Sari meminta pada semua orang untuk pulang meskipun pesta belum waktunya selesai. Saat ini dia sedikit syock atas kejadian barusan.Sementara, Verra menghubungi Hendrawan, “Pa ada dimana? Papa baik-baik saja 'kan?”“Papamu orang hebat, gak akan ada yang bisa mencelakai Papa. Sekarang Papa ada di jalan, mau ke kantor polisi,” kilah Hendrawan di seberang sana.“Hati-hati, Pa.”“Siap, Malaikatku.”Saat sambungan telepon terputus, Hendrawan kembali memasang wajah penuh amarah. Dia menambah kecepatan laju mobil di atas rata-rata. Padahal itu sudah melanggar lalu lintas, bahkan dia diteriaki pengendara lain untuk menurunkan kecepatannya.Hendrawan tidak peduli. Dia seorang polisi yang bisa berbuat seenaknya, apalagi pengendara lainnya tidak menyadari siapa yang mengendalikan mobil itu.“Wahyu, Aku akan memberikanmu pelajaran.” Hendrawan kesal. Tatapan menerawang jauh, dia tak menyangka sahabatnya sendiri ingin membunuhnya.***Aldan masih belum pulang. Dia berpura-pura ikut cemas atas keja
Rangga mengantar Aldan pulang. Setiba di rumah kontrakan, Aldan berpura-pura sakit perut. “Kamu langsung pulang, ya.” Aldan turun dari mobil sembari memegangi perutnya. “ow ya terima kasih. Ketemu besok.” “Padahal aku ingin mampir sebentar.” “Perutku sakit banget. Lagian ini sudah malam, gak enak aku sama tetangga nerima tamu malem-malem. Besok saja mainnya,” kilah Aldan berpura-pura semakin terlihat kesakitan. “Oke, deh.” Aldan berlari ke arah rumahnya, seolah-olah tidak tahan lagi ingin segera buang air besar. Sementara Rangga melajukan mobilnya dengan ekspresi wajah sedikit kecewa. Di dalam rumah kontrakan, Faizal sudah menunggu. “Gimana pekerjaanmu?” tanya Aldan. “20 menit yang lalu aku sudah mencampuri minuman Nona Lia dengan obat tidur. Sekarang dia sudah terlelap, aku juga sudah memasang cctv dan beberapa jebakan di sekitar rumahnya buat berjaga-jaga kalau ada musuh datang. Dan sebentar lagi Dani Bahri akan datang menjaga sekitar daerah sini,” ungkap Faizal. “Bagus. Jam
Aldan membopoh tubuh Hendrawan masuk ke dalam mobil. Aldan menyetir mobil milik Hendrawan dan membawanya ke suatu tempat, mengikuti laju mobil di depannya yang dikemudikan oleh Faizal.Tiga puluh menit kemudian, mereka berhenti di depan rumah yang disewa dalam waktu semalam. Sebelum turun dari mobil, mereka mengawasi situasi sekitar.Merasa situasi aman, Aldan dan Faizal bahu-membahu menurunkan dan membopoh tubuh Hendrawan ke dalam rumah itu.“Tubuhnya berat dengan dosa,” ucap Aldan sembari mendudukkan tubuh Hendrawan di kursi yang ada di salah satu kamar.“Kalau gitu kempesin tubuhnya biar gak berat,” sahut Faizal sembari mengeluarkan tali di dalam tas.“Caranya?” “Tusuk perutnya,” jawab Faizal tertawa, Aldan pun ikut tertawa. Lalu mereka mengikat tubuh Hendrawan.“Akhirnya aku bisa menghukum seorang iblis.” Aldan menatap Hendrawan dengan senyuman seringai. “10 tahun aku menunggu momen ini. Tapi aku gak akan membunuhnya sekarang. Dia harus merasakan sakit dan penderitaan sepuluh rib
“Apa? Katakan saja apa yang kalian mau.” Hendrawan cepat tanggap.“Anda serius? Anda yakin bisa memberikannya pada kami?” tanya Aldan, masih mengulas senyuman licik.“Iya aku serius. Apapun yang kalian minta, berapapun harganya, aku akan memberikannya asal aku bisa pulang dari sini,” jawab Hendrawan meyakinkan.“Bagaimana kalau aku minta sesuatu yang paling berharga dalam hidup anda?” tanya Aldan memastikan.Hendrawan membisu sejenak, tetapi dia tak mau berpikir lama lagi. Yang terpenting saat ini dia bisa pulang dan membalasnya nanti, “Tentu saja. Aku akan menyerahkan apapun yang kalian minta.”“Hemm baiklah ... Aku dengar-dengar anda punya anak gadis.” Aldan menyeringai sembari menggerak-gerakkan lidahnya sebagai isyarat bahwa dia menginginkan anak Hendrawan.Mendengarnya, spontan wajah Hendrawan merah padam, “Bajingan! Jangan bermimpi—”Namun, suara lantang Hendrawan terhenti ketika sebuah pistol menempel di dahinya.“Bukankah anda bilang mau menyerahkan sesuatu yang paling berharg
Aldan berdiri di belakang tubuh Hendrawan. Lalu dia melepas lakban di mulut kepala polisi itu, “Enak, ‘kan?”Ketika lakban itu terlepas dari mulutnya, Hendrawan langsung memuntahkan semua yang ada di dalam mulut dan perutnya. Dia tidak peduli muntahan itu mengenai tubuhnya sendiri, yang terpenting ulat-ulat menjijikkan itu keluar dari tubuhnya.Aldan dan Faizal yang melihatnya tertawa terpingkal-pingkal. Meski mengubah rencana tak melukai Hendrawan, tetapi mereka tetap puas menjahili kepala polisi itu.“Gimana rasanya? Apakah makanan ini adalah makanan terlezat yang pernah anda makan?” tanya Aldan sembari memegangi perutnya yang sakit akibat tawa berlebihan.“Yaiyalah. Saking lezatnya, dia sampek muntah. Makan boleh, tapi jangan berlebihan dong, ” sahut Faizal, lalu dia tertawa lagi.Hendrawan menghiraukan ejekan kedua orang itu. Dia terus memuntahkan isi perutnya disertai dengan meludah berulang kali untuk menghilangkan bau dan rasa ulat-ulat itu yang melekat di lidahnya.Wajah Hendr
Aldan mengemudikan mobil milik Hendrawan ke arah daerah tempat tinggal Wahyu.Aldan tersenyum miring sembari menoleh ke arah Hendrawan yang duduk pingsan di samping kemudi, “Kau harus menderita di sisa-sisa hidupmu.”Aldan kembali fokus mengemudi, dia menambah kecepatan laju mobil.Tiga puluh menit berlalu, Aldan mulai memperlambat laju mobil ketika sampai di daerah tempat tinggal Wahyu.Aldan menghembus napas pelan dengan segurat senyuman, “Aku gak sabar menonton gladiator saling membunuh.”Aldan menghentikan laju mobilnya sekitar 50 meter dari rumah Wahyu. Faizal pun sudah ada di sana terlebih dahulu. Lalu, mereka turun dari mobil dan berjalan ke rumah Wahyu dengan membawa sebuah pistol.Aldan dan Faizal berjalan mengendap-ngendap memasuki kawasan tempat tinggal Wahyu. Perlahan senyuman miring terbit di bibir mereka ketika melihat banyak penjaga di sekitar rumah musuhnya.“Siapa kalian?” tanya salah satu anak buah Wahyu menghampiri dengan rasa kecurigaan.Aldan dan Faizal berpura-pu
Jam 2 dini hari, Hendrawan teperanjat kaget melihat dirinya sudah ada di mobilnya. Hal pertama yang dia pikirkan adalah Verra Kristian, anak kandung satu-satunya. Dia langsung mencari keberadaan ponsel miliknya.Dengan rasa cemas dan panik berlebihan, tangannya bergetar mengotak-atik ponselnya untuk menghubungi Verra.“Angkat, nak.” Hendrawan berkeringat dingin saat teleponnya tidak terjawab.Hendrawan menekan nomor telepon Verra lagi, “Verra angkat dong.”Namun, lagi-lagi teleponnya tidak terjawab. Rasa cemas dan panik pun semakin besar, dia berpikir Verra sudah diculik oleh kedua orang suruhan Wahyu.“Gak, gak mungkin.” Hendrawan menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir pikiran buruknya sendiri. Lalu dia segera menekan nomor telepon Verra lagi. “Putriku pasti baik-baik saja. Dia masih terlelap tidur, makanya gak menjawab panggilanku.”Telepon diangkat, betapa senangnya hati Hendrawan.“Halo, nak? Ini kamu, kah?” tanya Hendrawan penuh harap yang menjawab adalah Verra.“Ya, Pa? Ada
Jam 5.30, Adelia keluar dari kamarnya dalam keadaan masih mengantuk. Saat dia turun dan membuka pintu depan, perlahan senyuman manis terbit di bibir saat melihat Aldan sedang berolahraga.“Selamat pagi, boleh ikutan?” Adelia menghampiri Aldan.Aldan menoleh dan memberikan sebuah senyuman manis, “Pagi, Sayang. Baru bangun?”“Hehe iya. Entah kenapa ya akhir-akhir ini aku sering tidur lebih awal. Aku ngantukan, padahal sebelumnya aku tidur paling awal jam 11-an,” keluh Adelia sembari melenturkan otot-ototnya.“Ya bagus dong. Itu tandanya kamu disuruh jangan bagadang,” respon Aldan santai, tetapi sebenarnya dia merasa bersalah karena sudah 2 kali memberikan obat tidur tanpa sepengetahuan kekasihnya. Dia terpaksa melakukan itu untuk melancarkan aksi balas dendamnya.“Kerja gak hari ini?” tanya Adelia sembari melakukan pemanasan olahraga seirama dengan Aldan.“Iya dong. Kalau kamu?” “Aku di rumah aja. Aku sedang mempelajari kasus-kasus Hendrawan. Aku berharap menemukan bukti kuat yang memb
Di ruang tengah, Faizal dan Adelia tampak semangat mengerjakan tugasnya masing-masing. Faizal membuat beberapa akun berbagai media sosial untuk memanas-manasi perusahaan media agar meliput berita lama kasus Joshua Suherman yang masa tahanannya kurang dari 1 tahun.Sementara Adelia, dia mencari jenis-jenis kalung liontin di google. Meski matanya memerah efek tidak tdur semalaman, dia tetap semangat mencari sebuah petunjuk.“Faizal bagaimana? Sudah selesai?” tanya Adelia. Lalu dia menyruput kopi untuk memghilangkan rasa kantuk.“Sudah selesai. Tinggal menunggu respon. Semoga cepat trending. Semoga cepat dilihat dan dikomentari banyak netisen, biar seluruh media di Indonesia bakalan berlomba-lomba meliput kasus Joshua Suherman yang trending di medsos,” jawab Faizal sembari tetap bercelancar di dunia maya.“Sip. Kebobrokan hukum di Negara ini harus segera dibongkar.” Adelia mengerjap berulang kali untuk menghilangkan rasa kantuk yang semakin menyerang, dan akhirnya dia menggerakkan kedua
Verra dan Rangga sudah ada di depan pintu ruangan ceo.“Selamat pagi, bu Dhea.” Verra mengetuk pintu dengan sopan.“masuk,” sahut Dhea dari dalam.Verra dan Rangga masuk ke dalam. Mereka melirik ke arah Aldan yang sudah ada di sana. Seketika mereka bernapas lega melihat asisten manager keuangan itu tampak dalam keadaan sehat.“Duduklah,” kata Dhea.“Baik, Bu.” Verra dan Rangga memilih duduk di samping Aldan.“Ada keperluan apa kalian datang kesini?” tanya Dhea.“Barusan kami melihat pak Lukman dibawa polisi. Beliau katanya ditangkap karena terbukti menyuruh karyawan lainnya untuk mencelakai Putra. Jadi kami kesini untuk memastikan kalau Putra baik-baik saja.” Verra menjawab dengan sesekali menoleh ke arah Aldan yang duduk di sampingnya.Aldan melebarkan senyuman, “Saya baik-baik saja. Tuhan menolong saya dari kecelakaan.” Aldan memposisikan diri sebagai karyawan, bicaranya lebih sopan dan formal.Verra lagi-lagi bernapas lega. Dia benar-benar mengkhawatirkan Aldan. Padahal pria yang d
Aldan mengulurkan tangan, tetapi langsung ditepis oleh Lukman. “Jangan banyak gaya. Hadapi aku kalau berani!” raung Lukman penuh emosi. “Baiklah.” Aldan malah tersenyum santai. “Bapak tinggal pilih para napi mana yang ingin Bapak ajak berduel di dalam penjara.” Setelah mengatakan itu, Aldan tertawa lepas dengan mata menghina. Bahkan Dhea dan 3 orang polisi juga melemparkan tawa penuh ejekan. Tentu saja Lukman merasa terhina, tetapi keberaniannya justru semakin menciut. Tubuhnya gemetaran dengan detakan jantung yang berbunyi kencang. “Seret Pak Lukman,” titah Dhea menahan tawa. “Baik, Bu.” Ketiga orang polisi mengangguk dan melangkah mendekati Lukman. “Mau apa kalian, hah?!” bentak Lukman ketika 3 orang polisi mulai bekerja sama meringkus dirinya. “Bapak jangan melawan.” Salah satu polisi memasang borgol di tangan Lukman. “Lepaskan saya! Aku tidak bersalah!” teriak Lukman ketika 3 orang polisi mulai menyeretnya ke luar. Namun, tenaganya tak cukup untuk melawan. “Bapak ikut sa
“Kurang ajar! Beraninya kamu menjebakku!” teriak Lukman menatap Aldan dengan mata melotot. “Kamu tukang fitnah! Pasti kamu bersekongkol dengan Santoso 'kan? Cepat ngaku!”Aldan hanya tersenyum kecut sembari menggelengkan kepala ke arah Lukman yang tengah menatapnya dengan wajah merah padam. “Bangsat! Tukang fitnah!” raung Lukman sembari menunjuk kasar pada Aldan. Lalu dia menoleh ke arah Dhea dengan memasang wajah serius. “Saya harap Ibu tidak percaya dengan fitnahnya. Tidak mungkin saya melakukan perbuatan sekeji itu. Ini pasti jebakan untuk menyingkirkan saya. Putra dan Santoso pasti bersekongkol menjebak saya. Dari awal saya sudah curiga kalau Putra bukan orang baik-baik. Putra selalu berusaha menyingkirkan saya dari perusahaan. Putra punya ambisi untuk menjadi sekretaris di perusahaan cosmo indofood.”“Sudah selesai mengoceh?” sindir Dhea dengan senyuman kecut.Dhea memutar video rekaman itu kembali yang menunjukkan Santoso sedang menghubungi Lukman. Di sana diperdengarkan sang
Pagi hari ini, Adelia membuat sarapan roti canai untuk Aldan dan Faizal. Mereka makan bersama-sama di ruang tengah.“Ow ya aku baru nyadar, kemarin kamu kok naik gojek? Kemana motormu?” tanya Adelia sembari menuangkan susu tambahan di roti canai.“Ow motorku rusak. Kemarin ditinggal di kantor,” jawab Aldan berbohong. Lalu dia menguyah roti canai miliknya.Sementara Faizal hanya fokus menyantap makanan di depannya, meskipun dalam benaknya sangat yakin motor Aldan rusak karena ada tangan jahil.“Eh aku berangkat ngantor dulu ya. Tukang gojeknya udah nungguin di depan.” Aldan bangkit dari duduknya sembari jari-jemarinya mengetik pesan di ponsel.“Iya, semangat. Fokus kerjanya. Urusan kalung liontin biar aku dan Faizal yang nyari,” ucap Adelia dengan senyuman kecil.“Aku juga akan mengompori beberapa media buat mengangkat kasus Joshua. Jadi Bos nikmati saja kehidupan di kantor, hehe,” sambung Faizal. Aldan tersenyum pada Faizal dan Adelia, “Thanks, aku bersyukur bisa mengenal kalian berd
Pada saat Adelia menuruni anak tangga pertama, dia menghentikan langkah ketika melihat di bawah sana kekasihnya sedang tidur pulas.“Nanti aja deh. Kasian aku,” gumamnya sembari memutar badan dan kembali melangkah ke dalam kamarnya.Adelia duduk di tepi ranjang dan mengamati kalung liontin berwarna putih yang ada di genggaman tangan.“Mungkinkah ini alasannya kenapa kalung ini seakan-akan menolak jika setiap kali aku ingin menguploadnya di medsos? Kalung ini ingin aku menjaganya agar gak jatuh ke tangan Hendrawan dan komplotannya, karena kalung ini bisa menjawab teka-teki siapa orang yang telah menyuruh mereka untuk membunuh orang tua Aldan,” ucap Adelia sembari membolak-balikkan benda berharga itu. “Jangan-jangan sebelum terjadinya insiden pembunuhan, pemilik kalung ini datang menemui Mamanya Aldan di rumahnya,” Adelia berhenti sejenak. Tatapannya menerawang jauh, mencoba menebak-nebak kejadian di rumah Aldan 10 tahun silam.“Dia ingin memberikan kalung ini pada Mamanya Aldan sebaga
“Itu artinya oknum-oknum aparat penegak hukum main belakang dengan Joshua. Mereka menyuruh Joshua pergi ke luar negeri untuk menghindari hukuman. Dan ketika masa tahanannya sudah jatuh tempo, Joshua akan kembali ke Indonesia dan menampakkan batang hidungnya ke publik. Dengan begitu publik akan percaya kalau selama 12 tahun Joshua ada di balik jeruji besi sesuai dengan masa tahanan. Dan jelas sekali bau bangkai di tubuh kepolisian akan tercium harum.” Adelia melanjutkan penjelasannya dengan mengekspresikan melalui gerakan tangan. Tatapan matanya menunjukkan bahwa dirinya sangat geram dengan permainan hukum yang dimainkan aparat penegak hukum di Negaranya.“Wahh sungguh hebat oknum-oknum di tubuh Pemerintah melakukan acara jual beli hukum,” lanjut Adelia sembari menggeleng-gelengkan kepala. Selain merasa geram, tatapannya juga penuh kekecewaan pada hukum di Negeri ini.“Lalu apa yang kamu dapatkan? Apa kamu punya rencana?” tanya Aldan berpura-pura penasaran. Sebenarnya ini hanya pancin
Adelia berhenti mengingat masa kecilnya. Saat ini dia lebih memikirkan perasaan Aldan.Adelia ikut merasakan apa yang dirasakan Aldan. Dia yakin kekasihnya mengalami kepedihan hidup dalam bayang-bayang pembunuhan tragis orang tuanya di depan matanya sendiri. Dia paham pria tampan itu tak mudah menjalani hidup yang dibenci kerabat-kerabatnya sendiri akibat korban fitnah, apalagi penjahat-penjahat itu masih berkeliaran menghirup udara bebas.Adelia menggeleng-gelengkan kepala dengan tatapan menerawang jauh, “Ternyata Hendrawan lebih jahat dari apa yang kubayangkan. Dia bukan hanya benalu yang suka mempermainkan hukum, ternyata dia juga seorang pembunuh yang sangat kejam.”“Hendrawan, Wahyu, dan pria bersepatu bukan seorang manusia. Mereka seorang iblis yang menyamar. Dan seorang iblis harus dimusnahkan,” sahut Faizal sembari mengepalkan tangan dengan tatapan penuh amarah.“Biar Tuhan yang menghukumnya,” tanggap Adelia sembari menatap Aldan yang tengah terlihat bersedih dan marah.Adelia
“Aku akan bunuh kalian!” seru Aldan dengan suara meninggi di bawah alam sadarnya. Wajahnya semakin memerah, air mulai ke luar dari matanya. Tangannya juga terkepal sempurna.Adelia yang duduk di sampingnya semakin penasaran dengan mimpi buruk yang dialami kekasihnya. Awalnya dia mengira mimpi kekasihnya hanya sebatas bunga tidur, tetapi melihat reakasi yang ditunjukkan kekasihnya seperti memimpikan kejadian kelam di masa lalu.Di titik ini, Faizal yang tidur di kasur lipat sebelah Aldan, terbangun dan mendapati Adelia yang duduk di samping tubuh sang Bos yang tengah beraksi akibat mimpi buruk.“Putra kenapa?” tanya Adelia pelan pada Faizal.“Gak tau. Mungkin hanya mimpi buruk,” jawab Faizal sembari mengedikkan bahu. Dia berbohong, sebenarnya diirinya tahu kalau Aldan bukan hanya sebatas mimpi buruk.“Putra.” Adelia memanggil dengan lembut sembari mengusap keringat dan air mata Aldan. “Kamu mimpi apa sih.”“Papa! Mama!” Aldan berteriak sembari membuka matanya lebar-lebar. Dia terbangun