"Duh! Mbak Salma ini kemana, sih? Masa sampai jam segini belum pulang. Capek aku tiduran di lantai kaya gini, Bu," gerutu Ayu.Memang, mereka terpaksa beristirahat di kamar Salma. Namun, karena tadi pak Mali dan pak Mamat sudah mengeluarkan ranjang besar milik Salma, akhirnya Ayu dan ibunya terpaksa tidur di atas lantai yang hanya beralaskan karpet beludru."Ibu juga gak tahu, Yu. Ke salon mungkin.""Ke salon juga biasanya gak sampai sore, kok. Mana aku udah laper banget, Bu. Waktunya minum obat sejak satu jam yang lalu, lho," gerutunya lagi sembari memegangi perutnya yang berbunyi."Bu, Mbak, itu mbak Salmanya udah dateng," ucap pak Mamat memberi tahu.Seketika Ayu bangkit dari tidurnya dan menggedor pintu kamar Salma."Cepetan buka pintunya, Mbak. Aku udah laper, nih!" teriak Ayu dari dalam kamar. Sementara Salma baru saja masuk ke dalam rumah. la heran saat mendapati suara Ayu dari dalam kamarnya."Lho, kalian ng
"Eh, ternyata lo nyusulin kesini juga? Mau nemenin mas Amar tidur disini, ya?" ucap Nadya yang membuat Ayu geram."Lo tuh adik gak tahu diri! Kakaknya dipenjara malah kesenangan.""Mas Amar dipenjara juga karena ulahnya sendiri, kok. Siapa suruh mukul mbak Salma. Sekarang, silahkan urus itu suami tersayang lo."Nadya melewati Ayu dan dengan sengaja menyenggol pundak Ayu dengan sedikit kencang. Ayu yang kesal ingin mengejar Nadya, namun gerakannya dihentikan oleh bu Asih."Udah, Yu, biarin aja anak kurang aja itu. Sekarang kita masuk, kita tanyakan sama Amar gimana kehidupan kamu selanjutnya kalau dia beneran dipenjara. Dia harus tetap bertanggung jawab atas kamu, Yu," ucap bu Asih meyakinkan Ayu.Ayu sendiri setuju dengan apa yang diucapkan oleh ibunya. Walaupun nanti Amar benar harus dipenjara, Ayu tak mau tahu, ia masih meminta hak nafkahnya terpenuhi."Mas Amar!" teriak Ayu saat ia melihat Amar terkapar di atas brankar diteman
"Bu! Terus ini gimana sekarang? Aku harus tinggal dimana?" rengek Ayu pada bu Asih.Kini, mereka sedang berada di pinggir jalan tak jauh dari rumah Salma. Mereka belum juga pergi karena tidak tahu harus pergi kemana."Kamu cari kontrakan aja gimana? Kalau kamu udah gak kuliah, bisa ikut Ibu pulang ke kampung. Tapi, kamu, kan masih kuliah."Ayu menggaruk kepalanya kasar. la tengah Irustasi. Saat ini, Ayu tengah bimbang untuk menentukan langkah. Jika ia pergi untuk mencari kontrakan sendiri, ia tak rela. Sebab, ia masih ingin menuntut pertanggungjawaban dari Amar.Akan tetapi, jika ia menemui Amar sekarang. justru Amar yang akan memintanya untuk membantu membayar jaminan agar suaminya itu bebas dari penjara.Di saat penampilannya tengah acak-acakan seperti itu, ia tak menyangka jika sebuah mobil tiba-tiba berhenti di dekatnya. Kaca jendela itu bergerak turun dan detik selanjutnya, tawa seseorang yang dulu sangat dekat dengannya pun terdenga
Salma kesal, kenapa di saat seperti ini, justru tetangganya itulah yang lewat. Membuat dirinya semakin merasa tak enak kepada Rega."Kenapa memangnya, Bu? Itu artinya saya ini wanita yang diidam-idamkan banyak orang."Mendengar tanggapan Salma, ibu itu memiringkan mulutnya sambil menggerutu sendiri. Mungkin, ia pikir Salma akan merasa tidak enak, rupanya justru Salma seperti menantangnya."Bukan muhrim, Mbak Salma. Cerai dulu, dong, baru sama yang lain," cibir ibu itu lagi.Salma memang terkenal di kompleksnya. Terkenal sebagai wanita cantik yang sukses. Memiliki suami yang tanpan dan memiliki pekerjaan yang bagus. Banyak yang mencibir Salma sebab ia memang jarang bergaul dengan para tetangga.Inginnya mereka adalah agar Salma ikut berbaur saat mereka tengah berkumpul. Rujakan siang-siang atau sekadar membicarakan hal-hal remeh dalam kehidupan mereka seharian.Tentu saja Salma tak bisa melakukan itu semua, ia adalah seorang wanit
Ayu tersungkur di atas lantai paving di depan gedung hotel setelah berlari dari kejaran dua orang polisi yang berniat menjemputnya.Karena merasakan kakinya yang teramat sakit, Ayu tak bisa bangkit untuk melanjutkannya pelarian hingga kedua polisi itu kini sudah sampai dan membantu Ayu untuk bangkit. Kedua lengannya dicekal sehingga ia tak bisa lari lagi."Pak, jangan bawa anak saya, Pak! Kami akan memohon maaf pada nak Kiki agar dia mencabut laporannya. Anak saya dan nak Kiki itu dulunya sahabat dekat, Pak." Bu Asih datang dengan tergopoh-gopoh. Rok panjang yang ia kenakan sampai harus dijinjing agar mempermudah langkahnya."Untuk hal itu, coba anda hubungi saudara Kiki secara langsung. Tapi, saudari Ayu tetap harus ikut kami ke kantor polisi.""Tidak! Aku gak salah, dia yang sudah menghinaku lebih dulu. Dia mencemarkan nama baikku!" teriak Ayu dengan tubuh yang terus mencoba memberontak dari cekalan polisi."Mari ikut kami!" Dengan
"Apa?! Dua puluh juta? Gila lo, ya? Gak, gak bakal sudi bayar lo segitu banyak. Luka juga cuma lecet ," tolak Ayu dengan wajah berpaling.Sebenarnya, ia sangsi jika luka yang Kiki alami hanya lecet biasa. Pasalnya, penutup luka di pelipis Kiki dari kapas itu terlihat cukup lebar."Cuma lecet mata lo! Gue dapat tiga jahitan asal lo tahu! Dan gue juga gak maksa lo buat nerima syarat dari gue, kok. Ya, tapi resikonya lo harus siap mendekam di balik jeruji besi.Bu Asih sudah gemetaran sejak tadi. Ia ingin mengambil hati Kiki dengan berlaku lembut, tapi sedari tadi Ayu seperti tak membiarkannya melakukan aksinya. Ayu justru terus saja membuat gara-gara hingga Kiki semakin sulit untuk diluluhkan."Sudahlah, Ayu, kamu terima saja syarat dari nak Kiki. Memangnya kamu mau masuk penjara?""Tapi, Bu, dua puluh juta itu bukan uang yang sedikit. Memangnya Ibu punya? Uangku juga tinggal delapan belas juta, masih kurang. Dan Ibu ingat, kan, jika tujuan
Bu Lina keluar dari ruangan pribadi Salma dengan perasaan kecewa. Tapi, ia juga sadar, mungkin ia terlalu tergesa-gesa dalam melangkah. Ia tak tahu masalah apa yang sedang Salma hadapi di dalam rumah tangganya. Lalu, secara tiba-tiba dirinya masuk untuk sengaja mengorek masalah yang ada."Bodohnya aku. Seharusnya aku tidak perlu terburu-buru. Salma bahkan baru saja mengurus gugatan cerai dan aku malah semakin menambah beban pikirannya dengan tindakanku. Benar-benar ceroboh," gerutu bu Lina dalam hati.Bu Lina tak menyalahkan Salma atas penolakan yang ia terima. Mungkin lain kali, jika situasi sudah kondusif, ia akan kembali melakukan pendekatan pada Salma, wanita yang ia idamkan sebagai calon menantu."Jeng Lina dari mana?" tanya salah satu temannya yang tadi ikut rombongan bersamanya."Saya baru dari ngobrol sama Salma, pemilik salon ini, Jeng Anis," jawab bu Lina membuat temannya yang bernama Anis itu mengangguk paham.Kini giliran
"Apa?! Gak! Gue gak mau dan kapan gue tanda tangan surat perjanjian? Lo pasti mau nipu gue, kan?"Kiki hanya tersenyum mengejek. Melihat Ayu emosi membuatnya senang. Dalam hidup Kiki, tak ada kata kasihan untuk seorang pelakor. Pelakor harus dibasmi dari muka bumi. Begitulah slogan hidup Kiki semenjak papanya kepincut godaan pelakor.Sedangkan, bu Asih semakin gelisah. la takut Ayu mengamuk setelah tahu apa yang sebenarnya terjadi."Kalau lo gak percaya, lo tanya aja sama ibu lo. Dia sendiri, kok, yang nganterin kertas kosong berisi tanda tangan lo."Ayu langsung menatap sang ibu tajam. Bu Asih mendekati Ayu dan memegang lengannya."Maafkan Ibu, Yu. Ibu terpaksa dan itu semua demi kamu. Ibu gak tega lihat kamu nangis tiap hari pengen keluar."Ayu menyentak tangannya hingga pegangan bu Asih terlepas. Air mata Ayu kembali meluruh mendapati bahwa sang ibu sudah membohonginya."Tapi gak gini caranya, Bu! Memangnya Ibu mau li
Salma terus meremat tangannya sendiri saat ia menunggu hasil dari pemeriksaan dokter terhadap Rega di dalam sana. Salma sangat khawatir saat tadi ia mendapati Rega pingsan di dalam mobil.Seketika ia berteriak meminta tolong pada beberapa warga yang kebetulan lewat. Karena semua pintu mobil sudah terkunci dari dalam, Salma terpaksa meminta para warga untuk memecahkan kaca jendela. Biar, nanti ia yang akan menanggung semua kerusakannya."Gimana, Dok? Apa keadaannya parah?" tanya Salma saat seorang dokter keluar dari bilik tempat Rega ditangani."Kami harus memastikannya lebih dulu. Untuk itu, dokter Rega akan dirawat di rumah sakit ini untuk beberapa hari ke depan. Benturan di kepalanya sepertinya cukup keras hingga dia kehilangan cukup banyak darah. Beruntung stok darah yang dibutuhkan saat ini sedang tersedia. Dia juga akan menjalani beberapa pemeriksaan untuk mengetahui apakah benturan itu membuatnya mengalami luka dalam."Penjelasan dari dokter
Salma memutuskan untuk pulang dan menunda menjual mobilnya. Suasana hatinya sedang tak baik. Rega yang merasa khawatir akhirnya memaksa Salma untuk ikut bersama mobilnya. Ia menyuruh sopir pribadi sang mama untuk mengambil mobil Salma dan mengantarnya ke rumah Salma."Kamu yakin gak apa-apa?" tanya Rega lagi saat melihat Salma tengah memijat pelipisnya."Gak apa-apa, Mas," jawab Salma datar. Ia hanya ingin segera sampai di rumah.Tak sampai seperempat jam, mobil Rega sudah memasuki area pekarangan rumah Salma. Salma buru-buru membuka pintu. Begitu pula dengan Rega yang buru-buru keluar karena ingin membukakan pintu untuk Salma."Salma!" pekik Rega saat Salma nyaris ambruk ketika turun dari mobil.Kesadarannya masih ada dan Rega hanya memapahnya menuju ke dalam rumah. Rega mendudukkan Salma pada sofa panjang di ruang tamunya."Bentar, ya. Aku mau ambil peralatan dulu di mobil.Salma hanya mengangguk. Kepalanya tiba-tiba p
Suara Maya yang menggelegar mengundang atensi para pengunjung yang ada di dalam showroom tersebut. Haris kelabakan saat melihat kakaknya membuat keributan di tempatnya."Mbak Maya, jangan bikin ribut disini, Mbak!" tegur Haris yang merasa tak enak dengan para pengunjung.Maya menyentak tangan Haris yang berusaha menenangkannya. Ia menatap Haris dan Salma bergantian. Salma sendiri masih terdiam. Bingung harus menanggapi Maya seperti apa."Kamu mau bela dia, Ris? Kamu mau bela orang yang mau manfaatin mama?""Gak ada yang mau belas siapapun, Mbak. Aku cuma gak mau Mbak Maya dilihatin banyak orang kaya gini. Malu, mbak!"Maya baru sadar dengan apa yang ia lakukan. Setelahnya, ia menatap bengis ke arah Salma."Kamu, ayo ikut aku masuk ke ruangan Haris. Ada yang ingin aku bicarakan!" tukas Maya seraya meninggalkan Salma dan Haris yang masih mematung di tempat."Maya?" Maya menghentikan langkahnya saat Rega yang memang mengena
"Pokoknya aku gak mau tahu ya, Mas. Ganti uang itu!" bentak Ayu pada Amar yang kini sudah kembali masuk ke dalam rumah."Berisik banget sih, Yu! Uang yang kita pinjam dari bos Danu juga dipake buat nebus kamu ke temen kamu terus sisanya buat kamu belanja-belanja. Ya udah seharusnya kalau kamu punya uang kamu yang bayar utangnya."Ayu masih tetap tidak terima. Padahal, rencananya uang itu akan ia gunakan untuk membeli barang-barang pribadi miliknya."Dasar suami kere, gak guna! Nyesel aku mau jadi selingkuhanmu!" bentak Ayu tepat di depan wajah Amar.Ayu terkejut saat Amar melempar tatapam tajam ke arahnya. Kilat marah terlihat jelas di kedua bola mata sekelam malam tersebut. Amar mengayunkan langkah perlahan menuju ke arah Ayu.Tiba-tiba saja Ayu merinding. Belum pernah ia mendapati Amat menatapnya sedemikian tajam. Suara gemeretak dari tulang jemari Amar ketika ia mengepalkan tangan membuat Ayu bergerak mundur karena merasa terancam.
Maya tertawa hingga mengundang raut wajah kebingungan dari bu Anis."Mama ini lagi becanda, ya? Gak lucu tahu, Ma. Adik Maya, kan, cuma Haris," ucap Maya masih dengan tawa yang menguar dari bibirnya."Mungkin kamu tidak ingat, May. Karena memang sedari Mama melahirkan dia, dia sama sekali tak pernah bertemu denganmu. Kamu masih berumur tiga tahun, jelas saja jika kamu tidak ingat bahwa pernah menantikan kehadirannya."Bu Anis berucap dengan raut wajah serius. Maya menatap lekat manik sang mama. Jelas tidak ada kebohongan disana. Hal itu pun membuat Maya seketika terdiam. Entah kenapa, ia tak bisa menerima hal itu jika memang yang dikatakan oleh mamanya adalah sebuah kebenaran."Enggak! Mama pasti bohong. Adik aku cuma Haris, Ma! Cuma Haris!"Maya bangkit dari duduknya lalu beranjak menuju kamarnya. Pintunya sedikit dibanting saat ia menutupnya. Bu Anis maklum dengan sikap yang ditunjukkan oleh Maya.Sama halnya dengan Salma, Maya
Bu Asih berdiri, menatap kesal ke arah Salma yang menurutnya sangat tidak sopan. Sesekali melirik amplop cokelat yang terlihat tebal itu. Tentu ia tertarik, tapi melihat cara Salma, ia menjadi sebal."Kamu punya sopan santun gak sih, Sal? Udah dididik malah kurang ajar!""Maaf, Bu. Aku juga gak akan gini kalau Ibu gak memulainya. Aku sudah tahu semuanya, tentang siapa ibu kandungku. Meski saat ini aku belum bisa menerima sepenuhnya kenyataan yang ada, tapi aku tidak akan membiarkan jika Ibu atau Ayu ingin menghasutku, mengatakan hal yang tidak-tidak tentang bu Anis apalagi sampai Ibumemerasnya."Mata bu Asih membola, bagaimana bisa Salma mengetahui rencananya itu. Ia tahu Salma telah berubah. Anak itu tidak akan main-main dengan ucapannya."Kamu ngomong apa sih, Sal? Jangan ngaco kamu! Aku tidak ingin menghasut siapa-siapa. Aku hanya ingin kamu tahu jika ibu kandungmu itu tak lebih baik dari aku. Dia yang sudah memberikanmu padaku. Dan j
"Pokoknya aku gak mau tahu. Kamu cepetan datengin tuh, mbak Salma dan minta hak kamu dari sebagian mobil itu.""Iya, Yu. Sabar kenapa, sih. Sah cerai juga baru satu jam yang lalu, kamu udah mencak-mencak aja," jawab Amar kesal karena sedari keluar dari gedung pengadilan tadi, Ayu tak henti-hentinya mengoceh."Gimana gak mencak-mencak, kamu udah bohongin aku. Katanya kamu bakal dapat separuh dari semua harta punya mbak Salma. Tahunya cuma mobil, itupun harus dibagi dua. Kamu juga bikin aku malu di depan orang-orang waktu mbak Salma bilang kalau harta kamu yang ada di rumah itu cuma satu rak sepatu plastik." Ayu melengos lagi, kesal jika mengingat kejadian beberapa saat lalu di dalam persidangan."Ya mau gimana lagi, memang cuma itu yang aku beli dari uangku. Kan, kamu yang lebih banyak merasakan uang gajiku, bahkan orang tua dan adikku saja kalah denganmu.""Itu memang sudah kewajiban kamu ya, Mas. Berani nikahin ya harus mau nafkahin," sahut Ayu t
Bu Asih terus saja menggerutu meskipun bu Anis sudah pergi dari hadapannya. Tadinya, ia berpikir jika ia akan mendapatkan uang ratusan juta dari bu Anis dan masih bisa untuk memintanya lagi kemudian hari. Namun, kenyataan pahit justru ia dapat.Jangankan untuk memerasnya terus menerus, saat ini saja ia hanya mendapatkan secuil dari yang pernah ia bayangkan sebelumnya.Karena kesal, bu Asih memilih untuk pergi ke rumah Amar setelah tahu kini Ayu tinggal disana."Yu... Ayu!" teriak bu Asih saat melihat pintu depan rumah Amar terbuka. Tak lama kemudian, Ayu keluar dari kamar dan menyambut sang ibu."Kenapa sih, Bu, kok teriak-teriak?""Ibu tuh lagi kesel tahu, gak?""Ya mana aku tahu.""Ibu kesel sama ibu kandungnya Salma." Ucapan bu Asih membuat Ayu menatap ibunya heran."Ibu kandungnya mbak Salma? Ibu udah ketemu sama dia?""Iya. Rupanya dia sekarang udah jadi orang kaya. Dulu aja buat bayar biaya lahira
"Uhuhu... benar, kan, dugaanku. Kalau bos muda ini pasti lagi kasmaran. Gak biasa-biasanya lihat mukanya ceria begitu. Dan apa aku tadi gak salah dengar? Anak SMA? Wow! Seleramu bagus juga, pilih yang seger-seger."Haris menepuk bibir teman sekaligus bawahannya itu hingga membuat pekikan kecil dari mulut lelaki di depannya."Hati-hati kalau ngomong. Eh, tapi bener juga, sih ." Tawa menguar dari mulut keduanya."Semoga sukses, Bos. Aku udah bosen lihat kamu terus-terusan sedih kalau lagi keinget dia."Tawa yang semula terdengar renyah itu kini berangsur menghilang. Rio yang melihat perubahan pada wajah Haris pun merasa tak enak."Ngopi aja, yuk. Kali ini, biar karwayan ini yang traktir. Bos cukup pesan dan menikmatinya.""Gas lah!"Nadya sampai di depan rumah milik ibunya. Ia berdecak kesal karena Amar tak menutup pintu rumah mereka padahal di dalam terlihat sangat sepi."Kebiasaan banget gak pernah nutup pintu,"