Nah kan Zidan makin salah paham
“Bos… jangan, Bos,” ucap Zidan lirih sambil mencengkram kerah bajunya begitu erat. Takut jika bosnya menyerang tiba-tiba dan membuka pakaiannya. “Astaga! Apa sih yang kamu pikirin, Dan!” bentak Hana kesal. “Pinjam bajumu sebentar! Celana juga!” “Tapi- tapi,” tolak Zidan yang langsung bersandar pada pintu ruang kerja General Manajer Harrison Food. Lelaki tambun itu sudah siap melarikan diri, tapi juga takut kalau hal itu menyebabkan ia dipecat kemudian hari. ‘Antara harga diri dan pekerjaan, aku harus pilih yang mana?’ tanya Zidan dalam hati, bulir-bulir keringat membanjiri jidatnya. “CEPAT!” perintah Hana menggelegar. Ia juga panik jika tidak segera melaksanakan perintah Axel bisa-bisa dirinya yang dipecat. Apalagi ia sempat tertidur tadi. Serta merta Zidan langsung membuka kemeja dan celananya begitu mendengar bentakan dari Hana. Sembari ketakutan ia menyerahkan pakaian itu pada Hana, kemudian kembali berdiri ketakutan di pojok ruangan. Hana yang hendak membuka kemeja dengan akse
Setengah berlari usai membayar taxi online yang barusan ia pesan. Hana sekarang sedang berada di lobby hotel Kaliendra cabang Majapahit. Kembali Hana mencoba menghubungi ponsel Axel tapi tak juga terhubung. “Pak Axel,” sapa seorang resepsionis begitu ramah pada Hana. “Anda kemana saja? Nona Salia tadi mencari Anda, tapi sekarang Nona sudah pulang.” “Ah iya tadi aku beli kuaci,” jawab Hana sekenanya yang langsung membuat pegawai wanita di hadapannya itu tersenyum dengan raut muka bingung. “Kami semua bingung karena Anda tiba-tiba saja menghilang dari kamar yang sudah dipesankan untuk Nona Salia dan Anda, Tuan,” lanjut resepsionis itu. Kemudian ia menyerahkan ponsel dan dompet milik Axel. “Ini tadi tertinggal di kamar.” Hana menerima ponsel dan dompet itu dengan bingung. ‘Jadi bos tidak membawa dua hal penting ini? Mereka habis ngapain sih, siang bolong pesan satu kamar berdua. Apa benar yang dikatakan Hilda. Pak Bos sedang ditunjukkan ‘jalan yang lurus’ oleh Salia? Tapi kan Bos jug
Axel sudah tak sadarkan diri saat Hana membawanya ke apartemennya. Untung saja lelaki itu sudah mengatakan gedung dan lantai juga kamar berapa tepatnya Bos Hana itu tinggal. Dan hal itu tidak susah bagi Hana, tentu saja karena Axel akan tinggal di gedung utama yang paling mewah dengan ukuran kamar yang lebih bisa dikatakan aula ketimbang sebuah kamar apartemen studio biasa. Hana tersenyum pada security yang menjaga gedung lantai bawah tempat Axel tinggal. Satpam itu tampak tersenyum bingung, sepertinya ini kali pertama Axel memberikan senyum pada dirinya. Hana benar-benar terkagum-kagum dengan apartemen milik Axel. ‘Yah tak heran yang menjadi bagian marketingnya saja artis yang sering menjadi mc kondang. Ini apartemen yang diiklankan cicilan cuma tiga miliar sebulan, beli sekarang karena senin harga naik! Dasar orang kaya, aku menjadi buruh pekerja seumur hidup di tambah menjual ginjal kiri kanan juga enggak sampai tuh kebeli apartemen ini.’ Hana tiba-tiba menjadi sedih dengan nasib
Axel berdiri di depan ruangan divisi keuangan tampak bingung. “Kenapa, Han? Lupa dimana mejamu?” tanya Jennie yang menepuk punggung Axel. Benar-benar dapat menebak dengan tepat apa yang sedang Axel pikirkan sekarang. “Eh iya,” jawab Axel jujur yang langsung ditanggapi tawa oleh Jennie. “Lucu deh adek ku yang satu ini,” ucap Jennie sambil mencubit pipi Axel, yang mana langsung ditepis oleh Axel, tapi Jennie tak terlalu menanggapinya. Wanita yang sudah memiliki tiga krucil itu malah menarik Axel ke kubikel milik Hana. “Tumben penampilanmu ‘tomboy’ gitu, Han? Biasanya pakai rok dan sepatu hak biar kelihatan tinggi,” komentar Jennie sambil membetulkan alisnya yang tidak sinkron satu sama lain di depan kaca yang menempel di antara kubikel Hana dan dirinya. Axel mengangkat kedua pundaknya. “Mungkin jiwa kelaki-lakianku akhirnya keluar, Mbak,” jawab Axel yang kembali membuat Jennie tertawa terpingkal-pingkal. Axel menggelengkan kepalanya, masih dengan ekspresi datar khas dirinya. Kemudia
"Hai, kawan-kawan semua," sapa Hana memamerkan senyum yang tak pernah Axel berikan pada siapa pun. Semua mata di cafetaria itu langsung melotot ke arah Hana, terlebih anggota grup pesan 'kerak neraka'. Manik mata mereka seakan-akan sebentar lagi copot dari tempatnya begitu melihat sang pemilik suara yang menyapa mereka barusan. "Pak Axel!" seru Zidan, Hilda dan Jennie berbarengan karena terkejut. ‘Kenapa manusia ini tiba-tiba sangat ramah? Apa ini merupakan sebuah pertanda meteor akan menghantam bumi?’ Begitulah pikir satu persatu anak buah Axel saat ini. "Apa kabar? Baik? Sehat?" tanya Hana terlihat canggung sekaligus ketakutan melihat Axel yang masih menatap tajam dirinya tanpa sekalipun membalas perkataan Hana. "Bu-bukannya Bapak izin enggak masuk kantor hari i-ini ya?" tanya Zidan. Keringat dingin keluar dari tubuhnya karena takut dimarahi karena jam segini ia malah masih sarapan padahal sudah saatnya bekerja. "Bapak istirahat saja di apartemen, Pak. Biar cepat sembuh. Tenang
Axel duduk di meja kerja Hana dan langsung menutupi wajahnya. “Ha…,” desahnya sambil menatap layar monitor. “Aku harusnya memperhitungkan hal ini sebelum meminta dia berganti denganku.” Axel menggelengkan kepalanya, mencoba melupakan ‘rasa’ kecupan yang kemarin ia rasakan berasal dari bibir Hana. Bahkan sekarang pun lidahnya mulai membasahi bibir tipis milik Hana. “Han? Kamu kenapa melet-melet?” tanya Jennie yang bingung dengan tingkah teman sekerjanya. Penasaran cara ular bernapas,” jawab Axel sekedarnya dan langsung membuka mesin pencari di komputer. Jennie hanya mengerutkan keningnya, kemudian mengangkat bahu dan kembali sibuk dalam kubikelnya. Baru saja Axel mengetikan sebuah huruf di mesin pencari, tiba-tiba history pencarian Hana keluar semua. Axel sampai termangu membaca apa yang selama ini Hana cari di depan komputernya. “Apa-apaan ini?” gumam Axel kesal. Ia kemudian mengambil tampilan layar laptopnya dan mengirimkan hal itu pada Hana. [Tak punya niat buruk padaku ya, H
Axel mengintip sedikit dari celah matanya, ia masih mengecup bibir Hana tapi kelopak mata gadis itu masih tertutup. Sambil sedikit tersenyum, Axel menyesap bibir milik Hana kian rakus. Saat gadis itu mulai memundurkan tubuhnya, sang lelaki malah menariknya semakin mendekat hingga Hana akhirnya jatuh ke pangkuan Axel. “Ma-maaf,” ujar Hana panik dengan muka semerah kepiting rebus. Gadis itu serta merta berdiri. “Sa-saya balik bekerja dulu, Raja Neraka,” pamit Hana tanpa sada. “Eh BOS! Pak Axel maksud saya,” lanjut Hana sambil melangkah gusar keluar ruangan. “Hana,” panggil Axel. “Ya?” jawab Hana sembari menatap lantai. Ia tak berani menatap manik abu cerah milik bosnya itu. “Ingat kembali seperti semula, seakan tidak terjadi apa-apa. Begitu pula dengan hubungan kita sebelumnya, hanya atasan dan bawahan. Kuharap kau tak menyebarkan hal privasi apa pun yang terjadi diantara kita Hana.” Hana mengangguk. “Dan satu lagi, hutang pacarmu enggak usah kamu lunasi. Anggap saja itu bayaran ka
Bagai sapi yang dicocok hidungnya, Hana mengikuti dengan patuh langkah Andra ke dalam restoran. Setelah memesan makanan, gadis itu membuka obrolan. “Andra yakin menjadikanku istri?” “Iya Sayang. Aku bahkan sudah mempersiapkan segalanya Han.” “Maksudnya?” Manik mata Hana kian berbinar mendengar pembicaraan tentang masa depan yang sedang dibahas Andra sekarang. “Aku akan membiayai pesta pernikahan kita, membeli rumah sekaligus membangun usaha,” jawab Andra masih dengan seulas senyum manis yang tak pudar sedari tadi dari bibirnya. Hana meneteskan air matanya, terharu. Lelaki di hadapannya mengusap pipi gadis itu seraya berkata, “jangan menangis Hana. Terima kasih telah bersabar dengan segala tingkahku selama ini, aku berjanji akan membahagiakanmu kedepannya. Tentang hutangku aku akan mentransfernya ke kamu setelah aku menjalankan proyek untuk dana masa depan kita, lusa ini, Hana.” “Ini proyek kantor?” tanya Hana, ia tiba-tiba merasa ada sesuatu yang ganjil. “TIdak ini adalah proye
“Pagi!” Hana menyapa teman-temannya dengan ceria di depan cafetaria. Gadis berkulit putih itu seakan lupa apa yang terjadi dengannya kemarin. Tampaknya Axel yang menghibur Hana semalaman cukup mampu membuat gadis itu berhenti ketakutan.“Hana! Sini kumpul!” panggil Jennie yang langsung melambai-lambaikan tangannya di salah satu pojok favorit mereka di kantin kantor. Seperti biasa mereka melakukan ritual pagi hari, apalagi kalau bukan sarapan bareng.Hana langsung memesan teh kembang telang di kasir sebelum berjalan ke tempat teman-temannya berada.“Eh kamu kok jarang sarapan sih, Han? Beberapa hari terakhir ini aku lihat? Diet ya?” tanya Jennie perhatian, sesaat sebelum Hana merebahkan bokongnya di kursi.“Eh, ah iya.” Hana terlihat bingung menjawabnya. Jennie dan teman-temannya saja yang tidak tahu kalau setiap pagi ia selalu sarapan tepat jam enam bersama bos besar perusahaan ini. Axel memang setertib itu kalau urusan makan. ‘Tapi kenapa ia malah makan steak malam-malam denganku k
“Siapa yang mereka maksud dengan pedagang bakso boraks! Tuduhan macam apa itu!” teriak Axel kesal. Selama ini, pria itu bahkan selalu menghindari makan daging yang dicampur tepung yang dibentuk bulat itu. Hal itu semata-mata agar tubuhnya tetap atletis. Bagaimana mungkin sekarang seseorang membuatkannya skandal dengan pedagang bakso? Sudah begitu pedagang bakso borak pula!“Aku akan menuntut media ini karena telah menyebarkan hoax,” geram Axel. Tapi belum sempat ia membuka kunci ponsel pintarnya. Sebuah video diputar dalam acara gosip itu.Tampak Salia yang sedang berjalan di selasar apartemen yang sangat Axel hafal sekali karena itulah jalan yang selalu ia lewati setiap pulang dan pergi dari apartemennya.Sampai pada adegan Salia membeberkan bahwa dirinya sedang menuju kediaman tunangannya membuat Axel mengumpat pelan. "Sialan! Aku bahkan sama sekali tidak ada niat untuk melanjutkan hubungan ini."Video yang masih terputar di ponsel Hana pun berlanjut dengan adegan Salia mengetuk pin
Hana langsung membanting pintu apartemen Axel hingga menutup, segera gadis itu juga mengunci rapat akses keluar masuk kediamannya sekarang. Hal itu sontak membuat gadis berambut ungu yang berada di balik pintu itu semakin murka dan menggedor-gedor dengan ganas. Terdengar suara teriakan-teriakan Salia. Gadis yang berprofesi sebagai artis itu kemudian menghadap kamera dengan wajah yang basah karena air mata. “Aku diselingkuhi, guys. Ini salahku kah? Ah, tentu saja salahku. Apa kalian melihat wanita itu? Aku atau dia yang lebih cantik menurut kalian?” Salia membaca komentar-komentar yang berseliweran di layar media sosialnya. “Ah aku seperti malaikat menurut kalian, dan wanita barusan seperti pedagang bakso boraks. Kita tidak boleh seperti itu, para KUMIS. Jangan body shaming walau dia lebih jelek, pendek, bulat seperti tahu bulat digoreng dadakan kita tidak boleh menjudge seseorang.” “Ah malaikat sepertiku kenapa diselingkuhi kata kalian? Mungkin aku tidak lebih baik dari gadis itu,”
“Hai guys! Para KUMIS ngapain nih di malam ini? Sudah makan belum? Di temenin siapa? Sendirian dong, kalau ada yang nemenin Salia sedih nih,” ucap gadis berparas cantik dengan tinggi semampai pada sebuah benda pipih yang dipegang oleh seorang wanita yang mengikutinya sejak tadi. “Mundur,” Salia memberikan kode pada asistennya itu dengan tatapan mata. Tapi Ratna -si asisten tak mengerti-. Gadis berambut ungu kembali tersenyum pada kamera. “Sebentar teman-teman ada yang meminta tanda tangan nih,” ucapnya padahal mereka ada di parkiran mobil yang sepi dan tak ada seorang pun kecuali mereka berdua. “Jangan terlalu dekat! Aku enggak mau hidungku terlihat besar! Dan pakai filter untuk panas terik, kalau filter yang ini membuatku terlihat pucat karena ini khusus filter saat cuaca turun hujan dan di tempat yang sedikit pencahayaan. Gimana sih? Masa setting filter saja enggak bisa! Terus kalau ada orang lain, alihkan kameranya biar enggak kena filter! Jadi enggak kelihatan aku pakai filter! D
"APA!" jerit Hana yang langsung otomatis berdiri. Ia bahkan menyenggol es timunnya hingga jatuh mengenai Zidan."Hana elu ah bar bar betul!" protes Zidan yang bajunya terkena tumpahan es timun."Sama siapa Kak Zidan?" tanya Elira yang dari raut mukanya juga tak kalah terkejutnya dengan Hana."Sama… emak gue!" jawab Zidan yang langsung mendapat hadiah berupa toyoran kepala dari Jennie sebagai reaksi atas jawaban Zidan itu."Kamu yang benar saja! Sudah buat kaget tahu!" cecar janda beranak tiga itu."Ish becanda, Mbak. Raja Neraka sudah nikah sama Salia itu sudah pasti, siapa lagi? Kita tinggal tunggu saja mereka go publik. Paling sebentar lagi.""Kenapa mereka belum umumin tapi ya?" tanya Elira sembari melirik penasaran ke arah Hana. "Apa ada hati yang harus dijaga?""Oh tentu! Sebagai seorang artis, Salia kan punya banyak penggemar. Mungkin menunggu momentum yang tepat biar para fans tidak kecewa terlalu berat," jawab Zidan terkesan bijaksana. Zidan sebagai salah satu admin fanbase t
“Dia tidak ada kaitan dengan hal ini,” geram Axel dengan tatapan tajam. Zidan saja yang berada di samping pria tampan itu bergidik ketakutan.“Luar biasa, kau yang ku kenal selalu hati-hati sekarang malah kecolongan seperti ini,” ucap Gerrard kemudian tertawa meremehkan. “Aku akan tetap mengusut hal ini Axel, kau terlalu cepat sepuluh tahun untuk menggurui ku hanya karena ibuku berpihak padamu.”“Bukankah kau sudah melihat sendiri laporan keuangan itu? Bersih!”Gerrard menaikkan sebelah alisnya. “Hanya ada satu syarat Axel agar aku tidak lagi membahas hal ini. Kau tahu kan bagaimana aku mengusut sesuatu hingga aku mendapatkan apa yang aku inginkan? Lubang semut pun akan ku gali.”“Bahkan lubang pantat pun akan kau masuki jika perlu,” ejek Axel. Zidan nyaris tertawa saat mendengar bosnya membalas perkataan Gerrard seperti itu.Axel kemudian menyerahkan laporan keuangan itu ke pangkuan Zidan. “Kembalikan pada tempatnya,” perintah Axel, hal itu sekaligus sebuah bentuk pengusiran halus pa
“Bapak tahu kan maksud kiasan itu,” bantah Hana kesal. “Kamu pikir saya suka sama siapapun bahkan kambing? Wah, saya tersinggung jika kamu berkata seperti itu Han!” “Ya, menurut Bapak, apa lebihnya saya yang membuat Bapak tertarik? Enggak ada kan?” tanya Hana dengan kesal menatap bosnya. “Jadi kamu kambing?” Zidan yang dari tadi ingin masuk ke ruangan Axel jadi menarik ulur niatnya karena mendengar Hana dan Axel di dalam teriak-teriak perkara kambing. ‘Ini mau akikahan apa bagaimana? Kenapa bahas kambing sampai segitunya?’ “Permisi Pak,” ucap Zidan akhirnya memberanikan diri untuk masuk. “Ada Pak-.” “Kambing! Siapa suruh kamu masuk?” hardik Axel yang malah melemparkan kemarahan pada Zidan. Ah, bukan. Ia juga kesal sedari tadi pada lelaki tambun yang merupakan sekretarisnya itu. “Ma-maaf, Pak,” ucap Zidan ketakutan sambil tertunduk-tunduk. “Ada tamu, Pak.” “Kenapa enggak bilang dari tadi!” ucap Axel dengan nada ketus. ‘Yeu, belum juga gue ngomong sudah dipanggil kambing, bias
“Kita ngapain semalam?” Tampak lipatan di antara kedua alis Axel sebelum laki-laki itu tersenyum samar. “Menurut kamu ngapain?” "Saya nanya. Kenapa malah Bapak balik nanya?" Hati Hana sudah dongkol maksimal kali ini. Ia lupa lelaki lawan bicaranya merupakan bos besar, kreditur, juga suami sahnya. "Bukannya kamu sudah bisa simpulin sendiri kita ngapain semalam? Bahkan kamu kan sudah cerita dengan leluasa masalah ranjang sama rekan kerja." "Maksudnya?" Hana kebingungan. "Tadi saya dengar kamu bahas masalah ini sama Zidan, bahkan dia juga ngasih testimoni buat kamu kan? Kamu bisa naikin nafsu dia," jelas Axel. “Enggak nyangka saja sih pembahasan karyawan perusahaan ini semenjijikan itu, bahkan bisa membahas masalah ranjang dengan santai. Yah walau kamu hanya wanita yang menikah di atas kertas tapi kenapa itu menjijikan sekali, ya. Apa kamu biasa membahas hal itu dengan lelaki?” Suasana langsung hening dan canggung sesaat setelah Axel berkata seperti itu. Mereka berdua masih menatap d
Zidan langsung berlari panik ke tempat Axel berada. Kemudian pemandangan pria tambun itu tampak sangat menyedihkan dimarahi sebegitu rupa oleh General Manager Harrison Food. Sembari tertunduk-tunduk Zidan dengan langkah gontai mengikuti Axel, sedangkan lelaki itu menatap Hana dengan tatapan tajam sebelum berpaling naik ke ruangannya yang berada di lantai atas. “Raja Neraka kenapa dah? Makin hari makin serem saja,” celetuk Jennie sambil bergidik. “Dia enggak marah sama kita juga kan? Tatapannya membunuh banget tadi.” Hana menggeleng menjawab pertanyaan Jennie. ‘Kenapa ia harus marah sama kita? Tepatnya aku? Aku enggak salah kan? Apa semalam aku yang malah memaksanya meniduriku? Lagipula ini kan karena minuman dari Nenek? Masa aku yang salah? Itu kan Neneknya!' Hana menggeram kesal karena pikirannya sibuk dengan berbagai macam pertanyaan. Akhirnya ia memutuskan akan berbicara dengan Axel sesegera mungkin, karena hanya lelaki itu yang bisa menjawab segala pertanyaan di kepalanya. “Mau