Aku terdiam membeku. Isi dadaku bergetar ketika mendengar ucapan dari Bastian. Tapi, ada sesuatu yang mengganjal di hati, yakni rasa takut.Kepalaku pun menggeleng sendiri. "Aku tidak tahu." Jawabanku seakan membantah isi hati yang sebenarnya."Aku tidak yakin dengan jawabanmu." Bastian masih menatapku cukup dalam."Tolong jangan bahas itu, Bas. Aku tidak memiliki jawaban." Aku menutup wajah dengan sebelah telapak tangan. "Lalu, kamu ingin membahas tentang apa?" Bastian masih saja bertanya. "Apa kamu malah ingin membahas rencana pernikahan kamu dengan bocah ingusan itu?" lanjutnya.Aku yang tengah dilema, membuka wajah yang sempat ditutupi telapak tangan. "Bas, bagaimana caranya agar aku bisa lepas dari perjanjian dengan Reyno?" "Jika kamu tidak menghendaki, lupakan saja soal perjanjian itu. Tak ada bukti hitam di atas putih. Kamu jangan khawatir," tanggapan Bastian."Tapi aku bukan wanita pengecut yang mengingkari janji," balasku."Lalu harus bagaimana? Untuk apa kamu menikah denga
"Apa! Jadi kamu akan menikah dengan Tari? Dia 'kan penjual kue langganan Mama!" Aku tercengang mendengar itu. Dengan siapa mamanya Reyno berbicara? Dari nada suaranya, sepertinya beliau terkejut setelah mendengar rencana pernikahanku dengan Reyno."Kenapa mendadak sekali, Rey? Kamu tidak sedang mabuk 'kan?"Aku kembali mendengar ucapan mamanya Reyno di dalam rumahnya. Pintunya sedikit terbuka, aku bingung harus mengetuk pintu atau mengurungkan niat untuk bertamu.Tapi jika Reyno ada di dalam rumahnya, aku bisa langsung membahas rencana pernikahan sekarang.Gegas kutekan bell yang menempel di dinding dekat pintu. Ting tong!Ting tong!Setelah dua kali kutekan bell, aku melangkah mundur dalam dua langkah ke belakang. Aku berdiri menunggu sang pemilik rumah datang."Tari!" Mamanya Reyno nampak terkejut melihat kedatanganku. Pada sebelah tangannya tampak memegang ponsel. Sepertinya baru saja selesai menelepon."Selamat sore, Bu." Aku menyapanya dengan sopan. Hari ini sudah menjelang so
Satu hari berlalu.Hari ini mentari cukup terik. Panasnya terasa meresap sampai ke ubun-ubun. Aku sudah berada di ruanganku—di kantor Haryanto. Jemari tanganku bermain di atas leptop. Aku tengah menuntaskan pekerjaan yang belum sempat aku selesaikan.Namun tiba-tiba suara ketukan pintu dari luar terdengar. Tok tok tok!"Masuk!" Aku mempersilahkan pada seseorang yang mengetuk pintu ruanganku.Rupanya sekertarisku. Dia menghadap padaku dengan sopan."Permisi, Bu. Di depan ada tamu yang ingin bertemu," lapor wanita muda itu dengan nada suara yang ramah di telinga."Siapa?" tanyaku segera."Pak Bastian," jawabnya langsung.Aku menghela napas resah. "Untuk apa Bastian datang ke sini?""Saya tidak tahu, Bu. Katanya ada hal penting yang harus beliau bicarakan dengan Ibu. Pak Bastian meminta izin untuk bertemu. Padahal sudah saya jelaskan kalau ini jam kerja dan Bu Tari tengah sibuk," terang wanita muda itu lagi.Kembali aku menghela napas resah. Bingung. Tapi aku tak tega kalau harus mengu
Saat ini mentari sudah tenggelam di ufuk barat. Aku masih berada di luar rumah. Aku tengah sendirian di restauran Amerika. Sekedar melepaskan kepenatan aku memilih sendirian saja.Ketika menoleh kiri. Di ujung restauran kulihat ada Reyno tengah makan sore bersama mamanya. Nampaknya mereka tengah berbincang serius. Tiba-tiba aku jadi penasaran dengan topik perbincangan mereka saat ini.Aku memakai masker penutup wajah. Aku berpindah tempat duduk lebih dekat pada tempat duduk Reyno dan mamanya. Aku hanya penasaran dengan topik perbincangan mereka."Sudah mama katakan, mama gak setuju kalau kamu menikah dengan janda!" Suara mamanya Reyno terdengar tegas."Memangnya ada yang salah dengan janda? Janda juga wanita normal, Ma." Reyno membalas mamanya."Masih banyak yang gadis, Rey. Mama malu kalau sampai teman-teman Mama tahu kalau kamu menikahi janda." Mamanya Reyno membalas lagi."Hanya Mba Tari yang aku cinta, Ma. Kalau Mama tetap gak setuju, maka aku tak akan melanjutkan perusahaan di Ka
Seketika aku menghela napas lesu. Ya Tuhan, kenapa jalannya berubah jadi terasa lebih mulus dari yang kukira? Bola mataku bahkan terasa berkaca-kaca. Tapi aku tetap membendungnya. Tak kusangka kalau materi dan kedudukan ternyata bisa merubah keputusannya mamanya Reyno."Jadi, kapan kalian akan menikah?" Wanita paruh baya itu malah mengucapkan pertanyaan yang tak senada dengan isi hatiku.Aku pun menundukan kepala. "Saya tidak tahu, Bu. Saya serahkan saja pada Reyno," jawabku pelan."Baiklah. Nanti saya dan Reyno akan mengurus semuanya ya. Kamu jangan khawatir, saya akan mengadakan acara lamaran yang megah dan mewah. Tentu karena saya tak malu memiliki calon menantu seorang CEO seperti kamu," terang mamanya Reyno lagi. Semakin membuat isi hati terasa berat saja.Aku hanya mengangguk saja tanpa membalas dengan ucapan. Lidahku kelu. Sementara isi hati terasa lemah. Telapak kaki bahkan terasa tak menapak."Baiklah, Tari. Apakah kamu mau pesan makanan? Atau minuman? Biar saya pesankan." M
Aku pun terpaksa membuka pintu mobil. Aku menuruti perintah mereka untuk keluar dari mobilku sendiri.Kemudian mereka nampak tertawa terbahak-bahak. Terlihat bahagia karena berhasil menghadang jalanku."Senang sekali malam ini. Kita akan berpesta dengan wanita cantik ini," ucap salah satunya.Degh! Jantungku terasa berhenti berdegup. Apalagi ketika salah satu dari mereka menggenggam kedua tanganku."Lepaskan!" Aku langsung memberontak. Berusaha melepaskan diri dari genggaman mereka, namun sia-sia sebab genggaman mereka terlalu kuat untuk kulawan."Sudahlah, Cantik. Diam saja. Kita akan nikmati pesta kita malam ini." Pria berwajah sangar dan berambut gondrong di depanku berbicara dengan tatapan dingin.'Ya Tuhan, tolong hamba.' Dalam hati terus saja memohon pertolongan Tuhan."Lepaskan saya!" Aku masih berusaha melepaskan diri dari genggaman mereka. "Tolong jangan sakiti saya. Kalian bisa ambil mobil saya lalu pergilah. Jangan sakiti saya," pintaku memelas pada mereka."Tapi kamu terla
Malam yang mencekam telah aku lalui. Aku telah sampai di depan rumah setelah diantar Reyno. Penghuni di rumahku sudah terlelap tidur. Santi dan Mba Sari rupanya sudah berlayar dalam lautan mimpi.Sementara aku baru saja sampai di rumah. Lututku masih bergetar. Kejadian tadi, masih saja membuat isi dadaku merasa ketakutan.Aku duduk terlebih dahulu di kursi depan rumahku, bersama Reyno "Terima kasih, Rey. Kamu sudah repot-repot mengantarkan saya pulang." Aku menoleh pada Reyno di sampingku."Sama-sama, Mba. Terima kasih melulu deh dari tadi. Mba Tari lekas masuk dan istirahat. Ini sudah larut malam. Mba Tari harus istirahat," kata Reyno padaku."Saya tak tahu seandainya kamu tak datang di waktu yang tepat. Mungkin saja kita sudah berbeda alam," lirihku. Bersamaan dengan itu air mataku menetes sendu ketika mengingat kepedihan itu kembali."Mba Tari jangan sedih. Mba Tari orang baik, jadi tak ada yang bisa menyakiti Mba Tari. Sudah, jangan dipikirkan lagi. Sekarang saatnya istirahat ya.
Serentak aku, Bu Yunita dan Bastian menoleh ke arah pintu. Di sana, Reyno sudah berdiri dengan wajah tegas menatap ke arah kami bertiga."Rey!" Aku tercengang.Reyno kemudian melangkah masuk pelan. "Maaf jika kedatangan saya telah mengganggu semuanya." Dia berucap dengan sopan."Sangat mengganggu!" Bastian menanggapi. "Harusnya kamu tidak datang sepagi ini. Tidak bisakah kamu membiarkan kami bicara hanya bertiga saja?" lanjutnya terdengar mengusir Reyno."Maaf, Om. Anda tidak berhak atas saya. Yang berhak memerintah di rumah ini adalah Mba Tari," balas Reyno nampak geram. Dia kemudian mengalihkan pandangannya ke arahku."Mba Tari, bukankah sudah saya katakan semalam, saya akan datang pagi-pagi. Apa saya salah?" lanjutnya terdengar menyindir padaku."I-Iya." Aku hanya bisa mengangguk. Mengiyakan ucapan Reyno. "Duduklah," titahku padanya.Kemudian Reyno langsung duduk di sofa yang bersebelahan denganku. Wajahnya sesekali menoleh pada Bastian dengan angkuh."Kenapa kamu selalu saja meng
"Mama memang selalu memberikan kejutan." Bastian berkata dengan wajah semringah. Sepertinya dia menyukai lokasi berbulan madu yang diberikan mamanya."Kamu menyukai Turki?" Aku pun bertanya tanpa memalingkan tatapan ke arah yang lain."Aku sangat menyukai negara Turki. Itu negara favoritku sejak kecil," jawabnya sambil menganggukan kepala."Maukah kamu pergi ke sana denganku?" imbuhnya."Tentu saja, Bas." Aku menjawab segera.Bastian semakin terlihat melebarkan senyumnya. Sebelah telapak tangannya kembali mengusap pipiku dengan lembut. Sungguh kelembutan usapan tangannya bagaikan aliran listrik yang seketika membuat isi dadaku berdebar tidak karuan."Bas, aku mau mandi dulu ya." Aku pun segera meminta izin. Lagi pula, pakaian pesta pun belum sempat kuganti. Walau pun acara seharian tadi tak membuat tubuhku berkeringat tetap saja aku tidak percaya diri jika tak membersihkan terlebih dahulu.Bastian pun menganggukkan kepalanya. Dia masih tersenyum. Sementara aku segera beranjak dari tem
Sepasang manik ini meneteskan bulir bening, ketika Bastian turun dari tempat duduk kemudian menekuk lututnya di hadapanku. Posisi duduknya seperti tengah memohon padaku."Maukah kamu menikah denganku?" Bastian bertanya padaku dengan tatapan mendalam.Mana bisa aku menolak. Kepala ini segera mengangguk. Terharu dan sangat bahagia."Aku mau," jawabku segera.Laksana kemarau panjang yang diterpa hujan, aku dan Bastian saling melempar senyuman penuh rasa haru dan bahagia.Harapan yang pernah menjadi sebuah angan-angan semata, kini sudah terlihat di depan mata. Bastian benar-benar akan menikahiku. Meski ini bukanlah pernikahan yang bertama, tapi debaran yang luar biasa terasa menghujam jantungku.Setelah lamaran singkat pagi itu, Bastian benar-benar mempersiapkan lamaran yang sesungguhnya. Seperti hari ini ketika weekend dan libur kerja, aku diajak Bastian ke sebuah butik ternama di Jakarta Pusat. Bastian memilah berbagai gaun sebagai contoh untuk aku kenakan nantinya. Dia memilihkan gaun
Satu hari setelahnya, pagi-pagi sekali kendaraan Bastian sudah terparkir di depan rumahku. Tak kusangka dia terlihat seantusias itu.Begitu pintu utama kubuka lebar, Bastian langsung menyeringai senang. Dia mengukir senyuman ketika menatapku."Selamat pagi, Tari. Maaf kalau aku kepagian," sapanya begitu manis."Iya sih, untuk apa datang pagi-pagi begini? Padahal mentari baru saja muncul," sindirku."Karena aku ingin menagih janji penjelasan dari kamu," jawabnya antusias."Tapi apa kamu sudah sarapan, Bas?" Aku memastikan terlebih dahulu.Bastian pun langsung menggelengkan kepalanya. "Belum. Aku berharap bisa numpang sarapan di sini," katanya sedikit bergurau. "Itu pun kalau kamu tak keberatan," sambungnya.Bibir ini seketika melebar sendiri. Aku tersenyum bahagia mendengar gurauan Bastian pagi ini. Ya Tuhan, aku memang selalu jatuh cinta padanya."Tentu saja boleh, Bas. Kebetulan sekali aku sudah masak nasi goreng," balasku.Lagi-lagi Bastian pun menyeringai senang. "Mau banget," kata
"Siapa yang meninggal?"Aku bertanya-tanya sendirian. Mematung terkejut dalam beberapa detik. Kelopak mata pun sampai lupa untuk berkedip. Gegas aku keluar dari kendaraan. Di depan rumah Bastian nampak banyak sekali orang-orang yang memakai pakaian hitam masuk ke dalam rumah mewah nan besar itu. Sepertinya akan melayat. Dadaku bergetar resah. Menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara. Semua orang nampak sibuk keluar masuk rumah mewah milik Bastian.Kedua kaki ini hendak masuk, namun seketika harus tertahan tatkala melihat beberapa mobil pick up membawa karangan bunga masuk ke halaman rumah Bastian.Aku harus segera membaca tulisan pada karangan bunga yang baru saja datang, guna mengetahui siapa yang meninggal di rumah Bastian saat ini.Dan ternyata, yang meninggal adalah nenek dari Bastian. Ya Tuhan, kasihan sekali. Bastian pasti sangat berduka.Kemudian aku mengedarkan pandangan, hendak mencari seseorang yang bisa kutanya.Satpam. Pria berseragam secu
"Kapan mereka datang? Rasa-rasanya saya tidak mendengar deru mobil atau pun bell berbunyi." Gegas aku bertanya pada Santi."Mungkin ketika ibu berada di kamar mandi, makanya tak kedengaran suara mobilnya," kata Santi.Napas di dalam dada terasa resah. Setelah memakai pakaian yang rapih, aku keluar dari kamar guna menemui Reyno dan mamanya di ruang tamu."Selamat siang!" Aku menyapa kedua tamuku yang sudah duduk di ruang tamu."Siang, Tari." Mamanya Reyno nampak mengukir senyum padaku. Tapi tidak dengan Reyno.Wajah Reyno nampak ditekuk. Bibirnya menggaris lurus tanpa senyuman yang biasanya dia tampilkan di depanku.Gegas aku duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka, di ruang tamu rumahku."Bagaimana keadaan kamu sekarang, Tar?" Mamanya Reyno langsung bertanya padaku.Aku pun berusaha mengukir senyum pada wanita paruh baya di depanku itu. "Sudah sedikit membaik, Tante," jawabku pelan."Syukurlah." Mamanya Reyno yang ramah nampak menghela napas lega.Namun begitu pandangan beralih
"Tapi apakah Tari mencintai kamu? Masa iya, wanita yang hendak menikah malah turun berat badannya. Wajahnya sampai pucat. Sakitnya malah belum sembuh-sembuh begini. Harusnya calon pengantin itu bahagia, wajahnya bersinar. Ini malah sebaliknya." Suara mamanya Reyno terdengar protes."Aku mencintai Mba Tari, Ma. Tolong jangan persulit keadaan."Jelas terdengar di telingaku, Reyno dan mamanya seperti tengah beradu argumen. Aku tetap memilih diam dan menutup mata. Enggan untuk menimpali mereka berdua."Mama ingin bicara berdua dengan Tari. Tolong kamu keluar sebentar." Sepertinya mamanya Reyno terdengar meminta."Bicara apa, Ma? Mba Tari 'kan masih tidur." Reyno terdengar enggan menuruti permintaan mamanya."Keluar sebentar, Rey. Mama mohon. Mama ingin bicara berdua dengan Tari." Mamanya Reyno kembali meminta."Baiklah, Ma. Tapi aku harap, mama jangan bicara yang aneh-aneh. Aku akan tetap menikah dengan Mba Tari, karena aku mencintainya."Suara langkah kaki meninggalkan ruangan kamarku. S
"Lestari... Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah di dalam pesawat dalam perjalanan menuju Singapura. Untuk waktu yang cukup lama, aku akan tinggal di sana atas permintaan mamaku guna mengurus bisnis keluarga. Aku minta maaf seandainya tak bisa hadir pada pesta pernikahanmu nanti, bukan karena tak merestui, tapi memang ada kendala. Meski pahit, aku merelakanmu bersama Reyno. Aku akan selalu berdo'a pada Tuhan akan kebahagiaanmu. Karena melihatmu bahagia merupakan kebahagiaan bagiku pula. Jangan pernah menangis sendirian di tepi danau, aku tak rela melihat kesedihanmu tumpah sendirian di sana. Salam hangat. Bastian."Setelah membaca surat dari Bastian, air mataku kembali menetes. Napasku lagi-lagi terasa sesak karena isi dada yang kembali terasa sakit.'Bas, kamu benar-benar pergi. Aku minta maaf, Bas. Aku tak bisa menahan niatmu meninggalkan Indonesia,' lirihku dalam hati. Tangisanku kembali tumpah ruah seperti kemarin sore di tepi danau.'Oh, Bastian. Maafkan aku.' hati ini
"Masih apa?" tagih Bastian."Ah, bukan apa-apa." Aku mengelak. Menggelengkan kepala."Bastian, aku juga berharap, semoga kamu mendapatkan jodoh terbaikmu," imbuhku.Kami berdua saling berbalas tatapan mata dalam beberapa detik hingga akhirnya menyudahinya."Meski pun yang aku rasa hanya kamu jodoh terbaikku, tapi Tuhan pemilik kuasa," katanya. Bastian kemudian bangkit dari tempat duduk. "Aku pulang ya. Kamu juga harus segera pulang sebab ini sudah sore. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Jaga diri baik-baik. Walau pun aku sudah tak berhak menerima kabar darimu, tapi aku akan merasa bahagia jika kamu masih ingin memberi kabar padaku," lanjutnya."Aku pamit." Setelah pamit, Bastian melangkah, hendak meninggalkanku. Namun baru beberapa langkah saja dia malah menjedanya. Bastian kembali menoleh padaku."Oh ya, Tar. Aku melupakan sesuatu. Aku memang berniat akan datang ke acara pernikahanmu, tapi di waktu yang sama, aku harus pergi ke Singapur dalam jangka waktu yang tak tentu. Ji
Hari berganti. Begitu cepat waktu berputar. Lamaran yang meriah telah terlewat begitu saja. Semua keluarga Reyno telah menghadiri acara yang tak pernah aku inginkan. Tak ada satu pun dari keluarga Reyno yang tak setuju denganku. Semua menyukaiku, termasuk mama papanya. Entah apa yang mereka sukai dariku yang hanya seorang janda.Saat ini, tepat satu minggu sebelum acara pernikahan dengan Reyno. Aku duduk sendirian di tepi danau. Seperti biasa, saat merasa sedih, aku akan selalu datang ke danau yang itu.Di sebuah kursi besi berwarna putih di sana aku duduk sendirian. Tak ada lagi tangisan yang luruh, kecuali saat melihat wajah Bastian.Aku memandang cincin bermatakan batu berlian di jari manisku. Berkali-kali kuusap dan kutatap. Kilauannya tak lantas membuat bibirku merekah. Nyatanya bibir ini masih saja menggaris lurus.Dalam hati risau memikirkan satu minggu yang akan datang, yakni hari pernikahanku. Semua ini nyata, sepertinya aku memang benar-benar akan menikah dengan Reyno. Pria