itu meluncur dari bibir sang suami. Rasanya ia begitu bahagia mendengarnya. Bagaimanapun, setua apapun laki-laki yang menjadi suaminya ini, dia benar-benar sosok yang begitu peduli dan penyayang. Ah ... sung
Adnan tersenyum ketika mendapati panggilan dari nomor itu, nomor yang ia tunggu untuk memberinya kabar perihal perkembangan pendaftaran itsbat nikahnya. Semoga semuanya lancar dan tidak perlu waktu lama ia bisa mendaftarkan pernikahannya dan memperoleh apa yang sudah ia janjikan kepada sang isteri sejak dulu.“Halo, gimana Fan?” tanya Adnan yang sudah sangat tidak sabar itu.“Berkasnya sudah masuk, Dok. Sudah diurus sama isteri saya, nanti tinggal tunggu kabar persidangannya saja ya, Dok.”Wajah Adnan makin cerah, senyumnya mengembang sempurna mendengar hal itu. Redita pasti akan sangat bahagia mendengar kabar ini, bukan? Impiannya untuk bisa segera memiliki buku nikah dan menikahi Redita secara resmi akan terwujud.“Baik, saya berterima kasih sekali padamu, Fan. Sampaikan ucapan terima kasihku pada isterimu juga, ya.”Adnan menyandarkan tubuhnya di kursi, hatinya tengah berbunga-bunga. Rupanya inilah kebahagiaan
Adnan mematikan mesin mobilnya ketika ia sudah sampai di halaman rumahnya. Mobil Edo dan Arra masih ada, itu artinya dia masih di sini, belum kembali ke Jogja dan Arra belum balik ke rumah Yudha. Ya ... memang seperti itu, bukan? Selama Edo masih harus pendidikan di Jogja, Edo harus terpisah dari sang isteri karena Arra sudah dinas di salah satu rumah sakit swasta di Solo dan sebuah klinik. Jadi lah tiap Edo di Jogja Arra lebih memilih pulang ke rumah orang tuanya karena di rumah Adnan ini ia merasa kesepian.Adnan bergegas turun, melirik arlodjinya dan masuk ke dalam rumah. Sudah pukul setengah lima. Bisa lah dia mandi besar dulu lalu sholat subuh dan bersiap berangkat ke rumah sakit. Adnan bergegas naik kelantai atas, hanya dapur yang sudah tampak menyala lampunya, yang artinya dua asistennya sudah sibuk menyiapkan sarapan dan melakukan pekerjaan lain.Adnan bergegas masuk ke dalam kamar, mandi dan bersiap sholat. Ia tersenyum menatap kamarnya itu. Kelak kamar ini ak
“Aku pamit balik Solo dulu, Sayang. Jaga anak kita baik-baik ya?” Adnan mengecup kening sang isteri, kemudian beringsut mendekati Adta yang terlelap begitu nyenyak di dalam box-nya. Rasanya berat sekali Adnan hendak kembali, namun ia masih punya tanggung jawab, bukan? Terlebih sekarang ia punya tanggungan membiayai Adta, belum lagi Edo masih beberapa tahun lagi lulus PPDS-nya, ah ... itulah yang selama ini selalu membuat Adnan semangat tetap bekerja.“Mas hati-hati ya, kabari kalau sudah sampai Solo.” desis Redita lalu memeluk erat sang suami.Adnan hanya tersenyum, melepaskan Redita perlahan-lahan lalu mengecup keningnya perlahan. Hanya sekilas, karena kemudian kecupan itu turun mengecup bibir Redita penuh cinta, ya walaupun juga hanya sebentar.“Pasti, akan saya kabari selalu, Sayang!” Adnan tersenyum, kemudian meraih kunci mobil dan dompet yang tergeletak di atas lemari Adta.Redita menyodorkan jaket milik Adnan, mem
Edo bangkit dari ranjang, senyumnya merekah melihat betapa lelap Arra yang tubuhnya masih polos itu. Ia melirik jam dinding, sudah pukul satu dini hari dan papanya belum ada tanda-tanda pulang dari rumah mama tirinya itu? Padahal besok pagi dia harus dinas, bukan?Edo meraih baju-bajunya yang tadi ia lempar sembarangan ketika sudah tidak tahan lagi untuk menyentuh sang isteri. Siapa sih yang tidak tergoda dengan tubuh dengan lekuk indah dan kulit putih bersih itu? Dia laki-laki normal, jadi tentu lah ia langsung kalang-kabut begitu mendapati sang isteri sudah dengan lingerie warna merah itu.Dasar Arra, memang umurnya masih kecil, tapi ia sudah sangat matang rupanya, bahkan untuk urusan ranjang seperti ini. Ah Edo tidak salah pilih, bukan? Edo bergegas memakai kembali bajunya, meraih bungkus serta ‘benda’ bekas pakai itu dari atas nakas dari atas meja dan membuangnya ke dalam tempat sampah yang ada di kamar mandi.Ya ... meskipun dia dan Arra sudah m
“Mas, katanya besok sudah dinas?” tanya Redita ketika sore itu Adnan belum ada tanda-tanda hendak balik ke Solo, ia malah menggendong Adta dan sama sekali tidak melepaskan bayi itu barang sedetik pun.“Ah, jadi kamu hendak mengusir suamimu sendiri?” Adnan mencebik, memang kenapa kalau besok dia sudah dinas?Redita terkekeh, kenapa jadi baper macam ABG kemarin sore sih suaminya ini? Ia mendekati Adnan yang tampak begitu bahagai dengan Adta yang berada dalam gendongannya. Kenapa rasanya bahagia sekali melihat betapa manis bapak dan anak itu ketika sedang seperti ini?“Bukan begitu Sayang, besok kan pasti masuk pagi.” Redita memeluk suaminya itu dari belakang, jendela kamarnya aman kok, meskipun tirai terbuka, tidak akan ada yang melihat apa yang mereka lakukan kecuali jika sengaja ingin mengintip.“Aku balik subuh boleh kan? Masih kangen sama kamu, sama jagoan kecilku ini.”Redita hanya tersenyum dan me