Gegas aku mendekat pada Bu Yunita, berniat meraih telapak tangannya untuk bersalaman, namun calon mertua langsung menghempaskannya. Ada apa ini?"Duduk!" titahnya bernada tinggi. Bu Yunita menghindar dariku. Ia duduk di kursi utama di ruangan itu.Sementara aku yang merasa tersentak, berusaha tetap tenang dan duduk d kursi yang berseberangan dengannya."Bastian di mana, Bu?" Aku bertanya seraya menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari calon suamiku yang belum juga menampakan diri."Untuk apa lagi kamu mencari anak saya? Bastian tidak pantas memiliki istri tukang mabuk dan tukang selingkuh seperti kamu!"Bak tersambar petir di siang bolong, seketika hatiku terasa remuk dan hancur mendengar ucapan Bu Yunita. Apa Bu Yunita mengetahui kejadian semalam?"Kok Ibu bicara seperti itu?" Suara bergetarku memberanikan diri bertanya.Bu Yunita nampak tersenyum mengejek kepadaku. "Kamu pikir telapak tangan siapa yang membekas di pipimu?" sentaknya terdengar menyindir.Sontak aku mengusap pipiku yang
"Siapa pria yang semalam berani mencumbuku?! Aku mabuk, tak ada siapa pun di dekatku, kecuali pria yang tak kukenal. Aku bahkan tak menyadari itu, sampai akhirnya Bu Yunita yang memberitahuku." Kuungkap semua kekecewaan pada Gina. "Apa maksud semua ini, Gina?!" tanyaku seraya melayangkan nanar pada Gina sahabatku. Ini adalah kali pertama aku merasa kecewa padanya."Aku gak tahu, Tar. Sama halnya dengamu, aku juga dalam mabuk berat. Aku pun tak tahu siapa yang mengantarku semalam. Sungguh, Tar. Aku gak tahu kalau kita akan sama-sama mabuk. Apa jangan-jangan ada yang menjebak kita?" Wajah Gina nampak tak bersalah.Apa memang dia tak tahu apa-apa? Aku mengatur napas yang masih tersengal di tenggorokan."Maafkan aku, Tari. Aku tidak tahu apa-apa." Gina kembali bersuara seraya menampilkan wajah yang bersungguh-sungguh.Aku kebingungan. Kututup wajah ini dengan kedua telapak tangan seraya mengatur napas berkali-kali. Masalahku dengan Gina sudah selesai, tapi kini malah datang masalah yang l
"Sepertinya aku mengenal rambut dan postur tubuh wanita itu." Poto calon pengantin wanita penggantiku tak manampakan wajahnya. Tapi aku seperti mengenal postur tubuh dan fashion yang dikenakan dalam poto bersama Bastian di sosial media.Kulihat kolom komentar pada postingan di sosial media itu. Ada ratusan akun yang membanjiri kolom komentar. Di dalamnya bahkan banyak menyinyir dan mencatut namaku.[Oh jadi, pengantin wanitanya diganti ya. Bukan Lestari lagi?][Lebih cocok sama yang ini sih. Sama-sama lajang 'kan ya. Dari sama yang kemarin, ketuaan, mana janda pula.][Sudah gak sabar nunggu besok lusa. Pengen cepat-cepat datang ke acara pesta termegah seabad ini.]Masih banyak lagi komentar yang menyayat hatiku. Gegas kuakhiri membaca komentar itu. Segera kututup layar ponselku. Napasku selalu terasa sesak ketika sadar akan kenyataan pahit ini. Aku mengatur hembusan napas dari dalam dada. Aku tak boleh mati karena cinta, sebab Meysa masih membutuhkanku.Tapi tunggu! Aku sangat penasa
Gina yang tengah membereskan belanjaannya, nampak terkesiap melihat kedatanganku."Tari!"Gina segera mendekatiku yang masih berdiri di ambang pintu rumahnya. Sepertinya aku harus berpura-pura tak tahu apa-apa guna menguji kejujurannya."Kamu kapan datang, Tar?" Gina menyapaku seraya memelukku. Mungkin menyambut kedatanganku. Wajahku terlihat gugup, seolah tengah berhadapan dengan polisi."Aku baru saja tiba, Gin. Aku ingin menjenguk kamu. Bagaimana keadaan kamu? Apa masih sakit?" balasku sekedar basa-basi."A-aku emm aku sudah membaik," jawab Gina gugup. "Duduklah, Tari. Maaf ya berantakan," imbuhnya mempersihlahkan aku masuk dan duduk di sofa yang berada di ruang tamu."Kamu baru selesai belanja ya?" tanyaku lagi masih basa-basi setelah aku duduk sambil menelaah belanjaan Gina.Tampak Gina langsung membawa belanjaannya ke dalam kamarnya. Ia tak membiarkan aku melihat apa yang telah dibelinya bersama Bastian tadi."Aku menyuruh orang lain belanjan bulanan, Tar. Baru saja belanjaan ti
"Dia yang berusaha merebut, dia yang marah-marah. Jadi gak sabar dengan kejutan besok. Apa sahabatku itu masih bisa bernapas setelah mengetahui semuanya?" Status pada whatsup Gina.Seketika aku terkejut. Siapa yang dimaksud Gina dalam status whatsupnya? Berniat hendak mengetik balasan, namun di waktu yang bersamaan seseorang menepuk pundakku dari belakang."Maaf, Mba. Di depan sudah kosong. Silahkan maju untuk membayar belanjaan Anda."Aku terkejut. Segera maju menuju kasir seraya memasukan kembali ponselku ke dalam tas selempang.Dalam perjalanan pulang, banyak sekali yang aku pikirkan. Semua tentang Gina yang menimbulkan banyak pertanyaan. Apa yang sebenarnya Gina rahasiakan dariku? Kejutan apa yang akan Gina berikan besok? Pada siapa?Lamunan itu membuatku kehilangan fokus dalam perjalanan pulang saat menyetir mobil. Tanpa kusadari, ada yang tengah berjalan di depan kendaraanku, sepertinya hendak menyebrang jalan. Aku kaget dan segera menginjal pedas rem secara mendadak."Hei! Bisa
Apa aku tak salah lihat? Apa semua ini nyata? Mana mungkin!Nampaknya aku memang tidak salah lihat. Jelas terlihat di depan mata, Gina berjalan pelan bersama iring-iringan bridesmaid yang mendampingi di sampingnya.Kepalaku tiba-tiba pusing, pandangan sedikit memudar. Dadaku sesak, aku bahkan kehilangan keseimbangan tubuh hingga merasa akan terjatuh."Tari, kamu baik-baik saja 'kan?"Aku merasa ada seseorang menopang tubuhku dari belakang hingga tak jadi jatuh ke lantai. Aku menoleh, rupanya seorang pria yang masuk bersamaku tadi yakni rekan bisnisku."Maaf, saya harus keluar. Kepala saya pusing," balasku seraya menguatkan diri dan membendung air mata agar tak sampai tumpah."Saya bantu." Nyatanya aku memang lemah. Dibantu rekan bisnisku, aku keluar dari tempat resepsi pernikahan Bastian dengan Gina. Akhirnya air mataku merembes tanpa bisa di bendung. Langkahku yang terasa berat kini telah sampai di depan mobilku. Seteguk air mineral yang diberikan temanku tadi, telah masuk melewati
"Ah sial! Si Gina sudah tak mau lagi membayarku. Padahal aku sudah berhasil membuatnya bisa menikahi Bastian.""Memangnya Sudah berapa bayaran yang kau terima?""Gina baru membayar uang muka sepuluh juta. Sampai saat ini dia tak mau lagi membayarku. Padahal aku sudah sempat dihajar Bastian sampai memar di club malam tempo lalu.""Gina sudah menikah dengan pria idamannya, tapi dia malah memblokir nomor teleponku.""Aku sedang butuh uang untuk bayar hutang pada rentenir."Percakapan dua suara bariton di belakangku terdengar janggal. Kepalaku menoleh pelan. Kulirik pria di belakang yang nyatanya tak kukenal. Siapa mereka? Mengapa percakapan mereka seakan mengarah pada kejadian di club malam tempo lalu?Mereka terdengar melanjutkan perbincangan tanpa memperdulikan orang-orang disekitar. Ketika Meysa dan Santi masih menyantap makanannya, aku meminta izin pada mereka untuk mengejar pria tadi yang baru saja beberapa langkah keluar dari restaurant di tepi pantai."Tunggu!"Aku mengejar seray
"Kenapa liburannya sebentar sekali, Ma? Baru juga satu hari, sudah mau pulang saja."Ketika dalam perjalanan pulang, Meysa nampak menggerutu. Wajahnya terlihat ditekuk, seperti tengah kesal padaku."Maafkan Mama, Mey. Mama janji akan bikin jadwal lagi untuk liburan nanti ya. Kita harus pulang dulu."Meysa tak membalas ucapanku. Dia hanya diam seraya menyenderkan kepalanya pada bahu kursi.Beberapa jam kemudian kami telah sampai di rumah. Tak ada yang lain yang kutuju selain melangkah cepat menuju ruang kamar pribadi untuk mengambil leptop pribadi di sana.Aku duduk di atas ranjang kamar seraya membuka benda persegi itu. Segera kuperiksa rekaman CCTV yang sudah terhubung dengan leptopku. Bola mataku membulat sempurna tatkala melihat pria di dalam rekaman CCTV. Benar seperti yang dikatakan Meysa. Pria yang mengantarkanku pulang malam lalu ketika dalam keadaan mabuk, adalah pria yang kukejar tadi siang di pantai carita.Aku mengusap wajahku dengan kasar seraya merutuki diri sendiri. Bis
"Mama memang selalu memberikan kejutan." Bastian berkata dengan wajah semringah. Sepertinya dia menyukai lokasi berbulan madu yang diberikan mamanya."Kamu menyukai Turki?" Aku pun bertanya tanpa memalingkan tatapan ke arah yang lain."Aku sangat menyukai negara Turki. Itu negara favoritku sejak kecil," jawabnya sambil menganggukan kepala."Maukah kamu pergi ke sana denganku?" imbuhnya."Tentu saja, Bas." Aku menjawab segera.Bastian semakin terlihat melebarkan senyumnya. Sebelah telapak tangannya kembali mengusap pipiku dengan lembut. Sungguh kelembutan usapan tangannya bagaikan aliran listrik yang seketika membuat isi dadaku berdebar tidak karuan."Bas, aku mau mandi dulu ya." Aku pun segera meminta izin. Lagi pula, pakaian pesta pun belum sempat kuganti. Walau pun acara seharian tadi tak membuat tubuhku berkeringat tetap saja aku tidak percaya diri jika tak membersihkan terlebih dahulu.Bastian pun menganggukkan kepalanya. Dia masih tersenyum. Sementara aku segera beranjak dari tem
Sepasang manik ini meneteskan bulir bening, ketika Bastian turun dari tempat duduk kemudian menekuk lututnya di hadapanku. Posisi duduknya seperti tengah memohon padaku."Maukah kamu menikah denganku?" Bastian bertanya padaku dengan tatapan mendalam.Mana bisa aku menolak. Kepala ini segera mengangguk. Terharu dan sangat bahagia."Aku mau," jawabku segera.Laksana kemarau panjang yang diterpa hujan, aku dan Bastian saling melempar senyuman penuh rasa haru dan bahagia.Harapan yang pernah menjadi sebuah angan-angan semata, kini sudah terlihat di depan mata. Bastian benar-benar akan menikahiku. Meski ini bukanlah pernikahan yang bertama, tapi debaran yang luar biasa terasa menghujam jantungku.Setelah lamaran singkat pagi itu, Bastian benar-benar mempersiapkan lamaran yang sesungguhnya. Seperti hari ini ketika weekend dan libur kerja, aku diajak Bastian ke sebuah butik ternama di Jakarta Pusat. Bastian memilah berbagai gaun sebagai contoh untuk aku kenakan nantinya. Dia memilihkan gaun
Satu hari setelahnya, pagi-pagi sekali kendaraan Bastian sudah terparkir di depan rumahku. Tak kusangka dia terlihat seantusias itu.Begitu pintu utama kubuka lebar, Bastian langsung menyeringai senang. Dia mengukir senyuman ketika menatapku."Selamat pagi, Tari. Maaf kalau aku kepagian," sapanya begitu manis."Iya sih, untuk apa datang pagi-pagi begini? Padahal mentari baru saja muncul," sindirku."Karena aku ingin menagih janji penjelasan dari kamu," jawabnya antusias."Tapi apa kamu sudah sarapan, Bas?" Aku memastikan terlebih dahulu.Bastian pun langsung menggelengkan kepalanya. "Belum. Aku berharap bisa numpang sarapan di sini," katanya sedikit bergurau. "Itu pun kalau kamu tak keberatan," sambungnya.Bibir ini seketika melebar sendiri. Aku tersenyum bahagia mendengar gurauan Bastian pagi ini. Ya Tuhan, aku memang selalu jatuh cinta padanya."Tentu saja boleh, Bas. Kebetulan sekali aku sudah masak nasi goreng," balasku.Lagi-lagi Bastian pun menyeringai senang. "Mau banget," kata
"Siapa yang meninggal?"Aku bertanya-tanya sendirian. Mematung terkejut dalam beberapa detik. Kelopak mata pun sampai lupa untuk berkedip. Gegas aku keluar dari kendaraan. Di depan rumah Bastian nampak banyak sekali orang-orang yang memakai pakaian hitam masuk ke dalam rumah mewah nan besar itu. Sepertinya akan melayat. Dadaku bergetar resah. Menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara. Semua orang nampak sibuk keluar masuk rumah mewah milik Bastian.Kedua kaki ini hendak masuk, namun seketika harus tertahan tatkala melihat beberapa mobil pick up membawa karangan bunga masuk ke halaman rumah Bastian.Aku harus segera membaca tulisan pada karangan bunga yang baru saja datang, guna mengetahui siapa yang meninggal di rumah Bastian saat ini.Dan ternyata, yang meninggal adalah nenek dari Bastian. Ya Tuhan, kasihan sekali. Bastian pasti sangat berduka.Kemudian aku mengedarkan pandangan, hendak mencari seseorang yang bisa kutanya.Satpam. Pria berseragam secu
"Kapan mereka datang? Rasa-rasanya saya tidak mendengar deru mobil atau pun bell berbunyi." Gegas aku bertanya pada Santi."Mungkin ketika ibu berada di kamar mandi, makanya tak kedengaran suara mobilnya," kata Santi.Napas di dalam dada terasa resah. Setelah memakai pakaian yang rapih, aku keluar dari kamar guna menemui Reyno dan mamanya di ruang tamu."Selamat siang!" Aku menyapa kedua tamuku yang sudah duduk di ruang tamu."Siang, Tari." Mamanya Reyno nampak mengukir senyum padaku. Tapi tidak dengan Reyno.Wajah Reyno nampak ditekuk. Bibirnya menggaris lurus tanpa senyuman yang biasanya dia tampilkan di depanku.Gegas aku duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka, di ruang tamu rumahku."Bagaimana keadaan kamu sekarang, Tar?" Mamanya Reyno langsung bertanya padaku.Aku pun berusaha mengukir senyum pada wanita paruh baya di depanku itu. "Sudah sedikit membaik, Tante," jawabku pelan."Syukurlah." Mamanya Reyno yang ramah nampak menghela napas lega.Namun begitu pandangan beralih
"Tapi apakah Tari mencintai kamu? Masa iya, wanita yang hendak menikah malah turun berat badannya. Wajahnya sampai pucat. Sakitnya malah belum sembuh-sembuh begini. Harusnya calon pengantin itu bahagia, wajahnya bersinar. Ini malah sebaliknya." Suara mamanya Reyno terdengar protes."Aku mencintai Mba Tari, Ma. Tolong jangan persulit keadaan."Jelas terdengar di telingaku, Reyno dan mamanya seperti tengah beradu argumen. Aku tetap memilih diam dan menutup mata. Enggan untuk menimpali mereka berdua."Mama ingin bicara berdua dengan Tari. Tolong kamu keluar sebentar." Sepertinya mamanya Reyno terdengar meminta."Bicara apa, Ma? Mba Tari 'kan masih tidur." Reyno terdengar enggan menuruti permintaan mamanya."Keluar sebentar, Rey. Mama mohon. Mama ingin bicara berdua dengan Tari." Mamanya Reyno kembali meminta."Baiklah, Ma. Tapi aku harap, mama jangan bicara yang aneh-aneh. Aku akan tetap menikah dengan Mba Tari, karena aku mencintainya."Suara langkah kaki meninggalkan ruangan kamarku. S
"Lestari... Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah di dalam pesawat dalam perjalanan menuju Singapura. Untuk waktu yang cukup lama, aku akan tinggal di sana atas permintaan mamaku guna mengurus bisnis keluarga. Aku minta maaf seandainya tak bisa hadir pada pesta pernikahanmu nanti, bukan karena tak merestui, tapi memang ada kendala. Meski pahit, aku merelakanmu bersama Reyno. Aku akan selalu berdo'a pada Tuhan akan kebahagiaanmu. Karena melihatmu bahagia merupakan kebahagiaan bagiku pula. Jangan pernah menangis sendirian di tepi danau, aku tak rela melihat kesedihanmu tumpah sendirian di sana. Salam hangat. Bastian."Setelah membaca surat dari Bastian, air mataku kembali menetes. Napasku lagi-lagi terasa sesak karena isi dada yang kembali terasa sakit.'Bas, kamu benar-benar pergi. Aku minta maaf, Bas. Aku tak bisa menahan niatmu meninggalkan Indonesia,' lirihku dalam hati. Tangisanku kembali tumpah ruah seperti kemarin sore di tepi danau.'Oh, Bastian. Maafkan aku.' hati ini
"Masih apa?" tagih Bastian."Ah, bukan apa-apa." Aku mengelak. Menggelengkan kepala."Bastian, aku juga berharap, semoga kamu mendapatkan jodoh terbaikmu," imbuhku.Kami berdua saling berbalas tatapan mata dalam beberapa detik hingga akhirnya menyudahinya."Meski pun yang aku rasa hanya kamu jodoh terbaikku, tapi Tuhan pemilik kuasa," katanya. Bastian kemudian bangkit dari tempat duduk. "Aku pulang ya. Kamu juga harus segera pulang sebab ini sudah sore. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Jaga diri baik-baik. Walau pun aku sudah tak berhak menerima kabar darimu, tapi aku akan merasa bahagia jika kamu masih ingin memberi kabar padaku," lanjutnya."Aku pamit." Setelah pamit, Bastian melangkah, hendak meninggalkanku. Namun baru beberapa langkah saja dia malah menjedanya. Bastian kembali menoleh padaku."Oh ya, Tar. Aku melupakan sesuatu. Aku memang berniat akan datang ke acara pernikahanmu, tapi di waktu yang sama, aku harus pergi ke Singapur dalam jangka waktu yang tak tentu. Ji
Hari berganti. Begitu cepat waktu berputar. Lamaran yang meriah telah terlewat begitu saja. Semua keluarga Reyno telah menghadiri acara yang tak pernah aku inginkan. Tak ada satu pun dari keluarga Reyno yang tak setuju denganku. Semua menyukaiku, termasuk mama papanya. Entah apa yang mereka sukai dariku yang hanya seorang janda.Saat ini, tepat satu minggu sebelum acara pernikahan dengan Reyno. Aku duduk sendirian di tepi danau. Seperti biasa, saat merasa sedih, aku akan selalu datang ke danau yang itu.Di sebuah kursi besi berwarna putih di sana aku duduk sendirian. Tak ada lagi tangisan yang luruh, kecuali saat melihat wajah Bastian.Aku memandang cincin bermatakan batu berlian di jari manisku. Berkali-kali kuusap dan kutatap. Kilauannya tak lantas membuat bibirku merekah. Nyatanya bibir ini masih saja menggaris lurus.Dalam hati risau memikirkan satu minggu yang akan datang, yakni hari pernikahanku. Semua ini nyata, sepertinya aku memang benar-benar akan menikah dengan Reyno. Pria