Terik matahari sangat menyengat kulit, Rengganis mengikuti para bawahannya bersembunyi di balik pohon rindang. Tatapan tajam, busur telah siap di tangan, mengintai seekor kijang. Rengganis mengambil ancang-ancang, matanya menyipit, ada rasa tidak tega melihat kijang tersebut. Namun, sepersekian detik kemudian pikiran Rengganis seperti dikendalikan sesuatu dan …. Srash! Blesh! Anak panah melesat dan menancap di punggung kijang tersebut. Rengganis melebarkan mata saat melihat anak panah itu mengenai sasaran. Tangannnya gemetaran, busur panah luruh jatuh ke tanah. “Astaga, aku membunuhnya,” keluh Rengganis memasang wajah pucat pasi. Ah, jantungnya berdegup kencang, rasa bersalah itu mengukung dirinya. Dia menoleh ke arah para bawahannya yang berlari menuju ke arah kijang tersebut dengan bersorak-sorai. “Saya tidak menyangka Permaisuri sangat hebat,” ungkap salah seorang di antara mereka. Dua orang lain mengikat kijang tersebut pada sebuah batang kayu. “Permaisuri?” pa
Kayana yang sempat mengangkat gelas arak untuk dia minum diurungkan, gelas itu ditaruh kembali di atas meja. Paham benar saat ini Sajani sedang marah, “Kau juga pasti paham, Sajani. Khandra bukan lelaki buaya apalagi mencintai wanita semacam ulat bulu itu,” terang Kayana membuat Sajani bernapas lega. ‘Dasar orang-orang aneh, Sajani mengkhawatirkan Khandra, sedangkan Khandra sendiri pikiran dipenuhi kekhawatiran akan Permaisuri Rengganis,’ keluh Kayana dalam hati menoleh ke arah Sajani dan Khandra bergantian. “Kau benar Kayana, Khandra kita tidak mungkin seperti itu,” jawab Sajani tersenyum, wajahnya memerah mirip buah apel yang ada di piring saji di meja. “Sajani, aku paham kau mencintai Khandra, kau tidak berniat mengungkapkan rasa cintamu?” Kayana berucap kemudian saking sebalnya menjadi pendengar dan pengamat akan tingkah laku para sahabatnya. Bagi Kayana mungkin akan lebih baik jika Sajani mengungkapkan perasaan pada Khandra. Setidaknya dia ingin Khandra tidak
Khandra merasa lemas dan terkejut mendengar penuturan anak buahnya. Dia berupaya mencari keberadaan Rengganis setelah mendengar duduk permasalahan. Khandra merasa bersalah pada diri sendiri tidak mampu memberikan perlindungan bagi Permaisuri Kerajaan Baskara tersebut.*** Beberapa waktu lalu, ketika hendak pulang berburu. Gerombolan penyamun datang menyerang. Para kesatria sibuk bertarung, aduk kekuatan. Dencing pedang beradu menggema bersamaan teriakan dan bau anyir darah. Rengganis yang melihat itu gemetar, bayangan masa lalu menghantui. Ingatan silam kala sang suami menebas leher ibundanya terngiang-ngiang. “Jangan biarkan mereka lolos!” teriak salah seorang di antara mereka. Seorang lelaki berkepala botak berkacak pinggang. Terlihat seperti pimpinan di antara mereka. “Permaisuri, mari kita lari!” Dua orang kesatria membentuk pagar untuk menyelamatkan Rengganis. Salah seorang merangkul dan membawa Rengganis berlari. “Ketua, wanita itu kabur,” kata salah seor
"Terima kasih Guru Besar," ujar salah seorang kesatria. "Jaga diri kalian baik-baik," jawab lelaki bertopeng tersebut. Lelaki itu melompat ke udara, gerakan secepat kilat dan kemudian menghilang. "Siapa kisanak tadi?" tanyanya. "Beliau Guru Besar pemilik Padepokan Elang Putih tempatku menimba ilmu," jawab kesatria itu berbinar. "Ah, kita telah berhutang budi," jawab salah seorang lagi. "Baiklah, mari kita cari Permaisuri Rengganis dan yang lain!" ajak salah seorang lagi. Mereka bergegas pergi menyusuri hutan. *** Di tempat berbeda, Rengganis masih berlari menghindari penyamun tersebut. Dia kabur entah ke mana tujuannya. Dia ketakutan, tubuh bergetar hebat, beberapa kulit terluka lantaran terkena semak belukar berduri. Kesatria yang membantunya sedang bertarung dengan para penyamun yang mengejarnya. Tinggal dia seorang diri, bersembunyi di balik akar sebuah pohon besar. 'Duh Gusti, lindungi aku,' kata Rengganis memeluk lututnya s
Melihat wajah kusam dengan bekas tanah kering masih tercetak jelas. Sudah dipastikan wanita itu berkutat tanah dan lumpur juga saat melarikan diri. Rengganis yang malang. Suara gamelan berbunyi nyaring, Rengganis menoleh ke kanan-kiri tidak ada siapa pun. Dia menghela napas kencang, penuh kesadaran pada rasa frustrasi menggelayut. Dia menginginkan kekuatan luar biasa demi mewujudkan dendamnya. Tatapan Rengganis menajam penuh keyakinan. "Aku mau, apa pun itu asal aku bisa memiliki kekuatan besar untuk merebut kembali Kerajaan Baskara," tekad Rengganis. Nyi Gendeng Sukmo melihat kesungguhan Rengganis lalu tersenyum lebar. "Mari kita lakukan penyatuan sekarang juga." Wanita lelembut itu berbinar. Nyi Gendeng Sukmo menutup mata komat-kamit merapalkan mantra. Angin berembus kencang sekali. Suara gending jawa semakin terdengar nyaring dengan alunan musik makin kencang. Ketika membuka mata, netra Nyi Gendeng Sukmo berubah menjadi merah menyala. Tubuh Rengganis bergetar d
Rengganis membuka mata, melihat sekeliling, ruangan berbentuk gua. Di mana lampu minyak menyinari. Kepala Rengganis berdenyut, dia langsung melonjak bangkit berdiri, meraba tubuh bagian depan. Serpihan ingatan kembali membayang, rasa sakit luar biasa dia rasa sungguh menyakitkan. Rengganis menengok ke sekeliling. Dia melotot ke arah gua yang temaram itu, pada ujung ruangan Rengganis melihat Nyi Gendeng Sukmo melangkah mendekati membawa sebuah bakul kecil berisi buah. “Makanlah Cah Ayu, kau lapar kan,” ujar Nyi Gendeng Sukmo lalu duduk di bebatuan yang digunakan Rengganis untuk berbaring. “Bagaimana tubuhmu?” tanyanya. “Aku tadi merasa ingin mati, tetapi sekarang baik-baik saja,” aku Rengganis, dia melihat ke arah langit-langit gua yang nampak temaram, ruangan tersebut cukup luas, dengan beratap dan dinding batu, pahatan dari alam. Rengganis lalu bertanya, “Ini di mana?” “Ah, kau ada di gua yang berada di tengah air terjun,” jawab Nyi Gendeng Sukmo menyerahkan buah apel
Belum sempat Rengganis meminta penjelasan, Nyi Gendeng Sukmo sudah menghilang tanpa jejak. Rengganis bangkit berdiri, dia hendak berteriak. Namun, sebuah bayangan hitam dari arah luar mengarah semakin mendekat. "Argh!" Rengganis berteriak lantang, jantung berdegup kencang. Wanita itu ambruk jatuh ke tanah basah. 'Kurang ajar kau Nyi Gendeng, meninggalkan diriku sendiri,' keluh Rengganis dengan tubuh yang semakin gemetaran. Bayangan tersebut nampak semakin mendekat. Dia mengangkat kedua tangan menyilang di depan wajah sebagai pertahanan. "Tidak, jangan mendekat, jangan bunuh saya!" teriaknya. "Permaisuri Rengganis," suara yang tidak asing terdengar. Rengganis menurunkan kedua tangan kemudian melotot melihat sosok tegap memandang dengan binar. "Senapati Khandra," panggil Rengganis tidak percaya. "Saya, Permaisuri," jawab Khandra hendak melangkah, berniat membantu Rengganis bangkit berdiri. "Tidak, tetap di tempatmu!" perintah Rengganis. Dia takut
Kayana, Sajani, dan beberapa orang kesatria pilihan Ki Kastara sedang dalam perjalanan pulang dari meninjau tempat pertahanan Kerajaan Baskara di ujung utara. Hari sudah gelap, hujan pun turun. Mereka menunggangi kuda dengan hati-hati melewati jalan setapak. Kayana sendiri sedang menyamar menjadi Khandra, dia mengenakan jubah hitam, dengan mulut ditutup kain. Tidak ada yang curiga lantaran beberapa kali Khandra memang berpenampilan demikian saat bertugas. Sang senapati sendiri tengah menjenguk Permaisuri Rengganis, segalanya harus berjalan aman agar terkendali juga tidak menimbulkan kecurigaan pada Ki Kastara. Sajani mensejajarkan kudanya dengan milik Kayana. "Kayana, kita berhenti di sana. Sepertinya itu kedai makan dan tempat penginapan." Sajani menyarankan. Gadis itu menyipitkan ke arah depan, di mana sebuah bangunan luas ramai pengunjung. "Kau benar, kuda kita juga butuh istirahat." Kayana menepikan kudanya ke bagian samping, di mana sebuah bagunan beratap tanpa tadi
Next Novel: Tumbal Pengantin Iblis By: KarRa “Awalnya Kalina menerima balutan bibir itu, hingga sebuah bayangan muncul samar dalam ingatan. Sosok lelaki tampan tertutup cahaya putih, spontan Kalina mendorong tubuh Elard. “Maaf,” pinta Kalina merasa bersalah. Tidak terbersit dirinya untuk mendorong Elard, hanya saja bayangan yang selalu mengintai itu sangat menyiksa, menyesakkan dada. “Kau baik-baik saja, Sayang?” tanya Elard mengernyitkan kening melihat wajah sang kekasih pucat pasi. “Kau---?” “Bayangan dalam mimpiku terlintas dalam ingatan. Aku lelah jika harus seperti ini,” keluh Kalina. Dia mengingat setelah insiden kecelakaan dirinya sering bermimpi bertemu dengan seorang lelaki bersayap, lelaki tampan bak malaikat. Namun, bayangan lelaki itu kini semakin sering muncul, bahkan saat dirinya berdekatan dengan Elard. Sang tunangan pun tahu, Elard orang yang tahu tentang mimpi yang dia alami. Mimpi, tentu saja bukan. Apa yang terjadi pada Kalina
Pertempuran berlangsung cukup lama, Ki Kastara memiliki beberapa pendekar bayangan dengan ilmu bela diri dan kanuragan tinggi. Crask! Terdengar daging yang dihunus. Crash! Sebilah pedang berlumur darah berhasil merobek perut lawan. Teriakan menggema tanpa henti, beberapa prajurit Baskara sudah mulai tumbang. Anak buah Ki Kastara banyak yang tumbang. 'Kurang ajar, bagaimana mungkin mata-mata yang aku taruh di padepokan Elang Putih tidak memberi kabar jika Guru Besar keluar?' Ki Kastara memperhatikan satu per satu kesatria bayarannya tewas mengenaskan. Lelaki itu menggertakkan gigi hingga bergemeletuk. 'Apa mungkin mereka tewas? Atau jangan-jangan malah kabur?' dengkusnya masih dalam hati. Beberapa waktu sebelumnya, di mana aura berbeda melingkupi Padepokan Elang Putih. Saat itu Guru Besar tengah memberi arahan pada murid didiknya. Lelaki itu mendadak berhenti dan menoleh ke arah kanan-kiri serta atas, membuat beberapa murid kebingungan bukan main. Saat ini mereka tengah dud
Empu Jagat Trengginas menutup mata, merasakan kesejukan, dunia pak tua itu terkesan damai. Suara-suara binatang hutan memekik perlahan memudar, pun bunyi-bunyian khas hutan menjadi tidak terdengar. Lelaki sepuh tersebut masih memusatkan perhatian pada satu titik. Menyatu bersama alam, mendadak waktu bahkan seperti lambat berjalan dalam satu pusat pikiran. Hingga setetes air dari daun yang menetes jatuh ke kubangan pun terdengar. Clang! Air itu jatuh, Empu Jagat Trengginas tersenyum mendengar derap langkah kuda. Aura yang sangat dia kenal terasa meski jarak mereka berjauhan. Daun dari ranting pohon mulai berguguran tertiup angin. Empu Jagat Trengginas membuka mata, gerakannya secepat kilat berlari menyusuri hutan tanpa kendala, ah bukan tanpa kendala. Hanya saja gerakan lelaki sepuh iru terlampau cepat. Bertepatan pada daun jatuh di tanah. Kaki lelaki itu melompati ranting pohon lalu menapak di tanah. Seorang lelaki gagah menunggang kuda kemudian menarik tali. Kuda me
Sudah berhari-hari Kayana dan juga pasukan kesatria bayangan berkeliling hutan tanpa tahu jalan keluar. Mereka sudah merasakan gusar lantaran berulang kali melewati tempat sama. Mereka turun dari kuda kemudian duduk di akar pohon besar yang menjulang keluar tanah. Mereka tampak lelah dan letih secara bersamaan. Seorang lelaki tiba-tiba datang melompat dari atas pohon. Kakinya berpijak di tanah kering dengan tangan membawa bungkusan daun. "Kau lama sekali mencari makan," ujar Kayana. "Ah, maaf. Aku baru mengisi bumbung air untuk kita minum di air terjun arah sana. Ini sudah kesekian kalinya berputar-putar di tempat yang sama," keluh lelaku itu meletakkan buah-buahan hutang yang di pertik di tanah dekat mereka semua duduk. "Sepertinya kita terkena uyut mimang," ujar salah seorang. "Ah, sungguh sial!" keluh Kayana menggaruk kepala. "Ketua, sekarang kita harus bagaimana?" Salah seorang lagi bertanya pada Kayana membuat lelaki itu semakin pening.
Rengganis dan Guru Besar sempat berbincang-bincang sebelum Kayana pergi. Lelaki itu berpesan pada Khandra untuk berjalan ke arah berlawanan yang Kayana tuju. Perjalanan tidak tentu arah mencari Ki Kastara juga Empu Jagat Trengginas semakin pelik. Jika Sajani berjalan ke arah ujung utara demi meminimalisir pencarian. Sebenarnya jalan yang di tempuh ketiga kesatria tersebut sudah dalam saran Guru Besar. Kini sepasang kesatria elang putih terpisah di jalan masing-masing. Pun tidak jauh berbeda dengan Khandra yang diutus Guru Besar menjelajahi arah selatan. Berharap Empu Jagat Trengginas dapat ditemukan. "Guru, guru mengatakan jika di arah utara banyak sekali hutan yang berkabut tertutup uyut mimang. Apa Kayana akan baik-baik saja?" tanya Rengganis usai Gautam dan Goga meningggalkan istana. "Tenang saja, Kayana bukan sembarangan pendekar bela diri tanah air. Dia salah satu murid terbaik yang hamba miliki," ungkap Guru Besar yakin. "Semoga saja Empu Jagat Trengginas da
Saat Rengganis dan juga Guru Besar yang sesungguhnya merupakan Mang Damar itu tengah membahas serius kelanjutan rencana. Di luar Istana sudah dibuat geger akan kemunculan para bandit. Siapa lagi jika bukan Gautam dan Goga. Mereka muncul dengan mendorong gerobak berisi mayat Madhavi. Para warga berteriak histeris antara terkejut dan takut. Hingga keributan itu terdengar sampai ruangan Taman Sari. “Ada ribut apa di luar?” tanya Rengganis teralihkan perhatian atas teriakan orang-orang. Mang Damar menutup mata, dia mencoba merasakan aura yang ada di sekitar. “Nampaknya ada tamu tidak terduga berencana bertemu Permaisuri,” kata Mang Damar tersenyum. “Tapi saat ini saya tidak bisa menerima tamu, Mang Damar pun paham dengan keadaan saya, bukan?” “Sungguh sangat paham, tetapi jika tidak ditemui nantinya Permaisuri yang akan repot,” ujar Mang Damar. “Baiklah, selama Guru Besar berada di samping saya,” jawab Rengganis. Mang Damar kembali menggunakan ca
Sajani merasa tak enak hati, takut pula jika para bandit tersebut bersikap tidak suka akan tindakan tidak sopannya. Gautam dan Goga memandang tajam bak menguliti. Lalu keduanya terbahak membuat perut buncit itu mengangguk-angguk. “Maaf atas ketidaksopanan saya,” kata Sajani lagi. “Hahaha … tidak masalah Cah Ayu, aku bahkan dengan senang hati akan mengantarkan kau ke arah sumber suara,” ujar Gautam lantas berdiri. Sajani tersenyum angkuh, “Jika Kisanak tidak keberatan,” sambut Sajani tersenyum. “Hahaha … dasar wanita culas!” ejek Goga. Sajani hanya tertawa mencibir, dia tidak akan mengambil hati pada ucapan kasar terkesan sampah yang terlontar dari mulut para bandit. Karena memang demikianlah mereka. Mereka pun melangkah ke arah sumber suara. Mata Sajani melebar menangkap sosok wanita tidak asing tengah dilecehkan seorang lelaki. “Kau kenal dengannya bukan?” Gautam bertanya seraya bersandar pada dinding gua pengap itu. “Ma … Madhavi,” bisikny
Derap lompatan kaki kuda terdengar, sebagai pertanda sang empunya terlalu tergesa memacunya. Kayana menatap lurus ke arah depan, mulai membelah hutan yang mulai dingin nan lembab. Belum lagi guyuran hujan turut serta. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan langkah. Demi mencari pelaku kejhahatan yang sesungguhnya tidak peduli semak berduri maupun hujan lebar diterjang. “Kayana, kita sudah berjalan terlalu lama, mari istirahatkan diri,” teriak salah seorang kawan. Kayana menarik tali kuda membuat terhenti, dia menoleh sekeliling yang ditemui hanya pepohonan tertutup semak-belukar. “Kita istirahat jika menemukan perkampungan, akan sangat bahaya jika berada di hutan asing. Terlebih banyak bandit berkeliaran di saat cuaca seperti ini,” ujar Kayana. “Baiklah, mari bergegas!” ajak salah seorang. Hyat! Mereka kembali memacu kuda membelah semakin belukar, entah akan sampai mana mereka berjalan tanpa tentu arah tersebut. hutan terlalu mengerikan juga membuat tersesat.
Rengganis memeluk tubuh Khandra, lelaki itu tersenyum berusaha membuat nyaman sang permaisuri. Entah bagaimana mengartikan hubungan keduanya. Baik Khandra maupun Rengganis pun tidak paham. Rengganis menutup mata, menghidu aroma keringat Khandra yang khas. Rasanya sungguh menenangkan, Permaisuri Rengganis benar-benar terlena dia mempererat pelukan. Hingga tanpa sadar tangan itu menelusup ke bagian pakaian mirip rompi yang dikenakan Khandra saat ini. Tangan halusnya meraba perut rata, berotot, dan berbentuk selayaknya lelaki perkasa. Mendapat perlakuan itu darah Khandra berdesir. Aroma wangi rambut Rengganis membuat sisi lain lelaki itu bangkit. Ada keinginan menarik segera sang permaisuri agar kembali berbaring kemudian membuat berteriak di bawahnya. Sayang, bayangan wajah pias Rengganis usai sadar tadi berlarian dalam ingatan Khandra. Tidak kuasa ia bertindak terlalu jauh. Khandra menghela napas berat. "Permaisuri, apa tidak sebaiknya saya pergi setelah Kayana dan pasukan baya