Sajani minta dijewer ya guys
Sementara kuda yang dinaiki Senapati Khandra sudah sampai di pintu gerbang padepokan Elang Putih. Lelaki tersebut masuk ke dalam dituntun salah seorang murid terpilih, padepokan itu hanya akan memilih beberapa pemuda berbakat saja, entah dengan cara apa Khandra pun tidak tahu penilaian, hanya Guru Besar yang paham. Waktu dulu, dirinya seorang anak kecil tidak tahu apa-apa, seorang lelaki bercadar dengan jubah putih berkunjung dan mengajaknya ke padepokan itu. Tempat yang masih terlihat sama, Khandra mengedarkan pandang. Ada gapura kecil, Khandra lalu masuk ke dalam bangunan. “Guru Besar sudah menunggu, Senapati,” kata seorang lelaki yang mengantar tadi. “Terima kasih,” ujar Khandra lalu membuka pintu kayu tersebut. Terlihat seorang lelaki berjubah putih dengan cadar masih setia menutup mulutnya. “Sudah sangat lama sekali, Khandra,” ujarnya tanpa menoleh, dia masih sibuk memperhatikan lontar yang ada di tangannya. “Pasti ada hal serius terjadi hingga membawamu berku
Musyawarah untuk mencapai mufakat dilaksanakan di ruang pertemuan Istana Utama, bersamaan dengan itu Guru Besar dan juga Khandra sudah sampai di tempat. Khandra mengedarkan pandang melihat sekeliling. “Hormat hamba kepada Guru Besar,” ujar Kayana menyatukan kedua tangan ke arah depan melihat sang guru berdiri di dekat pintu. Guru Besar menganggukkan kepala menerima hormat Kayana. “Ada apa ini, Kayana?” Khandra bertanya. “Permaisuri Rengganis mengumpulkan kita,” jawab Kayana, “mungkin untuk membahas Ki Kastara dan hari baik penobatan Ratu Rengganis,” lanjut Kayana. “Penobatan Ratu memang harus segera dilaksanakan agar tidak ada lagi orang-orang licik yang mengincar,” terang Guru Besar. “Permaisuri Rengganis memasuki ruangan!” teriak salah seorang prajurit. Orang-orang lalu berdiri di samping kanan-kiri menundukkan kepala saat Permaisuri Rengganis berjalan ke arah singgasananya. Suasana mendadak sepi sesaat, sampai akhirnya Petapa Bagaspati membuka
Rengganis mengernyit, dia berpikir keras antara lanjut atau melepaskan Nyi Gendeng Sukmo. Satu sisi dia ingin menjadi kuat, satu sisi lagi tidak ingin raganya dikuasai Nyi Gendeng Sukmo. Iblis itu berbahaya, tetapi Rengganis pun menginginkan. Khandra dan Guru Besar saling menatap, mencoba memahami dilema Rengganis. Bagaimana pun dia seorang Ratu masa depan, kekuatan memang penting guna melindungi diri dan bangsanya. “Permaisuri apa pun keputusannya, saya selalu mendukung,” ujar Khandra. “Jika memang Permaisuri tidak mau kekuatan itu hilang, kita bisa menekan jiwa Gendeng Sukmo, menguncinya. Lalu memanfaatkan energi kekuatan yang Gendeng Sukmo punya. Namun, jika Permaisuri tidak mampu bertahan, kita harus segera mengeluarkan saja jiwa wanita tersebut. Dalam artian kita harus mencari Empu Jagat Trengginas,” terang lelaki berwibawa itu. “Ada apa dengan Guru Jagat Trengginas?” Khandra bertanya. “Yang bisa mengeluarkan jiwa Gendeng Sukmo dari Raga Rengganis hanya
Trash! Tangan Guru Besar mengayunkan kembali tongkat untuk menghalau sabetan Nyi Gendeng Sukmo dalam tubuh Rengganis yang di arahkan kepada Senapati Kerajaan Baskara itu. Terjadi tarik menarik antara Nyi Gendeng Sukmo dengan Guru Besar di mana ujung selendang merah tersebut menggulung di tongkat milik Guru Besar. “Kurang ajar, lepaskan!” teriak wanita itu. Khandra memulihkan tenaga dengan cepat, melihat Nyi Gendeng Sukmo yang sibuk menangani Guru Besar. Pemuda itu langsung menarik selendang merah lalu mendorong tubuh Rengganis. Wanita itu melayang melompat ke arah lain. Terjadi tarik-menarik antara Khandra dan Gendneg Sukmo memperebutkan selendang merah. Hingga akhirnya Guru Besar melemparkan tongakat miliknya. Trak! Bagh! Tongkat itu mengenai tubuh Rengganis yang dikuasai Gendeng Sukmo. Brugh! Tubuh Rengganis terkantuk ke meja. Prang! Bunyi kendi tempat air beserta beberapa gelas tanah liat jatuh ke lantai. Guru Besar memperhatikan dengan seksama, takut jika sesuatu t
Varen sudah sampai di Istana Baskara untuk menjemput Sajani setelah Rengganis memanggilnya pagi tadi. Lelaki bersama dayang muda kepercayaannya tersebut sedang dijamu para dayang di bagian dapur istana. Mereka mengagumi keindahan juga kemegahan Istana Baskara, sepanjang jalan pilar-pilar besar berhias emas sungguh menyita perhatian. Para dayang ramah menyambut hingga kini jamuan spesial mereka sungguh sangat berkesan bagi Varen. Di tempat lain di kamar khusus para abdi dalem. Seorang wanita tua bertubuh gempal menangis duduk memunggungi sang putri yang tengah berlutut di lantai tanah itu. “Maafkan Sajani, Biyung.” Yah, gadis yang bersimpuh tersebut adalah Sajani. Mbok Berek, wanita sepuh itu sungguh sangat kecewa pada apa yang dilakukan sang putri. “Kau ini bodoh atau bagaimana? Kau membuatku malu Sajani, aku sungguh kehilangan muka di hadapan Putri yang aku asuh. Kau juga mempermalukan Gurumu di padepokan Elang Putih!” pekik Mbok Berek. “Maafkan aku, Mbok.”
Kayana mengantarkan kepergian Sajani sampai ke depan pintu gerbang Kerajaan Baskara. Sajani tersenyum masam pada sang sahabat. Dia menghela napas panjang membuka mulut. Namun, tidak jadi mengutarakan apa yang ada di dalam pikiran. Bingung juga pekewoh atas apa yang sudah dilakukan. “Aku tidak membencimu, Sajani. Hanya saja aku menyayangkan sikapmu yang terlalu termakan emosi.” Kayana membuka percakapan. “Apa Nyai sudah siap?” tanya Varen dari dekat pedati. “Tunggu sebentar Varen,” ujar Sajani yang sebelumnya sudah berkenalan dengan Varen di dapur istana. “Baiklah,” jawab Varen yang kemudian masuk terlebih dahulu ke dalam pedati miliknya. Sajani masih menatap Kayana, “Katakan padaku siapa wanita itu?” tanyanya seraya memukul lengan sang sahabat. “Kau benar-benar keterlaluan tidak pernah memberitahukan diriku siapa wanita yang kau cintai,” lanjutnya. “Sejujurnya aku tidak ingin membahas ini,” keluh Kayana berkacak pinggang. “Kataka
Rengganis memeluk tubuh Khandra, lelaki itu tersenyum berusaha membuat nyaman sang permaisuri. Entah bagaimana mengartikan hubungan keduanya. Baik Khandra maupun Rengganis pun tidak paham. Rengganis menutup mata, menghidu aroma keringat Khandra yang khas. Rasanya sungguh menenangkan, Permaisuri Rengganis benar-benar terlena dia mempererat pelukan. Hingga tanpa sadar tangan itu menelusup ke bagian pakaian mirip rompi yang dikenakan Khandra saat ini. Tangan halusnya meraba perut rata, berotot, dan berbentuk selayaknya lelaki perkasa. Mendapat perlakuan itu darah Khandra berdesir. Aroma wangi rambut Rengganis membuat sisi lain lelaki itu bangkit. Ada keinginan menarik segera sang permaisuri agar kembali berbaring kemudian membuat berteriak di bawahnya. Sayang, bayangan wajah pias Rengganis usai sadar tadi berlarian dalam ingatan Khandra. Tidak kuasa ia bertindak terlalu jauh. Khandra menghela napas berat. "Permaisuri, apa tidak sebaiknya saya pergi setelah Kayana dan pasukan baya
Derap lompatan kaki kuda terdengar, sebagai pertanda sang empunya terlalu tergesa memacunya. Kayana menatap lurus ke arah depan, mulai membelah hutan yang mulai dingin nan lembab. Belum lagi guyuran hujan turut serta. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan langkah. Demi mencari pelaku kejhahatan yang sesungguhnya tidak peduli semak berduri maupun hujan lebar diterjang. “Kayana, kita sudah berjalan terlalu lama, mari istirahatkan diri,” teriak salah seorang kawan. Kayana menarik tali kuda membuat terhenti, dia menoleh sekeliling yang ditemui hanya pepohonan tertutup semak-belukar. “Kita istirahat jika menemukan perkampungan, akan sangat bahaya jika berada di hutan asing. Terlebih banyak bandit berkeliaran di saat cuaca seperti ini,” ujar Kayana. “Baiklah, mari bergegas!” ajak salah seorang. Hyat! Mereka kembali memacu kuda membelah semakin belukar, entah akan sampai mana mereka berjalan tanpa tentu arah tersebut. hutan terlalu mengerikan juga membuat tersesat.