Meski Rengganis belum resmi naik tahta, warga sudah berbondong-bondong memberikan dukungan. Berita kematian Raja Abra pun tersebar ke segala penjuru kerajaan tetangga. Termasuk Kerajaan Bamantara. Sebuah surat datang pada pagi buta mengabarkan tewasanya salah satu pangeran di Kerajaan Bamantara. Raja Arutala mendesah usai membaca surat tersebut, Ratu Zarina mengelus pundak sang suami untuk bersabar. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa Raja Abra marah besar karena kalah perang kemudian berusaha mencelakai Permaisuri Rengganis. Tentu Raja Arutala tidak sepenuhnya percaya dengan surat tersebut. Pasalnya dia tahu benar jika dalam tubuh Rengganis ada jiwa lain bersemayam. Raja Arutala dapat melihat aura berbahaya saat berhadapan langsung terakhir kali. Dian masih bergidik ngeri mengingat pertempuran singkatnya dengan Rengganis tempo hati. “Apa kita perlu membalaskan kematian Raja Abra, Gusti Prabu Arutala?” tanya sang senapati membangunkan Raja Arutala pada lamunan. Raja
“Sepertinya Senapati Khandra dan juga Permaisuri Rengganis memiliki hubungan yang spesial. Aku tidak pernah melihat Permaisuri sedekat itu dengan lelaki sebelumnya,” kata salah seorang sesepuh yang meletakkan pantatnya di kursi miliknya yang berjajar di bagian bawah singgasana kecil. “Aku setuju saja jika mereka berdua menikah,” jawab Petapa Bagaspati. “Khandra berdedikasi besar bagi Kerajaan Baskara,’ lanjutnya. “Itu benar, kita sudah paham benar siapa Khandra, dibandingkan menikahkan Permaisuri Rengganis dengan pangeran atau raja dari kerajaan luar lalu berakhir seperti yang sudah-sudah,” keluh Mang Damar. Para sesepuh mulai masuk ke aula di istana utama untuk berkumpul di aula utama membahas pasal kekosongan kekuasaan di kerajaan. Baru saja mereka hendak bersiap tiba-tiba terdengar suara nyaring dari luar. “Tolong!” teriak Mbok Berek lari tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan. “Ada apa, Mbok?” tanya Petapa Bagaspati. “Anu Ki, anu ….” Wajah Mb
Di sebuah gua dekat hutan lebat pada perbatasan Kerajaan Baskara dan kerajaan lain tempat sarang para penyamun, seorang wanita ayu berpakaian lusuh sedang menuangkan arak ke dalam cangkir yang terbuat dari batok kelapa. Tangan dan kaki lebam penuh luka, sedang tubuh bagian dada atas yang tidak tertutup kain terdapat banyak tanda merah. Wanita itu tertatih berjalan menuju ke arah bebatuan rata yang beralas daun pisang. “Hei, kau wanita murahan, cepat tuangkan aku arak!” Seorang lelaki bertubuh tambun berteriak seraya menggaruk kakinya yang gatal. Mereka duduk bersila tanpa alas. “Siapa wanita cantik itu?” tanya salah seorang lagi membenahi letak celana lusuhnya yang kedodoran lalu kembali mengiris daging rusa untuk di bakar di perapian. “Oh, itu Madhavi, wanita yang dibawa ketua Goga dan Gautam,” jawab salah seorang di antara mereka. “Hahaha … sungguh malang sekali nasibnya, apa yang dia perbuat hingga Goga dan Gautam membuatnya menjadi wanita penghibur di si
Seorang gadis muda berdiri menantang, sombong dan terlihat angkuh, memutar pedang di hadapan Rengganis, Kayana yang berada tidak jauh di tempat tersebut langsung menarik pedang miliknya dan mengarahkan kepada wanita tersebut. Permaisuri pun mendekat ke arah kedua orang yang saling menatap tajam. Rengganis dapat melihat tatapan juga amarah terpendam dari wanita tersebut. Sayangnya, Rengganis bukan wanita yang mudah terbawa emosi, itu akan berakhir memalukan, dia tetap menjaga wibawanya. “Lancang, apa yang kau lakukan Sajani, kau bisa saja mencelakai Permaisuri Rengganis!” cebik Kayana. Yah, wanita yang melakukan serangan dadakan tersebut adalah Sajani, entah apa maksud dari itu Rengganis masih setia memperhatikan gelagat gadis tersebut. “Aku hanya ingin melihat kemajuan Permaisuri dalam menghalau serangan dadakan,” jawab Sajani. ‘Astaga, apa yang wanita itu lakukan, apa dia ingin dihukum mati?’ monolog Khandra. “Kau---” “Tidak apa Kayana, aku pun b
Sementara kuda yang dinaiki Senapati Khandra sudah sampai di pintu gerbang padepokan Elang Putih. Lelaki tersebut masuk ke dalam dituntun salah seorang murid terpilih, padepokan itu hanya akan memilih beberapa pemuda berbakat saja, entah dengan cara apa Khandra pun tidak tahu penilaian, hanya Guru Besar yang paham. Waktu dulu, dirinya seorang anak kecil tidak tahu apa-apa, seorang lelaki bercadar dengan jubah putih berkunjung dan mengajaknya ke padepokan itu. Tempat yang masih terlihat sama, Khandra mengedarkan pandang. Ada gapura kecil, Khandra lalu masuk ke dalam bangunan. “Guru Besar sudah menunggu, Senapati,” kata seorang lelaki yang mengantar tadi. “Terima kasih,” ujar Khandra lalu membuka pintu kayu tersebut. Terlihat seorang lelaki berjubah putih dengan cadar masih setia menutup mulutnya. “Sudah sangat lama sekali, Khandra,” ujarnya tanpa menoleh, dia masih sibuk memperhatikan lontar yang ada di tangannya. “Pasti ada hal serius terjadi hingga membawamu berku
Musyawarah untuk mencapai mufakat dilaksanakan di ruang pertemuan Istana Utama, bersamaan dengan itu Guru Besar dan juga Khandra sudah sampai di tempat. Khandra mengedarkan pandang melihat sekeliling. “Hormat hamba kepada Guru Besar,” ujar Kayana menyatukan kedua tangan ke arah depan melihat sang guru berdiri di dekat pintu. Guru Besar menganggukkan kepala menerima hormat Kayana. “Ada apa ini, Kayana?” Khandra bertanya. “Permaisuri Rengganis mengumpulkan kita,” jawab Kayana, “mungkin untuk membahas Ki Kastara dan hari baik penobatan Ratu Rengganis,” lanjut Kayana. “Penobatan Ratu memang harus segera dilaksanakan agar tidak ada lagi orang-orang licik yang mengincar,” terang Guru Besar. “Permaisuri Rengganis memasuki ruangan!” teriak salah seorang prajurit. Orang-orang lalu berdiri di samping kanan-kiri menundukkan kepala saat Permaisuri Rengganis berjalan ke arah singgasananya. Suasana mendadak sepi sesaat, sampai akhirnya Petapa Bagaspati membuka
Rengganis mengernyit, dia berpikir keras antara lanjut atau melepaskan Nyi Gendeng Sukmo. Satu sisi dia ingin menjadi kuat, satu sisi lagi tidak ingin raganya dikuasai Nyi Gendeng Sukmo. Iblis itu berbahaya, tetapi Rengganis pun menginginkan. Khandra dan Guru Besar saling menatap, mencoba memahami dilema Rengganis. Bagaimana pun dia seorang Ratu masa depan, kekuatan memang penting guna melindungi diri dan bangsanya. “Permaisuri apa pun keputusannya, saya selalu mendukung,” ujar Khandra. “Jika memang Permaisuri tidak mau kekuatan itu hilang, kita bisa menekan jiwa Gendeng Sukmo, menguncinya. Lalu memanfaatkan energi kekuatan yang Gendeng Sukmo punya. Namun, jika Permaisuri tidak mampu bertahan, kita harus segera mengeluarkan saja jiwa wanita tersebut. Dalam artian kita harus mencari Empu Jagat Trengginas,” terang lelaki berwibawa itu. “Ada apa dengan Guru Jagat Trengginas?” Khandra bertanya. “Yang bisa mengeluarkan jiwa Gendeng Sukmo dari Raga Rengganis hanya
Trash! Tangan Guru Besar mengayunkan kembali tongkat untuk menghalau sabetan Nyi Gendeng Sukmo dalam tubuh Rengganis yang di arahkan kepada Senapati Kerajaan Baskara itu. Terjadi tarik menarik antara Nyi Gendeng Sukmo dengan Guru Besar di mana ujung selendang merah tersebut menggulung di tongkat milik Guru Besar. “Kurang ajar, lepaskan!” teriak wanita itu. Khandra memulihkan tenaga dengan cepat, melihat Nyi Gendeng Sukmo yang sibuk menangani Guru Besar. Pemuda itu langsung menarik selendang merah lalu mendorong tubuh Rengganis. Wanita itu melayang melompat ke arah lain. Terjadi tarik-menarik antara Khandra dan Gendneg Sukmo memperebutkan selendang merah. Hingga akhirnya Guru Besar melemparkan tongakat miliknya. Trak! Bagh! Tongkat itu mengenai tubuh Rengganis yang dikuasai Gendeng Sukmo. Brugh! Tubuh Rengganis terkantuk ke meja. Prang! Bunyi kendi tempat air beserta beberapa gelas tanah liat jatuh ke lantai. Guru Besar memperhatikan dengan seksama, takut jika sesuatu t
Next Novel: Tumbal Pengantin Iblis By: KarRa “Awalnya Kalina menerima balutan bibir itu, hingga sebuah bayangan muncul samar dalam ingatan. Sosok lelaki tampan tertutup cahaya putih, spontan Kalina mendorong tubuh Elard. “Maaf,” pinta Kalina merasa bersalah. Tidak terbersit dirinya untuk mendorong Elard, hanya saja bayangan yang selalu mengintai itu sangat menyiksa, menyesakkan dada. “Kau baik-baik saja, Sayang?” tanya Elard mengernyitkan kening melihat wajah sang kekasih pucat pasi. “Kau---?” “Bayangan dalam mimpiku terlintas dalam ingatan. Aku lelah jika harus seperti ini,” keluh Kalina. Dia mengingat setelah insiden kecelakaan dirinya sering bermimpi bertemu dengan seorang lelaki bersayap, lelaki tampan bak malaikat. Namun, bayangan lelaki itu kini semakin sering muncul, bahkan saat dirinya berdekatan dengan Elard. Sang tunangan pun tahu, Elard orang yang tahu tentang mimpi yang dia alami. Mimpi, tentu saja bukan. Apa yang terjadi pada Kalina
Pertempuran berlangsung cukup lama, Ki Kastara memiliki beberapa pendekar bayangan dengan ilmu bela diri dan kanuragan tinggi. Crask! Terdengar daging yang dihunus. Crash! Sebilah pedang berlumur darah berhasil merobek perut lawan. Teriakan menggema tanpa henti, beberapa prajurit Baskara sudah mulai tumbang. Anak buah Ki Kastara banyak yang tumbang. 'Kurang ajar, bagaimana mungkin mata-mata yang aku taruh di padepokan Elang Putih tidak memberi kabar jika Guru Besar keluar?' Ki Kastara memperhatikan satu per satu kesatria bayarannya tewas mengenaskan. Lelaki itu menggertakkan gigi hingga bergemeletuk. 'Apa mungkin mereka tewas? Atau jangan-jangan malah kabur?' dengkusnya masih dalam hati. Beberapa waktu sebelumnya, di mana aura berbeda melingkupi Padepokan Elang Putih. Saat itu Guru Besar tengah memberi arahan pada murid didiknya. Lelaki itu mendadak berhenti dan menoleh ke arah kanan-kiri serta atas, membuat beberapa murid kebingungan bukan main. Saat ini mereka tengah dud
Empu Jagat Trengginas menutup mata, merasakan kesejukan, dunia pak tua itu terkesan damai. Suara-suara binatang hutan memekik perlahan memudar, pun bunyi-bunyian khas hutan menjadi tidak terdengar. Lelaki sepuh tersebut masih memusatkan perhatian pada satu titik. Menyatu bersama alam, mendadak waktu bahkan seperti lambat berjalan dalam satu pusat pikiran. Hingga setetes air dari daun yang menetes jatuh ke kubangan pun terdengar. Clang! Air itu jatuh, Empu Jagat Trengginas tersenyum mendengar derap langkah kuda. Aura yang sangat dia kenal terasa meski jarak mereka berjauhan. Daun dari ranting pohon mulai berguguran tertiup angin. Empu Jagat Trengginas membuka mata, gerakannya secepat kilat berlari menyusuri hutan tanpa kendala, ah bukan tanpa kendala. Hanya saja gerakan lelaki sepuh iru terlampau cepat. Bertepatan pada daun jatuh di tanah. Kaki lelaki itu melompati ranting pohon lalu menapak di tanah. Seorang lelaki gagah menunggang kuda kemudian menarik tali. Kuda me
Sudah berhari-hari Kayana dan juga pasukan kesatria bayangan berkeliling hutan tanpa tahu jalan keluar. Mereka sudah merasakan gusar lantaran berulang kali melewati tempat sama. Mereka turun dari kuda kemudian duduk di akar pohon besar yang menjulang keluar tanah. Mereka tampak lelah dan letih secara bersamaan. Seorang lelaki tiba-tiba datang melompat dari atas pohon. Kakinya berpijak di tanah kering dengan tangan membawa bungkusan daun. "Kau lama sekali mencari makan," ujar Kayana. "Ah, maaf. Aku baru mengisi bumbung air untuk kita minum di air terjun arah sana. Ini sudah kesekian kalinya berputar-putar di tempat yang sama," keluh lelaku itu meletakkan buah-buahan hutang yang di pertik di tanah dekat mereka semua duduk. "Sepertinya kita terkena uyut mimang," ujar salah seorang. "Ah, sungguh sial!" keluh Kayana menggaruk kepala. "Ketua, sekarang kita harus bagaimana?" Salah seorang lagi bertanya pada Kayana membuat lelaki itu semakin pening.
Rengganis dan Guru Besar sempat berbincang-bincang sebelum Kayana pergi. Lelaki itu berpesan pada Khandra untuk berjalan ke arah berlawanan yang Kayana tuju. Perjalanan tidak tentu arah mencari Ki Kastara juga Empu Jagat Trengginas semakin pelik. Jika Sajani berjalan ke arah ujung utara demi meminimalisir pencarian. Sebenarnya jalan yang di tempuh ketiga kesatria tersebut sudah dalam saran Guru Besar. Kini sepasang kesatria elang putih terpisah di jalan masing-masing. Pun tidak jauh berbeda dengan Khandra yang diutus Guru Besar menjelajahi arah selatan. Berharap Empu Jagat Trengginas dapat ditemukan. "Guru, guru mengatakan jika di arah utara banyak sekali hutan yang berkabut tertutup uyut mimang. Apa Kayana akan baik-baik saja?" tanya Rengganis usai Gautam dan Goga meningggalkan istana. "Tenang saja, Kayana bukan sembarangan pendekar bela diri tanah air. Dia salah satu murid terbaik yang hamba miliki," ungkap Guru Besar yakin. "Semoga saja Empu Jagat Trengginas da
Saat Rengganis dan juga Guru Besar yang sesungguhnya merupakan Mang Damar itu tengah membahas serius kelanjutan rencana. Di luar Istana sudah dibuat geger akan kemunculan para bandit. Siapa lagi jika bukan Gautam dan Goga. Mereka muncul dengan mendorong gerobak berisi mayat Madhavi. Para warga berteriak histeris antara terkejut dan takut. Hingga keributan itu terdengar sampai ruangan Taman Sari. “Ada ribut apa di luar?” tanya Rengganis teralihkan perhatian atas teriakan orang-orang. Mang Damar menutup mata, dia mencoba merasakan aura yang ada di sekitar. “Nampaknya ada tamu tidak terduga berencana bertemu Permaisuri,” kata Mang Damar tersenyum. “Tapi saat ini saya tidak bisa menerima tamu, Mang Damar pun paham dengan keadaan saya, bukan?” “Sungguh sangat paham, tetapi jika tidak ditemui nantinya Permaisuri yang akan repot,” ujar Mang Damar. “Baiklah, selama Guru Besar berada di samping saya,” jawab Rengganis. Mang Damar kembali menggunakan ca
Sajani merasa tak enak hati, takut pula jika para bandit tersebut bersikap tidak suka akan tindakan tidak sopannya. Gautam dan Goga memandang tajam bak menguliti. Lalu keduanya terbahak membuat perut buncit itu mengangguk-angguk. “Maaf atas ketidaksopanan saya,” kata Sajani lagi. “Hahaha … tidak masalah Cah Ayu, aku bahkan dengan senang hati akan mengantarkan kau ke arah sumber suara,” ujar Gautam lantas berdiri. Sajani tersenyum angkuh, “Jika Kisanak tidak keberatan,” sambut Sajani tersenyum. “Hahaha … dasar wanita culas!” ejek Goga. Sajani hanya tertawa mencibir, dia tidak akan mengambil hati pada ucapan kasar terkesan sampah yang terlontar dari mulut para bandit. Karena memang demikianlah mereka. Mereka pun melangkah ke arah sumber suara. Mata Sajani melebar menangkap sosok wanita tidak asing tengah dilecehkan seorang lelaki. “Kau kenal dengannya bukan?” Gautam bertanya seraya bersandar pada dinding gua pengap itu. “Ma … Madhavi,” bisikny
Derap lompatan kaki kuda terdengar, sebagai pertanda sang empunya terlalu tergesa memacunya. Kayana menatap lurus ke arah depan, mulai membelah hutan yang mulai dingin nan lembab. Belum lagi guyuran hujan turut serta. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan langkah. Demi mencari pelaku kejhahatan yang sesungguhnya tidak peduli semak berduri maupun hujan lebar diterjang. “Kayana, kita sudah berjalan terlalu lama, mari istirahatkan diri,” teriak salah seorang kawan. Kayana menarik tali kuda membuat terhenti, dia menoleh sekeliling yang ditemui hanya pepohonan tertutup semak-belukar. “Kita istirahat jika menemukan perkampungan, akan sangat bahaya jika berada di hutan asing. Terlebih banyak bandit berkeliaran di saat cuaca seperti ini,” ujar Kayana. “Baiklah, mari bergegas!” ajak salah seorang. Hyat! Mereka kembali memacu kuda membelah semakin belukar, entah akan sampai mana mereka berjalan tanpa tentu arah tersebut. hutan terlalu mengerikan juga membuat tersesat.
Rengganis memeluk tubuh Khandra, lelaki itu tersenyum berusaha membuat nyaman sang permaisuri. Entah bagaimana mengartikan hubungan keduanya. Baik Khandra maupun Rengganis pun tidak paham. Rengganis menutup mata, menghidu aroma keringat Khandra yang khas. Rasanya sungguh menenangkan, Permaisuri Rengganis benar-benar terlena dia mempererat pelukan. Hingga tanpa sadar tangan itu menelusup ke bagian pakaian mirip rompi yang dikenakan Khandra saat ini. Tangan halusnya meraba perut rata, berotot, dan berbentuk selayaknya lelaki perkasa. Mendapat perlakuan itu darah Khandra berdesir. Aroma wangi rambut Rengganis membuat sisi lain lelaki itu bangkit. Ada keinginan menarik segera sang permaisuri agar kembali berbaring kemudian membuat berteriak di bawahnya. Sayang, bayangan wajah pias Rengganis usai sadar tadi berlarian dalam ingatan Khandra. Tidak kuasa ia bertindak terlalu jauh. Khandra menghela napas berat. "Permaisuri, apa tidak sebaiknya saya pergi setelah Kayana dan pasukan baya