“Mampus!” Lingga mengerahkan seluruh kekuatannya untuk melayangkan tinju pamungkasnya. Sasarannya adalah kepala Jayendra.
Harapannya untuk melihat kepala Jayendra yang akan hancur, Damar yang akan kembali bebas, dan nama keluarganya yang akan kembali dielu-elukan santero Nusantara karena berhasil mengalahkan Jayendra sudah terpampang jelas di benaknya. Belum lagi hatinya yang kadung puas karena upayanya untuk membalaskan dendam atas kematian adiknya tinggal selangkah lagi. Seruan penuh semangat prajurit Kanezka yang semakin keras menyambut kemenangannya itu seolah membuat Benteng Bisma bergetar hebat untuk meneriakan kejayaannya.
Tetapi semua gegap gempita itu berhenti ketika kedua kaki Lingga mati rasa. Lingga bahkan tidak bisa merasakan telapak kakinya menapak tanah. Belum selesai keheranannya, sekarang kedua tangannya yang berhenti bergerak. Dia tidak bisa merasakan apapun dari kedua lengannya, seolah-olah kedua tangannya itu sudah buntung, padahal masih
‘Pasukan Kanezka tidak akan pernah rela atas keberadaan Pendekar Dunia Arwah sampai kami semua kembali terkubur di tanah.’Itulah pemikiran yang Raksha tanam dalam dirinya semenjak Aryasatya memperlihatkan tragedi kematian Pendekar Dunia Arwah dibawah jajahan Pasukan Kanezka. Memberikan mereka kesempatan kedua pada Pasukan Kanezka hanyalah kebodohan semata.Raksha sudah tahu semenjak Lingga meminta ampun pada dirinya, itu hanyalah kata-kata bualan semata. Karena itulah, dia bisa menduga Lingga yang menerjang ke arahnya sembari mengacungkan tombak ke arah kepalanya.Raksha reflek melangkah mundur satu kali sembari mengelak dari tombak yang hampir menghujam matanya. Walau dia berhasil menghindarinya, sebagian bilah tombak Lingga berhasil menyayat tengkorak yang melindungi kepalanya hingga tersayat dan retak. Namun itu tidak cukup kuat untuk menghentikan Raksha.Telapak tangan kiri Raksha sontak melesat menerkam wajah Lingga. Dia menguatkan cengk
“Guru Ragnala, para prajurit Kanezka itu berlari ketakutan. Apa yang terjadi?”Pertanyaan Yajna, sang murid, kala itu mewakili kecemasan rombongan Ragnala. Mereka bisa mendengar jeritan prajurit Kanezka, tebasan pasukan Arwah, dan raungan para Yaksha yang bergemuruh sekitar 300 kaki didepannya. Di luar itu semua, mereka juga mendengar lolongan yang menggaung ke seluruh area Benteng Bisma, yang mereka tahu kalau lolongan yang menggelegar macam itu berasal dari siluman hutan Adwaya.Sena yang melihat kekacauan di Benteng Bisma kala itu hanya bisa berharap kalau Raksha tidak bisa dibawa kesini oleh Lingga. Dari kejauhan, tidak hanya pasukan arwah dan Yaksha yang tengah menyerang prajurit Kanezka yang malang itu, tetapi juga para siluman beruang yang keluar dari hutan Adwaya.“Pintu gerbang Benteng Bisma sudah terbuka. Ini lebih parah dari yang kuduga. Semuanya! Kita harus bergerak cepat!” seru Ragnala keras membangkitkan kesiagaan pasu
“Yajna, Enda, Sena, dengarkan aku. Boneka dewa Atma ada disini. Itu satu-satunya kesempatan kita untuk memenangkan pertempuran ini.” bisik Ragnala. Tatapannya masih tertuju pada Jayendra, tetapi dia memberi isyarat sekitar 50 kaki di arah tenggara terdapat seorang prajurit bertudung yang berjalan ringkih menuju panggung.Prajurit bertudung itu bukanlah prajurit Kanezka, melainkan boneka dewa yang dimiliki keluarga bangsawan Atma. Boneka dewa sakti ini dapat meniru bentuk, rupa, dan kemampuan siapapun yang dia sentuh, kecuali pendekar dunia arwah. Ragnala tidak tahu kenapa boneka dewa Atma ada disini, tetapi dia dapat menggunakan itu untuk memenangkan pertempuran ini.Yajna, Enda, dan Sena kala itu mengerti maksud Ragnala. Mereka sengaja sunyi agar Jayendra tidak curiga dengan rencana mereka. Kalau Jayendra berhasil menghancurkan boneka dewa Atma, maka semua harapan akan pupus.“Sena, kau harapan kami. Amankan boneka dewa Atma sampai ke jasad Tu
“Yajna! Enda!” Ragnala tidak bisa menahan kecemasannya. Semangat juang dan kekuatannya berkurang drastis semenjak kedua muridnya jatuh tidak sadarkan diri ditumbangkan oleh Jayendra.“Kanuragan Wiratama memang mengerikan, tapi butuh banyak kekuatan untuk menstabilkannya. Kau terlalu meremehkanku karena hanya mengandalkan dua muridmu itu untuk membantumu.” Raksha menjelaskan kelemahan Ragnala. Anehnya, terlepas dari semakin lemahnya Ragnala, dia tidak merasakan adanya niatan Ragnala untuk menyerah.“Pe-pertarungan kita belum selesai, Jayendra…!” Ragnala terbatuk-batuk sambil memaksakan berdiri lalu mengarahkan golok emasnya yang kini memudar menjadi golok biasa.Raksha bisa saja mengakhiri pertarungan ini dengan mudah, tetapi dia merasakan ada yang janggal. Sepertinya masih ada yang Ragnala sembunyikan, pikirnya. Dia menahan diri sampai akhirnya dia sadar masih ada satu muridnya yang belum dia lihat semenjak dia bertarun
“Uhh…”Raksha mendadak limbung sambil memegangi kepalanya yang mendadak nyeri. Dia tahu ada yang sesuatu yang bergejolak didalam hatinya ketika dia melihat Sena. Dia tidak ingat siapa Sena, tetapi hati kecilnya kerapkali menyeru kalau Sena adalah orang yang penting baginya. Perasaannya menegur tanpa henti kalau dia akan menyesal kalau sampai melukai Sena.Siapa wanita itu?Sena?Siapa Sena?Kenapa wanita itu seolah sedang membantuku?Bukankah dia juga bagian dari Kanezka yang menzalimi titisan Ashura?Kenapa aku bersikap seperti ini?Semua pertanyaan itu berseliweran memenuhi pikiran Raksha sampai pusing dibuatnya. Dia tidak bisa fokus karena kepalanya terasa nyeri, seolah-olah kepalanya itu tengah dibelah dua secara paksa dari dalam.“Ini benar-benar bodoh! Kuatkan dirimu! Kau tahu kalau dendammu belum selesai!” Raksha menyentak dirinya keras untuk memaksakan diri menahan semua rasa perih
“Jangan....menyerah….ayo….bangun….”Sena komat-kamit menyemengati dirinya sambil mengatur napasnya yang masih berderu cepat. Kedua lututnya masih belum cukup kuat untuk beranjak dan lanjut bertarung. Semua otot di tubuhnya serasa sobek dan dadanya belum berhenti kembang kempis untuk meraup udara yang rasanya tidak pernah cukup. Dia tidak menyangka kalau Kanuragan Wiratama benar-benar menguras tenaga dalam waktu yang singkat.Golok biru yang ada di genggaman Sena perlahan berubah kembali menjadi keris pusaka suci Ragnala karena Kanuragan Wiratama yang menguatkannya kian habis. Tenaga Sena sekarang bahkan tidak cukup banyak untuk menggunakan Kanuragan Kshatriyans.Di tengah keterpurukannya, Sena mendengar suara langkah yang menghampiri. Tubuhnya gemetaran tegang karena yang mendekatinya itu adalah prajurit arwah elit, siluman harimau, dan siluman srigala, yang dia tidak tahu kalau mereka bertiga adalah Suja, Asoka, dan Gardapati. S
Kecemasan yang sempat berkemelut di hati Sena luruh setelah dia melihat pasukan Kanezka dan bantuan dari istana tiba ke arah Benteng Bisma untuk membantu siapapun yang masih bertahan hidup. Dia harap mereka bisa segera bergerak cepat untuk menyembuhkan Ragnala, Yajna, Enda, dan siapapun yang terluka parah disini, termasuk Lingga sekalipun.Sejenak Sena termenung. Dia mengingat lagi momen ketika dia bertarung melawan Jayendra Mavendra untuk pertama kalinya. Entah dia nekat atau sudah gila, dia tidak menyesali pilihannya untuk beradu silat melawan Jayendra dengan taruhan nyawa. Terlepas dari ketakutan yang menaungi jiwanya ketika dia bertarung melawan Jayendra, dia bisa merasakan kemarahan dan kebencian yang luar biasa besar dari tatapan dingin Jayendra.“Kesaktian dia memang luar biasa, Raksha…tapi…” ujar Sena sekonyong-konyong.“Hmm? Kenapa, Sena? Siapa yang kamu maksud?” tanya Raksha yang masih merangkul Sena. Dia tampak ke
Dinginnya angin malam yang berhembus tidak membuat Raksha kehilangan konsentrasinya. Dia duduk bersila sambil memejamkan matanya, menajamkan fokusnya sehingga kanuragan Ozora yang muncul di kirinya menyebar ke seluruh tubuhnya merata.Dengan pandangan batinnya, Raksha melihat kalau prajurit arwah yang dia miliki kini menambah menjadi sekitar 1000 prajurit ditambah dengan tiga prajurit arwah elitnya yang paling diandalkan Raksha, yakni Suja, Asoka, dan Gardapati. Sejauh ini Kanuragan Ozora dalam tubuhnya berkembang pesat setelah pertempurannya di Benteng Bisma, tetapi di saat yang sama, dia tidak bisa melepas kekhawatirannya akan Kanuragan Yudha yang ada di dalam tubuhnya.Dalam satu minggu terakhir, Raksha mencoba menggunakan Kanuragan Yudha lagi untuk sekedar mempelajarinya, tetapi hasilnya nihil. Kanuragan Yudha itu seolah ‘hidup’ dan hendak menguasai jiwa dan pikirannya. Bahkan apabila dia tidak sedang berlatih atau menggunakan kemampuan silatnya,
“Ah, ini tidak adil!”Sena menendang kursi yang ada di ruang jeruji depannya. Emosinya yang masih meletup-letup memaksa dia untuk duduk di salah satu ranjang jeruji sambil memijat-mijat dahinya yang mendadak terasa pusing. Niatannya untuk segera istirahat di Padepokan Kanuragan Wiratama pupus sudah karena keluarga Mahadri memaksa Raksha dan Sena masuk ke dalam penjara karena masih diduga mencuri pusaka suci milik Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara.“Padahal baru saja kita bebas dari penjara Keluarga Jagadita, sekarang Keluarga Mahadri malah memenjarakan kita lagi?! Ada apa dengan kebebalan mereka?! Mereka bahkan bilang kalau kita bisa bebas kalau kita bisa mengembalikan pusaka suci Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara?! Apa mereka itu dungu?! Sudah kubilang berkali-kali kalau kita berdua ini bukan pencuri!” Sena masih meluapkan amarahnya sambil mengepal kedua tinjunya keras. Cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sempat memancar terang untuk membentuk tombak perak yang akan dia guna
“Ah, akhirnya kita sampai, Raksha!”Sena buru-buru beranjak sambil menatap pelabuhan Kota Udayana yang semakin dekat dari perahunya. Dari terpaan angin kencang dan air yang tidak berombak, dia tahu kalau perahu yang tengah dia tumpangi itu akan membawa dirinya dan Raksha beberapa menit lagi.Raksha yang melihat ke arah yang sama awalnya menghela napas lega karena dia pun ingin istirahat sejenak. Namun kecurigaan tiba-tiba datang menyelimuti pikirannya ketika dia melihat seorang pria jangkung bertubuh gemuk yang mengenakan seragam katun berwarna ungu dengan rompi dan ikat pinggang berwarna kuning tengah duduk di ujung pelabuhan Udayana. Pria itu adalah Panji Mahadri, salah satu pendekar Dewi Pertiwi yang dulu pernah hampir membunuhnya karena kebenciannya terhadap pendekar Kanuragan Wiratama.Raksha semakin waspada ketika melihat ada dua pria paruh baya yang mengenakan pakaian seragam katun ungu yang sama seperti Panji tengah berdiri tegak di sebelah Panji. Kedua pria paruh baya itu ber
“Kami harus menghajar anda, Yang Mulia?”Asoka dan Gardapati masih kebingungan dengan perintah Raksha. Mereka berdua bahkan kaget ketika melihat Raksha memanggil Suja dari balik bayangannya.“Suja, kau pukul perutku. Asoka kau cabik punggungku. Gardapati kau gigit pundakku.” Perintah Raksha sembari menunjuk ke arah perut, punggung, dan pundaknya.“Apa Yang Mulia yakin dengan ini?” tanya Suja sama bingungnya.“Aku hanya ingin memastikan Sena percaya dengan ceritaku tadi. Cepat lakukan sebelum terlambat!” tegas Raksha sambil menyeru.Asoka dan Gardapati pun berhenti ragu. Asoka yang pertama kali melesat ke punggung Raksha lalu mencakar sebagian punggung Raksha dengan tinju cakarnya yang sengaja dia tidak buat terlalu mematikan agar tuannya bisa menahannya.Raksha bisa merasakan guratan yang tajam di sepanjang pinggangnya hingga darahnya sempat menyembur perlahan, tetapi dia masih bisa menahannya karena dia tahu Asoka menahan diri. Sepersekian detik setelah itu, Gardapati datang menerjan
“Semuanya! Ikuti aku!”Usai Sena menyimpan tongkat emasnya di balik punggungnya, dia pun langsung mengangkut Wanda yang masih tidak sadarkan diri. Seruannya yang keras membuat perhatian puluhan pendekar dewa angin yang masih kewalahan untuk kembali bangkit untuk melarikan diri. Ardiman yang ikut dibantu bangkit oleh para pendekar dewa angin pun kini sadar akan kehadiran Sena yang baru saja menolongnya untuk menjauh. Dia melihat Rakshasa sedang mengalihkan perhatiannya untuk melawan Raksha.“Suradarma….kau…membantu…kami…?” ujar Ardiman di tengah tubuhnya yang sekarat dan tertatih-tatih.“Sekarang bukan saatnya untuk mencurigaiku dan Raksha, Tuan Ardiman! Kita harus segera melarikan diri!” seru Sena balik.Ardiman tidak bisa membantahnya. Kondisinya dan seluruh pasukannya sudah sekarat dan kalau Rakshasa kembali menyerangnya maka kematian adalah kepastian yang akan menimpa mereka semua. Dia pun akhirnya memilih untuk menghilangkan kecurigaan terhadap Sena dan Raksha, lalu memilih memuta
“Raksha, biar aku yang urus ini.”Raksha berhenti melangkah sejenak ketika Sena memintanya sembari mengacungkan tongkat emasnya ke arah pintu goa yang ada di depannya itu. Hanya dengan satu hantaman, puing-puing batu yang menutup pintu goa itu hancur seketika oleh serangan Sena. Kini Sena dan Raksha bisa melihat sosok Rakshasas yang mengaung layaknya harimau raksasa yang hendak menerkam mangsanya, yakni Ardiman, Wanda, dan puluhan Pendekar Dewa Angin lainnya.“Astaga…baru pertama kali kulihat monster sebesar ini…” Sena mengencangkan pegangan tongkat emasnya sambil bersiaga penuh.“Monster itu masih mengincar Adriman. Kita punya kesempatan untuk menyerangnya dari belakang.” ujar Raksha sambil membuat telapak tangan kanannya memancarkan cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sehingga membentuk pisau keris. Telapak tangan kirinya yang sudah menggenggam erat pisau kujang emas membuat dia semakin sigap dengan kemampuan silatnya.Namun Raksha tahu kalau Rakshasas bukanlah siluman biasa yang mud
“Wanda…bersiaplah. Akan kita serang mereka lagi sekaligus dengan jurus angin sakti!”Seruan keras Ardiman membuat Wanda langsung bersiaga sembari memasang kuda-kuda tegak. Dia melihat pusaka syal hijau pamannya kini memancarkan cahaya hijau sehingga angin tornado berputar kencang mengitari tubuh mereka dan pasukannya.Tepat setelah Ardiman mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah lima pengawal arwah elit yang sebelumnya menyerangnya, dia kini ikut mengarahkan telapak tangan kanannya. Angin kencang yang kini terkumpul di pusaka syal hijau Ardiman menguat, bersamaan dengan puluhan pendekar dewa angin yang baru saja menyembuhkan lukanya lalu ikut berkonsentrasi sehingga angin tornado Ardiman berputar semakin kencang.“Lima prajurit arwah itu tidak menyerang, paman! Ini kesempatan kita!” seru Wanda semangat.“Ya, kita-“Ardiman tiba-tiba berhenti menyeru ketika tanah yang dia, Wanda, dan puluhan prajuritnya pijak berguncang keras, sampai-sampai mereka hampir kehilangan keseimbangan dan
“Pendekar Kanuragan Wiratama harusnya mampus!”Wanda berulang kali menyerukan hal itu dengan keki. Walau Birawa, Pendekar Kanuragan Wiratama yang dia dan keluarganya buru untuk keamanan Nusantara kini sudah mati, dia masih tidak terima kalau yang mengalahkan Birawa ternyata adalah Raksha dan Sena, dua Pendekar Kanuragan Wiratama yang kini paling hebat diantara pendekar kanuragan lainnya.Tidak hanya Keluarga Jaganita, Wanda ingat kalau keluarga lainnya dari Nismara, Mahadri, Pancaka, dan Bhagawanta pun belum menyerah untuk mengerdilkan Pendekar Kanuragan Wiratama sebelum mereka bergabung untuk ikut dalam kompetisi Turnamen Sembilan Bintang Langit.“…sepertinya kamu sudah tidak sabar untuk memenjarakan mereka di Udayana, nak.”Ardiman tiba-tiba menanggapi Wanda, yang merupakan keponakannya.“Ya, paman! Mereka masih membawa bahaya di Udayana nanti, apalagi saat mereka mengikuti Turnamen Sembilan Bintang Langit!” seru Wanda.“Aku mengerti, nak. Banyak keluarga militer Kanezka yang mulai
“Jangan lambat kalian!”Sena dan Raksha lagi-lagi disentak oleh pendekar dewa angin yang ada di belakang mereka untuk melangkah lebih cepat. Mereka berdua tengah dalam perjalanan ke ujung utara hutan, dimana disana banyak bangunan rumah yang dibuat oleh pendekar dewa angin sebagai tempat mereka beristirahat dan berlatih di Pulau Babar.Raksha mengedarkan pandangannya sekilas. Dia melihat ada dua puluh lebih bangunan rumah yang jaraknya antar tumah sekitar 50 kaki tersebar di ujung hutan ini. Tidak banyak pohon yang tersebar di ujung hutan ini sehingga Raksha bisa merasakan kalau pendekar dewa angin yang ada disini lebih bebas untuk beraktivitas di tempat ini.Raksha yang awalnya mengira dia dan Sena akan dibawa ke salah satu rumah tersebut ternyata salah. Para pendekar dewa angin menyuruh mereka masuk ke salah satu goa yang ada sekitar 60 kaki di arah selatan tempat perumahan tersebut. Ketika Raksha melihat goa yang sempit itu dan jeruji di pintu goanya, dia baru sadar kalau para pen
“Yang Mulia, ternyata benar, pasukan Kanezka tengah mendatangi goa ini dengan persenjataan lengkap.”Bisikan Sakuntala yang terdengar hanya di dalam hati Raksha kala itu sempat membuat Raksha berhenti mengubur mayat terakhir di Goa. Dia melirik Sena sekelabat, setelah dia memastikan kalau Sena masih sibuk mengubur, dia kembali fokus ke Sakuntala.“Berapa kekuatan?” tanya Raksha berbisik.“Tidak banyak, Yang Mulia. Sekitar 30 kekuatan. Mereka semua mengenakan seragam pendekar silat Udayana berwarna hijau.” jawab Sakuntala.“….berarti mereka dari Padepokan Kanuragan Wayu. Kenapa mereka ada di pulau ini?”“Saya tidak tahu pasti, Yang Mulia. Tetapi saya bisa merasakan hawa membunuh dari mereka. Harap berhati-hati, Yang Mulia Raksha.”Raksha diam sejenak lalu berpikir. Dia tahu kalau Padepokan Dewa Angin dan Padepokan Dewa Air seringkali berkoalisi dan bertukar ilmu ajian sakti sehingga dia tidak heran melihat Wanda Jagadita dan Taksa Nismara bisa menguasai jurus pengendalian air dan angin