Hasan kembali linglung mencari istrinya, sedangkan Fendi yang dimintai tolong untuk mencarinya malah ikutan menghilang. Waduh, kalau begini harus bertanya satu persatu pada semua orang. "Nis, kau melihat Aina?" "Tidak, Bang." "Memang ke mana Aina?" tanya Haris. "Gak tau nih, dari tadi menghilang." "Ya sudah, cepetan bantu cari!" Haris dan Anisa tidak bisa menolak permintaan abangnya, lelaki itu suka sadis kalau memarahi adik-adiknya, lebih baik turuti saja apa maunya. "Kau mencari Aina?" tanya Duke yang melihat Hasan dari tadi mondar-mandir tidak karuan. "Ah, iya, Kak. Apa Kak Duke tahu di mana dia?" "Oh, dia sedang di kamar lantai dua menemani Arsen." Hasan segera berlari ke lantai dua dengan mengumpat tidak henti-hentinya. "Dasar kau Arsen! Kecil-kecil sudah membuatku geram kau ya? Berani-beraninya kau mengajak tidur istri orang! Dasar bocah gak punya akhlak!" Sesampainya di kamar tersebut, Hasan membelalakan matanya melihat adegan tersebut, Aina dengan lelap tidur di seb
Tujuh bulan kemudian .... Hasan buru-buru membawa Aina ke rumah sakit, dari pagi istrinya ini sudah mengeluh sakit pinggang, semakin ke sini semakin terasa sakitnya, bahkan perutnya mulai terasa sakit dan mules. Hari ini Hasan memang sengaja tidak masuk kerja, dia terima menemani istrinya takut ada apa-apa, karena Minggu ini memang HPL Aina, kata bidan yang memeriksa dahulu kalau gak maju seminggu bisa terlambat seminggu. Sebagai suami, Hasan bukan saja suami siaga, tetapi suami yang sangat protektif terhadap istrinya. Aina tidak begitu mengalami kesulitan saat menjalani kehamilan, ada suaminya yang siap menjaganya, jika Aina merasa lelah, Hasan siap memijit kakinya atau bahu wanita itu. Hasan juga yang setiap hari membuatkan susu ibu hamil untuk istrinya, rasa cintanya kepada istri dan calon buah hatinya lelaki itu tunjukkan dengan sempurna, membuat istrinya begitu bahagia menjalani kehamilan ini. "Sudah pembukaan delapan, Pak. Siap-siap ya, sebentar lagi," ujar dokter wanita yang
Hasan mengadzani anak perempuannya dengan terharu, bagaimana dia dan Aina selalu mendebatkan jenis kelamin anaknya dulu."Abang inginnya anak cewek sih, bisa menjadi teman di kala tua nanti," ujar Hasan ketika Aina tengah hamil."Kalau aku maunya anak cowok, bisa membela ibunya kalau disakiti ayahnya.""Eh? Memangnya siapa yang akan menyakitimu, Sayang?""Ya, ke depannya kita gak tahu kan, perjalanan hidup akan seperti apa."Hasan mencium pipi mungil yang masih keriput di kedua tangannya, Allah sungguh maha pengasih dan penyayang, semua keinginannya kini terkabul. Kini mereka memiliki dua anak yang didambakannya juga didambakan Aina. Perjalanan cintanya yang penuh liku bisa mereka atasi bersama, mengingat perjuangannya dulu, kini dia harus banyak-banyak bersyukur, senyum ceria ayahnya yang kini memangku anak yang baru saja dia serahkan itu membuat matanya berkaca-kaca, tidak menyangka ayahnya akan bersikap demikian, padahal dulu dia yang paling menentang. Benar, kata Aina ... Tidak ak
"Good morning, Profesor." Sebuah sapaan bersahutan di dalam gedung itu ketika seseorang memakai kemeja putih dan celana bahan hitam datang menuju ke sebuah ruangan, kaca mata berbingkai emas yang bertengger di atas hidung lelaki itu menambah kesan dingin dan sulit untuk didekati."Morning," jawab lelaki itu singkat."In here, Prof," seru seseorang dengan seragam security menunjukkan jalan pada lelaki itu.Beberapa pria berjas hitam berjalan tegap di belakang lelaki itu, kaca mata hitam yang bertengger di setiap lelaki berjas hitam itu menambah seram penampilannya."Halo, profesor Andika Ibrahim Luthfi. Welcome, welcome," ujar seorang pria berkepala plontos memakai kemeja biru polos."Apa ini yang dimaksud dengan ruangan rahasia? Kenapa tidak terlihat rahasia sama sekali?" tanya lelaki itu dengan bahasa Inggris."Tentu rahasia yang dimaksud bukan rahasia tidak terlihat, semua ruangan ini adalah penyamaran, tidak ada yang tahu apa yang terjadi di dalamnya.""Oke, tunjukkan aku."Pria b
Lelaki itu buru-buru keluar dari pesawat yang membawanya hingga ke daerah ini, tempat yang dia tandangi hampir dua puluh tahun yang lalu, namun dia tidak akan lupa di mana alamat kakak kandungnya itu berada walau sang kakak kini sudah tiada. Dia sengaja mencari penerbangan paling pagi dari Singapura ke Jakarta, dilanjutkan dari Jakarta ke Jambi, karena memang belum ada penerbangan langsung dari Singapura ke Jambi.Dia tidak bisa menunda lagi untuk bertemu seseorang yang begitu penting dalam hidupnya, pertemuannya dengan Fendi tadi malam sungguh merupakan pertemuan yang sangat mengejutkan. Andika sebenarnya enggan bertemu secara pribadi dengan pemuda itu, jika Fendi tidak setengah memaksanya. Pemuda itu mengajaknya ke taman Merlion, duduk di bangku taman sambil memandangi patung kepala singa di hadapannya. "Senang bisa bertemu dengan orang yang saya kenal di negeri asing seperti ini," ujar Fendi mengawali percakapan."Sedang apa kamu di sini?" tanya Andika."Ada urusan bisnis. Pak D
Kejutan demi kejutan membuat hidup Hasan dan Aina bertambah tambah rasanya, baru saja Dodi Rosadi, teman akrab Hasan ketika SMA dulu mengungkapkan lamaran kepada ibu dan pakdenya Laras di depan keluarga besar, hal itu tentu saja membuat Hasan memeluk temannya itu dengan erat. "Akhirnya kita sodaraan juga, Bro." "Ingat, tambah lagi satu kakaknya Aina, biarpun kakak sepupu, jadi jangan macam-macam kau ya?" ancam Dodi membuat semua orang tertawa. "Sayang, Fendi gak ada di momen indah seperti ini, harusnya kita punya formasi yang lengkap," ujar Syarif. "Iya, ini ayah. Member tugas kakak Aina kok begitu amat," Jawab Steven. "Aish, gak usah kuatir. Nanti Fendi kupanggil ke sini, dijamin besok pagi sudah ada di sini," jawab Dave sambil mencebikkan bibirnya Ayuni yang mendengar itu wajahnya langsung tersenyum sumringah, Duh ... Jadi ingat waktu momen pernikahan Steven dulu, saat itu ciuman pertamanya bersama kekasihnya itu. "Besok pernikahan akan digelar di mana?" tanya Nur kepada Lar
"Boy ... Perlu teman untuk bermain?" Arsen menghentikan kakinya yang akan menendang bola, beberapa saat dia terpaku menatap lelaki yang ada di hadapannya. Ouh? Is it a dream? Laura yang tengah menenggak minuman spontan tersedak, dia segera menyemburkan minuman yang berada di mulutnya. "DADDY !!" Setelah menyadari siapa yang berada di dekatnya, Arsen berteriak sekencangnya bahkan berlari sekencangnya menghampiri sosok lelaki yang kini tengah berlutut dengan satu kaki, ta ranselnya masih bersandar di bahunya. Keluarga Laras dan keluarga Dodi telah selesai pertemuannya, mereka mengantar orang tua Dodi ke halaman. Ketika mendengar jeritan Arsen yang begitu kencang, semua orang menoleh ke halaman samping di mana ada lapangan futsal. Dave terkejut melihat pemandangan tersebut, seorang lelaki yang telah membuatnya kuatir selama ini tengah memeluk cicitnya, bahkan bocah lelaki itu menangis tersedu-sedu dipelukan lelaki itu. Tanpa pikir panjang, Dave langsung menghampiri ayah dan ana
Laura tidak bisa berkata-kata lagi, dia hanya memandang wajah anaknya dengan tatapan rumit, namun Arsen menatapnya dengan tatapan tajam, dengan mulut kecilnya anak itu menangih janji kepada ibunya dengan tegas seperti rentenir menangih hutang. "Mommy, penuhi Janjimu. Kata guru Arsen, seseorang itu yang dipegang omongannya, berani berjanji, harus bisa memenuhi." Semua orang terkesima mendengar perkataan Arsen, Andika sendiri berdiri dengan takjub, putranya ini ... Benar-benar cerdas dan bijaksana. Laura bingung mendengar permintaan anaknya yang tiba-tiba dan dikatakan di depan umum, dia melihay Dave meminta pembelaan, namun Dave malah mendukung Arsen. Situasi yang begitu canggung tidak bisa dihindari. Karena semua itu juga disaksikan oleh semua orang yang berada di sana. "Laura ... maukah kau menikah denganku? Demi Arsen, dia sangat membutuhkan seorang ayah," ujar Andika mendekati Laura. Laura hanya terdiam, dia tidak tahu harus menjawab apa, ini terlalu mendadak. Dia menatap Dav