Di seberang sana, dada bidang Aldan kembang kempis mendengar ucapan Hendrawan. Tatapan matanya membulat pada layar ponsel kloningan.“Gak mungkin. Gak mungkin. Mustahil.” Aldan menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya.“Apa mungkin selama ini Hendrawan sudah tau identitas Bos? Apa dia mematai-matai Bos?” Faizal juga terkejut.“Jika Hendrawan diam-diam sudah tau identitasku, maka gak ada pilihan lain selain membunuhnya malam ini juga.” Aldan berkata sangat serius dengan tatapan tajam. Aldan dan Faizal tak mengalihkan pandangan ke arah layar remote kontrol, mereka menunggu ucapan Hendrawan berikutnya.Sementara itu, Wahyu juga sempat terkejut. Namun, di detik berikutnya dia malah tertawa.“Omong kosong macam apa yang kamu katakan?” Wahyu yakin Hendrawan berbohong. Mustahil anak Chandra masih hidup. Wahyu masih terkekeh, lalu dia bertepuk tangan dengan sorot mata mengejek pada Hendrawan, “Bakatmu memang gak perlu diragukan lagi. Kamu pantas meraih penghargaan nobel.” Hendrawan ikut
“Lepaskan aku!” Wahyu berteriak sekencang mungkin ketika rambutnya dijambak Hendrawan. “Akhhhhhh ... Hentikan, bangsat!” Wahyu berteriak kesakitan ketika jambakan itu semakin keras. Namun, iblis di dalam diri Hendrawan justru semakin semangat untuk menyiksa mangsanya. Bahkan dia mencabut paksa beberapa rambut dari kulit kepala Wahyu. “Akkhhhh ...” Sakit yang dirasakan Wahyu benar-benar tak tertahan. Wajahnya memerah dan mata berair, kulit kepalanya ada bercak darah yang timbul. “Ini baru permulaan, Wahyu.” Hendrawan menyeringai tajam. “tapi aku bisa berbaik hati jika kamu berterus terang. Ada dimana rekamannya?” Wahyu benar-benar terdesak. Dia tidak ingin memberikan rekaman itu, tetapi dia juga tak mau mendapat penyiksaan dari Hendrawan. Dia sangat mengenal karakter sang kepala polisi itu, siksaannya pasti jauh lebih mengerikan dari kematian. “Kamu harus membayar semua penghinaanmu padaku. Kemarin anak buahmu memotong asal rambutku. Jadi sekarang gantian, aku akan membalasmu
Beberapa menit kemudian.“Bangunkan dia,” titah Hendrawan dengan senyuman seringai di bibir. Dia sudah tidak sabar menunggu untuk menyiksa Wahyu.“Asssiiaaapppppp.” kedua anak buah Hendrawan kegirangan karena juga tak sabar segera mempermainkan Wahyu.Kedua anak buah Hendrawan mulai bekerja sama membangunkan paksa Wahyu. Satunya mengoleskan lagi sedikit kotoran manusia ke hidung Wahyu, satunya lagi menekan jempol kaki Wahyu dengan sangat kuat.Usaha mereka membuahkan hasil, hidung Wahyu mulai mendengus-dengus. “Gurih 'kan rasanya? Sampek kamu bangun dari tidurmu,” ejek Hendrawan tertawa, kedua anak buahnya pun ikut tertawa.Pengaruh bau kotoran manusia di hidungnya sangat kuat, Wahyu merasa kunang-kunang sambil terus perlahan membuka kedua matanya. Hidungnya masih mendengus-dengus bau yang menyengat, bibirnya juga merasakan ada sesuatu yang aneh. Lidahnya tak sadar menjulur ke luar, dan tiba-tiba saja dia muntah ke depan.“Gimana rasanya, Wahyu? Enak, bukan?” Hendrawan tertawa terbah
Dua menit lamanya, lakban yang membekap mulut Wahyu baru di lepas. Dia pun langsung memuntahkan semua kotoran manusia barusan dia makan. Sementara Hendrawan dan anak buahnya menjauh untuk menghindari muntahan itu.Setelah merasa cukup menunggu, anak buah Hendrawan menggunakan air kran yang ada di sana untuk menyemprot tubuh Wahyu.Hendrawan tersenyum penuh kemenangan. Wajahnya begitu semringah melihat Wahyu begitu tersiksa.“Ada apa denganmu, Wahyu? Mana kesombonganmu? Katanya mau membunuhku?” sorak Hendrawan dengan tatapan mengejek sembari mendekat dengan jarak 2 meter dari Wahyu. Lalu dia membusungkan dan menepuk dadanya. “Apakah kamu lupa berhadapan dengan siapa?”“Maafkan aku, Hendrawan. Aku menyesal sudah menantangmu. Tolong lepaskan aku. Aku janji akan melakukan semua perintahmu, termasuk memberikan rekaman itu padamu.” Wahyu terpaksa memohon semelas-melasnya agar Hendrawan punya belas kasihan sedikit saja. Meskipun dibilang mustahil, yang penting berusaha dulu.Hendrawan tersen
Hendrawan menghentikan langkahnya dan kembali mundur ke belakang, membuat wajah wahyu semringah.“Kamu gak bisa membunuhku, Hendrawan. Kartua As-mu berada di tanganku.” seru Wahyu, tetapi dia tak berani tertawa karena takut Hendrawan menyiksanya lagi.“Mari berdamai, Hendrawan. Mari bekerja sama seperti biasanya. Kita partner, sahabat, saudara. Kita harus saling menjaga. Ingatlah persahabatan kita sudah puluhan tahun,” susul Wahyu kemudian. Dia berusaha menyadarkan Hendrawan, meski tujuan utamanya adalah menyelamatkan diri dari kematian.Hendrawan mendadak tertawa renyah, dan berganti dengan tatapan sorot mata merendahkan, “Siapa bilang aku gak akan membunuhmu? Gertakanmu gak berarti. Aku barusan mundur karena aku jijik melihat tubuhmu tercampur dengan berak.”Wahyu kembali panik, apalagi Hendrawan memberi isyarat pada kedua anak buahnya untuk melakukan sesuatu yang mengerikan.“Jangan bunuh aku! Rekaman itu hanya aku dan seseorang yang tau ada dimana. Jika dia tau aku mati, rekamanny
Aldan dan Faizal bersitatap dengan tatapan penuh arti. Lalu mereka turun dari mobil untuk menghadapi seseorang yang diduga anak buah Hendrawan.“Ya, Pak? Ada apa menyuruh kami turun?” tanya Aldan berpura-pura penasaran.“Kalian mau kemana?” tanya orang itu penuh selidik.“Kami mau ke Menteng, Pak. Memangnya ada apa ya, Pak?” Aldan merespon dengan ramah.“Baiklah, pergilah. Hati-hati di jalan. Aku petugas keamanan hanya mau memastikan gak ada penjahat yang lewat sini,” kata orang itu.Alasan yang diberikan orang itu terlalu mengada-ngada, membuat Aldan dan Faizal terkekeh geli dalam hati.“Ya, Pak. Terima kasih. Selamat bertugas,” ucap Aldan.“Mari, pak. Kami pergi dulu,” sambung Faizal.“Ya, silahkan.” Aldan dan Faizal kembali naik mobil. Faizal segera melajukan mobilnya sebelum orang itu berubah pikiran dan memeriksa lebih dalam. Setelah menjauh, pasukan white master itu tertawa terbahak-bahak.“Bodoh sekali! Petugas keamanan katanya,” kekeh Faizal.“Huhhh beruntung sekali dia gak m
“Akhhhh ....” Wahyu menjerit kesakitan ketika sebuah peluru menyapa telapak tangan kirinya hingga berlubang, darah segar pun mengalir deras.Wahyu merasa hidupnya benar-benar sudah tamat. Hendrawan pasti akan membunuhnya setelah flashdisk berisi rekaman pembunuhan itu sudah diserahkan.Sementara Hendrawan begitu lihai memainkan pistol di tangan dengan tatapan mata berkilat iblis. Baginya, Senjata adalah mainan. Sudah banyak korban berjatuhan di tangannya.“Malam ini adalah malam yang spesial bagiku, karena orang yang aku bunuh adalah sahabatku sendiri,” seru Hendrawan sembari mengarahkan pistol ke arah Wahyu. Namun, di detik berikutnya dia menurunkan pistol itu lagi, perlahan senyuman licik terbit di bibirnya. “Tapi aku mau kasih kesempatan hidup untukmu. Jarang-jarang loh aku berbaik hati pada musuhku. Aku akan membiarkanmu tetap hidup asal kamu mengatakan siapa yang menyuruhmu? Siapa orang yang menginginkan kematianku?”Wahyu terengah dengan wajah memerah, giginya bergemelatuk menah
Aldan dan Faizal berangkat menuju kawasan kantor polisi tempat Hendrawan bertugas. Mereka harus sampai terlebih dahulu di sana.Di tengah perjalanan tiba-tiba ponsel Aldan berdering. Nama Adelia terpampang di layar.Aldan berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangkat telepon itu, “Ya hallo, sayang.”“Ada dimana? Lama banget,” keluh Adelia terdengar cemberut.“Servicenya ngantri, sayang,” kilah Aldan.“Sekarang udah pulang?” “Belum, sayang.”“Lah itu suara mobil.” Adelia mulai curiga.“Hehe mau cari baju dulu. Sabar ya sayang, bentar lagi aku pulang kok,” kilah Aldan dengan suara lemah lembut agar Adelia mempercayainya.“Yaudah cepetan, jangan lama-lama,” pinta Adelia kesal.“Oke, daaahhh,” kata Aldan, lalu dia mematikan sambungan telepon setelah ada jawaban serupa dari Adelia.Setelah itu, Faizal mempercepat laju mobil. Kurang lebih dari 15 menit akhirnya tiba di daerah kantor polisi.“Sekarang apa rencana Bos?” tanya Faizal penasaran sembari meminggirkan mobil ke pinggir jalan.“Sebe
Di ruang tengah, Faizal dan Adelia tampak semangat mengerjakan tugasnya masing-masing. Faizal membuat beberapa akun berbagai media sosial untuk memanas-manasi perusahaan media agar meliput berita lama kasus Joshua Suherman yang masa tahanannya kurang dari 1 tahun.Sementara Adelia, dia mencari jenis-jenis kalung liontin di google. Meski matanya memerah efek tidak tdur semalaman, dia tetap semangat mencari sebuah petunjuk.“Faizal bagaimana? Sudah selesai?” tanya Adelia. Lalu dia menyruput kopi untuk memghilangkan rasa kantuk.“Sudah selesai. Tinggal menunggu respon. Semoga cepat trending. Semoga cepat dilihat dan dikomentari banyak netisen, biar seluruh media di Indonesia bakalan berlomba-lomba meliput kasus Joshua Suherman yang trending di medsos,” jawab Faizal sembari tetap bercelancar di dunia maya.“Sip. Kebobrokan hukum di Negara ini harus segera dibongkar.” Adelia mengerjap berulang kali untuk menghilangkan rasa kantuk yang semakin menyerang, dan akhirnya dia menggerakkan kedua
Verra dan Rangga sudah ada di depan pintu ruangan ceo.“Selamat pagi, bu Dhea.” Verra mengetuk pintu dengan sopan.“masuk,” sahut Dhea dari dalam.Verra dan Rangga masuk ke dalam. Mereka melirik ke arah Aldan yang sudah ada di sana. Seketika mereka bernapas lega melihat asisten manager keuangan itu tampak dalam keadaan sehat.“Duduklah,” kata Dhea.“Baik, Bu.” Verra dan Rangga memilih duduk di samping Aldan.“Ada keperluan apa kalian datang kesini?” tanya Dhea.“Barusan kami melihat pak Lukman dibawa polisi. Beliau katanya ditangkap karena terbukti menyuruh karyawan lainnya untuk mencelakai Putra. Jadi kami kesini untuk memastikan kalau Putra baik-baik saja.” Verra menjawab dengan sesekali menoleh ke arah Aldan yang duduk di sampingnya.Aldan melebarkan senyuman, “Saya baik-baik saja. Tuhan menolong saya dari kecelakaan.” Aldan memposisikan diri sebagai karyawan, bicaranya lebih sopan dan formal.Verra lagi-lagi bernapas lega. Dia benar-benar mengkhawatirkan Aldan. Padahal pria yang d
Aldan mengulurkan tangan, tetapi langsung ditepis oleh Lukman. “Jangan banyak gaya. Hadapi aku kalau berani!” raung Lukman penuh emosi. “Baiklah.” Aldan malah tersenyum santai. “Bapak tinggal pilih para napi mana yang ingin Bapak ajak berduel di dalam penjara.” Setelah mengatakan itu, Aldan tertawa lepas dengan mata menghina. Bahkan Dhea dan 3 orang polisi juga melemparkan tawa penuh ejekan. Tentu saja Lukman merasa terhina, tetapi keberaniannya justru semakin menciut. Tubuhnya gemetaran dengan detakan jantung yang berbunyi kencang. “Seret Pak Lukman,” titah Dhea menahan tawa. “Baik, Bu.” Ketiga orang polisi mengangguk dan melangkah mendekati Lukman. “Mau apa kalian, hah?!” bentak Lukman ketika 3 orang polisi mulai bekerja sama meringkus dirinya. “Bapak jangan melawan.” Salah satu polisi memasang borgol di tangan Lukman. “Lepaskan saya! Aku tidak bersalah!” teriak Lukman ketika 3 orang polisi mulai menyeretnya ke luar. Namun, tenaganya tak cukup untuk melawan. “Bapak ikut sa
“Kurang ajar! Beraninya kamu menjebakku!” teriak Lukman menatap Aldan dengan mata melotot. “Kamu tukang fitnah! Pasti kamu bersekongkol dengan Santoso 'kan? Cepat ngaku!”Aldan hanya tersenyum kecut sembari menggelengkan kepala ke arah Lukman yang tengah menatapnya dengan wajah merah padam. “Bangsat! Tukang fitnah!” raung Lukman sembari menunjuk kasar pada Aldan. Lalu dia menoleh ke arah Dhea dengan memasang wajah serius. “Saya harap Ibu tidak percaya dengan fitnahnya. Tidak mungkin saya melakukan perbuatan sekeji itu. Ini pasti jebakan untuk menyingkirkan saya. Putra dan Santoso pasti bersekongkol menjebak saya. Dari awal saya sudah curiga kalau Putra bukan orang baik-baik. Putra selalu berusaha menyingkirkan saya dari perusahaan. Putra punya ambisi untuk menjadi sekretaris di perusahaan cosmo indofood.”“Sudah selesai mengoceh?” sindir Dhea dengan senyuman kecut.Dhea memutar video rekaman itu kembali yang menunjukkan Santoso sedang menghubungi Lukman. Di sana diperdengarkan sang
Pagi hari ini, Adelia membuat sarapan roti canai untuk Aldan dan Faizal. Mereka makan bersama-sama di ruang tengah.“Ow ya aku baru nyadar, kemarin kamu kok naik gojek? Kemana motormu?” tanya Adelia sembari menuangkan susu tambahan di roti canai.“Ow motorku rusak. Kemarin ditinggal di kantor,” jawab Aldan berbohong. Lalu dia menguyah roti canai miliknya.Sementara Faizal hanya fokus menyantap makanan di depannya, meskipun dalam benaknya sangat yakin motor Aldan rusak karena ada tangan jahil.“Eh aku berangkat ngantor dulu ya. Tukang gojeknya udah nungguin di depan.” Aldan bangkit dari duduknya sembari jari-jemarinya mengetik pesan di ponsel.“Iya, semangat. Fokus kerjanya. Urusan kalung liontin biar aku dan Faizal yang nyari,” ucap Adelia dengan senyuman kecil.“Aku juga akan mengompori beberapa media buat mengangkat kasus Joshua. Jadi Bos nikmati saja kehidupan di kantor, hehe,” sambung Faizal. Aldan tersenyum pada Faizal dan Adelia, “Thanks, aku bersyukur bisa mengenal kalian berd
Pada saat Adelia menuruni anak tangga pertama, dia menghentikan langkah ketika melihat di bawah sana kekasihnya sedang tidur pulas.“Nanti aja deh. Kasian aku,” gumamnya sembari memutar badan dan kembali melangkah ke dalam kamarnya.Adelia duduk di tepi ranjang dan mengamati kalung liontin berwarna putih yang ada di genggaman tangan.“Mungkinkah ini alasannya kenapa kalung ini seakan-akan menolak jika setiap kali aku ingin menguploadnya di medsos? Kalung ini ingin aku menjaganya agar gak jatuh ke tangan Hendrawan dan komplotannya, karena kalung ini bisa menjawab teka-teki siapa orang yang telah menyuruh mereka untuk membunuh orang tua Aldan,” ucap Adelia sembari membolak-balikkan benda berharga itu. “Jangan-jangan sebelum terjadinya insiden pembunuhan, pemilik kalung ini datang menemui Mamanya Aldan di rumahnya,” Adelia berhenti sejenak. Tatapannya menerawang jauh, mencoba menebak-nebak kejadian di rumah Aldan 10 tahun silam.“Dia ingin memberikan kalung ini pada Mamanya Aldan sebaga
“Itu artinya oknum-oknum aparat penegak hukum main belakang dengan Joshua. Mereka menyuruh Joshua pergi ke luar negeri untuk menghindari hukuman. Dan ketika masa tahanannya sudah jatuh tempo, Joshua akan kembali ke Indonesia dan menampakkan batang hidungnya ke publik. Dengan begitu publik akan percaya kalau selama 12 tahun Joshua ada di balik jeruji besi sesuai dengan masa tahanan. Dan jelas sekali bau bangkai di tubuh kepolisian akan tercium harum.” Adelia melanjutkan penjelasannya dengan mengekspresikan melalui gerakan tangan. Tatapan matanya menunjukkan bahwa dirinya sangat geram dengan permainan hukum yang dimainkan aparat penegak hukum di Negaranya.“Wahh sungguh hebat oknum-oknum di tubuh Pemerintah melakukan acara jual beli hukum,” lanjut Adelia sembari menggeleng-gelengkan kepala. Selain merasa geram, tatapannya juga penuh kekecewaan pada hukum di Negeri ini.“Lalu apa yang kamu dapatkan? Apa kamu punya rencana?” tanya Aldan berpura-pura penasaran. Sebenarnya ini hanya pancin
Adelia berhenti mengingat masa kecilnya. Saat ini dia lebih memikirkan perasaan Aldan.Adelia ikut merasakan apa yang dirasakan Aldan. Dia yakin kekasihnya mengalami kepedihan hidup dalam bayang-bayang pembunuhan tragis orang tuanya di depan matanya sendiri. Dia paham pria tampan itu tak mudah menjalani hidup yang dibenci kerabat-kerabatnya sendiri akibat korban fitnah, apalagi penjahat-penjahat itu masih berkeliaran menghirup udara bebas.Adelia menggeleng-gelengkan kepala dengan tatapan menerawang jauh, “Ternyata Hendrawan lebih jahat dari apa yang kubayangkan. Dia bukan hanya benalu yang suka mempermainkan hukum, ternyata dia juga seorang pembunuh yang sangat kejam.”“Hendrawan, Wahyu, dan pria bersepatu bukan seorang manusia. Mereka seorang iblis yang menyamar. Dan seorang iblis harus dimusnahkan,” sahut Faizal sembari mengepalkan tangan dengan tatapan penuh amarah.“Biar Tuhan yang menghukumnya,” tanggap Adelia sembari menatap Aldan yang tengah terlihat bersedih dan marah.Adelia
“Aku akan bunuh kalian!” seru Aldan dengan suara meninggi di bawah alam sadarnya. Wajahnya semakin memerah, air mulai ke luar dari matanya. Tangannya juga terkepal sempurna.Adelia yang duduk di sampingnya semakin penasaran dengan mimpi buruk yang dialami kekasihnya. Awalnya dia mengira mimpi kekasihnya hanya sebatas bunga tidur, tetapi melihat reakasi yang ditunjukkan kekasihnya seperti memimpikan kejadian kelam di masa lalu.Di titik ini, Faizal yang tidur di kasur lipat sebelah Aldan, terbangun dan mendapati Adelia yang duduk di samping tubuh sang Bos yang tengah beraksi akibat mimpi buruk.“Putra kenapa?” tanya Adelia pelan pada Faizal.“Gak tau. Mungkin hanya mimpi buruk,” jawab Faizal sembari mengedikkan bahu. Dia berbohong, sebenarnya diirinya tahu kalau Aldan bukan hanya sebatas mimpi buruk.“Putra.” Adelia memanggil dengan lembut sembari mengusap keringat dan air mata Aldan. “Kamu mimpi apa sih.”“Papa! Mama!” Aldan berteriak sembari membuka matanya lebar-lebar. Dia terbangun