POV MilaAku membawa kakiku melangkah menaik anak tangga satu per satu setelah mengunci pintu toko. Sampai di ujung tangga, aku melihat Lita sudah duduk di sofa asyik dengan benda pipih miliknya. "Zulfa mana, Lit?" tanyaku setelah sampai di depan Lita dan melabuhkan punggung di atas sofa."Di kamarnya, Bu. Mungkin sudah tidur." Lita menjawab tapi matanya fokus pada benda persegi panjang ditangannya. "Oh." Aku hanya ber oh ria saja, karena melihat Lita sedang sibuk dengan HPnya. Aku tidak mau mengganggu ruang pribadi seseorang. Sesaat hening diantara kami."Ini, Bu. Saya sudah ada nomer pengacaranya. Barusan Pak Revan kirim." Akhirnya suara Lita memecah keheningan. Sontak aku menoleh ke arahnya lalu mengernyit heran. "Tenang, Bu. Jangan pasang muka kayak gitu. Dia nggak tau kok kalau Ibu yang butuh. Aku bilang teman yang cari," ucap Lita menjawab tanda tanya di wajahku.Aku tersenyum pada Lita seraya menyambut uluran tangannya yang mengulurkan secarik kertas bertuliskan nomer
Mataku melotot melihat yang terjadi di depan mata. Berani sekali Iren!Dia mencengkram lengan Zulfa, hingga putriku meringis kesakitan. "Lepas, Ren!" teriakku dan langsung berlari menghampiri Zulfa. "Beraninya kau," ucapku geram melepas paksa tangan Iren, lalu memelintir tangan madu busuk itu kebelakang."Aw ...." Iren meringis kesakitan tangannya kupelintir. "Jangan pernah kau sentuh anakku seperti tadi. Jika berani kau ulangi ... mematahkan tanganmu sangat mudah bagiku!""Sayang, masuk ke kamarmu." Kuperintahkan agar Zulfa masuk ke kamarnya. Putriku ingin melangkah, tapi di halangi oleh Ibu."Zulfa ... jangan ke mana-mana. Ikut Nenek pulang dan tinggal sama Ayah dan Tante Iren," ucap Ibu mencegah Zulfa. Anakku hanya menggelengkan kepala tidak mau ikut."Nek, Ufa mau sama Bunda aja ... di sini," rengek Zulfa menatap Ibu dengan tatapan memohon."Nggak! Kamu ikut Nenek pulang. Mau makan apa kamu di sini. Ayo." Ibu menarik Zulfa ingin membawa putriku itu pergi.Segera kucekal tangan
"Betul itu, Mas? Kamu mau ambil Zulfa?" Mas Hasan mengangguk."Kalau bisa ... kalian balik lagi ke rumah," ucap Mas Hasan pelan. Aku tersenyum samar mendengarnya.Seandainya dia tidak pernah menduakanku dengan Iren. Dengan senang hati aku akan mengikuti ajakannya, meskipun ibu selalu jahat padaku. Tapi semua sudah terlambat, nasi sudah menjadi bubur. Pernikahan sirinya dengan Iren sudah terjadi."Maaf, Mas. Aku tidak akan balik lagi ke rumah itu.""Kalau kamu nggak mau satu rumah sama Iren ... baiklah! Iren akan keluar dari sana, tapi kamu pulang ya sama Zulfa.""Mas! Kamu mau ngusir aku gitu?""Nggak, Ren. Mas akan belikan kamu rumah sendiri. Memang sebaiknya dua istri tidak tinggal dalam satu rumah."Aku menggeleng mendengar penuturan Mas Hasan. Apa dia pikir aku mau dimadu? Hingga dengan percaya dirinya berucap dua istri.Kutatap Iren dan Mas Hasan dengan kedua ujung bibir yang tertarik. Berdebat lah sepuas kalian. Itu tidak akan membuat aku mengubah keputusan."Nggak, Mas! Aku n
POV Hasan"Mas ... bangun," suara lembut memanggil namaku. Mataku masih terpejam menikmati kebahagian. Sebenarnya, aku masih enggan membuka mata. Bukan tanpa alasan aku tidak mau membuka mata, tapi saat ini aku sedang merasakan indahnya keluarga bersama anak dan istriku."Mas, bangun. Sudah hampir jam tujuh." Suara itu menyapa lagi. Aku tersenyum, ternyata ini bukan mimpi, tapi nyata. Istriku membangunkanku. "Iya, Sayang, Mas bangun. Zulfa sini, Nak peluk Bunda sama Ayah. Aku mencium pipi putriku, lalu beralih pada dahi istriku. Terima kasih, Mila."Brak!Mataku langsung terbuka. Aku sudah terduduk di atas lantai, ternyata Iren menendang ku."Aduh ... sakit. Kamu tuh apa-apaan sih, Ren!" bentakku seraya mengangkat badan berdiri. Pinggang terasa nyeri karena terhempas kuat."Kamu tuh yang apa-apaan, Mas! Aku capek bangunin kamu dari tadi kamu hanya senyum-senyum nggak jelas, taunya lagi mimpiin Mbak Mila," oceh Iren panjang lebar."Kamu tuh nggak ngehargain aku banget ya, Mas. Kamu
"Apa maksud Ibu?" tanyaku bingung. Dari segi mana aku kurang ajar? "Beraninya kau menceraikan Hasan! Dasar nggak tau di untung kamu. Kamu pikir jadi janda itu mudah, hah! Ingat ... aku akan mengambil cucuku."Ibu berteriak, seakan kami ini berada ditengah hutan. Padahal di sini banyak sekali manusia. Malu!"Ingat, Mila ... kamu yang mau berpisah, jangan harap aku mau memberimu sepeser pun," ucapnya lagi masih dengan suara tinggi."Bu ... sudah, Bu."Ibu bahkan mengabaikan Mas Hasan memintanya diam."Mila nggak pernah mengharapkan harta Mas Hasan, Bu. Tidak apa-apa ... maafkan jika selama ini aku banyak salah."Aku meraih tangan ibu lalu menciumnya takzim. Walau bagaimanapun beliau orang tua. Mungkin ini akan menjadi yang terakhir. Ibu hanya bergeming, tidak menolak, namun wajahnya tidak bersahabat.Aku masuk ke dalam mobil, lalu melabuhkan badan di atas kursi belakang kemudi. Sesaat aku terpaku menghadap lurus ke depan."Ibu nggak apa-apa?" Pertanyaan Lita menyadarkan ku yang hampir
Baru saja aku menutup jok belakang."Eh ... ada pelakor."Spontan aku menoleh, ternyata Maya yang baru turun dari mobil bersama dua orang temannya dan langsung menghampiriku.Aku menarik nafas dalam-dalam. Sepertinya sebentar lagi situasinya akan tidak enak. Pasti ada perdebatan kecil antara aku dan wanita ini. Entah apa masalahnya denganku.Aku tidak mempedulikan ucapan Maya, kutarik langkah ingin menjauh dari wanita itu, tapi dia menarik tanganku."Eh ... mau kemana?" ucapnya menaikan alis."Maaf, Mbak. Tugas saya di sini sudah selesai, jadi saya mau pamit sama yang punya rumah." Aku masih tidak meladeni Maya."Tapi urusan kita belum selesai!" sentak Maya. Aku mengernyit."Apa kita punya urusan?" tanyaku dengan raut heran. Pasalnya, aku tidak merasa punya urusan dengannya. Kenal saja tidak!"Jelas kita punya urusan! Kamu 'kan yang membuat Mas Revan menolakku." Kuputar bola mata mendengar ucapan Maya. Ternyata ini semua karena dia cemburu padaku."Jadi ini wanita yang kamu bilang, M
Wanita bergaun maron itu menatapku dengan tatapan tajam setajam silet. Aku menghela nafas frustasi. Sebaiknya, aku segera pergi dari sini. Situasinya sudah tidak enak untukku. Masalahku dan Mas Hasan saja belum sepenuhnya selesai, aku tidak mau menambah dengan yang baru."Bu Hanum, Tante Tari, Mila sebaiknya pulang dulu. Sudah sore juga ini. Sayang, Bunda pulang dulu ya, lain kali kita main lagi. Ok." Lili mangut-mangut seraya mengangguk-anggukkan kepalanya. Meski aku dapat melihat raut kecewa di wajah polos itu, tapi aku tetap harus pulang.Kuangkat badan berdiri dari sofa. Menyalami Bu Hanum dan Tante Tari bergantian, lalu perlahan menyeret langkah keluar dari ruang keluarga mencari keberadaan Linda.Setelah aku dan Linda masuk ke dalam mobil, aku menjalankan mobilku meninggalkan rumah Bu Hanum. Berkali-kali aku menarik nafas lalu menghelanya. Lelah sekali rasanya hari ini. Tadi di pengadilan bertemu Mas Hasan dan Ibu, dan sekarang bertemu Lili dan Maya. Tuhan ... kuatkan aku. Se
"Ya ampun ... ini kenapa sih? Berantakan sekali." Iren yang baru keluar dari kamar, heran dengan keadaan dapur yang berantakan. Dia tidak tau jika itu karena kemarahan mertuanya. "Ya ampun ... ya ampun. Kamu kenapa sih jam segini baru mau keluar kamar. Kamu lupa, jika punya suami dan mertua yang harus kamu urus." Ibu langsung menyemprot Iren dengan kata-kata pedasnya. "Bu, aku ini menantu bukan pembantu! Salah sendiri, siapa suruh Ibu pecat Bibik. Sudah enak ada yang urus kita," sahut Iren membela diri. Kami memang sempat punya pembantu, tapi Ibu pecat, katanya kerja nggak becus. "Heh, ini tuh tanggung jawab kamu sebagai istri mengurus suami dan mertuanya. Jadi nggak perlu pembantu! Mila juga dulu begitu, kenapa kamu tidak bisa.""Itu Mbak Mila ya, Bu, kalau aku mah ogah. Untuk apa punya uang kalau masih harus susah-susah ngurus semua kerjaan rumah," sungut Iren. Kepalaku rasanya mau pecah mendengar perdebatan Ibu dan Iren. Sepertinya tidak akan ada ujungnya."Ren, apa yang dikat
Aku duduk sendiri di balkon yang ada di lantai atas sembari menikmati bintang yang berkedip di tengah pekatnya malam. Masih dengan memakai mukenah, kunikmati saat terakhirku tinggal di toko ini. Rencananya, besok aku akan pindah kembali ke rumah orang tuaku.Ketegangan yang terjadi akhir-akhir ini terobati dengan melihat cahaya bintang yang berkedip. Dari dulu, aku suka sekali menengadah ke langit melihat benda yang terlihat kecil berkelap–kelip itu. Dengan melihat bintang, aku bisa mengalihkan rasa sakit untuk sementara.Aku meminta Lita ikut tinggal menemaniku di rumah itu nanti. Dalam keadaanku yang sudah hamil besar seperti ini, memang harus ada yang menemaniku di rumah. Takut nanti ada apa-apa di malam hari, jika aku hanya tinggal berdua dengan Zulfa."Iya, Bu, aku mau. Aku nggak mau, nanti nenek lampir itu ke sini trus ngapa-ngapain Ibu," ucapnya tadi siang saat ku ajak tinggal bersamaku. Hatiku geli mengingat Lita memberi gelar Mak Lampir pada Iren. Katanya nama itu cocok s
Maya! Saat teringat nama Maya, cepat kurogoh tas mencari ponselku. Sembari menunggu Mas Hasan, aku akan menghubungi Maya. Kemarin di toilet hotel, aku sempat menyimpan nomernya.Kutekan nomer Maya lalu menempelkan benda pipihku ke telinga. Tut! Tut! Tut! Nada dering terdengar menyapa indera pendengaranku."Halo," sapa suara di ujung sana. Suaranya terdengar malas-malasan."Halo ... ini aku, Iren," balasku tanpa basa–basi."Iya, aku tau. Ada apa? Kamu sudah berhasil menyingkirkan Mila?" tanyanya to the point. Aku mencabik bibir. Dasar ... pantas saja tidak dilirik Revan, sinisnya minta ampun."Belum ... justru aku menghubungimu untuk membuat kerjasama.""Kerjasama?" tanyanya. Sejenak aku terdiam. Mataku menatap ke jalan raya. Dari jauh, kulihat Mas Hasan muncul dengan memapah Ibu, tapi tunggu! Kenapa dia sama Aina.Hem!"Aku tidak bisa memberitahu sekarang. Rencana ini tidak bisa dibicarakan di telpon harus bertemu.""Oke ... ketemu di mana?" tanya Maya."Terserah kamu," balasku cep
"Tidak, Mas! Aku nggak mau turun, aku nggak mau tinggal di sini! Di sini itu sempit, Mas!" Suaraku mulai meninggi. Mana mungkin aku mau tinggal di tempat sempit seperti ini. Dapur di rumah yang dulu saja masih luas dari rumah ini."Ya sudah ... kalau kamu nggak mau sana jadi gembel, tinggal di jalan." Ibu berucap dengan nada sinis. Aku meneguk ludahku. Gembel ... tidak! Aku tidak mau jadi gembel."Ini semua gara-gara Mbak Mila! Dia sudah janji tidak akan mengambil apa-apa, tapi dia bohong. Lihat saja aku akan buat perhitungan dengannya!""Sudahlah, Ren. Kamu jangan menyalakan Mila ... itu harta orang tuanya wajar dia ambil. Jangan coba-coba kamu ngelakuin hal bodoh, Ren. Mila sedang hamil anakku."Kupingku rasanya panas! Bisa-bisanya Mas Hasan masih memikirkan Mila, sedangkan nasib kami sudah seperti ini. "Tidak, Mas! Semua itu berkat kamu! Kamu yang buat perusahaan itu maju. Jadi sudah sepantasnya itu jadi milik kamu. Kamu jangan terlalu bodoh jadi orang. Jangan karena terlalu mem
Saat Kulihat Lita muncul dari balik gorden, cepat kuangkat badanku berdiri dan berjalan menuju pintu utama.Di sini aku berdiri saat pertama kali Iren datang, di sini jugalah aku berdiri untuk menyaksikannya pergi."Aku akan membalasmu wanita sialan!" ucap Iren saat melewatiku. Dia berbalik lalu mendorong hingga kepalaku terbentur daun pintu. Dengan cepat Lita menghampiri. " Ibu nggak apa-apa?" tanyanya. Kugelengkan kepala berbohong, padahal kepalaku terasa pusing akibat benturan. "Pergi sana." Lita mendorong bahu Iren hingga mantan maduku itu terhuyung ke belakang lalu dengan cepat menarik tanganku masuk lalu menutup pintu. Aku mengintip dari balik tirai. Di teras rumah Iren terus saja berteriak memaki, meskipun suaminya sudah memintanya untuk masuk ke dalam mobil, tapi wanita itu tetap berteriak histeris memakiku.Astaghfirullah ... aku mengucap istighfar sembari mengurut dada."Begitulah, Bu ... kalau berteman dengan setan ... ya akhirnya jadi hantu 'kan!"Miris sekali! Begitulah
"Sejak kapan kamu menjadi pemilik rumah ini? Kamu lupa, kamu datang ke sini sebagai tamu dan akan keluar dari rumah ini juga sebagai tamu," ucapku santai sembari melipat kedua tangan di dada. Menghadapi orang seperti Iren tidak harus dengan cara bar-bar. Lagipula, aku bukan dia yang dikit- dikit emosi."Aku sekarang istri sah Mas Hasan. Jadi jelas aku nyonya di sini. Nggak usah banyak cing–cong cepat kalian pergi dari sini" ucapnya mengusirku lagi dan Lita. Kasian sekali, sebegitu pinginnya di akui Nyonya.Dari arah dalam muncul sosok mantan mertua. Mungkin mendengar teriakan Iren yang seperti suara Nenek Lampir itu."Mi–Mila ...." Ucapannya tergantung. Mungkin saking kagetnya melihatku hingga wanita paruh baya itu kehabisan kata-kata."Iya, Bu. Ini Mila. Ibu apa kabar?" tanyaku seraya menyungging senyum manis untuknya."Ma–mau ngapain kamu ke sini?" ucapnya tergagap, suaranya bergetar. Meskipun berusaha terlihat baik, tapi aku atau dalam hatinya sangat resah sekali."Mila datang in
"Kamu ...."Ucapan pak Ilham terputus. Baru saja pria paruh baya itu mau menjelaskan, Lita datang dengan nampan di tangannya. Laki-laki paruh baya yang baru kutau adalah teman Ayahku itu, terpaksa menutup kembali mulut menghentikan ucapan."Silahkan diminum, Pak,' ucap Lita sopan. Aku tersenyum melirik Lita. Gadis itu sedikit menunduk dan berlalu meninggalkan aku dan Pak Ilham.Pak Ilham membetulkan posisi duduknya, lalu berdeham sebelum melanjutkan bicara. "Semua aset yang ada itu milik Pak Gunawan, Ayah Kamu. Apa Pak Hasan tidak memberitahumu?" Aku menggeleng pelan. Dalam hati rasanya ingin memaki. Teganya mereka!"Aku tidak tau, Om. Kata mereka Ayah tidak mampu membayar hutang-hutangnya, maka semua harta jatuh ke tangan Mas Hasan.""Astagfirullah," ucap Pak Ilham sembari memegang dadanya. Mungkin dia kaget, sama sepertiku."Semua itu milik Ayahmu, termasuk rumah yang sekarang masih mereka tempati. Pak Hasan hanya diberi kuasa mengelolanya saja, tapi tetap milik kamu sebagai ahli w
Senyum sinis terukir di bibirnya yang merah menyala itu. Beraninya dia mengancam! "Terserah kamu, Ren. Aku tetap akan rujuk sama Mila. Jika kamu tidak setuju, kita bercerai saja."Mendengar kata cerai dari mulut Hasan spontan aku menoleh pada anak laki-lakiku itu."Kamu serius?" tanyaku menatap lekat matanya. Aku ingin mencari kebenaran di dalam sana. Dulu dia sangat mencintai Iren. Iren adalah cinta pertamanya, tapi kenapa sekarang dengan mudah ingin melepaskan wanita itu.Kutarik nafas panjang saat mendapati sesuatu di mata anakku. Memang tak ada lagi cinta untuk Iren di sana. Sebenarnya, aku sudah lama curiga, tepatnya saat Mila pergi dari rumah ini. Saat itu aku tau Hasan sudah mulai mencintai anak dari temanku itu."Tidak, Mas! Kamu tidak bisa memperlakukanku seperti ini. Kamu jahat, Mas! Kamu jahat!"Iren mengamuk membanting semua barang yang ada di dekatnya. Sesekali dia menjambak rambut pirangnya, hingga rambut sebahu itu menjadi acak-acakan. Aku sampai ngeri melihatnya seper
"Bentar, Bu Mila." Suara berat Pak Ilham spontan menghentikan langkahku. Aku membalikkan badan, lalu menatap pada lelaki yang baru kutahu adalah teman Ayahku. Kubalas tatapan teduhnya dengan seulas senyum tipis."Iya, Om.""Hati-hati ya, Nak. Jaga kandungan kamu."Senyumku melebar mendengar kata perhatiannya. "Iya, Om, terimakasih," balasku.Kupandangi semua yang ada di depan mata satu per satu. Mulai dari Ibu yang wajahnya terlihat tegang. Entah kenapa wajahnya seperti itu, padahal dulu wajah tua itu selalu saja angkuh. Mas Hasan yang menatapku dengan tatapan lembut, entahlah ... mungkin itu perasaanku saja, lagipula, aku sudah tidak berharap lagi. Iren ... apalagi wanita itu, dia menatapku dengan senyum penuh kemenangan. Seperti baru saja mendapat piala Oscar.Setelah puasa menatap, aku membalikkan badan sebelymnya mengucap salam. Kulangkahkan kaki seraya menggandeng tangan Zulfa keluar melewati pintu."Pak bisa pulang. Terimakasih sudah menunggu saya," ucapku pada Pak Asep yang se
"Mila sehat aja, Pak. Dia dan Hasan lagi menunggu bayi mereka yang sebentar lagi lahir." Bukan aku yang menjawab tapi Ibu. Wanita bertubuh sedikit berisi itu tersenyum sumringah pada Pak Ilham. Seolah bahagia menunggu kehadiran cucu. Kubuang pandangan pada Mas Hasan, pria itu hanya menunduk."Saya hanya ingin memastikan saja. Apakah Bu Mila bahagia.""Jelaslah bahagia, Pak. Orang sudah hamil besar begitu, kenapa pula tidak bahagia." Lagi-lagi Ibu yang menjawab.Aku menatap Pak Ilham. Dia sudah tau, jika aku dan Mas Hasan sudah bercerai, tapi kenapa masih berpura-pura."Baguslah, Bu, jika Bu Mila bahagia. Sesuai dengan keinginan Pak Gunawan."Kulihat Ibu tersenyum tipis. Senyuman tidak ikhlas. "Maaf, Om. Sebenarnya apa maksud saya dipanggil ke sini?" Kulirik dari ekor mata Ibu menatapku tajam, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin tahu, apa maksud mereka menyuruhku datang dan berpura-pura seolah masih suami istri dengan Mas Hasan."Loh ... bukankah ini rumah Bu Mila? Apa maksudnya