"Kamu yakin Mbak Sarah bakalan merespon positif?" tanya Aksara sambil menyelipkan rambut di belakang telinga sang istri."Semoga saja. Sudah waktunya Mbak Sarah menemukan kehidupan baru. Move on dari masa lalunya. Enam tahun sudah dia menjadi single parent. Bersama Pak Daniel, mereka bisa saling melengkapi. Fatimah juga punya ayah yang bisa memberinya kasih sayang dan perlindungan. Kalau Pak Daniel mementingkan dirinya sendiri, mungkin ia sudah menikah, Mas. Sekarang dia nggak hanya mencari istri, tapi juga ibu untuk anak-anaknya.""Pak Daniel sering mengajakmu curhat?""Enggak. Baru tadi pagi ngajak ngomong aku mengenai Mbak Sarah. Selama ini kamu komunikasi hanya tentang pekerjaan saja." Marisa diam sejenak, sambil terus menatap wajah berahang kokoh dihadapannya. "Terima kasih karena Mas sudah mempercayaiku selama ini." Senyum Marisa merekah. Aksara mengecup kening istrinya. Bahagia memiliki pendamping seperti Marisa. Yang selalu tersenyum manis saat menyambutnya pulang kerja, meny
"Fatimah!" seru Chika yang melihat kedatangan gadis kecil berbaju muslimah warna soft pink. Di sebelahnya, Sarah memakai gamis warna abu-abu masih mengandeng erat tangannya."Mbak Chika," balas Fatimah tampak girang. Tadi Bundanya tidak bilang kalau mau diajak bertemu dengan mereka. Makanya Fatimah sangat surprise bertemu dengan Chika dan Marcel.Meskipun Marcel tidak menyapa, tapi dia yang lebih dulu menyalami teman barunya. "Duduk sini!" Marcel menepuk bangku kosong di sebelahnya."Fatimah, salim dulu sama Pak Daniel," perintah Sarah.Daniel mencondongkan tubuhnya saat tangan kecil Fatimah terulur hendak menyalaminya. Chika dan Marcel juga melakukan hal yang sama pada Sarah."Maaf, kalau Pak Daniel kelamaan menunggu. Terjebak macet tadi.""Nggak apa-apa. Kamu naik apa tadi?""Naik taksi.""Oke, kalian mau makan apa? Fatimah mau pizza atau burger?" Daniel memandang Fatimah."Burger saja, Pak Daniel." Fatimah menjawab malu-malu. Biasanya dia tidak pernah mau dikasih apapun oleh orang
Chika dan Marcel keheranan saat sang papa mengajak mereka ke mushola. Hal yang tidak pernah dilakukan Daniel sama sekali. Selama ini setiap hari Chika ikut salat Mbak Narsih. Marcel kadang mau kadang juga tidak. Padahal guru mengaji tiap sore datang untuk mengajari mereka.Marcel ikut sang papa masuk ke tempat jamaah laki-laki. Sedangkan Sarah membimbing Fatimah dan Chika ke ruang jamaah perempuan. Musholla penuh oleh pengunjung yang hendak salat maghrib. Karena mukena harus bergantian, akhirnya Sarah, Fatimah, dan Chika tidak bisa ikut salat berjamaah. Tapi Daniel dan Marcel bisa ikut. Laki-laki itu sangat beruntung, karena salat sendirian takut salah gerakan pula.Senja itu, Daniel merasakan kesejukan batin setelah mengalami kemarau panjang. Sujud di atas sajadah telah memberikan ketenangan tersendiri baginya.Selesai salat, Daniel mengajak mereka untuk belanja perlengkapan sekolah. Membelikan tas baru, sepatu, dan alat tulis untuk Fatimah. Meski sudah ditolak oleh Sarah, Daniel te
"Halo, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Maaf, saya gangguin kamu, padahal tadi siang kita sudah ngobrol lama. Karena saya nggak sabar pengen tahu apa keputusan kamu. Mama saya juga barusan telepon untuk bertanya."Sarah mengulum senyum. Sambil melangkah ke dekat jendela kaca di ruang keluarga. Menyibak sedikit gorden dan menatap hujan di luar."Bapak memberikan restunya, Pak Daniel. Saya sudah tanya dan beliau mau ikut saya kalau sudah menikah nanti. Tapi saya tahu, sebenarnya beliau sungkan ikut tinggal di rumah Pak Daniel.""Kenapa harus sungkan. Itu rumah saya pribadi. Hanya ada kita, anak-anak, dan beberapa pekerja di sana. Orang tua saya tinggal terpisah. Tolong yakinkan Bapak.""Insyaallah.""Jadi kamu setuju kalau kita lamaran dan langsung menikah di hari yang sama."Sarah mengangguk. Hening."Kenapa diam. Mbak Sarah, setuju kalau kita lamaran langsung menikah, 'kan?" Daniel mengulang pertanyaan."I-iya, saya setuju," jawab Sarah gugup. Gimana tidak gugup, dia tadi mengang
"Tentang lingkungan tempat tinggalnya. Sarah benar-benar nggak ingin aku datang ke rumahnya. Apa separah itu warga di sana?""Menurut saya begitu, Pak. Itulah kenapa Mas Aksara sampe ngajak saya pindah dari sana. Padahal dia sangat berat meninggalkan mamanya."Daniel heran dengan jawaban Marisa. Sebab selama ini yang ia tahu, wanita itu dan suaminya sangat baik-baik saja. Pasangan harmonis yang membuatnya iri dan cemburu. Aksara sangat perhatian dan tanggungjawab. Bisa dilihat dari cara laki-laki itu menatap Marisa. Lantas apa yang membuat tentangga nyinyir pada mereka sampai harus memutuskan pindah rumah? Bukankah rumah mamanya Aksara sangat luas dan megah."Memangnya ada apa dengan kalian kalau terus tinggal di sana?"Marisa tersenyum. "Ini masalah pribadi, Pak Daniel. Maaf, saya nggak bisa cerita." Tentu Marisa tidak akan menceritakan mengenai permasalahan mereka. Curhat dengan lawan jenis terkadang tidak mendapatkan jalan penyelesaian, tapi hanya akan menimbulkan permasalahan bar
Sarah menahan napas beberapa saat sebelum menghembuskannya dengan hati berdebar-debar. Tangannya saling bertaut menutupi getarnya. Momen seperti ini pernah ia alami delapan belas tahun yang lalu. Ketika ayah Fatimah menikahinya dalam resepsi yang meriah.Sang kakak ipar, istrinya Dirga yang datang bersama suami dan anaknya dari Kalimantan, segera bangkit untuk membimbing adik iparnya berdiri dan menuju tempat ijab qobul di halaman depan, bawah tenda yang telah dihias indah.Para tamu undangan yang notabene para tetangga sendiri, diam seribu bahasa ketika memandang lelaki gagah dengan setelan jas warna putih melangkah dengan wajah cerah memasuki tenda pernikahan, di apit kedua orang tuanya.Kasak kusuk kekaguman terdengar di tengah kaum perempuan yang menghadiri acara. Tak menyangka, Sarah yang janda, pendiam, tertutup, mendapatkan suami rupawan yang sukses dan terlihat sangat matang.Wanita pendiam itu tiba-tiba saja menikah dengan pria yang membuat dada mereka berdesir karena iri. Su
Para tamu undangan juga mengantri untuk mengambil aneka menu yang tersedia. Daniel yang membayar semuanya. Mempercayakan WO untuk mengurusi mulai dari undangan, tenda, konsumsi, MUA, dan baju pengantin mereka. Di sofa yang ada di teras. Keluarga Sarah dan keluarga Daniel berkumpul. Anak-anak juga ceria sambil makan."Titip adik dan keponakan saya, Mas Daniel. Bimbing mereka dan tegur jika melakukan kesalahan." Dirga bicara sambil memandang Daniel yang duduk berhadapan dengannya. Sedangkan keluarga yang lain bersembang sambil makan."Tentu Mas Dirga.""Saya sudah bicara sama Bapak. Saya akan membawa Bapak pulang ke Kalimantan. Mungkin sebulan atau dua bulan tinggal di sana, karena Bapak bilang maunya ikut saya untuk sementara saja. Bapak nggak tega ninggalin Fatimah." Dirga menoleh pada keponakannya yang sibuk makan bersama saudara barunya.Sarah yang berada di sebelah Daniel menunduk. Sedih. Dia tidak ingin berpisah dari bapaknya. Namun saran Dirga, selagi Sarah masih adaptasi dengan
"Mas, sebentar!" Sarah menahan lengan suaminya. Wanita itu menuju jendela kamar, kemudian menarik gorden hingga menutup jendela kaca dengan sempurna. Saat itu mereka menempati kamar lantai dua. Bukan kamar yang pernah ditempati oleh Daniel dan Shela. Tapi satu kamar yang berseberangan dengan kamarnya anak-anak.Kamar yang ditempati Shela dulu dibiarkan kosong. Nanti itu yang akan menjadi kamarnya Chika dan Fatimah. Sementara Marcel akan tidur sendirian. Bocah lelaki itu tidak mau dicampuri lagi oleh saudara perempuannya. "Aku cowok dan sudah besar. Makanya harus tidur sendiri," katanya."Nggak ditutup pun nggak akan ada yang lihat, Bun," ujar Daniel menarik pelan lengan Sarah. Wanita itu manyun sesaat kemudian bisa rileks karena tahu apa yang harus ia lakukan. Melayani lelaki yang kini telah menjadi suaminya. Ayah bagi Fatimah yang terlihat sangat bahagia memilikinya."Aku mencintaimu," bisik Daniel lirih di telinga istrinya. Namun bagai gaung yang membahana merontokkan kisi-kisi ha
Sebagian perempuan pasti suka barang kemas seperti itu. Disamping bisa mempercantik diri dan melengkapi penampilan, perhiasan juga bisa menjadi barang investasi."Tadi niatnya aku yang mau bikin kejutan. Tapi justru Mas yang bikin aku kaget. Malah aku nggak nyiapin kado. Mas, mau kado apa?" tanya Marisa. Kedua tangannya masih bergelayut manja di leher sang suami."Sayang, kamu serius ingin mas memilih sendiri kadonya?"Marisa mengangguk yakin. Apa yang ditakutkan? Toh biasanya mereka akan merayakan hari spesial dengan cara menghabiskan sepanjang malam dalam kemesraan."Pilih saja. Mas, mau kado apa?" Marisa menatap lekat wajah suaminya."Anak," jawab Aksara singkat tapi serius."Apa?""Anak ketiga. Katanya Mas harus milih sendiri. Makanya Mas pilih anak."Senyum Marisa masih bertahan, ia ingin merayu sang suami agar mengganti permintaan. "Coba minta yang lain?""Nggak bisa, Sayang. Mas disuruh milih kan tadi, ya udah mas pilih anak. Tapi kamu nggak boleh curang, nanti diam-diam pakai
Marisa tersenyum ramah dan menyalami Mahika dan keluarganya yang menunggu di meja panjang. Tempat yang telah di booking tadi siang. Aksara juga melakukan hal yang sama. Membimbing kedua anaknya untuk salim pada mereka."Maaf, Mama nunggu lama, ya?" Marisa mencium kedua pipi mertuanya."Enggak. Kami juga baru saja sampai," jawab Bu Arum lirih.Beberapa pelayan restoran menyuguhkan minuman.Aksara dan Marisa duduk bersebelahan. Sedangkan anak-anak duduk bersama Ubed di sebelah Mahika. Si centil Keisya sangat dekat dengan budhenya.Mbak Siti, Mbak Dwi, dan pengasuh Ubed juga ikut duduk bergabung di sana. Bu Arum mengajarkan pada putra-putranya agar tidak membedakan mereka. Makanya mereka pada betah bekerja. Marisa heran karena Aksara diam, tidak juga bertanya sebenarnya mereka ada acara apa. Mungkin sang suami mikirnya hanya makan malam biasa. Tak apalah, bukankah sudah lumrah kalau suami jarang yang ingat dengan momen-momen tertentu dalam hidupnya. Bahkan tanggal lahirnya pun terkadan
"Mbak, aku mau ngajak Mbak Mahika dan Mas Johan bikin surprise untuk anniversary pernikahan kami yang ketujuh."Mahika menatap lekat Marisa. "Hari ini anniversary pernikahan kalian?"Marisa mengangguk. "Sepertinya Mas Aksa lupa sama hari ini. Makanya aku ingin mengajak kalian bikin surprise. Tadi aku sudah telepon Kafe Harmoni untuk booking tempat. Kita dinner malam ini. Aku sudah telepon Mama sehabis makan siang tadi.""Oke, jam berapa nanti?" tanya Mahika."Jam tujuh sampai kafe. Nanti Mbak sama Mas Johan yang jemput mama, ya. Aku langsung ngajak Mas Aksa dan anak-anak ke kafe. Ajak sekalian papa dan mamanya Mbak Mahika."Kebetulan Pak Raul dan Bu Raul memang berada di rumah Mahika sudah dua hari ini. Setelah pensiun, Pak Raul memang lebih sering datang ke Surabaya. Sebab cucu-cucunya di Jombang sudah pada besar-besar semua. Sibuk sendiri dengan kuliahnya. Jadi hanya Ubed yang menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Terlebih jika anak-anak Aksara ada di sana juga.Mahika mengangguk.
Hafsah tersenyum dengan gaunnya yang menerawang. Hadiah dari Kholifah. Beberapa saat dia mematung di kamar mandi. Memperhatikan penampilan barunya. Cantik juga dia memakai gaun kurang bahan itu."Pakailah nanti di malam pengantinmu. Membahagiakan suami pahalanya besar. Kamu pun tahu hal itu. Jadi nggak perlu Mbak perjelas," pesan Kholifah kemarin sore. Ketika baru tiba dari Jember dan menemuinya di kamar.Kholifah lah yang berhasil membuka minda Hafsah. Memarahi juga menasehati. Kholifah berceramah panjang lebar, banyak pandangan, hadist nabi yang di sampaikan dengan segala pemahaman. Baru dengan sepupunya itu hati Hafsah terbuka.Sedangkan dengan Latifa, sepupunya yang paling dekat di Surabaya, juga teman-temannya, justru malah sering mengompori untuk membenci Marisa. Mendukungnya merebut Aksara dari istrinya. Namun tidak dengan Kholifah yang sangat menentang keras dan menyebutnya perempuan tidak punya harga diri. Terkadang di tampar berkali-kali baru membuat seseorang sadar dengan
Sarah beserta suami dan bapaknya juga bergabung dan bersalaman dengan keluarga Bu Arum.Wanita itu menggendong bayi lelaki yang tertidur pulas. Sedangkan ketiga anak yang lain tidak ikut. Sambil melangkah, Daniel mengajak ngobrol Johan dan Aksara. Apalagi kalau bukan bicara mengenai dunia bisnis. Daniel berencana hendak mengajak mereka bekerjasama. Marisa sendiri sudah resign satu bulan yang lalu. Disamping usaha suami dan iparnya mulai butuh tenaga ekstra, kehamilannya juga agak rewel. Namun masih sering bertemu, kalau Daniel datang ke kantor mereka.Mahika juga resign dari perusahaan Omnya. Sekarang fokus di kantor mereka sendiri. Alhamdulillah, perkembangan usaha mereka sangat bagus. Johan dan Aksara memang jenius membawa perusahaan ke arah yang lebih cemerlang. Mereka kompak dan saling melengkapi."Jangan lupa kabarin kalau kamu lahiran," ucap Sarah yang melangkah di sebelah Marisa."Pasti dong, Mbak," jawab Marisa sambil tersenyum.Pak Kyai, Bu Haji, Alim, dan Mifta yang menyam
Marisa terkejut. Begitu pun dengan Mahika. Johan membaca undangan warna abu-abu itu, sedangkan Aksara meladeni Kenzi dan Ubed bermain. Sebenarnya dia mendengar, hanya saja memilih tidak menanggapi."Syukurlah, akhirnya memutuskan nikah juga ustadzah Hafsah, Ma," ujar Mahika seraya memperhatikan undangan yang tengah dibaca sang suami."Haikal Ahmad. Apa dia ustadz juga, Ma?" "Mama kurang paham, Ka. Katanya duda anak satu. Kakaknya yang jodohin sama laki-laki itu. Yang mama dengar, Haikal itu teman kuliahnya Mas Alim."Teman Alim? Pasti usia mereka terpaut lumayan jauh, karena Alim kakak sulungnya Hafsah. Mungkin Hafsah punya pertimbangan tersendiri kenapa menyetujui perjodohan dengan temannya Alim. Bisa jadi, dialah yang sanggup merobohkan keteguhan hati gadis itu."Hari Minggu depan ini, 'kan, Ma?" tanya Marisa."Iya, Ris. Habis akad nikah langsung resepsi. Seperti kamu dan Aksa dulu. Undangannya juga terbatas. Hanya kerabat dekat dan tetangga saja yang di undang."Meski mama, istri,
Johan tertawa lepas berderai sambil memperhatikan lalu lintas di hadapan. "Kamu ada-ada saja, sih, Yang.""Mas, malah ngakak. Sudah kubilang aku hanya penasaran.""Setelah banyak hal terjadi dan aku mendapatkan pasangan sepertimu, apa yang ingin kucari lagi. Di usia kita yang sekarang ini, apa yang ingin kita ambisikan lagi? Aku sangat bersyukur memilikimu dan Ubed. Kamu yang mau menerimaku apa adanya, membuatku bangkit dan sanggup menatap dunia. Memberikan support baik moril maupun materiil. Yang, mikir aneh-aneh itu hanya bikin timbulnya penyakit hati dan masalah."Yang. Ini panggilan spesial dari Johan untuk Mahika. "Iya, aku tahu. Kadang hal-hal begini bisa jadi itermezo percakapan kita. Tapi jujur saja, nggak ada maksud apapun selain sekedar ingin tahu." Mahika tersenyum seraya merangkul lengan suaminya."Aku paham. Kita sudah terlalu tua untuk menciptakan drama.""Tapi Sarah baik, Mas. Nggak seperti Hafsah yang cinta mati ke Aksara.""Memang sejak dulu dia suka Aksa. Hanya saja
"Kenzi masih tidur. Nggak usah khawatir. Mas sudah lihat tadi." Aksara menahan tubuh istrinya.Marisa urung bangkit dari atas pembaringan. Dia menatap sang suami yang mendadak sakau. Pagi ini Aksara berada pada titik kulminasi kesabarannya. Marisa kasihan dan merasa berdosa jika menghindari, karena dokter pun sebenarnya tidak melarang.Kamar kembali hening. Bisik lirih dan deru nafas yang terdengar di telinga masing-masing. Pengalaman beberapa bulan yang lalu membuat Aksara sangat berhati-hati. Meski dikuasai 'keinginan tingkat tinggi', tapi ia tidak ingin mengulang kesalahan yang pernah dilakukannya. Sebab dia pun sangat menginginkan anak itu. Semoga saja Marisa akan memberinya bayi perempuan yang cantik dan lucu. Pagi yang berakhir manis. Terbayar tunai hutang Marisa pada sang suami. Aksara tersenyum bahagia, secerah mentari pagi."I love you," bisiknya.Marisa mengeratkan pelukan. Perutnya yang sudah mulai membuncit di usia kehamilan sepuluh minggu, bersinggungan dengan tubuh Aks
Diam. Aksara memerhatikan jalanan yang ramai kendaraan dihadapan. Tak menyangka saja, keharmonisan yang tercipta tiga bulan ini ada sisi lain yang disembunyikan istrinya. Bahkan sangat rapi hingga dirinya tidak menyadari. Marisa memang pandai bermain rasa. Senyumnya merekah sepanjang hari. Melayani dirinya dan Kenzi dengan baik. Urusan ranjang yang tidak pernah diabaikan. Bahkan lebih membara dari sebelumnya. Marisa sangat pintar memang. Bagaimana sang istri meyakinkannya saat ia cemburu karena Marisa sering bertemu Hugo untuk urusan pekerjaan. Padahal batin Marisa sendiri masih perlu diyakinkan oleh urusan tentang Hafsah. "Tapi itu kisah selama tiga bulan kemarin, Mas. Kalau sekarang aku memutuskan untuk hamil, berarti semua keraguan itu bisa kuatasi sendiri." Marisa bicara sambil tersenyum. Aksara menarik lengannya pelan hingga Marisa bersandar di bahunya, sedangkan tangan kanannya fokus pegang kemudi. "Makasih, Sayang. Semoga sampai kapan pun kita bisa mengatasi ujian rumah tan