Beranda / Pernikahan / Desahan Dikamar Tamu / Bab 76 Bertemu Pengacara Ayah

Share

Bab 76 Bertemu Pengacara Ayah

Penulis: Fatmah Ain
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Bertemu Pengacara Ayah

Pagi ini, kami bekerja ekstra lagi. Kemarin kami mendapat pesanan kue basah untuk acara arisan. Orang yang memesan juga adalah pelanggan toko roti.

Katanya kue-kue di sini enak, dan pas di lidah. Alhamdulillah ... kue yang kami jual bisa memuaskan pelanggan. Bukan hanya satu orang yang berkata begitu, kebanyakan dari pelanggan memuji, kata mereka kualitasnya bagus dan harganya terjangkau.

Aku sangat bangga dan bersyukur sekali. Usaha yang aku bangun dari nol bisa berkembang sampai sebesar ini.

"Mbak, Em, kapan pesanannya mau diambil?" tanyaku pada Mbak Ema. Wanita yang berusia tiga puluh lima tahun itu sedang memasukkan kue yang sudah dingin ke dalam kotak, seraya mulutnya komat–kamit menghitung.

"Siang, Bu. Habis zuhur katanya," jawab Mbak Ema. Matanya tetap fokus pada tangannya yang dengan telaten memasukkan keu ke dalam kotak.

Memang kemarin, ibu Indah pelanggan yang memesan kue ini mengatakan akan mengambilnya sendiri. Meskipun sudah kutawari akan mengant
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 77 Telpon Meresahkan

    "Saya dan Mas Hasan sudah bercerai, Om," lirihku sembari menundukkan kembali kepala. Malu rasanya jika ada yang bertanya tentang rumah tanggaku yang sudah usai."Bercerai?"Kuangkat kepala menatap kembali pada Pak Ilham. "Iya, Om," ucapku sembari mengangguk."Sebenarnya ada hal yang ingin saya bicarakan dengan kamu. Ini menyangkut pernikahanmu dengan Hasan, tapi Om buru-buru. Istri Om menunggu di mobil. Nanti saya kesini lagi ya, sepertinya ada yang nggak beres ini."Alisku bertaut mendengar ucapan Pak Ilham barusan. Terutama diakhir kalimat. Ada yang nggak beres? Apa maksudnya? Tapi akhirnya aku tetap mengangguk walaupun masih penasaran.Pak Ilham membayar belanjaannya pada Lita. Meskipun sudah kucegah, tapi pria paruh baya itu tetap kekeuh untuk membayar.Aku menatap Pak Ilham yang keluar dari toko, sampai pria itu masuk ke dalam mobilnya yang sedang terparkir di parkiran ruko."Siapa, Bu." Tiba-tiba Lita muncul di belakangku."Ish ... kamu ini, bikin kaget saja," ucapku sewot semb

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 78 Ancaman Kehilangan

    Ibu! Iya ... aku harus mengatakan ini pada Ibu. Semoga saja dia ada solusinya. Cepat kumatikan laptop lalu mengambil jas yang kugantung di sandaran kursi dan memakainya. Kusambar kunci mobil di atas meja lalu melangkah ke luar ruangan. "Syifa, saya mau pulang ada urusan mendadak. Mungkin nanti tidak akan kembali, jadi pertemuan nanti batalkan saja," ucapku pada Syifa sekretarisku. Wanita berjilbab itu mengangguk paham."Baik, Pak," jawabnya singkat.Setelah mendengar jawaban Syifa, aku langsung berlari menuju lift lalu masuk setelah pintu terbuka. Lift masih sepi, karena jam makan siang masih sekitar setengah jam lagi.Setelah duduk di belakang kemudi kuhidupkan mesin mobil lalu memacu roda empatku dengan cepat, membelah jalan mengikuti detak jantungku yang kini tidak beraturan. Aku memarkir mobil asal di tempat biasa lalu turun dan berlari masuk ke dalam rumah."Bu, Ibu," teriakku memanggil Ibu saat sudah melewati pintu utama, tapi hingga beberapa kali berteriak, wanita yang melah

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 79 Dipaksa Pulang

    Setengah enam sore aku pamit pada Lita dan Linda untuk naik ke lantai atas. Ingin mandi dan bersiap-siap sholat. Badanku terasa gerah sekali, seharian bermain-main dengan tepung dan kawan-kawannya. Alhamdulillah semua pekerjaan berjalan dengan lancar. Pesanan pun terselesaikan tepat waktu. Tadi Bu Indah juga memuji kue tradisional dan donat yang dia pesan. Katanya, rasanya sangat memuaskan. Pelayanannya juga sangat cepat dan tepat waktu. Selain enak, harganya ramah di kantong.Kulangkahkan kakiku menaiki satu per satu anak tangga menuju lantai atas. Sejenak aku menoleh, Linda dan Lita juga tidak sibuk. Keduanya sedang duduk satai. Lita di kursi kebesarannya yang ada di belakang meja kasir, Linda di kursi tamu yang ada di depan meja kasir. "Awas kesambet. Ini mau magrib nggak usah senyum-senyum gitu liat ponselnya."Spontan Lita mengangkat kepala melihat ke arahku lalu melirik Linda, kemudian gadis itu memonyongkan bibirnya.Memang, saat menjelang magrib begini, toko tidak ramai. Kad

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 80 Mencoba Berkelit

    Mas Hasan menarik nafasnya sembari memijat pelipis."Apa sih susahnya menurut," ucapnya dengan nada ditekan. Pria itu melirik kiri kanan, mungkin malu."Aku harus tau alasanmu. Kenapa aku harus ikut pulang? Lagipula, kita sudah bercerai, jadi bukan kewajibanku lagi untuk menuruti perintah mu, Mas!" Sengaja kutekan nada dikata perintah agar dia tahu, jika selama ini dia dan ibunya bagaikan majikan yang selalu harus kuturuti. "Ingat Mila, kamu masih dalam masa iddah. Anak dalam perutmu itu anakku!" Kugelengkan kepala. Rasanya berdebat dengannya hanya sia-sia. Dia akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Termasuk menggunakan dalil."Ok baiklah, Mas. Aku akan ikut, tapi aku tidak akan menginap dan katakan, apa yang harus aku lakukan di rumahmu."Mas Hasan langsung menatapku. Kami masih berdiri di dekat pintu. Sama sekali tidak kuminta dia untuk duduk."Iya ... aku janji, kalian tidak akan nginap. Panggilkan Zulfa, kita jalan sekarang."Segera aku melangkah menuju dapur. Saa

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 81 Rahasia Yang Terbongkar

    "Mila sehat aja, Pak. Dia dan Hasan lagi menunggu bayi mereka yang sebentar lagi lahir." Bukan aku yang menjawab tapi Ibu. Wanita bertubuh sedikit berisi itu tersenyum sumringah pada Pak Ilham. Seolah bahagia menunggu kehadiran cucu. Kubuang pandangan pada Mas Hasan, pria itu hanya menunduk."Saya hanya ingin memastikan saja. Apakah Bu Mila bahagia.""Jelaslah bahagia, Pak. Orang sudah hamil besar begitu, kenapa pula tidak bahagia." Lagi-lagi Ibu yang menjawab.Aku menatap Pak Ilham. Dia sudah tau, jika aku dan Mas Hasan sudah bercerai, tapi kenapa masih berpura-pura."Baguslah, Bu, jika Bu Mila bahagia. Sesuai dengan keinginan Pak Gunawan."Kulihat Ibu tersenyum tipis. Senyuman tidak ikhlas. "Maaf, Om. Sebenarnya apa maksud saya dipanggil ke sini?" Kulirik dari ekor mata Ibu menatapku tajam, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin tahu, apa maksud mereka menyuruhku datang dan berpura-pura seolah masih suami istri dengan Mas Hasan."Loh ... bukankah ini rumah Bu Mila? Apa maksudnya

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 82 Ancaman Iren

    "Bentar, Bu Mila." Suara berat Pak Ilham spontan menghentikan langkahku. Aku membalikkan badan, lalu menatap pada lelaki yang baru kutahu adalah teman Ayahku. Kubalas tatapan teduhnya dengan seulas senyum tipis."Iya, Om.""Hati-hati ya, Nak. Jaga kandungan kamu."Senyumku melebar mendengar kata perhatiannya. "Iya, Om, terimakasih," balasku.Kupandangi semua yang ada di depan mata satu per satu. Mulai dari Ibu yang wajahnya terlihat tegang. Entah kenapa wajahnya seperti itu, padahal dulu wajah tua itu selalu saja angkuh. Mas Hasan yang menatapku dengan tatapan lembut, entahlah ... mungkin itu perasaanku saja, lagipula, aku sudah tidak berharap lagi. Iren ... apalagi wanita itu, dia menatapku dengan senyum penuh kemenangan. Seperti baru saja mendapat piala Oscar.Setelah puasa menatap, aku membalikkan badan sebelymnya mengucap salam. Kulangkahkan kaki seraya menggandeng tangan Zulfa keluar melewati pintu."Pak bisa pulang. Terimakasih sudah menunggu saya," ucapku pada Pak Asep yang se

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 83 Penjelasan Pengacara

    Senyum sinis terukir di bibirnya yang merah menyala itu. Beraninya dia mengancam! "Terserah kamu, Ren. Aku tetap akan rujuk sama Mila. Jika kamu tidak setuju, kita bercerai saja."Mendengar kata cerai dari mulut Hasan spontan aku menoleh pada anak laki-lakiku itu."Kamu serius?" tanyaku menatap lekat matanya. Aku ingin mencari kebenaran di dalam sana. Dulu dia sangat mencintai Iren. Iren adalah cinta pertamanya, tapi kenapa sekarang dengan mudah ingin melepaskan wanita itu.Kutarik nafas panjang saat mendapati sesuatu di mata anakku. Memang tak ada lagi cinta untuk Iren di sana. Sebenarnya, aku sudah lama curiga, tepatnya saat Mila pergi dari rumah ini. Saat itu aku tau Hasan sudah mulai mencintai anak dari temanku itu."Tidak, Mas! Kamu tidak bisa memperlakukanku seperti ini. Kamu jahat, Mas! Kamu jahat!"Iren mengamuk membanting semua barang yang ada di dekatnya. Sesekali dia menjambak rambut pirangnya, hingga rambut sebahu itu menjadi acak-acakan. Aku sampai ngeri melihatnya seper

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 84 Akan Kuambil Kembali Semuanya

    "Kamu ...."Ucapan pak Ilham terputus. Baru saja pria paruh baya itu mau menjelaskan, Lita datang dengan nampan di tangannya. Laki-laki paruh baya yang baru kutau adalah teman Ayahku itu, terpaksa menutup kembali mulut menghentikan ucapan."Silahkan diminum, Pak,' ucap Lita sopan. Aku tersenyum melirik Lita. Gadis itu sedikit menunduk dan berlalu meninggalkan aku dan Pak Ilham.Pak Ilham membetulkan posisi duduknya, lalu berdeham sebelum melanjutkan bicara. "Semua aset yang ada itu milik Pak Gunawan, Ayah Kamu. Apa Pak Hasan tidak memberitahumu?" Aku menggeleng pelan. Dalam hati rasanya ingin memaki. Teganya mereka!"Aku tidak tau, Om. Kata mereka Ayah tidak mampu membayar hutang-hutangnya, maka semua harta jatuh ke tangan Mas Hasan.""Astagfirullah," ucap Pak Ilham sembari memegang dadanya. Mungkin dia kaget, sama sepertiku."Semua itu milik Ayahmu, termasuk rumah yang sekarang masih mereka tempati. Pak Hasan hanya diberi kuasa mengelolanya saja, tapi tetap milik kamu sebagai ahli w

Bab terbaru

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 89 Tingkah Aneh Pak Reva

    Aku duduk sendiri di balkon yang ada di lantai atas sembari menikmati bintang yang berkedip di tengah pekatnya malam. Masih dengan memakai mukenah, kunikmati saat terakhirku tinggal di toko ini. Rencananya, besok aku akan pindah kembali ke rumah orang tuaku.Ketegangan yang terjadi akhir-akhir ini terobati dengan melihat cahaya bintang yang berkedip. Dari dulu, aku suka sekali menengadah ke langit melihat benda yang terlihat kecil berkelap–kelip itu. Dengan melihat bintang, aku bisa mengalihkan rasa sakit untuk sementara.Aku meminta Lita ikut tinggal menemaniku di rumah itu nanti. Dalam keadaanku yang sudah hamil besar seperti ini, memang harus ada yang menemaniku di rumah. Takut nanti ada apa-apa di malam hari, jika aku hanya tinggal berdua dengan Zulfa."Iya, Bu, aku mau. Aku nggak mau, nanti nenek lampir itu ke sini trus ngapa-ngapain Ibu," ucapnya tadi siang saat ku ajak tinggal bersamaku. Hatiku geli mengingat Lita memberi gelar Mak Lampir pada Iren. Katanya nama itu cocok s

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 88 Meminta Bantuan Maya

    Maya! Saat teringat nama Maya, cepat kurogoh tas mencari ponselku. Sembari menunggu Mas Hasan, aku akan menghubungi Maya. Kemarin di toilet hotel, aku sempat menyimpan nomernya.Kutekan nomer Maya lalu menempelkan benda pipihku ke telinga. Tut! Tut! Tut! Nada dering terdengar menyapa indera pendengaranku."Halo," sapa suara di ujung sana. Suaranya terdengar malas-malasan."Halo ... ini aku, Iren," balasku tanpa basa–basi."Iya, aku tau. Ada apa? Kamu sudah berhasil menyingkirkan Mila?" tanyanya to the point. Aku mencabik bibir. Dasar ... pantas saja tidak dilirik Revan, sinisnya minta ampun."Belum ... justru aku menghubungimu untuk membuat kerjasama.""Kerjasama?" tanyanya. Sejenak aku terdiam. Mataku menatap ke jalan raya. Dari jauh, kulihat Mas Hasan muncul dengan memapah Ibu, tapi tunggu! Kenapa dia sama Aina.Hem!"Aku tidak bisa memberitahu sekarang. Rencana ini tidak bisa dibicarakan di telpon harus bertemu.""Oke ... ketemu di mana?" tanya Maya."Terserah kamu," balasku cep

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 87 Wanita Dari Masa Lalu

    "Tidak, Mas! Aku nggak mau turun, aku nggak mau tinggal di sini! Di sini itu sempit, Mas!" Suaraku mulai meninggi. Mana mungkin aku mau tinggal di tempat sempit seperti ini. Dapur di rumah yang dulu saja masih luas dari rumah ini."Ya sudah ... kalau kamu nggak mau sana jadi gembel, tinggal di jalan." Ibu berucap dengan nada sinis. Aku meneguk ludahku. Gembel ... tidak! Aku tidak mau jadi gembel."Ini semua gara-gara Mbak Mila! Dia sudah janji tidak akan mengambil apa-apa, tapi dia bohong. Lihat saja aku akan buat perhitungan dengannya!""Sudahlah, Ren. Kamu jangan menyalakan Mila ... itu harta orang tuanya wajar dia ambil. Jangan coba-coba kamu ngelakuin hal bodoh, Ren. Mila sedang hamil anakku."Kupingku rasanya panas! Bisa-bisanya Mas Hasan masih memikirkan Mila, sedangkan nasib kami sudah seperti ini. "Tidak, Mas! Semua itu berkat kamu! Kamu yang buat perusahaan itu maju. Jadi sudah sepantasnya itu jadi milik kamu. Kamu jangan terlalu bodoh jadi orang. Jangan karena terlalu mem

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 86 What! Aku Harus Tinggal Di sini?

    Saat Kulihat Lita muncul dari balik gorden, cepat kuangkat badanku berdiri dan berjalan menuju pintu utama.Di sini aku berdiri saat pertama kali Iren datang, di sini jugalah aku berdiri untuk menyaksikannya pergi."Aku akan membalasmu wanita sialan!" ucap Iren saat melewatiku. Dia berbalik lalu mendorong hingga kepalaku terbentur daun pintu. Dengan cepat Lita menghampiri. " Ibu nggak apa-apa?" tanyanya. Kugelengkan kepala berbohong, padahal kepalaku terasa pusing akibat benturan. "Pergi sana." Lita mendorong bahu Iren hingga mantan maduku itu terhuyung ke belakang lalu dengan cepat menarik tanganku masuk lalu menutup pintu. Aku mengintip dari balik tirai. Di teras rumah Iren terus saja berteriak memaki, meskipun suaminya sudah memintanya untuk masuk ke dalam mobil, tapi wanita itu tetap berteriak histeris memakiku.Astaghfirullah ... aku mengucap istighfar sembari mengurut dada."Begitulah, Bu ... kalau berteman dengan setan ... ya akhirnya jadi hantu 'kan!"Miris sekali! Begitulah

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 85 Membungkam Mulut Iren

    "Sejak kapan kamu menjadi pemilik rumah ini? Kamu lupa, kamu datang ke sini sebagai tamu dan akan keluar dari rumah ini juga sebagai tamu," ucapku santai sembari melipat kedua tangan di dada. Menghadapi orang seperti Iren tidak harus dengan cara bar-bar. Lagipula, aku bukan dia yang dikit- dikit emosi."Aku sekarang istri sah Mas Hasan. Jadi jelas aku nyonya di sini. Nggak usah banyak cing–cong cepat kalian pergi dari sini" ucapnya mengusirku lagi dan Lita. Kasian sekali, sebegitu pinginnya di akui Nyonya.Dari arah dalam muncul sosok mantan mertua. Mungkin mendengar teriakan Iren yang seperti suara Nenek Lampir itu."Mi–Mila ...." Ucapannya tergantung. Mungkin saking kagetnya melihatku hingga wanita paruh baya itu kehabisan kata-kata."Iya, Bu. Ini Mila. Ibu apa kabar?" tanyaku seraya menyungging senyum manis untuknya."Ma–mau ngapain kamu ke sini?" ucapnya tergagap, suaranya bergetar. Meskipun berusaha terlihat baik, tapi aku atau dalam hatinya sangat resah sekali."Mila datang in

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 84 Akan Kuambil Kembali Semuanya

    "Kamu ...."Ucapan pak Ilham terputus. Baru saja pria paruh baya itu mau menjelaskan, Lita datang dengan nampan di tangannya. Laki-laki paruh baya yang baru kutau adalah teman Ayahku itu, terpaksa menutup kembali mulut menghentikan ucapan."Silahkan diminum, Pak,' ucap Lita sopan. Aku tersenyum melirik Lita. Gadis itu sedikit menunduk dan berlalu meninggalkan aku dan Pak Ilham.Pak Ilham membetulkan posisi duduknya, lalu berdeham sebelum melanjutkan bicara. "Semua aset yang ada itu milik Pak Gunawan, Ayah Kamu. Apa Pak Hasan tidak memberitahumu?" Aku menggeleng pelan. Dalam hati rasanya ingin memaki. Teganya mereka!"Aku tidak tau, Om. Kata mereka Ayah tidak mampu membayar hutang-hutangnya, maka semua harta jatuh ke tangan Mas Hasan.""Astagfirullah," ucap Pak Ilham sembari memegang dadanya. Mungkin dia kaget, sama sepertiku."Semua itu milik Ayahmu, termasuk rumah yang sekarang masih mereka tempati. Pak Hasan hanya diberi kuasa mengelolanya saja, tapi tetap milik kamu sebagai ahli w

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 83 Penjelasan Pengacara

    Senyum sinis terukir di bibirnya yang merah menyala itu. Beraninya dia mengancam! "Terserah kamu, Ren. Aku tetap akan rujuk sama Mila. Jika kamu tidak setuju, kita bercerai saja."Mendengar kata cerai dari mulut Hasan spontan aku menoleh pada anak laki-lakiku itu."Kamu serius?" tanyaku menatap lekat matanya. Aku ingin mencari kebenaran di dalam sana. Dulu dia sangat mencintai Iren. Iren adalah cinta pertamanya, tapi kenapa sekarang dengan mudah ingin melepaskan wanita itu.Kutarik nafas panjang saat mendapati sesuatu di mata anakku. Memang tak ada lagi cinta untuk Iren di sana. Sebenarnya, aku sudah lama curiga, tepatnya saat Mila pergi dari rumah ini. Saat itu aku tau Hasan sudah mulai mencintai anak dari temanku itu."Tidak, Mas! Kamu tidak bisa memperlakukanku seperti ini. Kamu jahat, Mas! Kamu jahat!"Iren mengamuk membanting semua barang yang ada di dekatnya. Sesekali dia menjambak rambut pirangnya, hingga rambut sebahu itu menjadi acak-acakan. Aku sampai ngeri melihatnya seper

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 82 Ancaman Iren

    "Bentar, Bu Mila." Suara berat Pak Ilham spontan menghentikan langkahku. Aku membalikkan badan, lalu menatap pada lelaki yang baru kutahu adalah teman Ayahku. Kubalas tatapan teduhnya dengan seulas senyum tipis."Iya, Om.""Hati-hati ya, Nak. Jaga kandungan kamu."Senyumku melebar mendengar kata perhatiannya. "Iya, Om, terimakasih," balasku.Kupandangi semua yang ada di depan mata satu per satu. Mulai dari Ibu yang wajahnya terlihat tegang. Entah kenapa wajahnya seperti itu, padahal dulu wajah tua itu selalu saja angkuh. Mas Hasan yang menatapku dengan tatapan lembut, entahlah ... mungkin itu perasaanku saja, lagipula, aku sudah tidak berharap lagi. Iren ... apalagi wanita itu, dia menatapku dengan senyum penuh kemenangan. Seperti baru saja mendapat piala Oscar.Setelah puasa menatap, aku membalikkan badan sebelymnya mengucap salam. Kulangkahkan kaki seraya menggandeng tangan Zulfa keluar melewati pintu."Pak bisa pulang. Terimakasih sudah menunggu saya," ucapku pada Pak Asep yang se

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 81 Rahasia Yang Terbongkar

    "Mila sehat aja, Pak. Dia dan Hasan lagi menunggu bayi mereka yang sebentar lagi lahir." Bukan aku yang menjawab tapi Ibu. Wanita bertubuh sedikit berisi itu tersenyum sumringah pada Pak Ilham. Seolah bahagia menunggu kehadiran cucu. Kubuang pandangan pada Mas Hasan, pria itu hanya menunduk."Saya hanya ingin memastikan saja. Apakah Bu Mila bahagia.""Jelaslah bahagia, Pak. Orang sudah hamil besar begitu, kenapa pula tidak bahagia." Lagi-lagi Ibu yang menjawab.Aku menatap Pak Ilham. Dia sudah tau, jika aku dan Mas Hasan sudah bercerai, tapi kenapa masih berpura-pura."Baguslah, Bu, jika Bu Mila bahagia. Sesuai dengan keinginan Pak Gunawan."Kulihat Ibu tersenyum tipis. Senyuman tidak ikhlas. "Maaf, Om. Sebenarnya apa maksud saya dipanggil ke sini?" Kulirik dari ekor mata Ibu menatapku tajam, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin tahu, apa maksud mereka menyuruhku datang dan berpura-pura seolah masih suami istri dengan Mas Hasan."Loh ... bukankah ini rumah Bu Mila? Apa maksudnya

DMCA.com Protection Status