"Saya memang belum percaya sepenuhnya sama kamu, tapi saya merasa kalau kamu memang tidak bersalah."Kalimat Bu Yunita membuat isi dadaku terasa lega. Bagaikan kalimat syair yang menyejukan hati.Aku menyeringai senang. Menghela napas lega. Perbicangan siang itu berakhir dengan kelegaan hati.Aku pulang ke rumah dengan beban yang sedikit berkurang. Sementara itu, pesanan kue terus saja berdatangan. Ponselku sibuk dengan suara dering panggilan masuk dari pelanggan yang memesan kue basah.Aku pun membuat kreasi baru, yakni aneka macam cake. Hingga tak terasa hari-hari yang kulewati menjadi sibuk, lelah tapi menyenangkan.Ketika malam hari, saat jarum pada benda bundar yang menempel di dinding kamar menunjukan pukul sepuluh malam, aku baru saja merebahkan tubuh di atas ranjang kamar, sendirian.Selagi menatap ke langit-langit kamar dan kelopak mata hendak terpejam, suara dering ponsel mengejutkanku hingga aku terperanjat.Begitu kutengok layar ponselku, rupanya telepon dari Bu Yunita yan
Gina terlihat semakin memanas. Bukan hanya itu, aku kembali melihat bulir bening menetes dari sudut matanya. Dia pun kembali menunjuk wajahku dengan jari telunjuknya."Kenapa kamu selalu mengganggu pernikahanku dengan Bastian? Kenapa kamu tak mau pergi dari pikiran Bastian. Aku cape, Tari! Aku lelah dengan semua kepalsuan ini!" pekiknya. "Aku tidak pernah mengganggu pernikahan kamu, Gina! Kenapa kamu terus saja menyalahkan aku," bantahku tak terima."Kamu wajah tak pernah merasa bersalah ya. Sok suci. Padahal jelas kamu salah. Kamu selalu menggoda suamiku. Kamu selalu membuat masalah dalam pernikahanku." Gina sampai teriak-teriak emosi. Wajahnya nampak merah menyala. Mungkin emosinya tengah naik ke ubun-ubun. Berbeda jauh dengan Gina yang dahulu kukenal.Aku menggelengkan kepala. Sungguh mantan sahabatku itu tak bisa lagi kukendalikan."Cukup, Gina! Aku rasa kamu sakit. Kamu harus memeriksa kejiwaan kamu. Aku sibuk dan tak ada waktu mengurusi rumah tangga kalian. Jangan menyalahkan a
"Cukup, Gina!" sentakku akhirnya. Tak bisa lagi rasanya menahan dan bersikap lemah lembut lagi pada wanita yang bukan lagi sahabatku itu."Apa! Berani kamu padaku?!" Gina langsung berbalas menyentakku."Cukup sudah!" Bastian turut melerai. Dia nampak kewalahan.Napas di dalam dada terasa memburu panas. Sungguh Gina nampak bagai musuh di depanku. Aku segera mengatur napas guna menenangkan diri. "Kamu sudah lihat barusan, Bastian. Tolong selesaikan urusan kalian dan jangan bawa-bawa aku dalam masalah kalian," tegasku seraya menoleh pada Bastian kemudian pergi meninggalkan mereka berdua."Heh, Lestari! Jangan pergi kamu!" Gina berteriak padaku.Sepertinya Gina masih memberontak. Kalau saja Bastian tak menahannya mungkin Gina sudah mengejarku dan bisa saja menampar pipiku lagi.Ya ampun, Gin. Mengapa kamu sebegitu marahnya padaku, padahal aku sudah merelakan Bastian untukmu. Langkahku begitu cepat meninggalkan kantor Bastian.Namun begitu sampai di lobi, langkahku seketika tertahan."Tar
"Apa!" Aku dibuat terkejut. "Jangan ngaco kamu, Reyno."Pria berambut gondrong itu pun kembali melebarkan tawanya sambil menggelengkan kepala. "Saya serius, Mba. Itu 'kan tantangan. Kalau saya berhasil, ya itulah kesepakatannya. Bagaimana? Berani gak, Mba?"Semakin kesal saja aku melihat tingkah bocah tengil ini. Aku menggelengkan kepala. Bagaimana caranya agar Reyno lekas pergi dari rumahku. Aku meluruskan pandangan ke depan, sejenak berpikir, mana mungkin Reyno bisa menaklukan tantangan. Sementara mencari bukti penyebab kematian Meysa tidaklah mudah.Aku pun kembali menoleh padanya. Hati ini merasa yakin kalau dia tak akan mendapatkan apa-apa. "Baik, saya terima tantangan kamu," jawabku mengiyakan.Seketika Reyno nampak menyeringai senang. Bola matanya terlihat berbinar, sementara bibirnya kembali melebarkan senyuman.Aku pun langsung menurunkan tatapan. Menepuk-nepuk kening yang isinya tak terlalu pusing. Bisa-bisanya aku bertemu bocah tengil yang malah menambah kekusutan hidupku.
Bu Yunita menatapku bersalah. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Dia menaruh sebelah tangannya pada punggung tanganku. "Tolong jangan menolak. Izinkan saya menebus kesalahan yang pernah saya lakukan sama kamu. Saya telah sadar tentang apa yang telah saya perbuat pada kamu adalah salah. Saya tulus hanya ingin mengembalikan hak kamu. Perihal dana saya, kamu pun tidak mengambilnya dari saya. Semua itu masuk dalam saham saya di perusahaan Haryanto. Jadi, please! Jangan menolak." Aku meneguk saliva begitu berat. Sesakali kualihkan pandangan ke arah yang lain, namun begitu pandangan kembali pada Bu Yunita, wanita itu nampak tulus padaku. Aku yakin semua itu berkat campur tangan Tuhan. Memang tak yang mustahil bagi Tuhan jika sudah menghendaki sesuatu. Bola mataku seketika terasa basah. Sepertinya berkaca-kaca. "Terima kasih atas kepercayaan ini, Bu. Terima kasih atas tulusnya Ibu pada saya," ucapku. Tak terasa bulir bening turut menetes di sudut mata ketika selesai mengucapkan itu.
Bagai mendengar petir di siang bolong, tentu berita itu amat mengejutkan kami yang mendengar."Aku harus segera ke kantor polisi untuk mencari tahu semuanya." Bastian nampak beranjak dari tempat duduknya. Dia bersiap-siap akan segera pergi."Bolehkah aku ikut?" Aku langsung meminta izin. Aku pun turut penasaran dengan informasi mengenai Gina.Bastian mengangguk menandakan izinnya padaku. Aku pun bergegas mengikuti langkahnya.Dalam perjalanan ke kantor polisi, aku dan Bastian berada di kendaraan yang berbeda, sebab aku mengendarai kendaraan sendiri.Begitu sampai di kantor polisi, sepintas aku melihat pria yang tak asing dalam pandangan. Pria berambut gondrong yang tengah berbincang dengan beberapa petugas berseragam coklat itu nampak berdiri berjajar di depan kantor polisi."Seperti Reyno. Ngapain dia ada di kantor polisi?"Aku yang baru saja tiba dan belum sempat keluar dari mobil, mematung sejenak. Sedikit kaget dan tercengang ketika melihat Reyno berada dengan beberapa polisi. Pri
Aku pun kembali membeliak terkejut. Pipiku saat ini sudah basah oleh air mata yang kian mengalir deras. "Bawa saya menemui pelaku itu," pintaku. Napasku terasa kian sesak di dalam dada. Sungguh semakin lemas."Mba harus tenang terlebih dahulu. Tetap tenang." Reyno berusaha menenangkanku."Tapi saya ingin segera melihat pelaku itu, Rey." Aku memaksa."Pelakunya tak akan lari kemana-mana. Tenang saja dulu." Reyno masih menahanku. "Atur napas dahulu, Mba," lanjutnya.Aku yang masih menangis sendu, akhirnya menuruti perintah Reyno. Aku segera mengatur napas yang terasa sesak di dada.Berapa menit berlalu ketika air mata sudah kering dan napas kembali terasa lega. "Saya sudah siap. Bawa saya menemui orang itu," pintaku lagi pada Reyno."Baik, saya antar sekarang," kata Reyno kali ini mengiyakan.Tak kusangka bocah yang biasanya penuh dengan gurauan itu, kali ini terlihat serius dan dewasa. Dia menuntun langkahku menuju sebuah sel tahanan dimana di dalamnya terlihat wanita berseragam tahana
Satu hari berlalu setelah semuanya terbongkar di kantor polisi kemarin. Di bawah teriknya matahari, aku menekuk lutut di atas pusara Mesya. Mendoakan anakku yang kini sudah berada di sisi Tuhan. Selesai mengirimkan doa, aku pun menabur bunga di atas pusara Mesya.Tak terasa air mataku kembali menetes, tapi meski pun begitu aku segera menghapusnya agar tak sampai menetes ke tanah."Mey, maafkan Mama ya. Selama ini Mama memang belum menjadi orang tua yang baik buat kamu. Mama tak selalu ada di sisiku. Mama tak selalu mendekapmu di sepanjang waktu. Mama sudah mengabaikanku. Maafkan Mama, Mey." Ketika mengucapkan kalimat itu, aku sedang susah payah membendung kepedihan yang akan kembali tumpah. Aku berusaha untuk tak kembali meneteskan air mata. Sekuat tenaga aku menegal semua duka dan lara."Kamu yang tenang ya, Mey. Mama akan kuat menghadapi semua ini. Terima kasih karena kamu sudah menjadi anak yang baik selama ini. Kamu anak yang penurut, Mey. Kamu tak pernah membantah perintah Mama.
"Mama memang selalu memberikan kejutan." Bastian berkata dengan wajah semringah. Sepertinya dia menyukai lokasi berbulan madu yang diberikan mamanya."Kamu menyukai Turki?" Aku pun bertanya tanpa memalingkan tatapan ke arah yang lain."Aku sangat menyukai negara Turki. Itu negara favoritku sejak kecil," jawabnya sambil menganggukan kepala."Maukah kamu pergi ke sana denganku?" imbuhnya."Tentu saja, Bas." Aku menjawab segera.Bastian semakin terlihat melebarkan senyumnya. Sebelah telapak tangannya kembali mengusap pipiku dengan lembut. Sungguh kelembutan usapan tangannya bagaikan aliran listrik yang seketika membuat isi dadaku berdebar tidak karuan."Bas, aku mau mandi dulu ya." Aku pun segera meminta izin. Lagi pula, pakaian pesta pun belum sempat kuganti. Walau pun acara seharian tadi tak membuat tubuhku berkeringat tetap saja aku tidak percaya diri jika tak membersihkan terlebih dahulu.Bastian pun menganggukkan kepalanya. Dia masih tersenyum. Sementara aku segera beranjak dari tem
Sepasang manik ini meneteskan bulir bening, ketika Bastian turun dari tempat duduk kemudian menekuk lututnya di hadapanku. Posisi duduknya seperti tengah memohon padaku."Maukah kamu menikah denganku?" Bastian bertanya padaku dengan tatapan mendalam.Mana bisa aku menolak. Kepala ini segera mengangguk. Terharu dan sangat bahagia."Aku mau," jawabku segera.Laksana kemarau panjang yang diterpa hujan, aku dan Bastian saling melempar senyuman penuh rasa haru dan bahagia.Harapan yang pernah menjadi sebuah angan-angan semata, kini sudah terlihat di depan mata. Bastian benar-benar akan menikahiku. Meski ini bukanlah pernikahan yang bertama, tapi debaran yang luar biasa terasa menghujam jantungku.Setelah lamaran singkat pagi itu, Bastian benar-benar mempersiapkan lamaran yang sesungguhnya. Seperti hari ini ketika weekend dan libur kerja, aku diajak Bastian ke sebuah butik ternama di Jakarta Pusat. Bastian memilah berbagai gaun sebagai contoh untuk aku kenakan nantinya. Dia memilihkan gaun
Satu hari setelahnya, pagi-pagi sekali kendaraan Bastian sudah terparkir di depan rumahku. Tak kusangka dia terlihat seantusias itu.Begitu pintu utama kubuka lebar, Bastian langsung menyeringai senang. Dia mengukir senyuman ketika menatapku."Selamat pagi, Tari. Maaf kalau aku kepagian," sapanya begitu manis."Iya sih, untuk apa datang pagi-pagi begini? Padahal mentari baru saja muncul," sindirku."Karena aku ingin menagih janji penjelasan dari kamu," jawabnya antusias."Tapi apa kamu sudah sarapan, Bas?" Aku memastikan terlebih dahulu.Bastian pun langsung menggelengkan kepalanya. "Belum. Aku berharap bisa numpang sarapan di sini," katanya sedikit bergurau. "Itu pun kalau kamu tak keberatan," sambungnya.Bibir ini seketika melebar sendiri. Aku tersenyum bahagia mendengar gurauan Bastian pagi ini. Ya Tuhan, aku memang selalu jatuh cinta padanya."Tentu saja boleh, Bas. Kebetulan sekali aku sudah masak nasi goreng," balasku.Lagi-lagi Bastian pun menyeringai senang. "Mau banget," kata
"Siapa yang meninggal?"Aku bertanya-tanya sendirian. Mematung terkejut dalam beberapa detik. Kelopak mata pun sampai lupa untuk berkedip. Gegas aku keluar dari kendaraan. Di depan rumah Bastian nampak banyak sekali orang-orang yang memakai pakaian hitam masuk ke dalam rumah mewah nan besar itu. Sepertinya akan melayat. Dadaku bergetar resah. Menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara. Semua orang nampak sibuk keluar masuk rumah mewah milik Bastian.Kedua kaki ini hendak masuk, namun seketika harus tertahan tatkala melihat beberapa mobil pick up membawa karangan bunga masuk ke halaman rumah Bastian.Aku harus segera membaca tulisan pada karangan bunga yang baru saja datang, guna mengetahui siapa yang meninggal di rumah Bastian saat ini.Dan ternyata, yang meninggal adalah nenek dari Bastian. Ya Tuhan, kasihan sekali. Bastian pasti sangat berduka.Kemudian aku mengedarkan pandangan, hendak mencari seseorang yang bisa kutanya.Satpam. Pria berseragam secu
"Kapan mereka datang? Rasa-rasanya saya tidak mendengar deru mobil atau pun bell berbunyi." Gegas aku bertanya pada Santi."Mungkin ketika ibu berada di kamar mandi, makanya tak kedengaran suara mobilnya," kata Santi.Napas di dalam dada terasa resah. Setelah memakai pakaian yang rapih, aku keluar dari kamar guna menemui Reyno dan mamanya di ruang tamu."Selamat siang!" Aku menyapa kedua tamuku yang sudah duduk di ruang tamu."Siang, Tari." Mamanya Reyno nampak mengukir senyum padaku. Tapi tidak dengan Reyno.Wajah Reyno nampak ditekuk. Bibirnya menggaris lurus tanpa senyuman yang biasanya dia tampilkan di depanku.Gegas aku duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka, di ruang tamu rumahku."Bagaimana keadaan kamu sekarang, Tar?" Mamanya Reyno langsung bertanya padaku.Aku pun berusaha mengukir senyum pada wanita paruh baya di depanku itu. "Sudah sedikit membaik, Tante," jawabku pelan."Syukurlah." Mamanya Reyno yang ramah nampak menghela napas lega.Namun begitu pandangan beralih
"Tapi apakah Tari mencintai kamu? Masa iya, wanita yang hendak menikah malah turun berat badannya. Wajahnya sampai pucat. Sakitnya malah belum sembuh-sembuh begini. Harusnya calon pengantin itu bahagia, wajahnya bersinar. Ini malah sebaliknya." Suara mamanya Reyno terdengar protes."Aku mencintai Mba Tari, Ma. Tolong jangan persulit keadaan."Jelas terdengar di telingaku, Reyno dan mamanya seperti tengah beradu argumen. Aku tetap memilih diam dan menutup mata. Enggan untuk menimpali mereka berdua."Mama ingin bicara berdua dengan Tari. Tolong kamu keluar sebentar." Sepertinya mamanya Reyno terdengar meminta."Bicara apa, Ma? Mba Tari 'kan masih tidur." Reyno terdengar enggan menuruti permintaan mamanya."Keluar sebentar, Rey. Mama mohon. Mama ingin bicara berdua dengan Tari." Mamanya Reyno kembali meminta."Baiklah, Ma. Tapi aku harap, mama jangan bicara yang aneh-aneh. Aku akan tetap menikah dengan Mba Tari, karena aku mencintainya."Suara langkah kaki meninggalkan ruangan kamarku. S
"Lestari... Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah di dalam pesawat dalam perjalanan menuju Singapura. Untuk waktu yang cukup lama, aku akan tinggal di sana atas permintaan mamaku guna mengurus bisnis keluarga. Aku minta maaf seandainya tak bisa hadir pada pesta pernikahanmu nanti, bukan karena tak merestui, tapi memang ada kendala. Meski pahit, aku merelakanmu bersama Reyno. Aku akan selalu berdo'a pada Tuhan akan kebahagiaanmu. Karena melihatmu bahagia merupakan kebahagiaan bagiku pula. Jangan pernah menangis sendirian di tepi danau, aku tak rela melihat kesedihanmu tumpah sendirian di sana. Salam hangat. Bastian."Setelah membaca surat dari Bastian, air mataku kembali menetes. Napasku lagi-lagi terasa sesak karena isi dada yang kembali terasa sakit.'Bas, kamu benar-benar pergi. Aku minta maaf, Bas. Aku tak bisa menahan niatmu meninggalkan Indonesia,' lirihku dalam hati. Tangisanku kembali tumpah ruah seperti kemarin sore di tepi danau.'Oh, Bastian. Maafkan aku.' hati ini
"Masih apa?" tagih Bastian."Ah, bukan apa-apa." Aku mengelak. Menggelengkan kepala."Bastian, aku juga berharap, semoga kamu mendapatkan jodoh terbaikmu," imbuhku.Kami berdua saling berbalas tatapan mata dalam beberapa detik hingga akhirnya menyudahinya."Meski pun yang aku rasa hanya kamu jodoh terbaikku, tapi Tuhan pemilik kuasa," katanya. Bastian kemudian bangkit dari tempat duduk. "Aku pulang ya. Kamu juga harus segera pulang sebab ini sudah sore. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Jaga diri baik-baik. Walau pun aku sudah tak berhak menerima kabar darimu, tapi aku akan merasa bahagia jika kamu masih ingin memberi kabar padaku," lanjutnya."Aku pamit." Setelah pamit, Bastian melangkah, hendak meninggalkanku. Namun baru beberapa langkah saja dia malah menjedanya. Bastian kembali menoleh padaku."Oh ya, Tar. Aku melupakan sesuatu. Aku memang berniat akan datang ke acara pernikahanmu, tapi di waktu yang sama, aku harus pergi ke Singapur dalam jangka waktu yang tak tentu. Ji
Hari berganti. Begitu cepat waktu berputar. Lamaran yang meriah telah terlewat begitu saja. Semua keluarga Reyno telah menghadiri acara yang tak pernah aku inginkan. Tak ada satu pun dari keluarga Reyno yang tak setuju denganku. Semua menyukaiku, termasuk mama papanya. Entah apa yang mereka sukai dariku yang hanya seorang janda.Saat ini, tepat satu minggu sebelum acara pernikahan dengan Reyno. Aku duduk sendirian di tepi danau. Seperti biasa, saat merasa sedih, aku akan selalu datang ke danau yang itu.Di sebuah kursi besi berwarna putih di sana aku duduk sendirian. Tak ada lagi tangisan yang luruh, kecuali saat melihat wajah Bastian.Aku memandang cincin bermatakan batu berlian di jari manisku. Berkali-kali kuusap dan kutatap. Kilauannya tak lantas membuat bibirku merekah. Nyatanya bibir ini masih saja menggaris lurus.Dalam hati risau memikirkan satu minggu yang akan datang, yakni hari pernikahanku. Semua ini nyata, sepertinya aku memang benar-benar akan menikah dengan Reyno. Pria