Tidak ada yang lebih membahagiakan, ketika bisa melihat senyuman dari orang yang kita cinta, apalagi senyum itu kita yehh buat. Itulah yang di rasakan Dafa, pria itu tak bisa melunturkan lengkungan dari bibirnya, saat melihat wajah berseri dan bahagia yang di perlihatkan oleh Ayana. Wanita itu bahagia, bisa di ajak keliling kota London, tempat pertama yang Dafa ajak adalah menara Big Ben, siapa yang tidak kenal dengan menara tersebut. Begitu pun Ayana, ia sampai berdecak kagum. Rasanya masih tidak percaya jika dirinya sekarang berada di tempat yang biasanya dia lihat di televisi ataupun sosial media. Sejarah, Big Ben adalah nama yang diberikan kepada lonceng besar yang berada di dalam menara jam yang berada di Istana Westminster, Kota London, Inggris. Namun masyarakat dunia banyak yang menamai menara jam ini sebagai Big Ben, padahal masyarakat Inggris sendiri menyebutnya sebagai “the clock tower” atau menara jam, saja.Di tahun 2012, menara jam ini mendapatkan nama resminya, yakni
Sebisa mungkin Dafa mengejar Aya dan meraih tangan wanita itu agar menghadap kepadanya, Ayana memberontak minta di lepaskan. "Lepas Mas! aku mau pergi, kalau Mas mau makan dengan teman-teman Mas. Silahkan, aku tidak ikut!" kata Aya menggunakan bahasa isyarat dengan gerakan satu tangannya. Sementara satu tangannya lagi masih di genggam oleh Dafa cukup kencang. "Please, sayang. Dengerin dulu penjelasan aku ya, kamu tenang." titah Dafa meraih kedua pundak Aya untuk memandang ke wajahnya. "Lihat aku," suruh Dafa, namun Aya tetap bergeming enggan menatap suaminya. "Ayana! tolong lihat aku." hardik Dafa yang kali ini sedikit meninggikan suaranya. Dengan terpaksa, Aya mengangkat wajahnya. membalas tatapan Dafa yang tadinya tajam. Kini berangsur melembut. "Mereka teman-teman aku di tempat latihan, mereka baik. Nggak seperti teman aku yang dulu,""Tapi tetap saja Mas, aku trauma dengan kejadian yang seperti dulu. Aku bukan mikir tentang diri aku, tapi aku mikirin tentang kamu Mas,"Dafa
"Dah_ nanti kita ngobrol lagi ya, ngobrol sama lo seru!" ujar Ayu sedikit berteriak saat mereka sudah berada di depan restoran ingin pulang, karena suasana begitu ramai. Mereka harus meninggikan suaranya, Aya mengacungkan jempolnya mengangguk semangat, bahkan dia meminta agar Dafa memberitahu tempat apartemen mereka. Tentu Dafa mengutarakan apa yang sang istri katakan, Ayu begitu senang. Usai melambaikan tangannya mereka berpisah untuk pulang. Dafa mengamati raut wajah berseri yang terlihat dari wajah cantik Ayana. "Benar kan kubilang, mereka nggak seperti temanku yang dulu," goda Dafa pada wanita itu. "Iya Mas, maaf ya. Aku selalu berpikir buruk, itu semua karena aku takut Mas." Dafa merangkul pundak Aya. "Iya aku ngerti, aku paham gimana perasaan kamu. Apalagi memiliki trauma, pasti sulit di hilangkan," Aya mengangguk lemah. "Lagi pula, trauma itu aku yang buat. Maaf," Dafa merasa bersalah, karena dirinya Ayana memiliki trauma bertemu orang baru. Jika dulu dia tidak mengajak
Di malam yang hangat, sepasang suami istri tengah berbaring di atas kasur, saling pandang dengan tatapan lembut dan hangat. Tangan besar Dafa mengusap pipi Ayana yang masih terjaga, waktu menunjukkan pukul dua dini hari, Tapi keduanya belum tertidur usai menyelesaikan kegiatan intim pasangan suami istri. "Kenapa nggak tidur?""Mas juga, kenapa nggak merem." tanya Aya balik. "Masih mau memandangi wajah cantik kamu," pipi Aya berubah merah, ia menunduk tidak berani menatap Dafa lagi. Hal itu membuat Dafa tertawa pelan, mencubit pipi Aya gemas. "Tidur yuk, aku serius." mengajak Aya untuk memejamkan matanya, namun saat ingin terpejam Aya menggerakkan tangannya. "Mas dulu, aku mau ke kamar mandi.""Ya udah, gih sana. Aku tunggu," Aya mendelik lalu meringsut kedalam selimut. Tentu saja ia malu, saat ini tubuhnya masih polos usai melakukannya tadi, seolah mengingat sesuatu, Dafa pun tertawa lagi dan kali ini lebih kencang. "Kenapa mesti malu sayang, aku sudah sering lihat." goda Dafa,
"Sayang, please_ besok kamu ikut ya." entah sudah berapa kali Dafa mengatakan hal itu pada Ayana. Pria itu tengah membujuk Istrinya untuk ikut ke acara festival yang di selenggarakan besok malam, dia ingin saat semua orang yang hadir dan mencicipi masakannya, Aya berada di sana menemaninya. sudah berulang kali dia membujuk, namun tetap saja jawabnya, yaitu tidak dengan menggelengkan kepalanya. Dafa menghela napas sejenak memperhatikan Aya, yang tak ingin melihat kearahnya. "Coba lihat aku," pinta Dafa selembut mungkin. "Aku mau ngomong. Sayang, please lihat mata aku," kini giliran Aya yang menarik napas jengkel, mau tidak mau dia menoleh. Dan Dafa cukup terkejut saat melihat mata merah sang istri. "Apa yang buat kamu nggak mau?" Aya memejamkan matanya. "Seharusnya, Mas tau. Tanpa harus aku bilang, Kemarin kita baru bahas, masalah seperti ini,'"Besok acara penting Mas, banyak orang-orang yang hebat-hebat di sana, aku nggak mau bikin malu.""Siapa yang bikin malu," potong Dafa, m
"Bagaimana Dafa, apa kamu sudah menemukan pengganti Jasmine?" tanya kepala chef. "Alhamdulillah, sudah Pak." jawabnya mantap. "Baiklah, kalau gitu saya serahkan semuanya sama kamu, asal jangan buat acara malam ini menjadi kacau.""Baik Pak, InshaAllah. Saya akan beri yang terbaik malam ini, dan sekali lagi saya mau meminta maaf, karena saya sudah membuat keputusan mendadak," Dafa sedikit membungkuk sopan. Ia sangat tidak enak kepada kepala chef yang sudah mempercayainya, namun dirinya justru membuat beliau kecewa. Kepala chef yang di ketahui bernama Pak Hermawan itu, menarik napas beratnya. "Tadinya saya cukup kecewa dan terkejut, karena kamu memberhentikan Jasmine secara mendadak, Tapi. setelah saya tau alasannya, saya bisa mengerti. Namun saya harap lain kali kamu harus bisa lebih profesional, singkirkan dulu masalah pribadi, sesulit apapun." nasehat Pak Hermawan.Dafa meringis pelan, ia sungkan terhadap seniornya tersebut. Benar, seharusnya dirinya bisa profesional. Tapi siapa y
"Selamat ya Mas, kamu memang pantas mendapatkan ini, karena kamu memang. Chef terbaik, " puji Aya tulus, saat Dafa memberitahu jika dirinya menjadi Chef terbaik di acara festival itu. "Terima kasih, sayang. Ini aku persembahin buat kamu, Karena kamu. Aku bisa mendapatkan penghargaan ini,""Kok aku Mas?" Aya bertanya kebingungan. "Kamu adalah semangat aku, Kamu juga yang selalu dukung aku,"Ayana mengulas senyum manis, menggengam tangan Dafa. "Sudah menjadi kewajiban, seorang istri. Memberi dukungan untuk suaminya, Mas." ucap Aya menggunakan bahasa isyarat dengan satu tangan. "Aku bangga, punya suami sepertimu. Mas. Begitu pun, orang tua Mas di Indonesia, aku yakin Bapak paling bangga."Benar juga, akhirnya dia bisa membuktikan jika pilihannya untuk menjadi juru masak tidak salah, yang terpenting baginya. Ia bisa membanggakan mendiang Ibunya di sana, itu adalah salah satu impiannya juga yang sangat ia ingin lakukan. "Iya sayang, aku bisa buktikan. Kalau pilihan aku nggak salah,"
Dafa sudah tidak bisa lagi, menolak permintaan Aya untuk pulang ke Indonesia, setelah menghabiskan waktu selama seminggu. Ayana sudah merengek meminta segera pulang, wanita itu sudah tidak betah dan juga sudah sangat rindu negaranya sendiri. Hidup di negara orang, sungguh menyiksa dirinya. Dan saat ini keduanya baru mendarat di bandara internasional Soekarno-Hatta. Jantung Dafa berdetak cukup kencang ketika mereka menuju pulang ke apartemen miliknya, rencana untuk pindah rumah usai pulang dari Inggris, batal. Lantaran pembangunannya belum selesai. Di kerena kan kendala, dari pihak properti. Dafa hanya khawatir, ketika sampai di apartemen, ternyata ada Rama yang sedang berada di sana, Dafa menarik napas berpikir sejenak, seharusnya dia tak boleh tkut dan khawatir, ia tak boleh menjadi pria lemah dan pengecutyang tak bisa melindungi istrinya. Dafa harus bisa menjaga Aya apapun yang terjadi nanti. Ternyata bukan hanya Dafa yang berdebar hatinya, Aya pun tak kalah tegang. Dia belu
Di tengah malam sekitar pukul 00:30 seorang gadis cantik, terlihat gelisah di atas kasur. Sedari tadi tubuhnya terus bergerak kesana kemari, gadis tersebut adalah Syifa, yang sedang bingung untuk mengambil keputusan apa tentang Tito. Hatinya tengah bimbang, antara masih ragu, takut dan tidak percaya. Syifa ragu jika harus menikah di usia muda, namun dia juga takut kehilangan Tito kalau sampai dirinya menolak, di sisi lain Syifa tidak percaya jika Tito merubah keputusannya menjadi menikahi dirinya, bukan untuk melamarnya. Jujur Syifa takut jika dia menikah sekarang, dirinya tak bisa membahagiakan pria tersebut, selama ini Tito begitu tulus mencintainya. Dirinya takut kalau nanti akan mengecewakan pria yang begitu dia cintai. Menghembuskan napas berulang kali, Syifa pun bermonolog. "Mungkin ini jalan terbaik, semoga apa yang sudah aku putuskan. Nggak akan salah dan merugikan semuanya." mengepalkan tangannya gadis tersebut menguatkan dirinya sendiri. "Syifa! ayo kamu pasti bisa. N
"Maksud Mas gimana? bukannya kita kesana baru mau membicarakan tentang hubungan kita ke Bapak?"Tito merubah posisinya, ia memegang setir dengan dua tangannya. "Mereka tetap mau menjodohkan aku dengan perempuan itu, kecuali aku sudah menikah. Maka mereka akan menghentikan perjodohan dan merelakan aku nikah sama kamu," "Tapi Mas, aku masih kuliah, memangnya Mas nggak masalah punya istri yang berstatus mahasiswa?""Memang kenapa? Mas nggak masalah. Menurut Mas lebih cepat lebih baik, atau kamu yang belum siap?" "Aku nggak tau? Aku cuma nggak mau jadi istri yang nggak baik,""Kenapa bisa mikir gitu, banyak kok di luar sana. Istrinya yang masih berstatus pelajar, dan mereka bisa menjalani itu dengan baik." lanjut Tito tak mau kalah. "Kasih aku waktu untuk mikir," putus Syifa memohon pada Tito agar pria itu mengerti dirinya juga berhak mengambil keputusan. Menarik napas panjangnya, Tito hanya bisa mengangguk pelan, menghargai keinginan gadisnya yang ingin memikirkan lebih dulu tentang
Hari demi hari telah di lalui oleh Aya begitu cepat, tidak terasa kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh, dan sesuai rencana. Acara tujuh bulanannya akan di adakan dikota semarang, sesuai permintaan wanita itu, tentu Dafa dengan senang hati, mempersiapkan semuanya. Dan rencananya esok lusa, mereka akan berangkat ke sana, lalu untuk masalah syifa. Dafa waktu itu turun tangan menemui orang tua Tito. Memberitahu jika putra mereka sudah memiliki pendamping, tak perlu menjodohkan karena Tito sudah memiliki wanita yang sudah pria itu pilih. Dafa sempat adu mulut dengan orang tua Tito, mereka tidak setuju jika putranya menikah dengan wanita yang bukan pilihan dari orang tuanya. Namun Dafa tidak ingin membuat sahabatnya menderita lagi oleh kelakuan orang tuanya, maka ia memberanikan diri untuk melawan ucapan kedua orang tua tersebut. "Sayang, sudah dong kamu jangan gerak kesana sini, aku nggak mau ya. Kamu kecapean," Aya mengulas senyum. Menghampiri suaminya yang berdiri sembari mel
Sudah berada di parkiran mobil, Aya diam berpegangan pada badan mobil lebih dulu. "Sayang, kita kerumah sakit ya?" ajak Dafa yang tak tega dan juga melihat wajah pucat kesakitan istrinya. Aya menggeleng pelan. "Nggak usah Mas, aku nggak apa-apa. Kita pulang aja.""Nggak apa-apa gimana? kamu kesakitan gini. Kita tetap kerumah sakit, oke."Dafa tidak mau terjadi sesuatu kepada calon anaknya, tapi Aya kekeuh tak ingin pergi. "Nggak usah Mas, aku mau pulang. Aku mau istirahat, aku yakin buat istirahat sudah hilang. Jadi kita pulang aja ya," mohon Aya matanya menatap sendu kepada suaminya. Dafa menghela napas panjangnya, ia paling lemah jika Aya sudah memohon seperti itu. "Oke kita pulang aja," membantu Aya masuk ke mobil dan juga memasangkan sabuk pengaman. Setelah menutup pintu ia berniat segera memutari mobilnya, namun saat berbalik badan Dafa cukup terkejut ada Pak Suryo dan Bu Sarah. "Ada apa lagi?" ucap Dafa datar. "Maaf saya harus segera pulang.""Kami ingin mengucapkan terima
Sudah berada di depan tempat Rama berada, Ayana meminta untuk tidak keluar terlebih dahulu, ia mengatur dirinya sendiri, agar tidak takut, tidak gugup dan yang paling harus tetap tenang. Dengan setia Dafa di sampingnya, menggengam tangan Aya yang terasa dingin dan berkeringat, sembari terus memandang sang istri dari samping, ia juga memberi kecupan di punggung tangan wanita itu. "Sebentar ya Mas," izin Aya saat menoleh mendapati sang suami menatap teduh kepadanya. "Iya sayang, aku tenangin diri dan persiapkan semuanya, aku di sini selalu jagain kamu." mengangguk pelan Aya kembali melihat kedepan, yang di mana ia sudah melihat ada Pak Suryo dan Bu Sarah sedang menunggu dirinya. Mereka tidak datang kearahnya, karena Dafa sudah memberitahu kepada mereka untuk sabar dan menunggu terlebih dahulu. Memejamkan matanya Aya seperti melafalkan doa, Dafa menepuk puncak kepala istrinya dengan sayang. Membuka matanya Aya menggerakkan tangannya. "Yuk Mas," ajak Aya yang sudah yakin. "Sudah si
"Sayang, bisa nggak? nggak usah dandan. Biasa aja gitu, bajunya emang nggak ada yang lain?" keluh Dafa saat melihat istrinya yang sedang memoleskan bedak ke wajahnya. Aya memutar bola matanya jengah, ini sudah yang keberapa kalinya, Dafa mengatakan hal yang sama. "Ini sudah biasa aja Mas, aku bahkan nggak pakai lipstik. Baju ini juga baju rumahan," kata Aya dengan tatapan sebalnya. "Ck_ kamu tuh terlalu cantik, Ay_ aku nggak suka,""Terus aku harus gimana? aku udah biasa aja lho. Kalau Mas terus kayak gini, mending nggak usah pergi!" ujar Aya menggunakan bahasa isyarat. "Oke, lebih baik memang seperti itu. Kita nggak usah pergi!" saut Dafa. Aya mengangguk, lalu berjalan merebahkan tubuhnya di atas kasur, melihat itu Dafa melongo tak percaya, padahal ia tidak serius. "Lho sayang, kok kamu malah tidur sih? kan kita mau ke lapa?" bangun lagi dari rebahannya, Aya kian menatap Dafa kesal. "Tadi siapa yang nyuruh nggak jadi pergi? ya udah mending aku tidur!" jawab Aya matanya pun mel
Brak!! Suara gebrakan terdengar begitu keras di salah satu tempat kecil dan sedikit gelap. Di sana ada satu perempuan tengah duduk di kursi tangan dalam keadaan terikat di belakang tubuhhya. Tangisan pun terdengar lirih di sela keheningan yang ada, perempuan itu tidak sendiri, ada dua laki-laki berjas hitam. "Maksud kamu apa datang ke toilet ketika sepi, dan ingin melabrak pacar saya?!" ujar suara bariton di hadapan perempuan itu, dan suara pria tersebut tak lain adalah Tito. Ia menyuruh anak buahnya untuk menculik Felly dan membawanya di salah satu gedung kosong, Tito hanya ingin sedikit memberi pelajaran kepada wanita yang sudah membuat sang kekasih ketakutan. "Kamu mau celakai Syifa? IYA?!" Felly terlonjak kaget mendengar bentakan dari Tito. "Kamu nggak tau berhadapan dengan siapa? kamu pikir saya diam aja, ketika ada orang yang mau menyakiti pacar saya."Tubuh Felly menegang, ia begitu ketakutan melihat raut wajah Tito, yang biasanya ia lihat begitu tampan, kini berubah men
"Syifa. Kamu nggak apa-apa kan dek?" tiba di rumah Syifa langsung di lihat kondisinya oleh sang Kakak. Tadi Dafa mendapatkan kabar dari Tito, Syifa di ganggu oleh salah satu mahasiswi di sana, tentu Dafa langsung kalang kabut bahkan ia ingin menyusul Syifa ke kampus. Namun urung, saat Tito mengatakan jika masalah ini biar dia yang mengurus. "Aku nggak apa-apa, Mas. Tadi aku telepon pihak keamanan di kampus, jadi alhamdulillah sebelum aku kenapa-napa, satpam sudah datang dan tolongin aku. Lagian tadi juga ada teman aku yang bantuin, kalau nggak ada siapa-siapa, ya aku nggak tau nasib aku." ujar Syifa. "Alhamdulillah, Mas khawatir banget sama kamu dek.""Tenang aja, Daf. Syifa aman kalau sama gue." timpal Tito. "Tolong ya ngaca. Lo ya sumber dari masalah ini," sungut Dafa kesal. "Lah kok gue?'" Iyalah, coba lo nggak caper ke mereka. Nggak ada yang bakal ganggu adek gue!""Astagfirullah_ siapa yang caper coba?!" jawab Tito tak terima. "Halah sok-sokan. Nggak mau ngaku lagi," Tito
Syifa berada di kamar mandi bersama satu gadis bernama Weni, dia adalah teman satu bangku dengang Syifa, keduanya terlihat asyik bercanda hingga suara bantingan pintu terdengar cukup keras membuat dua gadis itu terlonjak kaget. "Kalian apa-apaan sih! mau ngapain Hah?!" bentak Weni yang begitu berani. Syifa membulatkan matanya melihat siapa yang kini berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam kearahnya. Gadis itu mundur beberapa langkah, ingat pesan dari sang kekasih Syifa buru-buru masuk kedalam satu bilik kamar mandi dan menguncinya dari dalam. "Jangan sembunyi lo! keluar." bentak seorang gadis. "Kenapa, lo takut! dasar cupu." Syifa tak memperdulikan teriakan yang tak lain adalah Felly. Mengeluarkan ponsel dari dalam tas, Syifa menelpon nomer keamanan kampus, beruntung pihak kampus bisa memberi nomer jika terjadi sesuatu pada mahasiswa atau mahasiswinya. "Hai! mau ngapain kalian di sini. Kalian ke kampus untuk belajar, bukan sok jadi pahlawan seperti ini!" bentak pak Rahmat, m