Waktu menunjukkan pukul 17:00—jam normal pulang kantor di Denver.Catelyn menghela napas pelan, matanya menatap layar komputer yang kini hanya menampilkan desktop kosong.Ia merapikan berkas-berkas, memastikan tidak ada dokumen yang tertinggal sebelum menyimpannya ke dalam laci. Keyboard didorong ke tempatnya, dan layar dimatikan.Setelah itu, ia membenahi barang-barangnya di kubikel—menyusun kembali alat tulis, merapikan sticky notes yang tertempel di pinggir meja, serta meletakkan mug kopi kosong ke sudut.Biasanya, Catelyn tidak akan pulang sepagi ini.Ia kerap bertahan lebih lama dibanding staf lain, menyempurnakan pekerjaannya dan mempelajari hal-hal baru.Sebagai anak magang, ia tahu posisinya rentan, sehingga ia selalu berusaha memberikan yang terbaik.Namun kali ini berbeda.Pikirannya terlalu kacau.Matanya melirik sekilas ke arah kubikel lain yang sudah mulai kosong. Orang-orang pulang satu per satu, meninggalk
Catelyn meneguk sisa minumannya, merasakan panas alkohol yang membakar tenggorokannya dan mulai menguasai tubuhnya.Kepalanya terasa ringan, dan matanya sedikit berkunang-kunang saat ia meletakkan gelasnya di meja bar. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang masih dipenuhi ucapan Nielson siang tadi."Aku pulang dulu," katanya, suaranya terdengar lebih santai dari biasanya.Levin, sang bartender, meliriknya dengan tatapan skeptis. "Kau kelihatan nggak biasa minum," komentarnya.Catelyn menyeringai kecil, bahunya terangkat santai. "Memang tidak."Bartender itu mendecak. "Kalau begitu, kau salah langkah dengan minum di bar. Kau yakin bisa pulang sendiri?"Catelyn terkekeh, tapi nada tawanya terdengar sedikit lambat. Tangannya berusaha meraih tas, tapi gerakannya agak kurang stabil. "Aku baik-baik saja," katanya meyakinkan. "Ini cuma minuman, Levin. Tidak akan membunuhku."Tatapan Levin masih terlihat ragu, kekhawati
Mereka melewati lorong sempit yang terlihat biasa, tapi Ethan tahu ini bukan lorong sembarangan.Panel kayu di dindingnya terlihat berat dan tertutup dengan sempurna, kemungkinan ada lorong-lorong tersembunyi di baliknya. Aroma tembakau khas memenuhi udara. Di ujung lorong, ada sebuah pintu baja dengan dua pria bersenjata berjaga di depan.Salah satu penjaga membuka pintu.Begitu Ethan melangkah masuk, ia mendapati sebuah ruangan yang jauh berbeda dari bar di luar.Di tengah ruangan, duduk seorang pria dengan jas mahal, dikelilingi tiga wanita penghibur. Mereka tertawa, menuangkan minuman, dan merapat padanya. Tapi begitu melihat siapa yang baru saja masuk, pria itu langsung menghentikan aktivitasnya.Matanya menyipit sebelum akhirnya ia berdiri."Ethan Wayne," katanya dengan senyum kecil yang tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Sungguh kejutan. Aku tidak menyangka kau akan datang sendiri."Ethan tidak bereaksi.Ia hany
Catelyn duduk diam di kursi penumpang, wajahnya sembab. Matanya masih memerah, efek dari sedikit mabuk dan tangisan yang belum lama berhenti.Bayangan kejadian tadi masih menghantui pikirannya. Bagaimana Jeremy hampir menyentuhnya, bagaimana ia terpojok dan tak bisa berbuat apa-apa.Dengan takut-takut, ia melirik ke depan, ke arah pengemudi.Entah siapa pria itu. Ia belum pernah melihatnya sebelumnya.Pakaian pria itu sederhana, seperti seseorang yang berusaha tidak mencolok. Topi gelap menutupi sebagian wajahnya, sementara kemeja hitam kasual yang dikenakannya tampak biasa saja.Namun, di balik tampilan samar itu, ada aura bahaya yang kentara. Postur tegapnya, cara ia menggenggam setir dengan mantap, dan sorot matanya yang tajam—semua itu memberi kesan bahwa pria ini bukan orang biasa.Pria itulah yang tadi menghajar Jeremy. Dalam dua pukulan saja, Jeremy terkapar tak sadarkan diri.Catelyn bergidik mengingatnya. Secepat dan se
Minggu siang terasa begitu kelabu bagi Catelyn.Matahari yang seharusnya bersinar terang di luar jendela apartemennya tidak mampu mengusir gelap yang menyelimuti pikirannya.Ia masih meringkuk di atas ranjang sempitnya, lutut ditarik ke dada, tubuhnya bergetar halus. Dini hari tadi, setelah insiden mengerikan tadi malam itu, ia tidak bisa tidur.Matanya sembab, bekas tangis masih jelas terlihat di wajahnya yang lelah. Semalam adalah mimpi buruk yang tak pernah ia bayangkan akan terjadi dalam hidupnya.Pikirannya terus melayang ke kejadian setelah ia keluar dari Gilded Lounge. Dada Catelyn bergemuruh mengingat bagaimana Jeremy mencoba menyentuhnya dengan paksa.Ia menggigit bibir, menahan sesak yang kembali menyerang.Setiap kali ia menutup mata, bayangan kejadian semalam kembali menerornya.Tidak pernah dalam hidupnya, ia mengalami hal seperti ini.Ia selalu menjaga dirinya dengan baik, bahkan saat bersama Nielson.Meski
Catelyn membeku.Sosok yang berdiri di hadapannya, tinggi dan tegap dengan rahang tegas serta mata biru yang selalu tampak ramah, adalah Ethan.Ethan.Untuk sesaat, Catelyn nyaris tak percaya pada penglihatannya. Ia mengira Ethan masih berada di Madison. Bagaimana bisa pria itu ada di sini?Bagaimana bisa pria ini selalu hadir saat dirinya dalam kondisi terpuruk?“Catelyn―” Bibir Ethan membelah, namun sebelum pria itu sempat menyelesaikan kalimatnya, Catelyn sudah menubruk tubuh Ethan dengan tubuhnya yang lemah.Pertahanannya patah. Tangisnya pecah.Ia tenggelam dalam dekapan Ethan, dadanya bergetar hebat karena ledakan emosi yang tertahan sejak semalam.Ethan menarik napas dalam.Kedua iris birunya menyapu Catelyn yang masih terbenam di dadanya, lalu tubuh mungilnya yang sedikit menggigil.Napas pria tampan itu sesaat tersendat, bukan karena terkejut, tetapi karena amarah yang ia tahan.Catelyn tampaknya tidak terluka, tetapi trauma itu jelas terpampang di wajahnya. Mata merahnya, bah
Ethan mendengarkan dengan saksama saat dokter menjelaskan kondisi Catelyn.“Selain beberapa memar di tangan, bahu, dan punggung akibat benturan, tidak ada luka serius yang perlu dikhawatirkan.”Kedua alis Ethan menurun saat mendengar ada beberapa memar pada tubuh Catelyn. Ia melirik Catelyn yang langsung menghindari tatapan biru Ethan.Dokter itu lalu menambahkan dengan suara tenang, “Jika dia mengalami kesulitan tidur dan terus gelisah, saya sarankan untuk menjalani terapi atau menemui psikolog.”Mendengar itu, Catelyn segera menggeleng cepat. “Tidak perlu,” ucapnya dengan nada tegas. “Aku sehat. Aku baik-baik saja.”Ia tahu rumah sakit ini adalah salah satu yang paling mahal di Denver. Biaya pemeriksaan saja sudah cukup membuatnya cemas, apalagi harus menjalani terapi dengan psikolog. Bagaimana ia akan membayarnya?Ethan, yang memperhatikan perubahan ekspresi Catelyn, langsung memahami kekhawatirannya.Pria itu menoleh ke dokter dan berkata dengan nada santai, “Terima kasih, Paman,
Nielson baru saja mengantar Molly Beckett pulang.Saat hendak berpamitan, ia mendapati Tim Beckett, ayah Molly, duduk di ruang tamu dengan ekspresi serius."Nielson," panggil Tim, membuat langkah Nielson terhenti. "Bagaimana dengan pengembangan konsep yang kau tangani? Sudah dipenuhi ide-ide baru?"Nielson tersenyum kaku, merasakan keringat dingin di tengkuknya. "Saya sedang mengerjakannya, Pak. Mengenai ide... ada beberapa hal dalam kepala saya, tapi belum saya tuangkan dengan benar. Saya masih mencari waktu yang tepat untuk itu."Tim mengangguk kecil, lalu berkata dengan nada tegas, "Kalau begitu, manfaatkan waktu libur seperti ini untuk mulai menuangkan ide-idemu dengan benar.""Tentu, Pak." Nielson mengangguk cepat, merasa gugup.Ia segera berpamitan, tak sanggup jika terus dicecar soal konsep itu.Bagaimanapun, itu bukan hasil pemikirannya sendiri. Konsep itu sepenuhnya adalah milik Catelyn.Begitu Nielson pergi, Nyonya Beckett menoleh pada suaminya dengan tatapan sedikit menghard
“Segera, Tuan.”Rodney mengambil earpiece dari dalam sakunya, menempelkan perangkat itu ke telinganya.Dengan suara singkat dan efisien, ia mengaktifkan saluran komunikasi yang langsung terhubung dengan Axel.“Unit Dua, laporan posisi target.”Suara Axel terdengar dari earpiece, jernih dan tanpa jeda. ‘Target mulai jogging sejak pukul 06.30, rute biasa di taman City Park. Saat ini, ia sedang berada di dalam minimarket Lawson di blok C-12. Membeli beberapa kebutuhan rumah tangga. Saya memperkirakan, setelah ini ia akan menuju Everett’s Bakery di Downtown untuk bekerja, seperti biasa.’Rodney mengangguk tipis sambil menatap Ethan, lalu bertanya lagi, “Status alat komunikasi target?”‘Ponsel tidak terdeteksi. Kemungkinan besar ia tinggalkan di apartemen.’“Copy that.”Rodney menutup komunikasi lalu menoleh pada Ethan.“Nona Adams baik-baik saja, Sir. Masih menjalani rutinitas seperti biasa. Jogging, belanja kebutuhan, dan kemungkinan akan segera bersiap ke Everett’s Bakery, seperti biasa
Ia adalah Arion Ellworth.Sepupu ipar Ethan Wayne, yang juga mantan CEO dari AE Group ―entitas bisnis raksasa yang sejajar dengan Wayne Group― yang juga meninggalkan warisannya, dan hanya fokus pada Triton Land miliknya sendiri.Pria beraura dominan itu berjalan masuk tanpa berkata sepatah kata pun, namun sorot matanya berbicara lebih dari cukup.Ia berdiri tepat di hadapan Ethan dan memandangi Aveline―balita cantik yang masih nyaman di gendongan pria lain. Rahangnya mengeras.“Berikan,” ucapnya singkat.Ethan mengangkat tangan satu-satu. “Whoa, lihat siapa ini… Dadda datang, Ivy!”Seketika, Arion mengambil bayi tiga tahun itu dari pelukan Ethan, sangat hati-hati namun dengan kecepatan yang jelas menunjukkan kekesalan.Bayi perempuan yang dipanggil Ave itu tampak ingin protes, namun langsung tenang saat berada di pelukan ayah kandungnya.Tak lama kemudian, seorang wanita cantik bermata zamrud, masuk dari balkon kecil kamar itu, menutup pintu kaca dan terkekeh pelan melihat ekspresi Ar
Langkah kaki Catelyn menggema di koridor panjang berlapis marmer putih dan cahaya lembut dari lampu gantung kristal.Axel yang awal tadi ada beberapa meter di belakang Catelyn, menghentikan langkah saat melihat gadis itu berbalik dan kini berjalan menuju arahnya.Gadis itu berjalan cepat, hampir berlari, dengan sepasang mata hazelnya yang berkaca-kaca, berkilat dalam redupnya cahaya sore yang menelusup dari jendela panjang di sisi kanan koridor.Gaun rajut berwarna coklat muda yang membalut tubuhnya melambai tertiup gerakan tergesa, dan tas tangan mungilnya bergoyang keras seiring lengannya yang memegang kantong kertas, bergerak gugup.Ia menengadah sejenak, mencoba menahan emosi yang mendesak di balik kelopak mata.Suara itu masih terngiang—suara balita perempuan yang memanggil Ethan dengan “Daddy”. Senyuman Ethan yang berbeda ketika menatap perempuan itu. Dan interaksi mereka.Sesaat kemudian ketika tiba di depan pintu lift di ujung lorong, langkah Catelyn terhenti.Tangannya gemeta
St. Louis.Cahaya lampu gantung berpendar redup, menyoroti meja kayu tua yang permukaannya penuh dengan peta, dokumen rahasia, dan foto-foto satelit hitam-putih.Di tengah ruangan yang diselimuti bau logam dan asap cerutu yang menggantung di udara, seorang pria duduk membelakangi pintu.Sosoknya tinggi, berselimut mantel hitam panjang, dan hanya siluet kepalanya yang tampak dalam pantulan cahaya muram.Langkah kaki terdengar menggema di sepanjang lorong batu sebelum akhirnya berhenti di ambang pintu besi.Pintu itu berdecit pelan saat dibuka, dan seorang pria berseragam hitam masuk, menundukkan kepala hormat."Bos," ucapnya, suara rendah namun terkontrol. "Kami menemukan pergerakan terbaru dari Ethan Wayne."Sosok misterius itu tidak menoleh. Hanya jari-jarinya yang bergerak pelan, mengetuk-ngetuk lengan kursi seolah memberi isyarat agar si pelapor melanjutkan."Belakangan ini dia sering berada di Denver, Colorado. Awalnya kami
Axel tetap dengan wajah datarnya menjawab, “Saya pengawal. Tugas saya memastikan semua berjalan aman.”“Apa kau bercanda? Menguping bukan bagian dari SOP,” sergah Jared.“Keamanan mental majikan juga bagian dari tugas saya,” balas Axel dengan sangat tenang, walaupun matanya sedikit menyipit, berusaha mendengar lebih jelas.Kembali ke dalam ruangan.Catelyn akhirnya menarik diri perlahan dari pelukan Ethan. Wajahnya masih merah, tapi sorot matanya mulai menunjukkan kembalinya akal sehat.“Aku belum memaafkanmu,” katanya tegas.Ethan mengangguk pelan. “Aku tahu. Aku tidak meminta kau memaafkan sekarang. Tapi… aku ingin memperbaiki semuanya.”Catelyn menghela napas. Ia berdiri, menoleh menuju pintu—dan mendapati beberapa siluet dengan posisi mencurigakan.Alisnya langsung mengernyit. Ia melangkah cepat, membuka pintu dengan tiba-tiba.CRAK!Tiga
Tangis Catelyn belum juga reda.Tubuhnya menunduk, memeluk Ethan erat seakan takut pria itu menghilang begitu saja.Wajahnya tenggelam di lekuk leher Ethan yang masih terasa hangat—kehangatan yang entah membuatnya lega atau semakin takut kehilangan.Entah berapa lama ia membeku di posisi itu―dengan bibir terisak yang terus bergetar menyentuh leher Ethan, sampai...“Oh shit! Dia bangkit di tempat yang salah!” ujar Owen spontan tanpa sadar.Catelyn mengerutkan kening, bingung. Lalu perlahan mengangkat wajahnya—dan tepat saat itulah matanya terhenti pada tonjolan mencurigakan di area vital Ethan.Gadis itu membeku.Bibirnya sedikit terbuka.Napas tercekat.Mata hazelnya melebar.Itu... apa... serius?Tonjolan itu begitu nyata, begitu agung, menjulang meski terbungkus selimut putih rumah sakit. Bahkan dalam keterkejutan, wajah polos Catelyn seketika merona.Sebagai gadis yang tak terbiasa dengan ‘pemandangan’ seperti itu, pikirannya langsung kosong.Panas mengalir sampai ke telinganya.D
Langit Denver tampak menggantung kelabu, seperti mencerminkan hati yang kini diliputi badai kecemasan.Di dalam taksi yang melaju membelah lalu lintas siang yang ramai, Catelyn Adams duduk kaku dengan jemari saling menggenggam erat di atas pangkuannya.Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Waktu berjalan terlalu lambat, padahal dadanya berdegup terlalu cepat.Axel membuntuti dari belakang dengan motor sport hitam berplat diplomatik, tapi kehadirannya tak memberi ketenangan.Catelyn menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan air mata yang semakin berat. Namun pikirannya tak bisa berhenti memutar ulang semua kenangan—tentang Ethan Wayne.Tentang pria yang ia kira hanyalah sosok santai penyuka kopi hitam dan roti kismis dengan penghasilan rata-rata.Tentang senyumnya yang ramah, caranya memperlakukan Catelyn penuh hormat, dan kelembutan.Tatapan kedua mata birunya yang selalu hangat.Tentang perhatian-perhatiannya yang selalu nyata. Kata-kata penyemangat yang selalu diberikan
Malam telah jatuh sempurna di langit Denver.Axel berdiri di seberang jalan, tepat di depan bangunan apartemen tua berlantai sekian yang dinding luarnya dipenuhi lumut dan cat mengelupas.Virginia Village memang bukan lingkungan yang mewah. Tapi di sinilah nona Adams—Catelyn—memilih tinggal sekarang. Jauh dari kehidupan nyaman yang dulu sempat disentuhnya saat tinggal di apartemen menengah yang dibeli Ethan Wayne.Ia menunggu dalam diam, memastikan lampu lorong menyala, suara pintu ditutup, dan langkah kaki di tangga perlahan lenyap. Barulah Axel menarik napas panjang, menurunkan hoodie dari kepalanya dan mengeluarkan earpiece kecil dari saku jaket kulit hitamnya yang masih berembun.Sambil menekuk leher dan memutar pundak, ia menekan tombol kecil di sisi earpiece.“Axel to Command. Confirm location. Do you copy?” ucapnya pelan namun jelas.Sebuah jeda. Lalu suara berat yang familiar terdengar di telinganya.‘Rodney here. Status?’Rodney adalah ketua tim pengawal pribadi Ethan Wayne. A
Catelyn keluar dari Everett’s Bakery dengan kantong kertas berisi croissant dan satu slice tart lemon menggantung ringan di tangannya.Ia berjalan dengan langkah ringan, hingga suara langkah samar—yang bukan berasal dari sepatunya—membuat langkahnya terhenti.Bahunya menegang. Sekilas ia menoleh, namun tak melihat siapa pun.Langkahnya bergegas. Jalan kecil itu terlalu sepi. Dan detak jantungnya mulai berdebar keras, memunculkan bayangan lama—saat ia pernah diikuti seseorang di beberapa waktu lalu.Helaan napasnya makin cepat. Ketika ia berbelok dan menunggu di balik dinding.Catelyn tak berpikir dua kali, saat mendengar langkah mendekat―jelas seperti mengikuti dirinya, ia langsung setengah melompat dan mengarahkan semprotan merica ke arah penguntit itu.Sret!Tangannya dengan refleks menyemprotkan pepper spray ke arah sosok itu sambil melangkah mundur panik.Namun sosok tersebut bergerak dengan ketangkasan luar biasa—kepalanya menunduk ke kiri, menghindar sebelum semprotan itu mengen