BAGIAN 34
POV ANWAR
Berulang kali Risti kuhubungi, hasilnya tetap saja. Nihil! Kecemasanku kini semakin meningkat. Entah mengapa, rasa curigaku kepada Lia dan Ina kini bertambah-tambah.
Adakah sesuatu yang sedang mereka rancang di belakang? Namun, apa itu? Mereka ingin melengserkan Risti dari kehidupan Bayu?
“Tidak bisa kubiarkan!” desisku geram seraya meremas ponsel di genggaman.
Debaran di dada beriringan dengan rasa naik pitam yang kini mendesak di kepala. Semakin kusadari, bahwa Ina ternyata bukanlah wanita baik-baik seperti dugaanku puluhan tahun lalu. Di balik sikap lembut dan baiknya, perempuan itu menyimp
BAGIAN 35 “Ugh ….” Bibirku refleks mengerang. Kedua mata ini akhirnya bisa juga kupaksakan untuk membuka perlahan. Entah sudah berapa lama aku terlelap tidur. Yang pasti, kepalaku terasa sangat berat. Aku makin kaget saat mataku kini membuka sempurna. Keadaan sekitarku gelap. Hanya ada pendar-pendar cahaya di atas langit-langit sana. Berasal dari kilau stiker glow in the dark yang ditempel secara menyebar. Stiker itu berbentuk bintang-bintang dan bulan sabit. Aku rasanya seperti berada di ruang angkasa. Aku terkesiap. Panik luar biasa. Di mana ini? Belum sempat pertanyaan di kepalaku terjawab, telinga ini tiba-tiba saja menangkap suara dengkuran yang nyaring dari sisi kanan. Tengkukku langsung merinding hebat.
BAGIAN 36POV ANWAR Lekas kuletakkan kembali piring berisi nasi beserta lauk pauknya ke atas meja. Gegas aku bangkit dari kursi, lalu berjalan cepat menuju ruang kerjaku kembali. Tidak bisa dibiarkan, pikirku. Ini adalah kesempatan terakhir. Masa-masa di mana aku harus bertindak tegas. Mengambil sebuah keputusan tepat, meskipun mungkin kelihatannya sangat kejam sekaligus terburu-buru. Seorang penjahat, apalagi pembunuh tidak boleh diberikan kesempatan, meski hanya sekali. Mereka pantas buat mendapatkan ganjaran. Okelah jika sasarannya aku. Namun, coba kalau orang lain yang lugu dan polos? Nasi opor berisi sianida itu pasti sudah membuat si korban mati seketika pada suapan pertama. Bedebah memang Rustina! Perempuan itu, ter
BAGIAN 37POV BAYU Mobil kupacu secepat kilat demi bisa tiba di rumah dalam sekejap mata. Rasa rindu dan khawatirku akan keadaan Lia kini telah membumbung tinggi. Bagiku, Lia adalah detak jantung. Dia helaan napasku jua. Tanpa Lia, rasanya aku hanyalah seonggok tubuh tanpa jiwa. Dari Lia yang beranjak dewasa, kutemukan cinta. Ya, aku memang pernah jatuh hati dulunya. Pada Karina, mantan istri pertamaku. Perpisahan dengan wanita cantik itu telah menimbulkan banyak luka dan trauma. Wanita itu meninggalkanku, lalu meminta cerai, dan mengutarakan hal-hal yang sangat menyakitkan hati di depan majelis hakim. Karina yang kucintai, mengaku tak pernah kugauli. Aku bukan tak pernah menggaulinya. Demi Tuhan, aku telah berusaha sekuat
BAGIAN 38POV AUTHORFlash back sepuluh tahun yang lalu …. Ina merasa gelisah dengan rencana pernikahan sang anak sambung, Bayu. Pria yang selama ini dirawatnya dengan sepenuh hati, dengan tujuan agar kelak bisa membalas budi baiknya dengan limpahan harta, malah akan jatuh ke tangan wanita lain. Terlebih, wanita itu tampak sangat cantik dan berasal dari kalangan yang cukup mapan. Paket komplet. Tipikal istri idaman dan tak akan dilepaskan oleh Bayu sampai kapan pun. Sebagai ibu sambung yang hingga detik ini tak mendapatkan kepastian tentang pembagian harta dari sang suami, satu-satunya harapan Ina untuk bisa menjadi jutawan suatu hari nanti hanyalah Bayu seorang. Dia telah mewanti-wanti, bila memang sang suami pada akhirnya tak memberikan sepeser pun harta buat diwariskan dan semua kekayaan ja
BAGIAN 39POV INADEMI KEHANCURANNYA Di sebuah ruangan kecil nan remang, aku kini berhadap-hadapan dengan seorang lelaki tua bertubuh kurus yang hanya mengenakan ikat kepala batik dan celana panjang lusuh berwarna abu-abu. Celana itu bahkan telah melorot dan harus diikat dengan tali rapia berwarna merah muda yang mencolok mata. Kuedarkan pandang ke sekeliling ruangan yang hanya memiliki luas sekitar 2,5 x 3 meter tersebut. Dindingnya terbuat dari susunan bata merah yang plesteran semennya masih kasar dan serampangan. Sedang atapnya terbuat dari genteng tanah liat yang bila kulihat dari dalam sini, akan tampak cahaya matahari yang masuk lewat celah-celah kecil sebab pemasangan genteng yang tak rapi dan beberapa bagian juga ada yang telah retak maupun pecah. Aku bisa membayangkan bagaiman
BAGIAN 40POV ANWAR “Tidak! Hentikan!” Ina terus memberontak. Tangannya pun dengan kasar mendorong sendok yang kusodorkan. Prang! Sendok itu terjatuh di ubin. Sesuap nasi yang kukaut di dalamnya pun berhamburan mengotori lantai. Aku berang. Sebelum dia memporakporandakan barang bukti, kutarik wanita itu menjauh dari meja makan. Ina, dengan sangat berani, terus memberontak. Kedua tangannya dia tarik-tarik dari cengkeramanku. Aku tak peduli. Kutarik terus perempuan itu hingga ke ruang tamu. “Mas, apa-apaan kamu? Kenapa kamu memperlakukanku begini, Mas? Salahku apa?” tanya Ina dengan derai tangis yang hi
Bagian 41POV SaveroMalam Penculikan “Dia memang tidak gila,” gumamku pada diri sendiri usai meninggalkan ruang isolasi dua tempat Risti dirawat. Sambil berjalan menuju instalasi gizi yang berada di ujung sebelah barat bangunan RSJ, pikiranku entah mengapa terus dihantui oleh pasien berwajah cantik tersebut. Ada kegelisahan tersendiri selepas kutinggalkan dia seorang diri. Terlebih, aku sangat tahu betapa angker ruang isolasi sana. “Semoga Tuhan menjaga cewek itu,” gumamku lagi dengan suara lirih. Aku pun mempercepat langkah. Suasana bangunan induk RSJ Sumber Asih memanglah sangat mencekam apa
BAGIAN 42POV RISTI Dengan perasaan kesal campur gamang, aku berjalan menuju pintu kamar apartemen milik dokter Savero. Sementara itu, si empunya kamar malah cuek bebek. Duduk di atas ranjangnya dengan muka yang datar. Mana sambil melipat tangan di dada pula! Itu perut ke bawahnya juga tidak ditutupi selimut. Dasar tidak sopan! Ketika aku berdiri di depan pintu dan menarik kenop, ternyata pintu sudah dikunci. Tak ada anak kunci yang menempel pada lubang di kenop. Aku geram. Ingin marah besar sebenarnya. Namun, apa daya! Aku tidak bisa melakukan apa pun. Yang punya kuasa adalah dokter mesum itu! Salahku juga yang telah meminta tolong kepada orang tak jelas sepertinya. Argh, rasanya aku pengen teriak! “Mau ke mana?&rdq
147Akhir BerbahagiaSetahun Kemudian Hidup rumah tangga Nami dan Anwar kini semakin bahagia setelah dibuangnya Ina ke Pasar Pinang Merah. Ina alias perempuan yang bersekutu dengan iblis itu akhirnya meninggal dunia pada dini hari di lantai pasar yang lembab dan kotor. Jenazahnya tak diidentifikasi oleh pihak kepolisian, sebab adanya kong kalikong antara Anwar dan para penegak hukum tersebut. Tentu saja, banyak dana yang harus Anwar gelontorkan agar jenazah Ina tak diperiksa. Mayat Ina pun lalu dikirimkan ke kampung halamannya, disambut dengan isak tangis Suwito dan Rusmina. Sungguh tragis kehidupannya Ina. Dia tak mendapatkan satu pun cita-citanya di saat-saat menjelang kematiannya. Hidup Ina sama tragisnya dengan Lia, anak semata wayangnya tersebut. Nyawa mereka sama-sama melayang di tangan para lelaki yang sempat mereka cintai habis-habisan. Cinta yang salah telah membuat mereka mati dalam sebuah kepiluan. Nami, Nalen, dan Anw
145Kemesraan Atau Sebuah Dusta? Azan Subuh berkumandang syahdu. Suaranya sayup-sayup terdengar hingga ke dalam kamar milik Nami dan Anwar. Si nyonya pun kebetulan telah selesai berpakaian lengkap. Buru-buru Nami mengambil wudu. Coba dia tepis segala perasaan gundah di dada. Cukup lama dia merenung di depan cermin meja riasnya setelah berpakaian tadi. Usai perenungan, Nami bertekad untuk tetap menabahkan hati, meski sepertinya akan banyak rintangan yang datang pada hari-hari besok. Perempuan yang sudah wangi semerbak sekujur tubuhnya itu pun membentangkan sajadah di tengah-tengah ruang kamar yang memang sangat luas. Maklum, kamarnya orang kaya. Sudah diisi lemari pakaian dan ranjang sebesar gaban pun, masih tersisa cukup banyak space untuk Nami salat, bahkan berjamaah dengan sang suami pun sangat memungkinkan. Di tengah dengkuran Anwar yang lumayan kencang, Nami mendirikan dua rakaat sunnah sebelum Subuh alias salat Fajar dan dil
Pagi-pagi sekali Nami bangun dengan penuh perasaan semangat yang menggebu dalam dadanya. Betapa tidak, hari ini adalah hari di mana tanah dan rumah yang mereka tempati, akan segera dihibahkan kepada Nami. Begitu janji dari Anwar, suami yang sangat dicintai oleh perempuan cantik tersebut. Hati-hati sekali Nami turun dari tempat tidurnya. Bahkan dia sampai jalan berjinjit, demi tak membuat suara ribut. Maklum saja, sang suami baru tertidur pada pukul satu dini hari tadi. Nami bukannya tak sadar jika sang suami tidur sangat larut malam. Alasan Anwar karena dia ingin mengerjakan sesuatu di kamar kerjanya. Karena mengantuk, Nami memutuskan tidur lebih duluan, dan menyadari bahwa sang suami baru saja masuk ke kamar setelah pukul satu di jam weker yang dia letakkan di atas nakas. Sebenarnya, Nami ingin banyak bertanya pada Anwar tentang alasan mengapa suaminya tidur sampai selarut itu. Namun, perempuan berambut hitam tebal tersebut cepat mengurungkan
BAB 143Ritual Yang Terhenti “Pak, piye iki (gimana ini)? Mosok sih (masa sih), kita ke rumahnya Mbah Legi meneh (lagi)? Aku kok, wedhi (takut) yo, Pak?” Rusmina mengeluh kepada Suwito usai ditelepon oleh adiknya, Ina alias Rustina. Kedua pasutri berusia paruh abad itu tampak sama-sama tertekan dengan permintaan adik mereka. Di satu sisi, Rusmina senang ketika sang adik berhasil disembuhkan dan dapat kembali bersatu dengan mantan suaminya, meskipun mereka belum menikah kembali. Namun, di satu sisi lain, sebagai seorang muslim yang ‘setengah taat’, sedikit banyak Rusmina takut apabila terus menerus main dukun. Baik Rusmina maupun Suwito, mereka sama-sama tahu bila bekerja sama dengan dukun adalah sebuah tindakan syirik yang tak akan diampuni oleh Tuhan. Usia mereka sama-sama memasuki angka senja, bukan tak mungkin besok atau lusa, usia mereka habis dan berakhir di liang lahat. Itulah hal yang sangat Rusmina dan Suwito takutkan, yakni mati sebel
BAB 142Dustanya Anwar Betapa leganya hati Nami ketika mendapati suara bel yang dipencet dari arah luar sana terdengar hingga ke lorong kamarnya. Nami dan Rahima pun gegas keluar dari kamar untuk menyambut kedatangan sang tuan besar. Saat kunci rumah dibukakan oleh Nami, dia semakin bahagia karena wajah Anwarlah yang Nami lihat untuk pertama kalinya. “Papa!” seru Nami mesra kepada sang suami. “Iya, Ma. Maaf sudah membuatmu menunggu lama. Mari kita masuk,” ucap Anwar sambil menebar senyuman semanis madunya. Anwar langsung merangkul tubuh molek milik istrinya. Sementara itu, Rahima masih menunggu di pintu, untuk menyambut Nalen yang masih memarkirkan mobil papanya. Setelah Nalen memasuki pintu, Rahima pun menjalankan tugasnya untuk mengunci pintu kembali. Rahima ikut senang saat melihat tuan besar dan tuan mudanya sudah tiba ke rumah. Apalagi, mata Rahima tak perlu memandangi sosok nenek sihir yang tak lain dan tak bu
BAB 141Pergi Jauh Tubuh Ina pun digotong oleh Andang dan Dedi untuk masuk ke dalam minibus putih milik Anwar. Perempuan pucat dengan rambut awut-awutan itu masih saja terkulai lemah dengan kedua mata yang tertutup. Sesekali bibir birunya berkedut, seperti hendak mengerang kesakitan. Melihat kondisi Ina semengenaskan itu, tentu membuat jantung Dedi dan Andang kompak ketar ketir. Banyak tugas berat yang Anwar berikan kepada mereka. Namun, membawa manusia setengah sekarat begini, baru sekali Dedi dan Andang jalani. Setelah diposisikan dengan baik di bangku penumpang tepat di samping sang sopir, Ina pun dibiarkan duduk dengan kepala terkulai. Sabuk pengaman telah Andang pasangkan untuk perempuan malang tersebut. Andang pun duduk di bangku belakang bersama dua tas milik Ina yang terisi penuh dengan pakaian-pakaian. Minibus putih itu pun berjalan dengan kecepatan sedang. Sebagai seorang sopir handal, Dedi berusaha untuk tetap tenang m
BAB 140Setengah Beres Suasana jadi tegang lagi setelah Nalen men-skak mat Anwar dengan kata-kata pamungkasnya. Meskipun Anwar enggan menyahut demi menghindari pertikaian lebih lanjut, sesungguhnya terdapat bara api murka yang terpendam di dalam dadanya. Betapa tidak, Nalen yang dia anggap sebagai bocah kemarin sore, berani-beraninya menjawab dengan kalimat yang sangat menohok. Anwar diam. Jali dan Ina pun bungkam. Apalagi Nalen, pemuda itu memilih untuk menekuni ponselnya, demi mengusir rasa jenuh yang mendera. Sekitar hampir empat puluh menit lamanya mereka berempat menunggu di dalam mobil mewah milik Anwar. Ina beberapa kali mencoba untuk membuka kelopak matanya selama penantian di kabin mobil yang remang. Namun, sialnya rasa pening berputar langsung menyergap pemandangan Ina tatkala mata tuanya hendak membuka separuh. Azab. Itulah yang tengah Ina alami sekarang. Baru saja dia merasa di atas angin sebab jampi-jampi Mbah Legi y
BAB 139Was-Was Susah payah Jali membawa Ina hingga masuk ke dalam mobil kembali. Sekuat apa pun tenaganya sebagai seorang pria yang berprofesi sebagai satpam, tetap saja terasa sangat melelahkan ketika Jali harus bolak balik mengangkat tubuh perempuan sial itu. Lagi-lagi Jali hanya bisa memendam rasa capek dan muaknya kepada Anwar. Ina sudah didudukkan kembali ke kursi penumpang di belakang. Kepalanya tak bisa berada pada posisi tegak, saking lemahnya. Ina sendiri bingung, mengapa tubuh dia bisa selemah ini. Ke mana kekuatan para jin yang membantu Ina? Sudah tak manjurkah jampi-jampinya Mbah Legi? Begitulah rentetan pertanyaan di kepala Ina yang kini mengganggu ketenangan batinnya. Mata Ina pun masih cukup berat untuk sekadar membuka. Kepalanya sangat pening. Ina ragu akankah dia segera pulih dari rasa sakit yang menghantam kepalanya ini atau tidak. “Merepotkan,” gumam Jali sangat pelan ketika dia masuk ke mobil da
BAB 138Benih Kecewa “Ded, sibuk apa? Aku bisa minta tolong nggak?” Anwar bicara terburu-buru pada salah satu anak buahnya yang bekerja di peternakan, yakni Dedi. Dedi adalah karyawan yang multifungsi. Selain bertindak sebagai sopir peternakan, dia juga diberikan kepercayaan untuk menjaga kawasan yang memiliki luas satu setengah hektar tersebut. Dedi memang tidak bekerja sendirian di peternakan. Masih ada lima belas karyawan lainnya, tetapi Dedilah yang memegang peranan penting karena dia dijadikan tangan kanan oleh Anwar berkat kesetiaannya dalam bekerja. “Halo, Bos. Ini lagi keliling aja. Mantau lampu-lampu, takut ada yang korslet kaya tempo lalu,” jawab Dedi penuh wibawa. Dedi selalu merasa bangga jika ditelepon oleh si bos di saat dirinya tengah menjalankan tugas. Harap pria 37 tahun itu, bosnya yang agak galak tersebut akan menambah gajinya meskipun terkadang keuntungan di peternakan ayam ini sering naik turun. Pada kenyataa