POV Nur Dua Minggu yang lalu ....Hari ini akhir pekan, penghujung hari seperti ini kesibukanku justru bertambah, maklumlah, jika akhir pekan para majikan kami akan memiliki banyak waktu di rumah dan perlu dilayani. Kulihat jam sudah menunjukkan jam empat sore, tetapi kenapa Aina belum juga pulang dari sekolah? Anak itu semakin hari semakin susah dibilangin, aku sangat kuatir, diluaran sana masih berbahaya. Biasanya Aina walau akan bermain keluar paling lambat jam tiga sore sudah pulang.Aku terus berkutat di dapur, cucian piring sudah menumpuk, biasanya Aina yang akan mengerjakan semua ini. Aku baru saja menyelesaikan memasak membuat camilan untuk tuan besar dan istrinya, mereka jika akhir pekan seperti ini akan bercengkrama di meja makan sambil memakan camilan."Kau pulang?" tanya tuan Burhan, sepertinya tuan muda Hasan pulang setelah sepekan tidak terlihat."Ya," jawabnya singkat."Apa sudah selesai Diklat prajabatannya?" tanya Bu Halimah."Belum, masih satu Minggu lagi. Akhir pek
POV Nur"Kalau yang gajinya besar pelayan apa, Mbak?" tanyaku semakin penasaran, sudah terbayang dipelupuk mataku memutus tali kemiskinan yang mendera keluargaku."Apa ya? Mbak gak bisa jelasinnya Nur, soalnya pekerjaannya banyak. Kalau kamu berminat, aku mau kembali ke Jakarta lusa, siap-siap ya ikut sama aku," kata Gendis dengan suara lembut. Ah, Mbak Gendis sudah cantik, baik hati. Itu yang kupikirkan dulu ... yah, dulu ... kini semua pikiran itu berbanding seratus delapan puluh derajat! Aku yang senang mendapat tawaran kerja dari Gendis, segera menemui simbok dan bersiap-siap pergi. Selama dua hari menjelang pergi, aku selalu membicarakan kesuksesan Gendis menjadi seorang pelayan di Jakarta, hingga dia sukses seperti sekarang. Simbok sangat mengkwatirkan aku jika pergi sendiri di kota besar, tetapi Bapak malah senang, tidak ada raut kecemasan di matanya yang ada binar kegembiraan karena putri mereka yang masih berusia lima belas tahun akan menghasilkan pundi-pundi rupiah.Akhirn
POV Aina Hari sudah menjelang malam, aku masih sibuk membantu Bik Parti di dapur ketika mbak Sum datang mencariku dengan sikap tergesa-gesa."Aina, cepat hentikan pekerjaan ini. Kau harus segera membersihkan diri dan berdandan yang cantik.""Memangnya kenapa, mbak?""Bang Sofian memberi perintah!" ujarnya dengan tidak sabar dan menarik tanganku agar segera mengikutinya.Mbak Sum tidak membawa ke bilikku melainkan malah membawa ke bangunan utama. Suasana bangunan utama masih sepi, hanya ada beberapa preman dan pelayan laki-laki yang tengah bersiap menyambut tamu. Di sana juga ada bang Sofian, melihat kami datang, dia segera menyongsong."Cepat segera bersiap. Sum, sudah kau siapkan pakaainnya?" "Sudah, Bang. Ayo, Ai." Mbak Sum menyeret tanganku untuk mengikutinya."Mbak, mbak! Tunggu, mbak! Ini ada apa sih, mbak?" Aku berteriak agar mbak Sum menjelaskan segalanya.Mbak Sum menghentikan langkahnya, dia menatapku dengan bingung, mungkin tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan padaku.
"Sofian! Ini gadis yang kau bilang masih perawan?" seru lelaki itu dengan nada tinggi.Aku yang baru akan duduk di sofa terkejut mendengar perkataannya, sehingga kami mengurungkan niat untuk duduk. "Iya, ini. Namanya Aina ....""Kau mau menipuku atau apa Sofian?" Sepertinya menejer Herman tidak suka dengan barang pesanan yang tidak sesuai keinginannya. Perasaanku tiba-tiba sedikit lebih baik, sudut mulutku berkedekut tak kuasa menolak keinginan untuk tersenyum, aku segera menggigit bibir bawahku untuk menahannya."Barang seperti ini kau minta harga delapan belas juta? Dihargai dua juta saja sudah tidak pantas!" keluh menejer Herman lagi.Kulihat bang Sofian menelan ludah, dia tidak bisa berkata-kata, bukankah sudah kukatakan bahwa aku ini tidak berharga di bisnis seperti ini? Aku lebih berharga jadi tukang cuci piring."Bukankah menejer Herman menginginkan gadis perawan?" tanya bang Sofian kemudian setelah beberapa Jeda terdiam."Iya, tapi yang cantik, dong. Kulitnya harus putih mulu
Mendengar nanti malam akan datang yang akan membeliku, aku seharian duduk lemas di dalam kamar. Bohong jika aku tidak gugup, takut dan waspada. Sudah tiga Minggu tepat aku berada di sini, entah apa yang terjadi sepeninggal aku di sana. Sekolahku bagaimana? Mamak bagaimana? Dito? Apakah cidera Efendi dan Dimas parah? Aku sempat cemas ketika melihatnya berguling-guling ditrotoar menahan rasa sakit. Yang terlebih bagaimana kabar tuan Hasan? Lelaki itu sering datang ke dalam mimpiku, entah perasaan apa yang kupunya untuk lelaki itu, namun melihat kenyataan aku akan dijual, hatiku takut terhadap penilaian tuan Hasan terhadapku. Kenapa aku musti peduli terhadap penilaiannya? Harusnya aku peduli pada diri sendiri sekarang. Jam sudah menunjukkan pukul empat sore ketika aku keluar ke dapur umum untuk mencari makan, aku tidak melihat keberadaan bang Sofian dan beberapa centeng yang biasanya akan berkumpul di beranda bangunan utama. Bik Parti juga tidak ada di dapur, biasanya jika akhir pekan
"Aina! Cepat bersiap! Itu orangnya sudah datang," ujar bang Sofian. "Mana, bang?" sambut Dariyah, sepertinya dia lebih surprise, seolah tamu itu spesial untuknya. "Di depan, masih markirkan mobil," jawab bang Sofian. Semua orang kecuali aku dan perias pergi menghambur melihat tamu itu. Aku tidak antusias sama sekali, lututku bahkan lemas, jantungku dag Dig dug tak menentu. "Wah, Ai. Mobil orang itu bagus banget. Mobil Strada nampaknya," seru mbak Sum ketika kembali ke kamar. Aku mengintip dari celah pintu keadaan di luar kamar. Kehebohan terdengar dari ruang bar, beberapa PSK terdengar berteriak kegirangan, bahkan tamu-tamu yang datang malam ini tidak mereka hiraukan. Aku tidak jelas siapa sosok yang membuat kehebohan tersebut karena terhalang oleh kerumunan para PSK, namun aku melihat sekilas sosok Samadin dan Rozak yang juga berada bersama mereka. Mereka duduk di sofa di dekat ruang kamar yang kutempati sekarang. Mbak Sum mendorongku keluar, namun karena tempat itu tampak penuh
Tiga Minggu tidak bertemu dia tampak sedikit berubah, biasanya dia akan mencukur rambutnya dengan rapi dan klimis, namun kini rambutnya yang hitam lebat itu panjangnya menutupi telinga, poninya yang dibiarkan menutupi dahinya sampai ke alis, dan ada apa dengan suaranya? Aku tidak mengenalinya dari belakang karena suaranya, kenapa menjadi serak? Apakah dia sakit? Melihatnya ada di hadapanku dengan jarak hanya dua meter, membuatku ingin menjerit memanggil namanya dan memeluknya erat, namun tindakan itu hanya ada di khayalan semata, kenyataannya tubuhku terasa beku. Aku hanya menatapnya dengan mata berkaca-kaca, tatapan kami bertaut, aku tidak bisa mengartikan tatapannya, tetapi tatapan itu begitu hangat. Tak kuasa kubendung cairan bening di mataku, aku merindukannya. Seperti mimpi rasanya melihatnya ada di hadapanku sekarang, aku sering memimpikannya, aku meremas jariku mencoba membangunkan kesadaranku sehingga aku sadar bahwa ini adalah realita.Tiba-tiba suasana menjadi hening, tak
Aku segera membuka dompet itu, ada cukup banyak lembaran biru, aku mengambil tiga lembar dan segera keluar kamar.Di lobi motel kulihat beberapa pegawai motel yang tengah bersantai menonton tivi. Aku meminta tolong pada salah satu pegawai untuk membelikan nasi soto atau nasi sop daging dua porsi, aku yakin tuan Hasan belum makan malam, juga memintanya membelikan obat batuk dan flu serta obat pereda demam.Pegawai hotel sepertinya profesional, mereka tidak terlalu kepo dengan hubungan kami, dia melayani kami dengan sangat baik sebagai tamu.Aku kembali ke kamar selagi menunggu pesanan, kulihat tuan Hasan sudah tertidur, namun tidurnya tampak gelisah, suara dengkurannya terdengar tersendat, mungkin karena tenggorokannya berdahak dan hidungnya mampet sehingga tidurnya tidak bisa nyenyak.Aku hanya memperhatikan dia dari tepi ranjang, kulihat di dahinya terdapat bintik keringat sebesar biji jagung, apakah dia benar-benar kesakitan? Aku hanya berani memandanginya, tidak berani menyentuhnya
"Abang, apakah ibu kandung Abang sudah menghubungi?" tanya Ayuni Mereka akan segera kembali ke Jambi untuk melangsungkan pernikahan satu Minggu lagi. "Tidak, kau lihat ... Wanita itu hanya akan menuruti perkataan suaminya, mana mungkin dia mau membelaku, dari dulu seperti itu, dia bucin banget sama suaminya itu, sampai-sampai menelantarkan anak kandungnya sendiri." Fendi menatap langit dengan wajah datar dari jendela apartemennya, dia juga malas sebenarnya menemui wanita yang sudah melahirkannya itu, kalau bukan uwaknya yang menyuruh menemui ibu kandungnya, dia tidak akan pernah pergi ke sana, ke tempat yang selalu membuatnya traumatis tersebut. "Bagaimana dengan ayah kandung Abang? Apakah dia akan datang ke pernikahan kita?" "Lelaki itu tidak bisa diharapkan, apalagi kondisinya sekarang sedang dipenjara. Cukup saja dari pihakku keluarga uwakku dan keluarga Aina." Yah, sudah tiga tahun yang lalu Sardan ditangkap polisi karena mengedarkan narkoba, hukumannya juga tidak main-main,
Kurang dari dua puluh menit, kedua suami istri itu pulang dari sawah, bajunya sudah kotor terkena lumpur sawah. Melihat mobil bagus di halaman rumah mereka, Aminah begitu gugup dan panik."Siapa to lek, tamunya?""Ya, nggak tahu, Min. Dua orang laki-laki sama perempuan muda. Sepertinya mereka suami istri, atau pasangan kekasih, yang perempuan ayu banget, yang laki-laki juga bagus banget. Cepat temui mereka.""Badanku masih kotor Lek, aku mau besihkan badan dulu di belakang," ujar Mardi suami Minah.Mereka buru-buru membersihkan tubuh mereka, mengganti pakaiannya dengan pakaian yang menurut mereka layak.Dengan gugup, suami istri itu datang ke ruang tamu, mereka mendapati sepasang anak muda dengan gaya anak kota yang begitu klimis dan rapi yang sangat asing dipandangan mereka."Eh, ada tamu ... Monggo-monggo, maaf ini tamu dari mana ya?" ujar Mardi dengan gugup.Lelaki paruh baya itu mengulurkan tangan pada Fendi yang dibalas Fendi dengan tatapan dingin. Tangan lelaki itu begitu kasar,
Lima tahun kemudian ....Aina bergegas keluar dari aula gedung Balairung kampus, wajahnya sangat sumringah, dia segera mencari keberadaan keluarganya. Di lihat kedua anaknya yang sangat imut itu berlari ke arahnya."Bunda ...."Aina menangkap dan memeluk kedua anak kembarnya dengan bahagia "Bunda ... Bunda tampak hebat dengan baju ini," kata Amira sambil memainkan rumbai yang menjuntai di bajunya."Ini namanya baju toga, bunda kita sudah jadi sarjana," ujar Ammar kepada adik kembarnya."Jadi ini yang dinamakan baju toga? Topinya sangat bagus," cicit Amira."Anak-anak ... Minggir dulu, ayah belum kebagian pelukan bunda kalian."Kedua anaknya melepaskan pelukan pada ibunya dengan cemberut, ayahnya memang begitu, selalu saja mendominasi bundanya dengan arogan."Ayah! Aku mau sama Bunda!" pekik Ammar."Iya, baru sebentar sama bunda," keluh Amira."Sudah, sana ikut nenek ... Itu nenek mau beli es krim loh," bujuk lelaki itu yang sukses membuat kedua anaknya berlari menghampiri neneknya."
Laura mendesah dengan kuat, menarik napas kuat-kuat. Kenangan berhubungan badan delapan tahun yang lalu masih menggema di telinganya, walaupun pandangannya kabur kala itu, tetapi telinganya masih nangkap suara desahan dan ceracauan dari bibir lelaki itu. "Hmmm, kamu tidak mandi?" Suara itu menyentak Laura, menyadarkannya dari lamunan yang tengah bermain dipikirannya. Lelaki itu sudah selesai mandi, memakai kaos oblong hitam dan celana training. Rambutnya yang basah tengah dikeringkan dengan handuk. Laura tergagap, dia begitu gugup karena mendapati lelaki asing tengah sekamar dengannya. "I ... Iya, saya mau mandi," sambarnya langsung menuju kamar mandi. "Saya mau keluar dulu, sebaiknya kau buka pakaianmu itu di sini, kebaya itu membuatmu ribet kayaknya, setengah jam lagi saya akan kembali," ujar Andika. Lelaki itu langsung keluar kamar, Laura yang tengah mematung memandang kepergian lelaki itu dibalik pintu bergegas membuka pakaian kebayanya dan buru-buru masuk kamar mandi, seten
Laura tidak bisa berkata-kata lagi, dia hanya memandang wajah anaknya dengan tatapan rumit, namun Arsen menatapnya dengan tatapan tajam, dengan mulut kecilnya anak itu menangih janji kepada ibunya dengan tegas seperti rentenir menangih hutang. "Mommy, penuhi Janjimu. Kata guru Arsen, seseorang itu yang dipegang omongannya, berani berjanji, harus bisa memenuhi." Semua orang terkesima mendengar perkataan Arsen, Andika sendiri berdiri dengan takjub, putranya ini ... Benar-benar cerdas dan bijaksana. Laura bingung mendengar permintaan anaknya yang tiba-tiba dan dikatakan di depan umum, dia melihay Dave meminta pembelaan, namun Dave malah mendukung Arsen. Situasi yang begitu canggung tidak bisa dihindari. Karena semua itu juga disaksikan oleh semua orang yang berada di sana. "Laura ... maukah kau menikah denganku? Demi Arsen, dia sangat membutuhkan seorang ayah," ujar Andika mendekati Laura. Laura hanya terdiam, dia tidak tahu harus menjawab apa, ini terlalu mendadak. Dia menatap Dav
"Boy ... Perlu teman untuk bermain?" Arsen menghentikan kakinya yang akan menendang bola, beberapa saat dia terpaku menatap lelaki yang ada di hadapannya. Ouh? Is it a dream? Laura yang tengah menenggak minuman spontan tersedak, dia segera menyemburkan minuman yang berada di mulutnya. "DADDY !!" Setelah menyadari siapa yang berada di dekatnya, Arsen berteriak sekencangnya bahkan berlari sekencangnya menghampiri sosok lelaki yang kini tengah berlutut dengan satu kaki, ta ranselnya masih bersandar di bahunya. Keluarga Laras dan keluarga Dodi telah selesai pertemuannya, mereka mengantar orang tua Dodi ke halaman. Ketika mendengar jeritan Arsen yang begitu kencang, semua orang menoleh ke halaman samping di mana ada lapangan futsal. Dave terkejut melihat pemandangan tersebut, seorang lelaki yang telah membuatnya kuatir selama ini tengah memeluk cicitnya, bahkan bocah lelaki itu menangis tersedu-sedu dipelukan lelaki itu. Tanpa pikir panjang, Dave langsung menghampiri ayah dan ana
Kejutan demi kejutan membuat hidup Hasan dan Aina bertambah tambah rasanya, baru saja Dodi Rosadi, teman akrab Hasan ketika SMA dulu mengungkapkan lamaran kepada ibu dan pakdenya Laras di depan keluarga besar, hal itu tentu saja membuat Hasan memeluk temannya itu dengan erat. "Akhirnya kita sodaraan juga, Bro." "Ingat, tambah lagi satu kakaknya Aina, biarpun kakak sepupu, jadi jangan macam-macam kau ya?" ancam Dodi membuat semua orang tertawa. "Sayang, Fendi gak ada di momen indah seperti ini, harusnya kita punya formasi yang lengkap," ujar Syarif. "Iya, ini ayah. Member tugas kakak Aina kok begitu amat," Jawab Steven. "Aish, gak usah kuatir. Nanti Fendi kupanggil ke sini, dijamin besok pagi sudah ada di sini," jawab Dave sambil mencebikkan bibirnya Ayuni yang mendengar itu wajahnya langsung tersenyum sumringah, Duh ... Jadi ingat waktu momen pernikahan Steven dulu, saat itu ciuman pertamanya bersama kekasihnya itu. "Besok pernikahan akan digelar di mana?" tanya Nur kepada Lar
Lelaki itu buru-buru keluar dari pesawat yang membawanya hingga ke daerah ini, tempat yang dia tandangi hampir dua puluh tahun yang lalu, namun dia tidak akan lupa di mana alamat kakak kandungnya itu berada walau sang kakak kini sudah tiada. Dia sengaja mencari penerbangan paling pagi dari Singapura ke Jakarta, dilanjutkan dari Jakarta ke Jambi, karena memang belum ada penerbangan langsung dari Singapura ke Jambi.Dia tidak bisa menunda lagi untuk bertemu seseorang yang begitu penting dalam hidupnya, pertemuannya dengan Fendi tadi malam sungguh merupakan pertemuan yang sangat mengejutkan. Andika sebenarnya enggan bertemu secara pribadi dengan pemuda itu, jika Fendi tidak setengah memaksanya. Pemuda itu mengajaknya ke taman Merlion, duduk di bangku taman sambil memandangi patung kepala singa di hadapannya. "Senang bisa bertemu dengan orang yang saya kenal di negeri asing seperti ini," ujar Fendi mengawali percakapan."Sedang apa kamu di sini?" tanya Andika."Ada urusan bisnis. Pak D
"Good morning, Profesor." Sebuah sapaan bersahutan di dalam gedung itu ketika seseorang memakai kemeja putih dan celana bahan hitam datang menuju ke sebuah ruangan, kaca mata berbingkai emas yang bertengger di atas hidung lelaki itu menambah kesan dingin dan sulit untuk didekati."Morning," jawab lelaki itu singkat."In here, Prof," seru seseorang dengan seragam security menunjukkan jalan pada lelaki itu.Beberapa pria berjas hitam berjalan tegap di belakang lelaki itu, kaca mata hitam yang bertengger di setiap lelaki berjas hitam itu menambah seram penampilannya."Halo, profesor Andika Ibrahim Luthfi. Welcome, welcome," ujar seorang pria berkepala plontos memakai kemeja biru polos."Apa ini yang dimaksud dengan ruangan rahasia? Kenapa tidak terlihat rahasia sama sekali?" tanya lelaki itu dengan bahasa Inggris."Tentu rahasia yang dimaksud bukan rahasia tidak terlihat, semua ruangan ini adalah penyamaran, tidak ada yang tahu apa yang terjadi di dalamnya.""Oke, tunjukkan aku."Pria b