Kabut pagi melingkupi Benua Timur seperti selimut tipis yang menyembunyikan segala sesuatu di balik bayangan. Kabut itu dingin, menusuk kulit, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk. Barisan panjang prajurit berdiri dalam keheningan, hanya suara derak armor dan nafas berat yang terdengar. Armor mereka berkilauan, memantulkan sisa-sisa sinar mentari pagi yang berusaha menembus kabut. Baja yang mereka kenakan tampak kokoh, tetapi ringan seperti angin yang berdesir di sekitar mereka.Di depan barisan, seorang pria berdiri tegak seperti patung dari besi yang hidup—Panglima Xian Heng. Tubuhnya tinggi dan tegap, dengan mata seperti elang yang memindai cakrawala. Aura keberanian terpancar dari setiap gerakannya, membuat siapa saja di sekitarnya merasakan rasa aman sekaligus hormat. Pedang panjang di pinggangnya bergoyang ringan seiring angin dingin yang berhembus, seperti mengisyaratkan bahwa senjata itu akan segera menari di tengah darah dan debu.Barak militer di belakang mer
Langit fajar di cakrawala dengan semburat merah muda dan jingga, seolah alam bersiap menjadi saksi dari pertempuran besar yang akan terjadi. Seribu prajurit Benua Timur bergerak dengan langkah serempak di bawah komando Panglima Xian Heng. Setiap langkah kaki mereka membunyikan dentuman irama di atas tanah yang dingin, sementara armor mereka memantulkan kilau mentari yang menembus kabut pagi. Senjata mereka yang berkilau seperti baru saja diasah, menggenggam erat tekad untuk melindungi kehormatan tanah air.Di ujung medan pertempuran, Xian Heng memimpin di depan, posturnya tegap seperti tiang pancang yang tak tergoyahkan. Tatapannya tajam, seperti menembus horizon jauh, memindai ancaman yang tersembunyi di balik bukit dan pohon-pohon jarang. Aroma tanah basah bercampur dengan embusan angin pagi yang membawa kabar pertempuran, membuat udara semakin tebal dengan ketegangan."Majulah dengan kehormatan!" seru Xian Heng, suaranya lantang membelah pagi yang dingin, menggema di telinga setiap
Pertarungan di medan perang semakin memanas, darah dan keringat bercampur di tanah yang kini merah oleh pertumpahan darah. Setiap gerakan, setiap serangan, dilakukan dengan kecepatan dan ketepatan yang hampir tidak terlihat oleh mata manusia. Keterampilan tinggi dari kedua belah pihak menjadikan pertarungan ini sebuah tarian mematikan, penuh dengan jurus dan teknik yang mengesankan. Liu Shiang, dengan keganasan yang membara, melancarkan serangan "Pedang Halilintar". Pedangnya melesat dalam serangkaian serangan cepat, menciptakan gelombang energi yang menggelegar dan memaksa Xian Heng untuk terus bergerak. Suara gemuruh dari teknik tersebut menggelegar di udara, dan percikan api dari benturan pedang menciptakan pemandangan yang menakjubkan dan menakutkan. “Merasa tertekan?” Liu Shiang menantang, suaranya menyatu dengan dentingan senjata dan jeritan perang. “Ini baru permulaan!” Xian Heng hanya tersenyum, menangkis serangan dengan jurus "Perisai Emas". Setiap pukulan dan tendangan
Deru sorak-sorai memenuhi udara saat Panglima Xian Heng tiba di East City, ibu kota Benua Timur. Warga berkumpul di sepanjang jalan, melambaikan tangan dan meneriakkan namanya dengan penuh semangat. Wajah-wajah mereka tampak lega, seolah-olah ketakutan akan pertempuran yang pernah mengancam kota ini telah sirna, digantikan oleh keyakinan pada kebesaran Xian Heng. Matahari yang terik pun terasa hangat di kulit, seolah turut merayakan kedatangannya.Namun, di tengah keramaian itu, yang paling membuat hati Xian Heng bergetar adalah pemandangan Xiang Ling, berdiri dengan anggun di tepi jalan. Ia telah kembali dari Negeri Han tanpa satu goresan pun di tubuhnya. Napas lega meluncur keluar dari dada Xian Heng saat ia mendekati Xiang Ling, senyuman kecil yang jarang muncul menghiasi wajah keras sang panglima.Dengan rasa syukur yang dalam, Xian Heng berbalik pada Sun Wu Long, menundukkan kepala sedikit sebagai tanda penghargaan. “Terima kasih telah menyelamatkan keponakanku,” ucapnya lagi, su
Kaisar Xian Shen berdiri tegap di hadapan seluruh dewan kekaisaran, tatapannya membara oleh kemarahan yang membekas dalam. Udara di ruang itu terasa berat saat titahnya diumumkan—pemuda-pemuda terbaik dari seluruh penjuru negeri harus bersiap menghadapi panggilan wajib militer. Kabar ini menyebar bagai api yang membakar seluruh wilayah kekaisaran, mengejutkan rakyat yang tak pernah membayangkan bahwa Kerajaan Han, sekutu lama dan sahabat kepercayaan kaisar, kini berdiri sebagai musuh.Panglima Xian Heng melaporkan pemberontakan itu dengan wajah yang tegang, dan Xian Ling, putri satu-satunya yang pernah ia kirim ke Kerajaan Han demi perjanjian damai, telah membawa kembali kisah tentang ancaman yang mengintai dari dalam dinding istana Han. Kekecewaan dan kemarahan mengoyak hati Kaisar Xian Shen—kerajaan yang selama ini dianggapnya sebagai sekutu, bahkan keluarga, ternyata mengkhianatinya tanpa belas kasih.Sementara rapat berlangsung, penasehat kekaisaran dengan hati-hati maju dan berka
Kabut pagi merayap di antara bangunan megah ibu kota Kekaisaran Timur, menyelimuti jalanan berbatu dengan tirai putih yang pekat. Udara dingin menyentuh kulit seperti jari-jari hantu, membawa aroma tanah basah dan embun yang masih menggantung di dedaunan. Kota yang biasanya penuh dengan hiruk-pikuk kini terasa lebih senyap, seakan menahan napas di ambang peristiwa besar.Namun, di dalam barak militer, sunyi itu tak bertahan lama. Deru semangat menyala di dada para prajurit muda yang tengah bersiap menghadapi perang. Dentang logam menggema saat mereka mengenakan baju zirah yang masih berembun, mata pedang berkilauan saat diasah, dan suara panah yang dikokang bergema seiring dengan napas yang ditahan dalam konsentrasi. Di tengah hiruk-pikuk itu, langkah berat para panglima berderap, memberi aba-aba tegas di antara barisan yang berdiri tegak. Bendera kekaisaran berkibar gagah di puncak menara utama, warnanya menyala kontras melawan langit yang masih kelabu.Di atas platform latihan, Xian
Fajar perlahan menyibak kegelapan, menyiram langit dengan semburat merah keemasan yang memantul di genting-genting istana Kekaisaran Timur. Udara pagi yang sejuk membawa aroma tanah yang masih lembap oleh embun, bercampur dengan bau baja yang mengilat di tangan para prajurit. Di pelataran utama, barisan tentara berdiri tegap, napas mereka berpadu dalam ritme yang sama. Denting senjata beradu dan suara gesekan pelindung dada dari baja menjadi simfoni yang menggetarkan pagi itu. Di tengah deretan prajurit, bendera Kekaisaran Timur berkibar angkuh, warnanya merah darah dengan simbol naga emas yang melambangkan kejayaan. Tiupan angin membuat kain itu berkibar gagah, seolah naga itu sendiri sedang bersiap untuk menerkam mangsanya. Langkah tegas menggema di tangga utama istana. Xian Ling melangkah turun dengan anggun, tetapi setiap pijakannya mengandung ketegasan. Jubah perangnya yang berwarna biru tua berkibar di belakangnya, sulaman benang emas pada tepinya berkilauan ketika tertimpa si
Langkah-langkah pasukan Kekaisaran Timur terdengar berat namun penuh keyakinan, mengiringi deru genderang perang yang terus menggema. Di barisan depan, Xian Ling memimpin dengan tatapan tajam yang menembus kabut pagi, tak sedikit pun gentar menghadapi pertempuran yang akan datang. Pedang berukir naga emas di tangannya bersinar tajam, seakan menyerap energi dari para prajurit di sekitarnya.Di kejauhan, hamparan perbukitan yang memisahkan perbatasan Timur dan Han terlihat suram, menyembunyikan ancaman yang bersembunyi di balik pepohonan dan lembah. Xian Ling memerintahkan pasukannya untuk berhenti sejenak di sebuah dataran tinggi yang strategis. Panglima Xian Heng maju ke sisinya, mengamati medan perang dengan penuh kewaspadaan."Putri Mahkota, kita berada di posisi yang menguntungkan. Dari sini, kita bisa mengawasi pergerakan pasukan Han," ujarnya sambil tetap mengawasi Xian Ling.Xian Ling mengangguk, namun matanya tetap fokus pada perbatasan. "Benar, tapi kita tidak boleh lengah. Ra
Kaisar Xian Shen berdiri di balkon istananya, memandang luas ke arah cakrawala Benua Timur yang terbentang di hadapannya. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah dan dedaunan, namun hatinya bergolak dengan amarah yang membara. Para raja di bawah kekuasaannya telah mengabaikan panggilannya untuk bersatu dalam pertempuran penting, meninggalkan kekaisaran dalam keadaan rentan.Raja-raja ini lebih mementingkan wilayahnya sendiri dan menolak untuk mengirim pasukan ke East City untuk meredam invasi dai Necromancer beserta asukannya yang ingin menghancurkan Dinasti Xian."Bagaimana mungkin mereka berani mengkhianati kepercayaan dan sumpah setia mereka?" gumamnya dengan suara bergetar, tinjunya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.Dengan tekad yang tak tergoyahkan, Kaisar Xian Shen memerintahkan pengerahan pasukan besar untuk menaklukkan semua kerajaan yang membangkang. Satu per satu, kerajaan-kerajaan itu ditundukkan dan diubah menjadi distrik provinsi yang langsung berada di bawah
Awan kelam menggulung di langit malam, kilatan petir menyambar tanpa ampun, menerangi medan pertempuran yang dipenuhi jeritan dan denting senjata. Di tengah kekacauan itu, Necromancer Agung melangkah maju, jubah hitamnya berkibar liar, mengeluarkan semburan energi gelap yang membangkitkan pasukan mayat hidup dengan rintihan mengerikan.Kaisar Xian Shen berdiri di garis depan, matanya menatap tajam ke arah musuh. "Pasukan Dinasti Xian, jangan gentar! Pertahankan tanah air kita!" serunya, suaranya menggema di antara deru pertempuran.Di sampingnya, Panglima Xian Heng menghunus pedangnya, kilauan tajam memantulkan cahaya petir. "Majulah! Hancurkan mereka!" teriaknya, memimpin serangan langsung ke barisan mayat hidup.Sun Wu Long, dengan pedang spiritualnya, mengeluarkan mantra api yang membakar musuh-musuhnya menjadi abu. "Kekuatan elemen akan membersihkan kegelapan ini!" katanya, semburan api memancar dari tongkatnya, menerangi medan perang.Sakuntala Dewa, dengan gerakan anggun, memang
Gong perang berdentang nyaring, suaranya menggema hingga ke sudut-sudut Pelabuhan East City. Di bawah langit yang mulai gelap, ribuan prajurit Dinasti Xian bergegas mengenakan baju zirah yang berkilauan di bawah cahaya obor. Mereka membentuk barisan kokoh di sepanjang tembok kota, tombak-tombak terangkat tinggi, busur-busur siap dengan anak panah yang mengarah ke cakrawala, sementara katapel raksasa diisi dengan batu-batu besar yang dilumuri minyak, siap dilemparkan.Di atas mereka, Naga Vikrama melayang gagah, sayapnya yang luas membelah angin malam. Raungannya menggetarkan hati, mata tajamnya memantau setiap gerakan di bawah.Di kejauhan, pasukan Kegelapan mulai tampak seperti gelombang hitam yang mendekat. Barisan Orc dengan armor berat berderap maju, langkah mereka mengguncang tanah. Di samping mereka, Dark Dwarf mengoperasikan mesin perang besar—menara pengepung dan katapel raksasa yang mampu meruntuhkan tembok dalam satu serangan. Para Necromancer berjubah hitam mengangkat tanga
Langit di atas Pelabuhan East City mendadak gelap. Awan hitam pekat bergulung-gulung, seakan-akan hendak menelan kota dalam kegelapan abadi. Angin kencang berdesir tajam, menerbangkan debu dan menerjang ombak hingga membantingnya ke tebing-tebing batu dengan suara gemuruh. Para penjaga di menara pengawas, yang tadinya berjaga dengan santai, kini menegang. Salah satu dari mereka nyaris menjatuhkan tombaknya saat melihat bayangan besar melayang di antara awan."NAGA!" teriak seorang prajurit dengan suara melengking, segera meraih palu besar dan membunyikan lonceng tanda bahaya. Dentang logamnya menggema ke seluruh pelabuhan, mengguncang ketenangan kota ini.Di atas punggung Naga Vikrama, Xian Ling berdiri dengan gagah. Rambut panjangnya menari liar ditiup angin, sementara jubah putihnya berkibar seperti bendera perang yang mengancam. Matanya menyala penuh keyakinan. Di belakangnya, Sakuntala Dewa dan Sun Wu Long duduk waspada, jari-jari mereka sudah menggenggam gagang senjata, siap mena
Pertempuran di Lembah Iblis benar-benar di luar dugaan Xian Ling. Angin dingin menyapu lembah, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang gugur. Suara dentingan senjata dan teriakan pertempuran masih terngiang di telinganya. Xian Ling berdiri di tengah medan yang porak-poranda, napasnya tersengal, sementara matanya menyapu sekeliling dengan penuh kewaspadaan.Ia tidak berhasil mendapatkan informasi mengenai Mahasura Arya, Pendekar Dewa Naga yang diyakini oleh Kitab Nirvana Surgawi mampu menyelamatkan Benua Timur dari kehancuran. Kekecewaan menyelimuti hatinya, seperti kabut tebal yang menutupi pandangannya.Bahkan, ia juga tidak mengetahui mengapa Qirani dan Qirana terjerumus ke dalam kegelapan dan menentangnya, padahal ia sama sekali belum pernah bertemu dengan pemimpin Lembah Iblis ini. Pengkhianatan mereka menusuk hatinya lebih dalam daripada luka fisik yang ia derita."Tuan Putri, apakah kita akan melanjutkan perjalanan kita di Benua Selatan ini?" tanya Sun Wu Long, suaranya penu
Sakuntala dan Sun Wu Long yang dikepung oleh puluhan murid Perguruan Lembah Iblis mulai merasakan kesulitan menghadapi mereka. Sakuntala memutar tongkatnya dengan kecepatan luar biasa, menciptakan badai angin yang menghantam musuh-musuhnya, melempar mereka ke segala arah. Sun Wu Long bergerak seperti bayangan, pedangnya menari-nari, memotong setiap lawan yang mendekat dengan presisi mematikan.Tiba-tiba, dari balik kabut tebal yang menyelimuti medan pertempuran, muncul sosok tinggi dengan aura gelap yang menakutkan. Dia adalah Panglima Kegelapan, tangan kanan Qirana, yang dikenal karena kekejamannya. Dengan satu gerakan tangan, dia memanggil makhluk-makhluk bayangan yang langsung menyerbu ke arah Sakuntala dan Sun Wu Long.Sakuntala mengerutkan kening, menyadari ancaman baru ini. "Wu Long, kita harus bekerja sama untuk mengalahkannya!" Sun Wu Long mengangguk, dan mereka berdua bergerak serentak, menyerang Panglima Kegelapan dengan kombinasi serangan yang terkoordinasi. Namun, Panglima
Xian Ling meluncur ke udara, tubuhnya berputar seperti bidadari yang berputar turun dari kahyangan, pedangnya berkilau saat menyapu gelombang energi hitam yang dilemparkan Qirana. Dentuman keras menggelegar, menggetarkan tanah di bawah mereka, seakan seluruh lembah bergetar dalam gemuruh kekuatan yang saling bertabrakan. Getaran itu merembet hingga ke tulang, mengusik kedamaian yang hanya ada dalam sekejap sebelum kekuatan itu menghancurkan segalanya.Qirana melesat ke samping, tubuhnya membengkok dalam kecepatan luar biasa, lengan kirinya bergerak dengan gesit, menciptakan lingkaran cahaya hitam yang menyelimuti tangannya. Dengan satu gerakan cepat, lingkaran tersebut berubah menjadi pedang energi yang berkilau tajam, siap meluncur menembus langit.“Kau hanya mengulur waktu, Xian Ling!” seru Qirana, suaranya penuh ejekan, terdengar seperti suara angin dingin yang berbisik. Senyumannya terlukis sinis di wajahnya, seakan kemenangan sudah ada di ujung jari. “Sejak Mahasura menghilang, k
Angin kencang bertiup membuat pakaian mereka berkibar-kibar. Langit yang kelam seakan menelan cahaya matahari, menciptakan bayangan-bayangan mencekam di antara pepohonan yang melingkupi Desa Naga. Aroma tanah basah bercampur bau logam menyelubungi udara, menambah kesan bahwa akan ada kejadian yang buruk di tempat tujua mereka."Apa kita tetap akan masuk ke Lembah Iblis, Tuan Putri?" tanya Sakuntala, suaranya mengandung kegelisahan. Mata tajamnya memandang jauh ke depan tempat Lembah Iblis berada, seolah-olah mengawasi mereka dari kejauhan. Ia merasa bahwa pencarian Pendekar Dewa Naga ini hanya akan membawa mereka ke jalan buntu. Namun, membawa pulang Naga Vikrama adalah keuntungan besar bagi Benua Timur.Xian Ling menoleh, sorot matanya tegas. "Aku harus mengetahui nasib Pendekar Dewa Naga. Ramalan Artie hanya menyebutkan bahwa Mahasura Arya akan berperan penting dalam menyelamatkan Benua Timur dari kehancuran. Aku sengaja menyimpan ramalan ini agar kerajaan-kerajaan di bawah Kekaisar
Ki Seno menggelengkan kepalanya perlahan. Sorot matanya tajam namun menyiratkan keteguhan yang tak tergoyahkan."Aku tak tahu di mana Mahasura sekarang," ucapnya dengan suara berat, nyaris berbisik. "Tapi aku yakin ia masih hidup!"Xian Ling menatap Ki Seno dengan penuh tanda tanya. Tiba-tiba, pikirannya menangkap sesuatu yang terpendam di benaknya."Kata Chandani, Ki Seno selalu pergi ke Gunung Awan Putih setiap pagi... Apa yang Ki Seno lakukan di sana?" tanyanya, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu.Ki Seno tertawa kecil, nada misterius tersemat di dalamnya. "Hahaha... Kau ingin tahu? Tapi berjanjilah untuk menjaga rahasia ini!"Tanpa menunggu jawaban, tubuh Ki Seno melesat, ringan bak sehelai daun yang ditiup angin. Kakinya nyaris tak menyentuh tanah saat ia berlari dengan ilmu meringankan tubuh. Bayangan tubuhnya berkelebat di antara pepohonan, mendaki gunung dengan kecepatan yang mencengangkan.Xian Ling, Sun Wu Long, Sakuntala, dan Chandani segera menyusul. Sun Wu Long, meski memi