BAGIAN 63
POV ANWAR
Aku benar-benar dilanda geram yang luar biasa. Ke mana lagi harus kucari dokter bernama Savero itu?
Tanpa berpamitan pada si penjaga kost, aku langsung balik badan. Melangkah tergesa untuk masuk ke mobil. Kemudian dengan kesalnya aku mengendara tanpa tahu ke mana arah dan tujuan.
“Sial!” umpatku setengah memekir.
Sosok Budiman di sebelahku terlihat kaget. Dia sontak terbangun. Matanya gelagapan mencari-cari apakah gerangan yang telah membuatku naik pitam.
“K-kenapa, Bos?” tanyanya tergagap.
BAGIAN 64POV ANWAR “B-begini Pak Anwar, mohon untuk kita selesaikan secara baik-baik,” ucap dokter Harie dengan bibir yang kulihat gemetar. Budiman langsung menahan pundakku. Hampir saja aku bangkit dari duduk untuk mengobrak-abrik makanan di meja. Sabar. Memang hanya sabar yang harus kulakukan, sementara stok yang kupunya makin menipis kadarnya. Napasku terengah. Benar-benar keterlaluan dokter ini. Apa yang sedang dia sembunyikan sebenarnya? Betul kan, dia hanya mengulur waktuku saja! “Sebelumnya, bolehkah saya bertanya. Siapa saudari Risti sebenarnya?” tanya dokter Harie dengan muka yang masih pias
BAGIAN 65POV ANWAR Gara-gara ucapan negatif Budiman yang melabeli apartemen ini sebagai kawasan prostitusi, pikiranku jadi semakin kacau balau. Sepanjang perjalanan dari halaman parkir hingga lobi menuju pintu lift, yang bisa kulakukan hanya diam melamun membayangkan hal yang bukan-bukan. Namun, ketika kami berempat—aku, Budiman, dokter Harie, dan sopir kantornya yang bernama Riki masuk ke dalam lift, barulah aku bisa buka suara sebab si dokter mengajak berbicara duluan. “Kita akan naik ke lantai dua belas. Tower ini jika dibandingkan dengan tower-tower di belakang sana, adalah yang terbaik. Pak Anwar jangan khawatir, ya. Menantu Bapak dijamin akan baik-baik saja selama berada di sini. Green Lake tower Cempaka, Anggrek, dan Tulip memang terkenal banyak cewek-cewek tak benar dan le
BAGIAN 66POV ANWAR “Papa!” Perempuan bertubuh sintal dalam balutan pakaian tidur putih tipis sekaligus menerawang itu bangkit dari duduknya. Risti dengan rambutnya yang tergerai hingga bahu itu gelagapan ketika turun dari atas ranjang. Dia tampak panik dan coba mendekatiku. “Savero! Apa yang sudah kamu lakukan dengannya di dalam kamar ini?!” Pekik dari suara milik dokter Harie menggema ke telingaku. Aku yang masih berpanas hati langsung menoleh ke belakang. Menatap pria bertelanjang dada yang sempat hendak ikut masuk ke kamarnya, ditarik paksa oleh dokter Harie. Aku makin terhenyak. Savero. Jelas sekali nama itu diungkap oleh dokter Harie. Dan feelingku ternyata tak meleset s
BAGIAN 67POV ANWAR “Syarat?! Syarat apanya?!” Savero yang berdiri di depanku membeliak besar-besar. Embusan napasnya yang laju dan berat terdengar begitu mengganggu di telinga. “Nikahi Risti. Perempuan itu kadung kamu lihat tubuhnya! Aku ingin, setelah dia bercerai dengan anakku, kaulah yang harus mengawininya!” ucapku tegas sambil menunjuk batang hidungnya. Dokter itu terkesiap. Dia diam. Mukanya tegang. Kala kupandang ke arah sang ayah yang duduk resah di sebelah Budiman, ekspresinya pun setali tiga uang. Sama-sama kaget dan tegang. “Anda setuju, kan, bila bermenantukan Risti?” tanyaku
BAGIAN 68POV RISTI Rasanya, tubuh dan jiwaku seketika seperti disambar dengan petir. Kabar yang Papa berikan barusan, terang menguras seluruh energi yang tersisa. Padahal, keterkejutanku dengan kedatangan Papa serta keributan antara Savero dengan ayahnya belum juga usai membelenggu. “Maaf bila Papa harus membuatmu syok. Namun, kamu wajib tahu tentang masalah ini sesegera mungkin,” ucap Papa menenangkan. Lenganku lalu digamit oleh Papa. Aku yang hampir saja terjungkal ke lantai lift saking terkejutnya, kini dapat berdiri dengan bantuan itu. Kami pun akhirnya berjalan menuju parkiran dengan mulut yang sama-sama senyap. Aku belum sanggup berkata-kata lagi. Detak jantungku bahkan masih berdegup sanga
BAGIAN 69POV RISTI “L-lalu … kenapa Mas Bayu membunuh Lia, Pa?” “Itu karena Lia mengaku tidak mencintai Bayu. Dia hanya ingin memanfaatkan harta anakku saja. Bayu langsung geram dan kalap. Bersyukurlah, nyawamu masih aman, Risti. Ada yang lebih tragis nasibnya, yaitu Lia. Usianya masih sangat muda dan nyawanya lenyap begitu saja hanya karena masalah asmara serta harta.” Mata Papa terlihat sangat prihatin. Kutahu bahwa sebenarnya Papa memiliki hati yang sangat baik. Jauh berbanding terbalik dengan anaknya, Mas Bayu. Aku pun memilih diam sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Tanya di kepalaku kini mulai terjawab satu per satu. Ada lega di dada, tetapi terbesit pula sebuah gund
BAGIAN 70POV RISTI Sementara Mas Bayu dibawa oleh pihak kepolisian menuju sel tahanan, aku diajak Papa untuk makan sambil beristirahat sejenak di sebuah restoran masakan khas Jawa. Papa juga mengajak serta tiga orang anak buahnya yang lain. Ada Mas Dedi, Mas Andang, dan Om Budiman. Mereka bertiga makan di meja lain. Meja paling belakang dekat aquarium besar berisi seekor ikan arwana berwarna merah keperakan. Aku dan Papa memilih meja tengah. Duduk saling berhadap-hadapan. Beliau memesan semangkuk rawon dan sepiring nasi putih panas plus es the manis. Sedangkan aku makan hidangan nasi pecel lengkap dengan peyek teri dan teh manis panas. Kami berdua makan dengan lahapnya. Papa menawariku untuk menambah. Tak ku
BAGIAN 71POV RISTI “Menurutmu begitu?” tanya Papa sambil menatapku dalam-dalam. Aku mengangguk. Akal sehatku seketika bekerja maksimal. Bayangkan saja. Mas Bayu sudah merasakan tekanan yang dalam selama berpuluh tahun. Bercerai karena diguna-guna, lalu depresi, dan kemudian jatuh cinta dengan orang yang salah sebab ilmu hitam juga. Lalu, tiba-tiba cintanya dikhianati oleh perempuan yang paling dia dambakan. Meskipun rencananya kepadaku sangat jahat dan tak manusiawi, kusadari betul bahwa semua bisa terjadi sebab di bawah kendali ilmu sihir yang mengerikan. Di sini, Mas Bayu hanya pion yang digerakkan sesuka hati si pemain. Perih getir yang dia rasakan menumpuk terlalu lama, tanpa pernah dia sadari sebenarnya.
147Akhir BerbahagiaSetahun Kemudian Hidup rumah tangga Nami dan Anwar kini semakin bahagia setelah dibuangnya Ina ke Pasar Pinang Merah. Ina alias perempuan yang bersekutu dengan iblis itu akhirnya meninggal dunia pada dini hari di lantai pasar yang lembab dan kotor. Jenazahnya tak diidentifikasi oleh pihak kepolisian, sebab adanya kong kalikong antara Anwar dan para penegak hukum tersebut. Tentu saja, banyak dana yang harus Anwar gelontorkan agar jenazah Ina tak diperiksa. Mayat Ina pun lalu dikirimkan ke kampung halamannya, disambut dengan isak tangis Suwito dan Rusmina. Sungguh tragis kehidupannya Ina. Dia tak mendapatkan satu pun cita-citanya di saat-saat menjelang kematiannya. Hidup Ina sama tragisnya dengan Lia, anak semata wayangnya tersebut. Nyawa mereka sama-sama melayang di tangan para lelaki yang sempat mereka cintai habis-habisan. Cinta yang salah telah membuat mereka mati dalam sebuah kepiluan. Nami, Nalen, dan Anw
145Kemesraan Atau Sebuah Dusta? Azan Subuh berkumandang syahdu. Suaranya sayup-sayup terdengar hingga ke dalam kamar milik Nami dan Anwar. Si nyonya pun kebetulan telah selesai berpakaian lengkap. Buru-buru Nami mengambil wudu. Coba dia tepis segala perasaan gundah di dada. Cukup lama dia merenung di depan cermin meja riasnya setelah berpakaian tadi. Usai perenungan, Nami bertekad untuk tetap menabahkan hati, meski sepertinya akan banyak rintangan yang datang pada hari-hari besok. Perempuan yang sudah wangi semerbak sekujur tubuhnya itu pun membentangkan sajadah di tengah-tengah ruang kamar yang memang sangat luas. Maklum, kamarnya orang kaya. Sudah diisi lemari pakaian dan ranjang sebesar gaban pun, masih tersisa cukup banyak space untuk Nami salat, bahkan berjamaah dengan sang suami pun sangat memungkinkan. Di tengah dengkuran Anwar yang lumayan kencang, Nami mendirikan dua rakaat sunnah sebelum Subuh alias salat Fajar dan dil
Pagi-pagi sekali Nami bangun dengan penuh perasaan semangat yang menggebu dalam dadanya. Betapa tidak, hari ini adalah hari di mana tanah dan rumah yang mereka tempati, akan segera dihibahkan kepada Nami. Begitu janji dari Anwar, suami yang sangat dicintai oleh perempuan cantik tersebut. Hati-hati sekali Nami turun dari tempat tidurnya. Bahkan dia sampai jalan berjinjit, demi tak membuat suara ribut. Maklum saja, sang suami baru tertidur pada pukul satu dini hari tadi. Nami bukannya tak sadar jika sang suami tidur sangat larut malam. Alasan Anwar karena dia ingin mengerjakan sesuatu di kamar kerjanya. Karena mengantuk, Nami memutuskan tidur lebih duluan, dan menyadari bahwa sang suami baru saja masuk ke kamar setelah pukul satu di jam weker yang dia letakkan di atas nakas. Sebenarnya, Nami ingin banyak bertanya pada Anwar tentang alasan mengapa suaminya tidur sampai selarut itu. Namun, perempuan berambut hitam tebal tersebut cepat mengurungkan
BAB 143Ritual Yang Terhenti “Pak, piye iki (gimana ini)? Mosok sih (masa sih), kita ke rumahnya Mbah Legi meneh (lagi)? Aku kok, wedhi (takut) yo, Pak?” Rusmina mengeluh kepada Suwito usai ditelepon oleh adiknya, Ina alias Rustina. Kedua pasutri berusia paruh abad itu tampak sama-sama tertekan dengan permintaan adik mereka. Di satu sisi, Rusmina senang ketika sang adik berhasil disembuhkan dan dapat kembali bersatu dengan mantan suaminya, meskipun mereka belum menikah kembali. Namun, di satu sisi lain, sebagai seorang muslim yang ‘setengah taat’, sedikit banyak Rusmina takut apabila terus menerus main dukun. Baik Rusmina maupun Suwito, mereka sama-sama tahu bila bekerja sama dengan dukun adalah sebuah tindakan syirik yang tak akan diampuni oleh Tuhan. Usia mereka sama-sama memasuki angka senja, bukan tak mungkin besok atau lusa, usia mereka habis dan berakhir di liang lahat. Itulah hal yang sangat Rusmina dan Suwito takutkan, yakni mati sebel
BAB 142Dustanya Anwar Betapa leganya hati Nami ketika mendapati suara bel yang dipencet dari arah luar sana terdengar hingga ke lorong kamarnya. Nami dan Rahima pun gegas keluar dari kamar untuk menyambut kedatangan sang tuan besar. Saat kunci rumah dibukakan oleh Nami, dia semakin bahagia karena wajah Anwarlah yang Nami lihat untuk pertama kalinya. “Papa!” seru Nami mesra kepada sang suami. “Iya, Ma. Maaf sudah membuatmu menunggu lama. Mari kita masuk,” ucap Anwar sambil menebar senyuman semanis madunya. Anwar langsung merangkul tubuh molek milik istrinya. Sementara itu, Rahima masih menunggu di pintu, untuk menyambut Nalen yang masih memarkirkan mobil papanya. Setelah Nalen memasuki pintu, Rahima pun menjalankan tugasnya untuk mengunci pintu kembali. Rahima ikut senang saat melihat tuan besar dan tuan mudanya sudah tiba ke rumah. Apalagi, mata Rahima tak perlu memandangi sosok nenek sihir yang tak lain dan tak bu
BAB 141Pergi Jauh Tubuh Ina pun digotong oleh Andang dan Dedi untuk masuk ke dalam minibus putih milik Anwar. Perempuan pucat dengan rambut awut-awutan itu masih saja terkulai lemah dengan kedua mata yang tertutup. Sesekali bibir birunya berkedut, seperti hendak mengerang kesakitan. Melihat kondisi Ina semengenaskan itu, tentu membuat jantung Dedi dan Andang kompak ketar ketir. Banyak tugas berat yang Anwar berikan kepada mereka. Namun, membawa manusia setengah sekarat begini, baru sekali Dedi dan Andang jalani. Setelah diposisikan dengan baik di bangku penumpang tepat di samping sang sopir, Ina pun dibiarkan duduk dengan kepala terkulai. Sabuk pengaman telah Andang pasangkan untuk perempuan malang tersebut. Andang pun duduk di bangku belakang bersama dua tas milik Ina yang terisi penuh dengan pakaian-pakaian. Minibus putih itu pun berjalan dengan kecepatan sedang. Sebagai seorang sopir handal, Dedi berusaha untuk tetap tenang m
BAB 140Setengah Beres Suasana jadi tegang lagi setelah Nalen men-skak mat Anwar dengan kata-kata pamungkasnya. Meskipun Anwar enggan menyahut demi menghindari pertikaian lebih lanjut, sesungguhnya terdapat bara api murka yang terpendam di dalam dadanya. Betapa tidak, Nalen yang dia anggap sebagai bocah kemarin sore, berani-beraninya menjawab dengan kalimat yang sangat menohok. Anwar diam. Jali dan Ina pun bungkam. Apalagi Nalen, pemuda itu memilih untuk menekuni ponselnya, demi mengusir rasa jenuh yang mendera. Sekitar hampir empat puluh menit lamanya mereka berempat menunggu di dalam mobil mewah milik Anwar. Ina beberapa kali mencoba untuk membuka kelopak matanya selama penantian di kabin mobil yang remang. Namun, sialnya rasa pening berputar langsung menyergap pemandangan Ina tatkala mata tuanya hendak membuka separuh. Azab. Itulah yang tengah Ina alami sekarang. Baru saja dia merasa di atas angin sebab jampi-jampi Mbah Legi y
BAB 139Was-Was Susah payah Jali membawa Ina hingga masuk ke dalam mobil kembali. Sekuat apa pun tenaganya sebagai seorang pria yang berprofesi sebagai satpam, tetap saja terasa sangat melelahkan ketika Jali harus bolak balik mengangkat tubuh perempuan sial itu. Lagi-lagi Jali hanya bisa memendam rasa capek dan muaknya kepada Anwar. Ina sudah didudukkan kembali ke kursi penumpang di belakang. Kepalanya tak bisa berada pada posisi tegak, saking lemahnya. Ina sendiri bingung, mengapa tubuh dia bisa selemah ini. Ke mana kekuatan para jin yang membantu Ina? Sudah tak manjurkah jampi-jampinya Mbah Legi? Begitulah rentetan pertanyaan di kepala Ina yang kini mengganggu ketenangan batinnya. Mata Ina pun masih cukup berat untuk sekadar membuka. Kepalanya sangat pening. Ina ragu akankah dia segera pulih dari rasa sakit yang menghantam kepalanya ini atau tidak. “Merepotkan,” gumam Jali sangat pelan ketika dia masuk ke mobil da
BAB 138Benih Kecewa “Ded, sibuk apa? Aku bisa minta tolong nggak?” Anwar bicara terburu-buru pada salah satu anak buahnya yang bekerja di peternakan, yakni Dedi. Dedi adalah karyawan yang multifungsi. Selain bertindak sebagai sopir peternakan, dia juga diberikan kepercayaan untuk menjaga kawasan yang memiliki luas satu setengah hektar tersebut. Dedi memang tidak bekerja sendirian di peternakan. Masih ada lima belas karyawan lainnya, tetapi Dedilah yang memegang peranan penting karena dia dijadikan tangan kanan oleh Anwar berkat kesetiaannya dalam bekerja. “Halo, Bos. Ini lagi keliling aja. Mantau lampu-lampu, takut ada yang korslet kaya tempo lalu,” jawab Dedi penuh wibawa. Dedi selalu merasa bangga jika ditelepon oleh si bos di saat dirinya tengah menjalankan tugas. Harap pria 37 tahun itu, bosnya yang agak galak tersebut akan menambah gajinya meskipun terkadang keuntungan di peternakan ayam ini sering naik turun. Pada kenyataa