Sebelum Adhira bisa bangkit, dia merasa kepalanya telah terantuk benda keras di salah batu tersebut. Ervan berusaha mempertahankan tubuhnya agar tidak menyentuh tubuh Adhira, tapi dia gagal. Seketika itu pula dia berdiri melanjutkan pekerjaannya menyiduk aliran limbah di belakang pabrik tekstil tersebut.
Pengemudi perahu menunggui mereka di pinggir sungai hingga Ervan selesai mengambil seluruh bahan yang dibutuhkannya. Cuaca berganti cukup cepat. Matahari terik yang tadi melingkupi langit kini sudah terselubung oleh awan hitam. Ervan bergegas kembali ke tepian untuk selanjutnya mengambil sampel berikutnya dari sisi muara yang lain.
Adhira menggosok kepalanya yang mulai membenjol. Matanya masih berkunang-kunang saat entakan itu terasa. Dia tidak ikut Ervan turun pada pemberhentian berikutnya. Rasa sakit kian berdenyut saat mereka berhenti ke muara sungai yang kedua.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Ervan yang mulai curiga akan tingkah Adhira yang diam itu.
Adhira baru terbangun keesokan harinya. Dia menoleh ke arah wanita yang sejak tadi duduk gelisah sambil menyengir kosong. Wanita itu sudah duduk di sampingnya sejak subuh tadi.“Kamu masih bisa ketawa? Saya panik setengah mati waktu dengar kamu masuk rumah sakit….” omel Bunda Safira.Dengan cepat dia membantu Adhira duduk dan menuangkan air minum untuknya.Tangan Safira teracung ke hadapan Adhira untuk memastikan kalau dia bisa melihat dengan normal. Dia juga memeriksa tubuh Adhira yang lain dengan resah.“Aku tidak apa-apa, cuma terbentur saja. Sekarang sudah tak masalah,” jawab Adhira.Dia menyembunyikan lengannya yang masih penuh luka tusukan dari pengamatan Bunda Safira. Topeng ceria itu seolah melipisi rasa sakit yang masih mendera tempurung kepalanya.“Mana ada orang terbentur sampai babak belur begini,” tukas Bunda Safira masih belum tenang.Adhira tak menghiraukan ocehan Bunda S
“Kamu takut aku kena HIV, begitu?”Ervan memilih bungkam. Seharusnya dia memang tak perlu mendengar kata-kata Renal tentang membujuk Adhira. Walau Adhira selalu menanggapi kata-katanya dengan santai, pertanyaan ini jelas menyinggung dirinya.“Kamu tidak perlu mengurusiku,” cetus Adhira.Dengan pelan, Ervan pun bergumam, “Kamu bisa diobati bila memang terbukti benar.”“Apanya? Kamu mau mengobatiku?”“Aku hanya menyampaikan apa yang harus kusampaikan.”Nyeri di kepalanya masih tersisa dan Ervan bukannya membawakan sesuatu yang enak, tapi malah membahas tentang hal tidak jelas itu. Ini membuat Adhira mulai terusik dengan campur tangannya.“Sejak kapan kamu peduli padaku?”Ervan hanya membungkam. Sorot matanya yang semula padam kembali tersulut, menjerat kemarahan dalam satu tatapan.Melihat ini, Adhira malah menimpal, “Sudahlah, Daffin, bagusan ka
Dalam tiga hari kondisi Adhira tak kunjung membaik. Karena dia lelah dengan desakan Bunda Safira, Adhira pun memutuskan untuk mengikuti saran Ervan. Dia memberanikan diri mengunjungi klinik untuk memeriksakan dirinya.Tempat itu berada di persimpangan jalan. Bukan klinik yang terlalu besar, tapi mereka melayani pemeriksaan dan penanganan terhadap pasien dengan infeksi menular secara gratis. Sesuatu yang membuat Adhira tidak lagi bisa menolak saran Ervan.Adhira masuk ke pintu klinik memastikan tidak ada orang yang dia kenal berada di sekitarnya. Pengunjung tempat ini rata-rata pasangan muda yang hendak melakukan pemeriksaan pranikah.Jika memang yang dikatakan Ervan kalau penyakit ini bisa diobati, seharusnya memang tidak semengerikan bayangannya. Dia diminta untuk masuk ke ruangan khusus dan mengisi beberapa lembar formulir data diri. Lalu seorang laboran meminta izin untuk mengambil darahnya.Dia mengambil tempat duduk sampai hasil keluar beberapa jam k
Laila mengais-ngais tanah, mencari marmut kecilnya yang masih malu-malu bersembunyi di balik semak. “Lili! Ayo pulang, sudah sore!” Adhira memekik gadis kecil berusia 3 tahun tadi. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ada macan tutul besar yang tengah memadu kasih dengan seorang pemuda berwajah es. Adhira segera menahan napasnya. Dia belum sepenuhnya kenal dengan macam tutul itu. Jadi sebisa mungkin tidak membuat suara yang terlalu mencolok. Saat menyadari Adhira ada di dekatnya, Ervan langsung mengarahkan hewan buas tadi padanya. “Ckckck… gara-gara hewan ini kamu sampai bertengkar dengan Papamu,” ucap Adhira. Mendapati hewan tersebut tidak lagi melakukan penyerangan, Adhira mulai berani menyentuh hewan tersebut dengan jemarinya. Ervan menyodorkan potongan daging terakhir padanya. Wilis begitu takluk dalam pengaruh mereka sekarang. Laila bahkan berani memeluknya tanpa segan. “Hei, Lili! Kamu mau tinggal di sini?” “Tidak!”
Tamara mengangguk dengan tawa kecil.Adhira langsung terdiam. Ada perasaan kehilangan kecil yang pelan-pelan merasuki pikirannya. Tapi dia harus menekannya agar wanita itu tak ikutan bersedih.“Memang kamu kira kenapa saya berhenti tiba-tiba?”“Saya kira….”Suara Adhira terputus. Dia terlalu malu untuk menjawabnya. Padahal pikiran aneh sudah berkecamuk sejak pengumuman yang disampaikan Ervan tadi. Ervan baru menyusul di belakangnya dengan tersengal. Kuswan dan segelintir murid juga turun melepas kepergian guru matematika mereka itu.“Apakah Ibu akan kembali lagi? Apakah saya masih bisa menemuimu?”Tamara tak kuasa menjawab.“Kamu belajar yang rajin ya, jangan tidur di kelas.” Tamara membelai-belai kepala Adhira penuh kelembutan dan melambai pada murid yang sudah berkumpul di depan sekolah. “Maaf harus pergi mendadak.”Adhira merunduk. Dia sudah tidak memiliki or
Seharusnya Adhira menemui Kiara sepulang sekolah ini. Namun entah mengapa, saat membayangkan kejadian terakhir yang dialami Kiara setahun lalu, keberanian Adhira menyusut. Dia tahu Kiara senantiasa menantinya di terminal bus. Sengaja menunggu lima belas menit lebih lama agar dapat kesempatan berpapasan dengan Adhira di tempat itu.Adhira ingin menemuinya, tapi setiap menit kelima belas, niat itu selalu diurungkan. Tungkainya seolah dijerat sulur tanaman, meruntuhkan tekadnya yang sudah rapuh. Untuk menghindarinya, Adhira selalu bersembunyi dan mengamati dari balik pepohonan.Akhirnya, karena kesempatan itu tak kunjung datang, Kiara pun meminta bantuan Ervan untuk menyampaikan permintaannya pada Adhira.Dan di hari yang terik itu pula Adhira kembali menemukan sosok gadis di bawah atap terminal dengan dua wadah es krim di tangannya.Kebaikan seperti ini selalu membuat hati Adhira membengkak. Bagaimana bisa dia menolak gadis yang selalu menawarkannya makanan
Kuswan berdiri dengan seragam putih untuk menyamarkan keberadaannya di Atrium Eudaimonia itu. Dia menanti kedatangan Adhira sambil menyusun sajian makanan untuk nantinya diberikan kepada para tamu undangan.“Ssst!” desis Kuswan ke arah Adhira yang berhasil melewati tiga jenjang pengaman di rumah Kuswan itu.“Sial, mereka sampai merogoh sempakku. Benar-benar kurang kerjaan!” Adhira menggerutu sambil merapikan pakaiannya yang berantakan akibat dirogoh oleh penjaga.“Penjaga genit itu hanya merogoh pria muda sepertimu.”“Bajingan! Bahkan di Paviliun Centurion saja tidak ada yang menyentuh tubuhku. Otak penjaga di tempat ini harus direndam dalam bak deterjen lebih lama.”Kuswan terkekeh menampakkan geligi putih yang berbaris di balik bibirnya.“Jadi, sudah siap? Ini baju gantinya.”Adhira meraih pakaian serba putih tersebut gusar. Dalam seketika dia berubah menjadi sesosok koki a
“Adhira?”Tatapan tajam dari pemuda berdagu tirus itu memanggilnya sangsi, “Kamu kenapa memakai baju pelayan?”Adhira melepas topi panjangnya tadi dan bergegas menghadap ke arah Lodra. Dia berusaha tidak terlihat tengah menguping pembicaraan para ketua aliansi tadi. “Aku… hmmm, aku disuruh Kuswan buat menggantikannya.”“Menggantikan?” Lodra mengerutkan dahinya, “Oh, pantas saja Kuswan bisa masuk ke dalam atrium. Terus, kamu dibayar berapa sampai mau melakukan ini?”“Sst… jangan kasih tahu kalau aku ada di sini.”“Oh, oke.” Lodra mengedipkan matanya. Dia berjalan memasuki selasar dapur setelah mencomot tiga biji kacang rebus.Acara belum selesai sampai tengah malam. Jam besar di dalam atrium bahkan sudah berdentang dua belas kali dan para tamu masih sibuk membahas kas perusahaan mereka yang beberapa bulan ini agak kacau.Kekhusyukan mereka
Perempuan itu menghampiri rumah tua yang tengah direnovasi menjadi bangunan klinik. Di sampingnya seorang pria tua duduk di kursi roda memandang dengan lesu. Sudah bertahun-tahun dia hidup dan tergantung pada putrinya.“Kak Ervan?” Kiara menyapa dengan lembut pada seorang pria yang masih sibuk mengatur susunan keramik di teras depan.“Di mana Kak Adhi?” tanyanya bingung.Ervan tertegun. Keningnya mengernyit. Serbuk besi dingin seolah menyendat paru-parunya. “Kiara, kamu kembali?”“Aku mendapat kiriman surat dari Kak Adhi seminggu lalu. Katanya dia ingin aku mengurus rumah ini.”“Surat?”Kiara menyerahkan amplop berisikan surat yang ditulis tangan oleh Adhira sendiri.Tahun lalu, atas permintaan Adhira, Ervan membawa Kiara ke luar kota dan mengubah identitasnya. Tadinya Kiara tahu ini bertujuan agar dirinya tidak dijatuhi hukuman atas kematian Teodro belasan tahun lalu. Selama setahun itu juga dia hanya menjalankan hidupnya tanpa kabar apa pun dari Adhira.Kiara berpikir Adhira pasti
Terima kasih sudah ikut melangkah dan berjuang bersama dalam kisah ‘Dendam dan Rahasia Tuan Muda’. Tadinya judul yang akan dipakai adalah Pita Merah, karena ide awalnya didedikasikan untuk para pejuang HIV-AIDS. Adhira dalam cerita ini menggambarkan perjalanan seorang anak manusia yang sesungguhnya begitu cemerlang harus memupuskan masa depannya oleh tuduhan, pengucilan, stigmatisasi, dan pengabaian. Di dunia ini, semua yang terjadi pada Adhira bisa terjadi pada siapa saja. Serangan mental/fisik, isolasi, diskriminasi, begitu sering terjadi pada pengidap HIV-AIDS. Orang-orang menganggap penyakit ini adalah hukuman mati yang pantas diderita oleh kaum-kaum homoseksual, PSK, orang dari ras-ras tertentu, para pecandu, dan kaum-kaum marginal lainnya. Stigmatisasi dan perlakukan buruk yang didapatkan para penderita sesungguhnya bisa didapatkan siapa saja. Anak-anak dengan orang tua HIV-AIDS, komunitas LGBT, perempuan, laki-laki, anak-anak, orang tua, petugas kesehatan. Semua bisa mendapatk
Meskipun Adhira sudah tiada, dirinya hidup bagi Ervan, bagi pejuang HIV-AIDS lainnya, bagi kaum tersisihkan, kaum LGBT, para pecandu, orang-orang yang terkucilkan oleh stigmatisasi dan diskriminasi.“Klinik VCT/IMS ini didedikasikan oleh seorang sahabat untuk seluruh penderita HIV-AIDS. Klinik ini mencakup pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan rehabilitasi yang nantinya akan diberikan secara cuma-cuma….”Pria di atas podium mendeklarasikan sambutan pembuka sebelum acara pemotongan pita peresmian dilakukan. Matanya berair saat melihat orang-orang, anak-anak, para lansia yang duduk menunggu dirinya berbicara itu.“Hari ini, demi mengenang sahabat yang telah pergi itu, saya akan menamainya dengan ‘Adhira’,” ucap Ervan menyudai sambutannya.Kediaman Limawan ditata ulang sejak dua tahun lalu. Dengan menggunakan dana hasil penjualan berlian merah, Ervan berhasil membangun sebuah klinik khusus yang bisa melayani penderita HIV-AIDS.Bangunan rumah dijadikan klinik utama. Sementara gudang y
“Aku tidak kenal dengan sia-sia,” jawab Ervan tanpa aura.Adhira hendak berdiri, tapi dia tak memiliki kekuatan untuk bangkit. Alih-alih mengelak dari rangkulan Ervan, Adhira menjauhkan tubuhnya ke tepi bangku. “Kamu ini benar-benar keras kepala!” umpat Adhira lemah. “Aku… hanya ingin menghabiskan sisa waktu yang ada ini untuk tetap bersamamu.”“Lalu mengapa kamu harus menyerah?”Terlihat wajah Ervan yang merah dan kembali basah oleh air mata.“Karena… aku tidak punya pilihan, Daffin!”Kekuatan Adhira mendadak terenggut dari dirinya, seolah darah yang berkumpul di jantungnya menolak untuk mengalir ke otaknya. Adhira gagal membuat tubuhnya bertahan dengan semua pertanyaan Ervan. Kepalanya kehilangan keseimbangan dan napasnya semakin berat.Dia begitu ingin menghapus kesedihan di wajah Ervan, tapi untuk menyentuhnya saja Adhira sudah tak lagi sanggup.“Sebutkan semua jalan yang kau sudah anjurkan padaku! Aku akan mematuhinya. Aku akan dengan giat menurutinya. Aku rela kamu memakiku, me
Dari balik pintu ruang rawat yang masih ternganga, Ervan bersandar pada dinding, mendengar setiap pertemuan yang mengharu biru tadi dalam kepiluan. Dia masuk saat sudah berhasil membendung luapan kesedihan yang membanjiri kamar rawat Adhira. “Ervan!” ucap Adhira. “Lihat ulahmu!” Ervan mengambil tempat di samping Adhira. Menggenggam tangannya yang begitu dingin. “Cepat atau lambat Laila akan tahu.” Laila menarik Ervan dan merangkul mereka secara bersamaan. “Aku tidak menyangka Laila jadi secengeng ini. Kamu terlalu memanjakannya, Ervan,” ucap Adhira. “Aku tidak cengeng.” “Terus ini apa? Selimutku sampai basah seperti pengungsi banjir,” tukas Adhira. Laila menyudul perut Adhira karena kesal. “Hei, pelan-pelan, dinding perutku sangat rapuh sekarang.” Laila langsung menghentikan tindakan tadi. Wajahnya kembali muram karena dia sudah tahu bahwa Adhira mengidap penyakit yang belum dapat disembuhkan Ervan. “Aku harus kembali ke sekolah. Masih ada kelas tambahan,” ucap Laila tiba-t
Rintik hujan membasahi kaca jendela. Kemelut senja mewarnai langit yang mendung, mengantar bayang-bayang kelabu menuju malam. Seorang gadis memasuki ruang rawat dengan ekspresi sama sendunya dengan cuaca di luar. Adhira masih belum bangun dari tidur panjangnya. Dia baru cuci darah. Butuh prosedur yang rumit bagi pengidap HIV untuk mendapatkan mesin hemodialisa dan Ervan tak menyerah oleh hambatan tersebut. Adhira sempat membaik beberapa hari yang lalu, tapi kemudian, penyakit itu menggerogoti ginjalnya. Kedua tungkai kakinya mulai bengkak dan demamnya tak kunjung reda. Dia juga tak lagi bisa makan makanan biasa. Ervan harus menyuapi makanan yang lunak yang dibencinya itu agar perutnya tak kesakitan. Sesekali Adhira memohon untuk diizinkan makan nasi goreng, tapi Ervan harus melarangnya karena itu akan memperburuk kondisi tubuhnya. “Dokter Ervan, makanannya Laila letakkan di sini ya,” ucap Laila pelan. Dia segan memecah lamunan Ervan yang terlihat sangat serius itu. Ervan menganggu
Ervan duduk memandangi jendela yang basah oleh embun senja. Cuaca mendung mengisi hari yang kelam tersebut. Dia membisu untuk waktu yang sangat panjang. Saat Adhira dilarikan ke rumah sakit, kondisi yang ditemukan jauh dari ekspektasi Ervan. Dia menahannya selama dua bulan di penjara. Obat-obat itu dia telan untuk menghentikan gejala yang muncul. Namun tubuh yang sudah rongsok tersebut tak bisa melakukan sandiwara terus-menerus. Ali masuk dengan hati yang panas. Dia langsung melontarkan kekesalannya pada Ervan. “Baru sehari dia keluar dari penjara dan kamu sudah menggempurnya sampai babak belur. Kamu benar-benar tidak manusiawi, Ervan!” “Bagaimana keadaannya?” “Kamu sendiri tahu dengan jelas. Kenapa bertanya padaku?” “Aku… benar-benar salah.” “Kalian ini, aku tidak tahu harus berkata apa. Kurasa dia juga menginginkannya. Tapi harusnya kamu tahu seperti apa keadaan tubuhnya.” “Kamu benar. Aku tidak seharusnya melakukan ini di saat tubuhnya begitu rentan. Dia menahannya karena ti
Ruang sang urolog tiba-tiba diramaikan oleh adanya pajangan heboh yang ditempel di depan pintunya. Perawat berbisik-bisik dan pengunjung yang lewat terkekeh geli.Elyas baru keluar dari ruang operasi dan melirik keramaian yang terjadi di depan ruang konsultasinya.Ali yang tengah melintasi tempat itu berdiri beberapa menit sambil berpikir. Saat Elyas datang dia segera memberi tahu berita baik tersebut, “Kau mendapat hadiah spesial dari seorang pasien.”Elyas mengernyit waspada. Dia tahu Ali bukan orang yang bisa bergurau dengan cara yang baik. Dia pasti hendak mengerjainya dengan sesuatu.Saat dia mencapai depan ruangannya, matanya memelotot. Sebuah bingkai berisi cairan pengawet dengan jaringan lonjong di dalamnya tertempel di pintu ruangan itu. Sebagai ahli urologi yang handal, tentu dia tahu benda apa itu.Sekonyong-konyong dia melepas benda itu dari pintunya. Namun bingkai itu tertempel dengan sangat erat. Dia memukul-mukul kacanya, tapi tak juga berhasil menyingkirkan pajangan it
Peringatan: Mengandung adegan seksual eksplisit“Aku tidak kuat lagi, Daffin….”Sekali lagi Adhira memohon tanpa daya. Perutnya sudah menggembung terisi oleh cairan surgawi itu. Napasnya tersengal-sengal.“Kasihanilah pria berginjal tunggal ini.”Menatap air mata yang mengkristal di bola matanya, Ervan pun melakukan pelepasan terakhir. Dia menahan tubuh Adhira di atas tubuhnya dan secara perlahan menyangga Adhira ke dalam pelukannya.Penyatuan intim tadi pun terpisah.Adhira telentang lunglai, meraup udara lembab yang menyelubungi dirinya. Ervan membebaskan tawanannya tanpa melepas rangkulan. Dia mendekap rusa mungil yang gemetaran itu dengan erat, enggan membiarkannya terpapar hawa dingin terlalu lama. Adhira meletakkan kepalanya tepat di kerangka rusuk Ervan, mendengar detak jantung yang masih terpacu cepat.Ervan memeriksa pergelangan tangan Adhira yang merah akibat ikatan tadi. Dia mengelusnya penuh penyesalan sambil menjilatinya dengan segenap kelembutan, “Apakah masih sakit?”A