“Hana,” panggil Axel dengan tangan terjulur ke atas ubun-ubun Hana, seakan siap mengambil paku. Gadis yang menjadi sumber tangisan itu langsung menolehkan kepalanya.
“Kamu kenapa nangis?” tanya Axel yang ikut berjongkok sebelah Hana. Melihat hidung dan mata Hana yang memerah membuat Axel mengurungkan niatnya untuk pulang.
Gadis itu malah semakin terisak mendengar pertanyaan Axel.
‘Ah sial, harusnya aku pulang saja,’ sesal Axel dalam hati. “Baiklah kalau begitu aku balik dulu ya,” pamit Axel. Belum sempat lelaki itu berdiri, Hana menahan tangan bosnya sambil tetap menangis.
“Huee...uee..uee,” ujar Hana sambil menggelengkan kepalanya. Persis suara lutung kasarung.
Axel kembali duduk dengan canggung di sebelah Hana. Entah keberanian dari mana gadis itu menahan bosnya, meminta Axel untuk menemaninya. Tapi yang pasti Hana tak ingin sendiri sekarang, hatinya sangat hancur dan dia butuh teman, tak peduli walau temannya itu adalah si Raja Neraka.
“Kamu diputusin pacar?” tanya Axel lagi.
“Huuee...ueee..uee,” jawab Hana tak kuasa berkata-kata kembali masih sambil menggelengkan kepala.
Axel melihat kotak coklat berbentuk love di sebelah Hana.
“Cowok yang kamu taksir nolak coklat dari kamu?”
“Huuee...ueee..uee!”
Karena masih mendapat jawaban tidak dari Hana, kembali Axel bertanya penasaran. “Pacar kamu selingkuh?”
“Huuee...ueee..uee!!”
“Kamu hamil dan pacar kamu enggak mau tanggung jawab?”
“Huuee...ueee..uee!!!!!” tangis Hana makin heboh, ia menggeleng dengan tatapan kesal.
“Ya ngomong Hana! Seinget saya, saya enggak pernah rekrut pegawai bersuara monyet!” balas Axel dengan kesabaran yang tersisa satu persen.
“Ma-maaf,” ujar Hana akhirnya, masih sambil menangis.
Axel menghembuskan napasnya, mencoba menghirup udara agar sisa kesabarannya kembali bertambah. “Ya sudah saya antar kamu pulang. Hari sudah terlalu malam untuk wanita pulang sendirian,” ajak Axel sembari berdiri dan menyodorkan tangannya untuk membantu Hana bangkit juga.
Tak berapa lama GM perusahaan Harrison Food dan sekretarisnya sudah berada di mobil Ferrari keluaran terbaru itu. Melintasi lalu lintas ibu kota yang masih ramai. Keheningan di sela-sela isak tangis perlahan milik Hana, membuat suasana semakin canggung.
“Maaf, Pak,” ujar Hana dengan suara serak.
“Enggak apa-apa,” jawab Axel singkat.
Hana sedikit tertegun melihat sisi wajah Axel. ‘Hidungnya mancung dengan rahang yang tajam, walau mukanya terlihat tegas, galak dan tampan sekaligus, tapi Raja Neraka ternyata baik juga.’
“Maaf Pak, jadi merepotkan Bapak.”
"Sudah berhenti minta maaf terus," ucap Axel kemudian memamerkan senyum tipis seraya melihat Hana sekilas.
“Bapak mau cokelat,” tawar Hana sembari menyodorkan sekotak coklat saat lampu merah yang membuat kemacetan di jalan ibu kota.
“Bukannya coklat itu sudah ada yang punya?” tanya Axel yang tadi sudah melihat tulisan ‘be my valentine’ di atas kotak. Kotak itu hanya berisi dua cokelat yang terbelah di tengah.
"Yang punya sudah mati!," ketus Hana. "Eh maaf, Pak," sambung gadis berjas merah muda itu, lupa kalau lawan bicaranya adalah bos besar perusahaannya. ‘Hana bego jadi malu sendiri kan, ish!’ rutuknya dalam hati.
Axel malah tertawa lepas mendengar hal itu, yang membuat Hana kembali terpesona melihat pemandangan di sampingnya. ‘Hmm… begini ya kalau tokoh anime ada di kehidupan nyata dan tertawa.’
“Makasi,” ucap Axel seraya mengambil sebuah coklat yang Hana sodorkan. “Sepertinya ini coklat valentine pertama yang aku terima,” lanjut pria bersurai coklat gelap itu kembali memamerkan senyum tampannya.
“Hah?” gumam Hana terlihat tak percaya.
“Iya, saya enggak pernah dapet coklat valentine seumur hidup saya,” ulang Axel. “Menurutmu kenapa?”
‘Oh jelas! Siapa berani ngasih penguasa neraka coklat. Yang ada buruan ketakutan sebelum ngasih coklatnya,’ pikir Hana. Tapi alih-alih mengatakan apa yang dipikirannya, Hana cuma menjawab, “enggak mungkin, bapak kan ganteng.”
Cuping hidung Axel terlihat kembang kempis, tapi tetap dengan ekspresi defaultnya yang tajam dan dingin. “Oia tugas yang saya perintahkan tadi kalau bisa kirim sebelum jam setengah sebelas ya,” titah general manager Harrison Food itu.
“Hah, tapi besok sabtu kan, Pak?”
“Iya, besok sabtu. Terus kenapa?”
“Enggak ada, Pak. Sebelum jam setengah sebelas ya, lagi tiga puluh menit ya Pak?” tanya Hana lagi, terlihat pura-pura bego. ‘Tuh lihat kan, memang Raja Neraka enggak punya simpati. Jelas-jelas aku nangis depan dia, eh malah nagih tugas.’
“Iya, itu aja sudah aku kasih kelonggaran satu jam. Itu lebih dari cukup,” tandas Axel seolah ia baru saja memberikan libur satu bulan pada Hana, dan gadis itu harus berterima kasih padanya.
“Iya, Pak. Terima kasih.”
Suasana kembali hening hingga sampai di gang kosan Hana, gadis itu minta diturunkan di depan gang. Setelah itu Hana mandi, mengerjakan tugas dari bosnya, telat semenit mengirimkan dan ia sudah mendapat spam pesan dari ‘Raja Neraka’. Terakhir Hana tidur dan tubuhnya sudah berubah menjadi bos besarnya itu.
Hana dan Axel sama-sama mengerutkan keningnya mengingat kejadian kemarin malam. Sepertinya mereka melakukan aktivitas seperti biasa dan tidak aneh-aneh hingga membuat mereka berubah seperti ini.
“Di antara semuanya, kenapa aku harus berubah jadi kamu sih?” keluh Axel sambil melihat ke arah tubuh mungil Hana yang sedang ia tempati sekarang.
‘Aku pun Pak, lebih milih jadi power ranger pink ketimbang jadi Bapak,’ balas Hana tapi hanya dalam hati.
Kembali mereka berdua menyantap makanan yang terhidang itu, beberapa wanita curi-curi pandang melihat Axel -yang mana Hana ada di dalam tubuh itu. ‘Ckck, raja neraka ini benar-benar mencuri perhatian tiap wanita. Tapi heran aja sih, kok belum ada kabarnya pacaran. Gay kali ya?’ batin Hana sambil menatap wajahnya sendiri. ‘Ah sial, aku kucel amat sih. Ini teman-teman lihat wajah aku tiap hari stres enggak sih, jelek amat lu Hana,’ batin gadis itu kembali.
Axel masih makan dengan elegan, hingga ia menyadari sesuatu. “Eh jangan-jangan dari makanan lagi kita seperti ini!”
“Maksud Bapak?” tanya Hana balik, dan manik abu terang itu membulat.
“COKLAT!” seru mereka berbarengan.
Segera Hana dan Axel merampungkan sarapan mereka, kemudian bergegas menuju ke tempat Hana memesan cokelat kemarin.“Kamu yakin di sini tempatnya?” tanya Axel ragu.Hana yang berada disampingnya mengangguk, namun raut mukanya terlihat bingung. “I-iya, Pak,” jawabnya. “Tapi kemarin enggak begini tampilan tokonya. Minimalis cantik gitu.”Axel semakin menautkan alis tipis milik Hana. “Minimalis cantik gitu maksudmu seperti rumah hantu yang ditinggal pemiliknya perang pada zaman penjajahan Jepang begitu?” serang Axel sambil menunjuk bangunan tua yang terhimpit di antara tanah kosong. “Bahkan tak ada tetangga, pemukiman paling dekat lima ratus meter dari sini, kamu mau beli coklat valentine atau jampi-jampi jaran goyang sih, Han?”“Ya ampun, Pak. Sirik yang begitu itu. Serius kemarin bentuknya gini di media sosial,” bantah Hana sambil menyodorkan gawainya yang menampilkan sebuah akun.Axel menerima ponsel milik Hana dan menelitinya. “Alamatnya sih benar di sini, eh-.” Axel menscroll tanggal
Axel menelan salivanya, ia masih terpaku menatap layar ponsel.“Kau jawab telepon ini, dan katakan “iya” saja. Jangan berkata hal lain,” perintah Axel sambil menyodorkan gawainya ke arah Hana.Hana tampak bingung, tapi belum sempat ia menolak, Axel sudah menggeser icon di gadgetnya ke arah tombol terima.“Axel,” panggil suara di seberang sana, terdengar keras di dalam mobil ferrari itu, karena Axel menggunakan loudspeaker.Sambil menatap ragu ke arah bosnya, Hana menjawab dengan suara bariton milik Axel. “I-iya?”Axel tampak tegang, dan menatap tajam Hana. ‘Kenapa ia terlihat seperti mendapat telepon dari debt collector alih-alih ayahnya?’ tanya Hana dalam hati.Gerrard Harrison, semua orang tahu kalau ia adalah pebisnis handal yang mengukuhkan perusahaan Harrison menjadi salah satu raksasa bisnis yang bisa bertahan di zaman digital 4.0 ini. Perusahaan keluarga itu turun temurun diwariskan oleh kakek Axel, ke ayahnya Gerrard Harrison, dan tentu saja penerus selanjutnya Axel Harrison.
Axel dalam tubuh Hana terlihat tenang dan sama sekali tidak terkejut dengan pukulan keras ke meja itu. Matanya malah balaa menatap tajam lawan bicaranya. Hana dengan muka yang tertutup masker terlihat memberengut tak suka dengan apa yang terjadi di meja nomor tiga belas.‘Pak Axel ngomong apa sih, sampai Andra marah seperti itu? Ish Pak Axel nyebelin!’Axel tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. “Jadi alasan kamu maafin Hana agar dipinjamkan uang?”“Maksud kamu apa? Kamu minta maaf karena kamu yang salah, kalau pinjam uang itu masalah lain, Han! Aku kan sudah bilang akan ngembaliin sama hutangku yang kemarin-kemarin itu sekalian!”“Oh jadi ini kamu sudah sering minjem?” gumam Axel sambil menaikkan sebelah alisnya. Hal itu disalah artikan sebagai sebuah sindiran oleh Andra. Muka Andra terlihat semakin masam. “Kamu enggak ikhlas selama ini? Kukira kamu gadis baik yang tulus, Han.”Axel sebenarnya tak ingin melanjutkan percakapan ini dan hendak memberikan uang yang sudah diamanatkan
Hana melirik sosok tubuh miliknya yang berada di sebelah dirinya. ‘Wajah milik-ku tampak sangat gugup, bukankah Bos hanya mau ke rumahnya? Harusnya aku kan yang gugup, ini kenapa malah ia yang terlihat begitu?’ Hana kemudian melemparkan pandangan ke arah luar, deretan rumah mewah dan fasilitas umum mahal terlihat di sepanjang jalan. Mobil sport dengan pajak jutaan itu kemudian melewati sebuah portal yang diawasi oleh beberapa satpam. ‘Kita akan masuk hutan?’ batin Hana melihat pepohonan rimbun di balik pagar besi yang dijaga ketat. “Kita sudah sampai kediamanku,” ucap Axel singkat saat para penjaga membuka gerbang besar dengan ornamen huruf ‘H’ yang terlihat sangat mewah. “Hah?” gumam Hana terkejut. “Ini bukan hutan? cagar alam? Ini besar sekali seakan orang-orang di kampungku bisa bedol desa tinggal di sini. Tapi yang mana rumahnya, Bos?” tanya Hana bertubi-tubi, sedikit rasa khawatir terlintas di benak gadis yang berada di tubuh bosnya itu. ‘Jangan-jangan ia niat membunuhku di ten
“HAH?” mata abu cerah Hana langsung terbelalak. Ia langsung tersedak kemudian batuk hebat sambil mencoba menelan kunyahan daging sirloin yang ada di mulutnya. Axel menggeser gelas berisi air putih ke depan Hana. “Aku tidak akan menerima apapun alasan penundaan acara pernikahanmu kali ini, Axel. Keluarga Kalendra Group sudah setuju, begitu pula dengan calon istrimu yang menerima dengan senang hati. Lagipula bukankah kau dan cucu dari presdir Kalendra Group sudah lama terikat dalam hubungan pertunangan. Kau dan Salia Kalendra.” Hana melirik dengan ekor matanya ke arah Axel sebelum menjawab pertanyaan itu. Jika Hana mensyaratkan selalu berkata ‘iya’ pada Axel saat bertemu dengan Andra. Maka berkebalikan dengan saat itu, Axel meminta Hana untuk selalu mengatakan ‘tidak’ pada apa yang akan keluarganya sampaikan. ‘Wah bos bertunangan dengan Salia. Dan sekarang ia yakin mau menolak Salia Kalendra? Bukankah gadis itu artis terkenal dan sangat cantik, muda, dan bahkan punya segudang bakat? A
“Tidak percaya?” tanya Axel sambil memamerkan seringai di bibir tipis milik Hana. Susan dan Gerrard kompak memberikan pandangan aneh yang tentu saja memiliki arti mempertanyakan pernyataan gadis mungil yang sangat tidak sopan di hadapan mereka. Ditambah Hana malah menggelengkan kepalanya. “Kau jangan mengaku-aku sesuka hati ya!” bentak Susan beringas sambil menunjuk muka gadis mungil di hadapannya. Seolah hal sebelumnya masih kurang membangkitkan amarah keluarga Harrison pada sosok Hana -yang dihuni Axel-. General Manager Harrison Food itu malah menarik rahang siku-siku dan mendekatkan bibir tipis Hana kebelah merah miliknya. Sebuah kecupan panas yang membuat kedua insan itu menutup mata mereka sesaat sebelum terjadi. Tentu saja rasanya aneh sekali mencium diri sendiri. ‘Bos sudah gila,’ batin Hana. Namun, detik selanjutnya setelah bibir mereka beradu, rasanya berbeda. Tanpa sadar jiwa mereka telah kembali ke tubuh masing-masing dan ciuman panas itu masih berlangsung di hadapan k
“Andra? Tentu saja, Pak.” “Kau pecinta pria-pria tampan, ya? Baru beberapa menit yang lalu kau bilang mau menjadi sugar mommy ku,” rajuk Axel terlihat pura-pura. “Pak…,” jawab Hana dengan pandangan datar. ‘Asli Pak Bos menggelikan kalau merajuk begitu.’ “Kenapa kau mencintainya?” tanya Axel lagi, masih tampak penasaran. “Andra pernah menyelamatkanku. Ketika itu aku pulang telat dari kantor, dan melewati gang sepi dekat kosanku. Tiba-tiba ada segerombolan pria, tiga atau empat orang yang coba mengganggu. Mereka semua mabuk.” “Kamu lembur? Kapan?” sela Axel memotong cerita Hana. “Waktu pertama kali menggantikan tugas Mbak Sita jadi sekretaris.” “Ah…,” gumam Axel pelan. Ia merasa bersalah, saat itu ia begitu kesal karena Hana yang menggantikan tugas sekretaris lamanya bekerja sangat lambat. Axel ingat melihat sosok gadis itu yang pulang jam setengah satu malam dari balik jendela ruangannya. ‘Harusnya aku mengantarkannya malam itu,’ sesalnya dalam hati. “Salahku, harusnya aku memi
‘Tapi ada gundukan kok, bersyukur Hana setidaknya ada, enggak seperti kemarin.’ Kembali gadis itu meraba perut dan terus turun hingga di antara dua pahanya. “Huft,” gumam Hana kemudian sembari bangkit dari kasurnya. Ia melihat wajahnya dengan rambut kusut masai. “Hallo diriku,” sapa Hana sembari tersenyum pada pantulan cermin. ‘Kemarin bos ngeliat wajahku begini apa enggak mengumpat dalam hati ya?’ Segera gadis mungil itu bangkit dari kasurnya dan menyambut hari senin dengan perasaan ringan bahagia, hal ini tidak seperti biasanya bagi Hana. Senin merupakan hari yang paling ia kutuk setelah liburan menyenangkan di sabtu dan minggu. Dan, bertemu dengan bosnya merupakan hal yang paling menyebalkan dari semua itu. Namun, semenjak kejadian kemarin. Hana menanggapi hari ini cukup berbeda. Gadis dengan rambut panjang hingga sepunggung itu sekarang berjalan ringan menuju lobi kantornya. Seperti biasa Hana menyapa setiap orang di kantor dengan ramah, hingga seorang lelaki memanggil namanya
“Pagi!” Hana menyapa teman-temannya dengan ceria di depan cafetaria. Gadis berkulit putih itu seakan lupa apa yang terjadi dengannya kemarin. Tampaknya Axel yang menghibur Hana semalaman cukup mampu membuat gadis itu berhenti ketakutan.“Hana! Sini kumpul!” panggil Jennie yang langsung melambai-lambaikan tangannya di salah satu pojok favorit mereka di kantin kantor. Seperti biasa mereka melakukan ritual pagi hari, apalagi kalau bukan sarapan bareng.Hana langsung memesan teh kembang telang di kasir sebelum berjalan ke tempat teman-temannya berada.“Eh kamu kok jarang sarapan sih, Han? Beberapa hari terakhir ini aku lihat? Diet ya?” tanya Jennie perhatian, sesaat sebelum Hana merebahkan bokongnya di kursi.“Eh, ah iya.” Hana terlihat bingung menjawabnya. Jennie dan teman-temannya saja yang tidak tahu kalau setiap pagi ia selalu sarapan tepat jam enam bersama bos besar perusahaan ini. Axel memang setertib itu kalau urusan makan. ‘Tapi kenapa ia malah makan steak malam-malam denganku k
“Siapa yang mereka maksud dengan pedagang bakso boraks! Tuduhan macam apa itu!” teriak Axel kesal. Selama ini, pria itu bahkan selalu menghindari makan daging yang dicampur tepung yang dibentuk bulat itu. Hal itu semata-mata agar tubuhnya tetap atletis. Bagaimana mungkin sekarang seseorang membuatkannya skandal dengan pedagang bakso? Sudah begitu pedagang bakso borak pula!“Aku akan menuntut media ini karena telah menyebarkan hoax,” geram Axel. Tapi belum sempat ia membuka kunci ponsel pintarnya. Sebuah video diputar dalam acara gosip itu.Tampak Salia yang sedang berjalan di selasar apartemen yang sangat Axel hafal sekali karena itulah jalan yang selalu ia lewati setiap pulang dan pergi dari apartemennya.Sampai pada adegan Salia membeberkan bahwa dirinya sedang menuju kediaman tunangannya membuat Axel mengumpat pelan. "Sialan! Aku bahkan sama sekali tidak ada niat untuk melanjutkan hubungan ini."Video yang masih terputar di ponsel Hana pun berlanjut dengan adegan Salia mengetuk pin
Hana langsung membanting pintu apartemen Axel hingga menutup, segera gadis itu juga mengunci rapat akses keluar masuk kediamannya sekarang. Hal itu sontak membuat gadis berambut ungu yang berada di balik pintu itu semakin murka dan menggedor-gedor dengan ganas. Terdengar suara teriakan-teriakan Salia. Gadis yang berprofesi sebagai artis itu kemudian menghadap kamera dengan wajah yang basah karena air mata. “Aku diselingkuhi, guys. Ini salahku kah? Ah, tentu saja salahku. Apa kalian melihat wanita itu? Aku atau dia yang lebih cantik menurut kalian?” Salia membaca komentar-komentar yang berseliweran di layar media sosialnya. “Ah aku seperti malaikat menurut kalian, dan wanita barusan seperti pedagang bakso boraks. Kita tidak boleh seperti itu, para KUMIS. Jangan body shaming walau dia lebih jelek, pendek, bulat seperti tahu bulat digoreng dadakan kita tidak boleh menjudge seseorang.” “Ah malaikat sepertiku kenapa diselingkuhi kata kalian? Mungkin aku tidak lebih baik dari gadis itu,”
“Hai guys! Para KUMIS ngapain nih di malam ini? Sudah makan belum? Di temenin siapa? Sendirian dong, kalau ada yang nemenin Salia sedih nih,” ucap gadis berparas cantik dengan tinggi semampai pada sebuah benda pipih yang dipegang oleh seorang wanita yang mengikutinya sejak tadi. “Mundur,” Salia memberikan kode pada asistennya itu dengan tatapan mata. Tapi Ratna -si asisten tak mengerti-. Gadis berambut ungu kembali tersenyum pada kamera. “Sebentar teman-teman ada yang meminta tanda tangan nih,” ucapnya padahal mereka ada di parkiran mobil yang sepi dan tak ada seorang pun kecuali mereka berdua. “Jangan terlalu dekat! Aku enggak mau hidungku terlihat besar! Dan pakai filter untuk panas terik, kalau filter yang ini membuatku terlihat pucat karena ini khusus filter saat cuaca turun hujan dan di tempat yang sedikit pencahayaan. Gimana sih? Masa setting filter saja enggak bisa! Terus kalau ada orang lain, alihkan kameranya biar enggak kena filter! Jadi enggak kelihatan aku pakai filter! D
"APA!" jerit Hana yang langsung otomatis berdiri. Ia bahkan menyenggol es timunnya hingga jatuh mengenai Zidan."Hana elu ah bar bar betul!" protes Zidan yang bajunya terkena tumpahan es timun."Sama siapa Kak Zidan?" tanya Elira yang dari raut mukanya juga tak kalah terkejutnya dengan Hana."Sama… emak gue!" jawab Zidan yang langsung mendapat hadiah berupa toyoran kepala dari Jennie sebagai reaksi atas jawaban Zidan itu."Kamu yang benar saja! Sudah buat kaget tahu!" cecar janda beranak tiga itu."Ish becanda, Mbak. Raja Neraka sudah nikah sama Salia itu sudah pasti, siapa lagi? Kita tinggal tunggu saja mereka go publik. Paling sebentar lagi.""Kenapa mereka belum umumin tapi ya?" tanya Elira sembari melirik penasaran ke arah Hana. "Apa ada hati yang harus dijaga?""Oh tentu! Sebagai seorang artis, Salia kan punya banyak penggemar. Mungkin menunggu momentum yang tepat biar para fans tidak kecewa terlalu berat," jawab Zidan terkesan bijaksana. Zidan sebagai salah satu admin fanbase t
“Dia tidak ada kaitan dengan hal ini,” geram Axel dengan tatapan tajam. Zidan saja yang berada di samping pria tampan itu bergidik ketakutan.“Luar biasa, kau yang ku kenal selalu hati-hati sekarang malah kecolongan seperti ini,” ucap Gerrard kemudian tertawa meremehkan. “Aku akan tetap mengusut hal ini Axel, kau terlalu cepat sepuluh tahun untuk menggurui ku hanya karena ibuku berpihak padamu.”“Bukankah kau sudah melihat sendiri laporan keuangan itu? Bersih!”Gerrard menaikkan sebelah alisnya. “Hanya ada satu syarat Axel agar aku tidak lagi membahas hal ini. Kau tahu kan bagaimana aku mengusut sesuatu hingga aku mendapatkan apa yang aku inginkan? Lubang semut pun akan ku gali.”“Bahkan lubang pantat pun akan kau masuki jika perlu,” ejek Axel. Zidan nyaris tertawa saat mendengar bosnya membalas perkataan Gerrard seperti itu.Axel kemudian menyerahkan laporan keuangan itu ke pangkuan Zidan. “Kembalikan pada tempatnya,” perintah Axel, hal itu sekaligus sebuah bentuk pengusiran halus pa
“Bapak tahu kan maksud kiasan itu,” bantah Hana kesal. “Kamu pikir saya suka sama siapapun bahkan kambing? Wah, saya tersinggung jika kamu berkata seperti itu Han!” “Ya, menurut Bapak, apa lebihnya saya yang membuat Bapak tertarik? Enggak ada kan?” tanya Hana dengan kesal menatap bosnya. “Jadi kamu kambing?” Zidan yang dari tadi ingin masuk ke ruangan Axel jadi menarik ulur niatnya karena mendengar Hana dan Axel di dalam teriak-teriak perkara kambing. ‘Ini mau akikahan apa bagaimana? Kenapa bahas kambing sampai segitunya?’ “Permisi Pak,” ucap Zidan akhirnya memberanikan diri untuk masuk. “Ada Pak-.” “Kambing! Siapa suruh kamu masuk?” hardik Axel yang malah melemparkan kemarahan pada Zidan. Ah, bukan. Ia juga kesal sedari tadi pada lelaki tambun yang merupakan sekretarisnya itu. “Ma-maaf, Pak,” ucap Zidan ketakutan sambil tertunduk-tunduk. “Ada tamu, Pak.” “Kenapa enggak bilang dari tadi!” ucap Axel dengan nada ketus. ‘Yeu, belum juga gue ngomong sudah dipanggil kambing, bias
“Kita ngapain semalam?” Tampak lipatan di antara kedua alis Axel sebelum laki-laki itu tersenyum samar. “Menurut kamu ngapain?” "Saya nanya. Kenapa malah Bapak balik nanya?" Hati Hana sudah dongkol maksimal kali ini. Ia lupa lelaki lawan bicaranya merupakan bos besar, kreditur, juga suami sahnya. "Bukannya kamu sudah bisa simpulin sendiri kita ngapain semalam? Bahkan kamu kan sudah cerita dengan leluasa masalah ranjang sama rekan kerja." "Maksudnya?" Hana kebingungan. "Tadi saya dengar kamu bahas masalah ini sama Zidan, bahkan dia juga ngasih testimoni buat kamu kan? Kamu bisa naikin nafsu dia," jelas Axel. “Enggak nyangka saja sih pembahasan karyawan perusahaan ini semenjijikan itu, bahkan bisa membahas masalah ranjang dengan santai. Yah walau kamu hanya wanita yang menikah di atas kertas tapi kenapa itu menjijikan sekali, ya. Apa kamu biasa membahas hal itu dengan lelaki?” Suasana langsung hening dan canggung sesaat setelah Axel berkata seperti itu. Mereka berdua masih menatap d
Zidan langsung berlari panik ke tempat Axel berada. Kemudian pemandangan pria tambun itu tampak sangat menyedihkan dimarahi sebegitu rupa oleh General Manager Harrison Food. Sembari tertunduk-tunduk Zidan dengan langkah gontai mengikuti Axel, sedangkan lelaki itu menatap Hana dengan tatapan tajam sebelum berpaling naik ke ruangannya yang berada di lantai atas. “Raja Neraka kenapa dah? Makin hari makin serem saja,” celetuk Jennie sambil bergidik. “Dia enggak marah sama kita juga kan? Tatapannya membunuh banget tadi.” Hana menggeleng menjawab pertanyaan Jennie. ‘Kenapa ia harus marah sama kita? Tepatnya aku? Aku enggak salah kan? Apa semalam aku yang malah memaksanya meniduriku? Lagipula ini kan karena minuman dari Nenek? Masa aku yang salah? Itu kan Neneknya!' Hana menggeram kesal karena pikirannya sibuk dengan berbagai macam pertanyaan. Akhirnya ia memutuskan akan berbicara dengan Axel sesegera mungkin, karena hanya lelaki itu yang bisa menjawab segala pertanyaan di kepalanya. “Mau