Bandara kecil di kotaku yang juga kecil tetap menampilkan suasanan yang sama. Lebih sering sunyi. Kesibukan hanya mengisi bandara kecil ini ketika ada jadwal kedatangan dan keberangkatan pesawat yang tidak pernah lebih dari lima kali dalam sehari.
Aku dijemput Bang Ridwan dan Allisya seperti biasa.
“Kamu enggak sekolah?” tanyaku heran pada Allisya yang sudah bergelayut manja dalam gendonganku.
“Allisya mau jemput Tante,” ucapnya senang.
“Dia sudah maksa untuk ikut beberapa hari lalu, jadi enggak bisa ditolak,” keluh Bang Ridwan seraya memasukkan koperku ke bagasi.
Kami langsung meluncur ke rumah Kak Dinah dan menjemput Dian yang baru saja pulang sekolah.
Keponakan laki-lakiku itu sudah biasa ditinggal sendiri saat ayah dan ibunya bekerja. Jadi Bang Ridwan memutuskan untuk menjemputnya dan mengantar kami bertiga ke rumah Bang Ridwan.
Kak Dinah dan suaminya bisa menyusul setelah mereka pulang ke
“Tolong bantuannya lagi, ya. Dila,” ucapku pada Dila yang kali ini mengantarku ke bandara.“Santai aja, Mbak. Seperti pesan Mbak Kana, kalau pekerjaan dijalani dengan perasaan senang dan tidak menjadikannya beban, maka tidak ada kata lelah,” sahut Dila.“Kalau lelah istirahat, Dila. Jangan diteruskan juga kalau capek, kamu tetap jaga kesehatan, ya.” Aku mencoba mengingatkan Dila, takut dia jadi ikut kelelahan.“Siap, Mbak. Mbak Kana tenang aja, nanti kerjaan biar Dila yang pegang dulu selama Mbak Kana liburan. Jangan lupa oleh-oleh buat Dila, ya,” canda Dila yang sekarang sudah bisa bicara santai denganku.“Itu enggak akan lupa kok,” balasku.“Hati-hati, Mbak Kana. Semoga liburannya lancar.” Dila melambaikan tangan sebelum kami berpisah di pintu keberangkatan.Dua jam empat puluh lima menit kemudian aku tiba di Bandar Udara Internasional Changi Singapura pukul setengah d
Stasiun Kereta Hua Lamphong penuh, gerbong kereta yang akan membawaku ke Chiang Mai sudah terparkir, beberapa menit lagi akan bergerak meninggalkan Bangkok. Setelah proses penukaran dan pemeriksaan tiket selesai, aku mengambil langkah untuk segera meletakkan barangku yang lumayan banyak karena sudah ditambah berbagai oleh-oleh.Kereta akan bergerak menuju Chiang Mai lima menit lagi, aku sudah mendapatkan kamar kecil sebagai tempat istirahat sementara selama perjalanan malam yang aku ambil menuju Chiang Mai.Tepat pukul enam sore kereta mulai bergerak, aku memesan dua tiket untuk first class sleeper agar tidak harus berbagi dengan penumpang lain. Cukup menguras kantung, tetapi pilihan ini lebih aman daripada aku harus berbagi dengan penumpang lain.Baru lima menit kereta bergerak, pintu kamar diketuk. Seorang petugas menawarkan menu makanan yang bisa aku pilih untuk dihidangkan sebagai sarapan besok pagi. Berselang beberapa detik kemudian, pintu kembali diketuk,
Chiang Mai memasuki musim penghujan saat aku tiba. Puncak musim penghujan di Chiang Mai terjadi saat bulan September, seperti sekarang. Aku tidak memeriksa kenyataan musim ini dan baru tahu fakta tersebut saat di Singapura.Ada beberapa tempat wisata yang ingin aku kunjungi harus dibatalkan, salah satunya ke Baan Khun Chang Kian. Lagi-lagi perjalananku kali ini kurang persiapan, karena aku melakukannya dengan terburu-buru.Aku akhirnya hanya terperangkap di penginapan dan toko buku saat memutuskan memenuhi kebutuhan perut. Aku pergi ke The Booksmith untuk melihat-lihat buku dan makan siang di kafe kecil The Booksmith.Buku yang dijual The Booksmith kebanyakan buku non fiksi, yang berfokus pada seni, desain dan arsitektur. Seketika aku jadi teringat pada Aldari. Kali ini benar-benar teringat oleh hal yang sangat dia sukai. Aku segera mengalihkan perhatian dengan memesan makanan untuk makan siang.Langit Chiang Mai masih terus mengeluarkan bulir-bulir hujan
Kondisi tubuhku semakin hari semakin lemah saja, saran Dokter Acha yang memintaku untuk beristirahat total menurutku sedikit membuat tubuhku tersiksa. Aku sudah terbiasa bekerja sampai larut malam, saat kebiasaanku itu mulai dirubah, tubuhku malah menjadi letih. Atas saran dari Dokter Acha jugalah aku harus membuat Kak Jovanka yang menemuiku di sebuah rumah makan cepat saji di dekat apartemen. Untungnya suami dan anak Kak Jovanka mau diajak kerja sama. Siang nanti aku akan menemui Kak Jovanka dan keluarga kecilnya untuk membicarakan ide novel ketiga yang tiba-tiba mendesak dalam kepalaku saat bangun di rumah sakit di Chiang Mai beberapa waktu lalu. “Bagaimana kabarmu, Kana?” sapa Kak Jovanka ketika kami akhirnya bertemu kembali. “Baik, Kak,” sahutku saat dipeluk oleh Kak Jovanka. “Suami dan anak Kakak di mana?” tanyaku saat hanya menemukan Kak Jovanka di meja makan si salah satu rumah makan cepat saji. “Mereka main di sana.” Kak
Aku menghela nafas berat saat panggilanku ditolak untuk yang kelima kalinya hari ini. Setelah penolakan yang Bang Ridwan layangkan, aku tidak berani menghubungi Kak Dinah atau Kak Maya untuk melanjutkan perjuanganku mendapatkan izin pergi ke Bangkok.Perjuanganku masih tertahan di Bang Ridwan, aku mencoba untuk mengkomunikasikan lagi perizinanku, membuat kalimat sehalus untuk membujuk Bang Ridwan. Belum juga kalimat-kalimat itu aku layangkan, Bang Ridwan malah menolak panggilanku, padahal aku menghubunginya di waktu senggang.Tidak kehabisan akal, setelah dua minggu panggilanku diabaikan Bang Ridwan, aku meminta mohon kepada Dokter Acha untuk menghubungi Bang Ridwan saat jadwal konsultasi rutinku di rumah sakit. Tidak sampai lima detik, panggilan dari Dokter Acha sudah diangkat oleh Bang Ridwan.“Iya. Halo, Dok. Apa terjadi sesuatu pada Kana?” burunya dengan suara khawatir.“Halo, Pak Ridwan. Maaf kalau mengganggu, aku diminta Kana untuk
Achara benar-benar tidak berbohong tentang tempat tinggalku yang sangat dekat dengan kantor Lifenovel di Bangkok. Jarak tempat tinggal sementaraku di Bangkok dengan kantor Lifenovel hanya berjarak tiga menit dengan kecepatan pelan menggunakan mobil milik Achara. Sungguh tempat tinggal yang sangat strategis.“Aku jamin, kamu tidak perlu berjalan terlalu jauh untuk pergi ke kantor, kurang lebih lima menit dengan berjalan kaki,” ujar Achara saat kami sampai di depan sebuah bangunan.“Apartemenmu hanya sepuluh menit dengan berjalan kaki untuk mencapai taman di dekat jembatan. Beberapa karyawan di Lifenovel juga memilih tinggal di sekitar sini, karena tempatnya sangat dekat dengan tempat kerja, tempat makan, plus lintasan lari yang sangat nyaman di taman Rama VIII,” urai Achara menjelaskan tentang lingkungan tempat tinggalku.“Terima kasih untuk bantuanmu, Achara,” sahutku saat mobil Achara memasuki area parkir sebuah bangunan tiga
Perjalanan liburanku ke Chiang Mai sudah di depan mata. Aku sudah menaiki bus yang membawaku ke bagian utara Thailand tepat pukul tujuh malam waktu setempat.Selama di perjalanan, aku sibuk mencari informasi tambahan untuk tempat-tempat yang belum aku sambangi saat kunjungan pertamaku di Chiang Mai. Aku mencari rekomendasi dari blog-blog perjalanan. Ulasan para travel blogger bisa sangat membantu untuk orang awam sepertiku.Rekomendasi agen bus yang aku tumpangi ini juga berasal dari salah satu blogger asal Indonesai. Harga tiket bus memang lumayan menguras tabungan. Aku perlu mengeluarkan sekitar delapan ratusan TBH hanya untuk sekali jalan. Untungnya, fasilitas yang diberikan memang sesuai.Bus hanya diisi oleh dua puluh kursi, dengan perjalanan malam selama sepuluh jam, pilihan transportasi satu ini bisa jadi pertimbangan. Setelah kelelahan mempersiapkan keberangkatan ke Chiang Mai, akhirnya tubuhku minta diistirahatkan.Saat bus meninggalkan Bangkok,
Sepertinya aku terlalu terobsesi untuk bertemu dengan penumpang pria di kereta malam waktu itu, sampai-sampai aku harus bermimpi tentangnya.Pukul lima subuh sopir bus segera memberikan sinyal melalui klakson bagi para penumpang untuk naik, perjalanan akan dilanjutkan kembali. Aku masih berusaha mengumpulkan kesadaranku, mengatur detak jantung yang sedikit berdebar mengingat wajah pria dalam mimpiku tadi.Sebuah suara menganggu telingaku, kehadiran seorang pria yang duduk di bangku sebelahku kembali menyamarkan kenyataan.“Mau kue, kamu tadi tidak turun, kan?” tawarnya seraya menyerahkan dua bungkus kue.Aku melirik ke bangku penumpang lain, mencari pembenaran kalau aku sedang tidak berkhayal.“Atau mau yang lain? Aku tadi juga mengambil beberapa biskuit, kamu mau?” tanyanya lagi.Aku menggeleng pelan, seraya mencubit tangan kiriku. Sakit. Berarti aku sedang tidak bermimpi, kalau begitu aku benar-benar bertemu dengann
“Jangan lupa berdoa sebelum masuk ruangan operasi, Dek. Setelah dibius juga, sampai kesadaranmu hilang, tetap baca doa,” pesan Kak Dinah melalui panggilan video.“Iya, Kak,” sahutku saat masih di ruang rawat inap.“Semoga operasinya lancar, Tante,” seru Allisya saat panggilan video beralih ke nomor pribadi Kak Puspa.“Sampai ketemu dua hari lagi, Tante. Mega akan menyusul ke Semarang, ya,” ujar Kak Maya seraya melambaikan tangan Mega yang berada dalam pangkuannya.Panggilan video berakhir satu per satu, kursi roda yang kududuki mulai didorong oleh Bang Ridwan menuju ruang operasi.Jadwal operasiku pukul sebelas pagi, saat jam besuk sudah berjalan selama satu jam. Jadi, Bang Nanda dan Dila tidak harus berebut untuk masuk menemuiku. Mereka berdua sudah menunggu di depan bangunan operasi, lalu memelukku bergantian.“Tenang, aku sudah dapat izin dari Bang Nanda dan istriku,” ujar Bang N
Aku kembali dengan membawa rasa perih yang kubuat sendiri.Satu minggu setelah kembali ke Semarang, aku kembali berkonsultasi dengan Dokter Acha. Setelah memastikan semua kenangan yang kujaga selama ini sudah terketik rapi, aku segera melakukan pembicaraan mengenai tanggal pasti kapan operasiku akan dilaksanakan.Aku sudah memberi tahu keluargaku di Kalimantan. Bang Ridwan memastikan dia menemaniku satu pekan sebelum operasi dan satu pekan pasca operasi nanti.Ada satu informasi yang membuatku sedikit terguncang, satu bulan sebelum operasi aku menanyakan sesuatu kepada Dokter Acha, mengonfirmasi informasi yang kubaca di mesin pencarian.“Apa itu bisa terjadi, Dok?” tanyaku di akhir sesi konsultasi.“Bisa saja, banyak kemungkinan yang bisa menjadi efek samping setelah operasimu nanti, tapi tenang saja, Kana. Peralatan medis sekarang makin canggih, kita juga akan melakukan treatment sebelum prosedur utama dilakukan di ruang operasi,
“Matamu jeli sekali, Kana. Bagaimana kamu menyadari wajah tokoh sejarah tersebut, menurutku fotonya tidak banyak.”Setelah situasi kikuk tadi pagi, aku dan Aroon kembali berinteraksi seperti biasa. Seolah pelukan kami tadi hanya sesuatu yang lewat saja.“Entahlah, aku tiba-tiba tertarik dengan tatapan hangatnya. Fotonya banyak kok di internet.”“Kamu jatuh cinta padanya, ya,” kekeh Aroon, sepertinya ingin bercanda.“Bisa dianggap aku penggemarnya, aku bahkan menyimpan foto-fotonya di laptopku,” ceritaku apa adanya.Aroon melongo, tatapannya seolah tidak percaya dengan kelakuanku.“Menyimpan foto-fotonya. Kamu penggemar fanatik,” tebak Aroon.“Tidak juga, aku senang aja lihat wajahnya, bisa membuatku lancar menulis,” ungkapku.“Mau kukasih foto-fotoku,” tawar Aroon dengan senyum yang tidak dapat aku artikan.“No,no, jangan manawariku
Bandara selalu menjadi tempat yang sibuk, apalagi bandara internasional yang memiliki jadwal penerbangan hampir dua puluh empat jam. Aku baru saja menginjakan kaki kembali ke Bangkok, tetapi rasa rindu yang tidak biasa itu sudah hadir. Apalagi aku tidak tahu apakah masih bisa bertemu dengannya lagi setelah beberapa pesan singkat terakhirku yang tidak mendapatkan balasan. “Kenapa aku jadi sangat ingin bertemu dengan Aroon? Apa ini bisa disebut sebagai rindu?” Aku kembali pergi ke Lifenovel di Bangkok seperti jadwal yang diberikan. Sudah tidak banyak yang dilakukan sebenarnya, jadwal tayang novelku dalam bahasa Thailand juga akan berakhir. Sepulang dari kantor cabang Lifenovel di Bangkok, aku memutuskan untuk mencari makan di luar. Di taman asri di bawah jembatan dekat kediamanku di Bangkok, aku melihat sosok Aroon. Aroon terlihat sedang asyik mengobrol dengan seorang wanita. Aku mengambil jarak aman, menyantap makan siang sederhana yang kubeli
“Tidak mungkin tidak ada apa-apa kalau seperti ini,” keluhku di depan Laptop.Meskipun Aroon tidak mengatakan tidak ada apa-apa, kurasa dia tetap tersinggung dengan pemberianku. Hampir dua minggu kami tidak bertemu, aku kembali mengalami insomnia.Seperti malam ini, mataku kembali sudah diajak beristirahat, jadi aku memutuskan untuk menambah beberapa bab untuk novel terbaruku.Aroon mengatakan kalau dia ada jadwal menemani wisatawan asing ke beberapa tempat wisata di luar Bangkok. Saat aku tanya pergi ke mana, Aroon mengalihkan pembicaraan.“Ya, kurasa itu caranya untuk menghindariku.”Aku kembali bangun dengan kepala pusing keesokan harinya. Aku masih tetap rutin menenggak obat yang diresepkan. Aku juga masih mendapatkan saran yang sama dari dokter Acha.[Lakukan pemeriksaan kalau sudah balik ke Indonesia, ya, Kana.]Dokter Acha masih tetap menyarankan tindakan operasi. Dia tidak pernah bosan menanyakan kabark
Selama dua bulan hidupku sangat tenang. Meskipun tidak bisa dikatakan sehat, tetapi jam tidur malamku mulai membaik. Semua itu berkat bantuan Aroon.“Mau jalan akhir pekan ini,” ajak Aroon.“Jalan ke mana?” tanyaku.“Di sekitar sini aja. Mau ke Sanam Luang. Jalan-jalan pagi di sana sangat aku rekomendasikan,” usul Aroon.Aku mengambil ponsel, mengetikkan ‘Sanam Luang’ paa mesin pencarian. Aku memang sudah tinggal di Bangkok hampir empat bulan, tetapi belum terlalu familiar dengan tempat wisata di ibu kota negara Thailand ini.“Dekat dengan Grand Palace, ya,” ujarku tanpa mengalihkan perhatian dari ponsel.“Dekat dengan Wat Phra Kaew dan Wat Pho juga. Mau ke sana sekalian,” usul Aroon lagi.“Boleh,” jawabku.Aroon mengulurkan tangannya, menggenggam tanganku dengan lembut.Besok paginya Aroon membawaku mengitari Sanam Luang dengan berjalan
“Apa ini cukup?” tanya Aroon yang duduk di sampingku.Aku mengangguk cepat dengan wajah senang yang tidak bisa kusembunyikan. Tangan Aroon menggenggam tangangku hangat. Pesawat yang kami tumpangi baru saja lepas landas.Aku memang perlu tangan Aroon agar bisa terlelap dengan nyaman. Namun, aku tidak menolak uluran tangannya yang terbuka sejak Arron menerima permintaan konyolku tadi malam.Setelah tiba di Bangkok, aku tidak ragu lagi untuk meminta kontak Aroon.“Lucu sekali,” komentar Aroon, “apa tanganku benar-benar manjur.”Aroon memperhatikan tangannya, lalu beralih padaku.“Lebih manjur daripada obat yang dokterku resepkan.”Terdengar aneh memang, ketika aku mengatakan kalau ini sebuah takdir. Untungnya Aroon tidak mentertawakan ucapanku, tetapi wajahny sudah cukup menggambarkan kalau omonganku tidak masuk akal baginya.“Seberapa parah insomniamu?” tanya Aroon.
Sepertinya aku terlalu terobsesi untuk bertemu dengan penumpang pria di kereta malam waktu itu, sampai-sampai aku harus bermimpi tentangnya.Pukul lima subuh sopir bus segera memberikan sinyal melalui klakson bagi para penumpang untuk naik, perjalanan akan dilanjutkan kembali. Aku masih berusaha mengumpulkan kesadaranku, mengatur detak jantung yang sedikit berdebar mengingat wajah pria dalam mimpiku tadi.Sebuah suara menganggu telingaku, kehadiran seorang pria yang duduk di bangku sebelahku kembali menyamarkan kenyataan.“Mau kue, kamu tadi tidak turun, kan?” tawarnya seraya menyerahkan dua bungkus kue.Aku melirik ke bangku penumpang lain, mencari pembenaran kalau aku sedang tidak berkhayal.“Atau mau yang lain? Aku tadi juga mengambil beberapa biskuit, kamu mau?” tanyanya lagi.Aku menggeleng pelan, seraya mencubit tangan kiriku. Sakit. Berarti aku sedang tidak bermimpi, kalau begitu aku benar-benar bertemu dengann
Perjalanan liburanku ke Chiang Mai sudah di depan mata. Aku sudah menaiki bus yang membawaku ke bagian utara Thailand tepat pukul tujuh malam waktu setempat.Selama di perjalanan, aku sibuk mencari informasi tambahan untuk tempat-tempat yang belum aku sambangi saat kunjungan pertamaku di Chiang Mai. Aku mencari rekomendasi dari blog-blog perjalanan. Ulasan para travel blogger bisa sangat membantu untuk orang awam sepertiku.Rekomendasi agen bus yang aku tumpangi ini juga berasal dari salah satu blogger asal Indonesai. Harga tiket bus memang lumayan menguras tabungan. Aku perlu mengeluarkan sekitar delapan ratusan TBH hanya untuk sekali jalan. Untungnya, fasilitas yang diberikan memang sesuai.Bus hanya diisi oleh dua puluh kursi, dengan perjalanan malam selama sepuluh jam, pilihan transportasi satu ini bisa jadi pertimbangan. Setelah kelelahan mempersiapkan keberangkatan ke Chiang Mai, akhirnya tubuhku minta diistirahatkan.Saat bus meninggalkan Bangkok,