Home / Urban / Dendam Membara Sang Pewaris! / 63. Rumah Sakit atau Kuburan?

Share

63. Rumah Sakit atau Kuburan?

Author: imam Bustomi
last update Last Updated: 2022-10-05 11:38:35

Aldan dan Faizal berada di sekitar rumah Hendrawan. Mereka melihat situasi, apakah ada peluang untuk memberikan hukuman pada kepala polisi itu.

“Ada banyak penjagaan di rumah Hendrawan. Apa yang harus kita lakukan, Bos?” tanya Faizal.

“Lebih baik kita pulang dulu sebelum Lia sadar.” Aldan bukan takut untuk menerobos pertahanan musuh. Dia sudah terlatih, tetapi saat ini dia harus mundur sebelum Adelia menyadari segalanya.

“Baik, Bos.” Faizal menurut dan melajukan motor untuk kembali ke kediaman Adelia.

Di rumah Adelia, tampak Bahri dan Dani berjaga di sekitar sana. Mereka mengawasi setiap orang yang melewati daerah itu, tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Hingga akhirnya, mereka melihat kedatangan Aldan dan Faizal.

“Bagaimana?” tanya Aldan.

“Aman,” jawab Bahri.

“Syukurlah. Sekarang kalian pulang dulu,” pinta Aldan.

“Baiklah.” Bahri dan Dani izin pergi dari sana.

***

Jam 22:30, Adelia terbangun dari tidurnya. Dia turun ke bawah. Dia melihat Aldan dan Faizal tertidur pulas di lantai
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   64. Bapak Sudah Menentukan Pilihan?

    Lukman tersenyum licik, “Kau masih saja terlihat sombong. Aku ingin tahu seberapa tahan lama kesembonganmu itu.”“Remukkan tulangnya, sekarang,” titah Lukman kemudian. Dia tidak mau menunggu lama lagi.Sepuluh orang anak buah Lukman maju ke depan, tetapi Aldan memberi isyarat pada Faizal untuk berlari lewat pintu ke belakang.Tentu saja Lukman tertawa sekeras-kerasnya karena mengira Aldan berlari karena takut, “Mampus. Mana katanya mau menyambutku? Gertakan doang, itu akibatnya jika berani melawan Lukman Wafa. Kejar mereka! Jangan biarkan mereka kabur.”Aldan dan Faizal berlari ke arah lapangan futsal yang rusak, masih di daerah sana. Mereka berhenti dan memutar badan, menatap sepuluh orang yang tengah mengatur napas yang saling memburu.“Kalian mau lari kemana, hah?” tanya salah satunya dengan mata melotot.“Ya mau ajak kalian pemanasan lah sebelum berperang. Aku membawa kalian kesini biar tetanggaku gak ada yang terganggu tidurnya. Tapi masak lari 3 menitan, napas kalian sudah kayak

    Last Updated : 2022-10-05
  • Dendam Membara Sang Pewaris!   65. Hidupmu Sudah Berakhir!

    Mendengar pertanyaan itu, mendadak Lukman tertawa keras. Lalu dia berdiri sembari memegangi kepala belakangnya yang berdarah.“Sepertinya kamu belum mengenalku, Sampah. Aku bisa melakukan apa saja sesuai keinginanku,” seru Lukman dengan wajah arogannya, lalu dia tertawa kembali.Mendadak Aldan juga ikut tertawa renyah, dan berganti dengan tatapan geli, “Melakukan apa saja? Sesuai keinginan Bapak? Bangun, Pak. Bangun, Pak. Jangan bermimpi berlebihan. Bapak selalu gagal. Bapak berusaha menyingkirkanku dari perusahaan? Tapi bisa gak? Bapak juga 3 kali mengirim anak buah Bapak buat mencelakai saya. Berhasil gak? Tuh lihat, malahan anak buah Bapak yang babak belur.”“Sorry, Pak. Anda salah pilih lawan. Saya bukan orang lemah yang Bapak kira. Dan anda harus mengenal siapa saya. Mustahil Bapak bisa menyentuh saya,” kata Aldan lagi, diakhiri dengan mengarahkan jari jempolnya ke bawah.Kata-kata yang begitu meremehkan dari Aldan, membuat Lukman naik pitam. Sekretaris CEO itu maju ke arah Aldan

    Last Updated : 2022-10-05
  • Dendam Membara Sang Pewaris!   66. Seperti Bunglon

    Aldan menyeret kaki Lukman dalam posisi terlentang ke dalam lapangan futsal. Rasa takut yang berlebihan menghiasi wajah Lukman, apalagi dia baru menyadari bahwa semua anak buahnya sudah pergi dari sana. “Eeuuhhmmm ....” Lukman memohon pada Aldan untuk melepaskan dirinya. Suaranya mirip dengan tikus yang berdecit karena tertahan oleh sebuah kain yang menympal mulutnya. “Apa? Permainan kita belum selesai.” Aldan merobek baju Lukman dengan kasar. “Tapi tenang, saya gak akan membunuh Bapak.” Aldan merobek baju itu menjadi dua. Lalu dia mengikat tangan Lukman, “Bapak pasti menyukai permainan ini.” Di detik selanjutnya, tanpa diduga tangan Aldan bergerak melucuti celana jeans dan celana dalam milik Lukman. .Hhhueummm ....” Lukman meronta-ronta, tetapi tenaganya kalah kuat. Kini tubuhnya telanjang bulat, dan tentu saja rasa takut semakin menghiasi wajahnya. Dia mempunyai firasat bahwa Aldan akan menyiksanya dengan sadis sampai meninggal. Aldan mengikat kaki Lukman dengan sisa robeka

    Last Updated : 2022-10-06
  • Dendam Membara Sang Pewaris!   67. Mencari Kado

    “Oh Jenderal yang menelponmu. Yaudah angkat aja, bilang saat ini kita gak bisa membantunya. Kita masih sibuk dengan masalah sendiri,” ucap Aldan, lalu dia melenggang pergi meninggalkan Faizal.Di pagi harinya,Adelia terlihat senang sekaligus kasihan menyaksikan berita Burhan di televisi, “Karma instan banget yak. Setelah dia mencoba membunuhku, Tuhan langsung menghukumnya. Tapi ngeri juga sih, ada 2 orang homo yang menyiksanya dengan kejam. Tubuhnya gak berbentuk, ngeri aku lihatnya.”“Kejahatan pasti akan mendapat balasan ... Emmm tapi kalo dilihat-lihat 2 orang homo itu punya bakat melukis. Lihat deh, luka di sekujur tubuhnya sangat indah,” respon Aldan terdengar santai, meskipun sebuah senyuman penuh arti terbit menghiasi bibirnya.“Iya sih, kasian juga yak. Udah ah matikan saja tv-nya,” pinta Adelia.“Hem baiklah.”Aldan sangat puas, rencananya berhasil dngan sempurna tanpa cacat. Setiap langkahnya memikirkan dampak kedepannya, dia memang menyamar sebagai orang homo dan menciptak

    Last Updated : 2022-10-06
  • Dendam Membara Sang Pewaris!   68. Bertemu Ilham

    “Tadi saya berjalan menunduk. Maafkan saya.” Aldan segera menguasai perasaannya sendiri dan melanjutkan ucapan yang tertunda.“Iya gakpapa, nak.” Dia adalah Ilham, kakek Aldan. Ilham menatap lekat-lekat pada Aldan, “Siapa namamu, nak?”“Dia teman kerjaku, kek. Namanya Putra,” sahut Rangga menghampiri dan mencium tangan Ilham.“Eh, nak Rangga,” kata Ilham. “Anak muda mainnya kesini ya. Kalau kakek palingan 3 bulanan baru kesini.”“Ow jadi beliau kakekmu ya?” tanya Aldan pada Rangga. Dia mengalihkan perhatian Ilham agar tidak mengamati wajahnya lebih dalam lagi.“Emmm sudah aku anggap kakekku sendiri,” jawab Rangga.“Ow gitu. Perkenalkan nama saya Putra Saputra, temannya Rangga di kantor. Saya baru bekerja di sana.” Saat ini Aldan tidak ingin Ilham mencurigai bahwa dirinya adalah Aldan Pratama Chandra Putra, cucunya.Ilham mengangguk diiringi dengan senyuman hangat, “Ow ya, ya. Jangan pernah bertengkar sesama teman. Kalian harus hidup rukun selamanya, karena teman yang baik bagaikan k

    Last Updated : 2022-10-09
  • Dendam Membara Sang Pewaris!   69. Sebuah Kado

    Saat pesta berlangsung dengan meriah, ada security yang menghampiri Hendrawan dengan membawa sebuah kotak kecil. “Maaf mengganggu, pak,” ucap security itu. “Ini ada paket buat bapak.” Hendrawan mengambil paket itu dari tangan secuity, “Dari siapa?” “Saya tidak tahu, pak. Tadi ada kurir yang memberikan paket ini yang ditujukan buat Bapak. Saat tanya siapa pengirimnya, kurirnya cuma jawab dari penggemar Bapak,” ungkap security itu. “Palingan itu buat Mama,” sahut Sari menghampiri Hendrawan. “Mama ‘kan yang ulang tahun.” “Ya gak bisa dong. Udah jelas-jelas katanya buat Papa,” canda Hendrawan sembari mengamati paket itu yang berbentuk kotak kecil dilapisi kertas kado. “Daripada ribut, mendingan paketnya dibuka biar kita tau paketnya buat siapa.” Verra mengambil dan membolak-balikkan paket itu.“Ini kotak lumayan ringan. Verra penasaran apa isinya.” “Yaudah dibuka aja biar gak penasaran. Papa yakin paket ini dari penggemar Papa.” Hendrawan mengambil paket itu kembali dan membukanya

    Last Updated : 2022-10-11
  • Dendam Membara Sang Pewaris!   70. Hendrawan, Aku Datang!

    Sari meminta pada semua orang untuk pulang meskipun pesta belum waktunya selesai. Saat ini dia sedikit syock atas kejadian barusan.Sementara, Verra menghubungi Hendrawan, “Pa ada dimana? Papa baik-baik saja 'kan?”“Papamu orang hebat, gak akan ada yang bisa mencelakai Papa. Sekarang Papa ada di jalan, mau ke kantor polisi,” kilah Hendrawan di seberang sana.“Hati-hati, Pa.”“Siap, Malaikatku.”Saat sambungan telepon terputus, Hendrawan kembali memasang wajah penuh amarah. Dia menambah kecepatan laju mobil di atas rata-rata. Padahal itu sudah melanggar lalu lintas, bahkan dia diteriaki pengendara lain untuk menurunkan kecepatannya.Hendrawan tidak peduli. Dia seorang polisi yang bisa berbuat seenaknya, apalagi pengendara lainnya tidak menyadari siapa yang mengendalikan mobil itu.“Wahyu, Aku akan memberikanmu pelajaran.” Hendrawan kesal. Tatapan menerawang jauh, dia tak menyangka sahabatnya sendiri ingin membunuhnya.***Aldan masih belum pulang. Dia berpura-pura ikut cemas atas keja

    Last Updated : 2022-10-13
  • Dendam Membara Sang Pewaris!   71. Saling Menuduh

    Rangga mengantar Aldan pulang. Setiba di rumah kontrakan, Aldan berpura-pura sakit perut. “Kamu langsung pulang, ya.” Aldan turun dari mobil sembari memegangi perutnya. “ow ya terima kasih. Ketemu besok.” “Padahal aku ingin mampir sebentar.” “Perutku sakit banget. Lagian ini sudah malam, gak enak aku sama tetangga nerima tamu malem-malem. Besok saja mainnya,” kilah Aldan berpura-pura semakin terlihat kesakitan. “Oke, deh.” Aldan berlari ke arah rumahnya, seolah-olah tidak tahan lagi ingin segera buang air besar. Sementara Rangga melajukan mobilnya dengan ekspresi wajah sedikit kecewa. Di dalam rumah kontrakan, Faizal sudah menunggu. “Gimana pekerjaanmu?” tanya Aldan. “20 menit yang lalu aku sudah mencampuri minuman Nona Lia dengan obat tidur. Sekarang dia sudah terlelap, aku juga sudah memasang cctv dan beberapa jebakan di sekitar rumahnya buat berjaga-jaga kalau ada musuh datang. Dan sebentar lagi Dani Bahri akan datang menjaga sekitar daerah sini,” ungkap Faizal. “Bagus. Jam

    Last Updated : 2022-10-13

Latest chapter

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   113. Dhea Belum Siap

    Di ruang tengah, Faizal dan Adelia tampak semangat mengerjakan tugasnya masing-masing. Faizal membuat beberapa akun berbagai media sosial untuk memanas-manasi perusahaan media agar meliput berita lama kasus Joshua Suherman yang masa tahanannya kurang dari 1 tahun.Sementara Adelia, dia mencari jenis-jenis kalung liontin di google. Meski matanya memerah efek tidak tdur semalaman, dia tetap semangat mencari sebuah petunjuk.“Faizal bagaimana? Sudah selesai?” tanya Adelia. Lalu dia menyruput kopi untuk memghilangkan rasa kantuk.“Sudah selesai. Tinggal menunggu respon. Semoga cepat trending. Semoga cepat dilihat dan dikomentari banyak netisen, biar seluruh media di Indonesia bakalan berlomba-lomba meliput kasus Joshua Suherman yang trending di medsos,” jawab Faizal sembari tetap bercelancar di dunia maya.“Sip. Kebobrokan hukum di Negara ini harus segera dibongkar.” Adelia mengerjap berulang kali untuk menghilangkan rasa kantuk yang semakin menyerang, dan akhirnya dia menggerakkan kedua

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   112. Bukan Malaikat Penolong

    Verra dan Rangga sudah ada di depan pintu ruangan ceo.“Selamat pagi, bu Dhea.” Verra mengetuk pintu dengan sopan.“masuk,” sahut Dhea dari dalam.Verra dan Rangga masuk ke dalam. Mereka melirik ke arah Aldan yang sudah ada di sana. Seketika mereka bernapas lega melihat asisten manager keuangan itu tampak dalam keadaan sehat.“Duduklah,” kata Dhea.“Baik, Bu.” Verra dan Rangga memilih duduk di samping Aldan.“Ada keperluan apa kalian datang kesini?” tanya Dhea.“Barusan kami melihat pak Lukman dibawa polisi. Beliau katanya ditangkap karena terbukti menyuruh karyawan lainnya untuk mencelakai Putra. Jadi kami kesini untuk memastikan kalau Putra baik-baik saja.” Verra menjawab dengan sesekali menoleh ke arah Aldan yang duduk di sampingnya.Aldan melebarkan senyuman, “Saya baik-baik saja. Tuhan menolong saya dari kecelakaan.” Aldan memposisikan diri sebagai karyawan, bicaranya lebih sopan dan formal.Verra lagi-lagi bernapas lega. Dia benar-benar mengkhawatirkan Aldan. Padahal pria yang d

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   111. Dhea Justru Ketakutan

    Aldan mengulurkan tangan, tetapi langsung ditepis oleh Lukman. “Jangan banyak gaya. Hadapi aku kalau berani!” raung Lukman penuh emosi. “Baiklah.” Aldan malah tersenyum santai. “Bapak tinggal pilih para napi mana yang ingin Bapak ajak berduel di dalam penjara.” Setelah mengatakan itu, Aldan tertawa lepas dengan mata menghina. Bahkan Dhea dan 3 orang polisi juga melemparkan tawa penuh ejekan. Tentu saja Lukman merasa terhina, tetapi keberaniannya justru semakin menciut. Tubuhnya gemetaran dengan detakan jantung yang berbunyi kencang. “Seret Pak Lukman,” titah Dhea menahan tawa. “Baik, Bu.” Ketiga orang polisi mengangguk dan melangkah mendekati Lukman. “Mau apa kalian, hah?!” bentak Lukman ketika 3 orang polisi mulai bekerja sama meringkus dirinya. “Bapak jangan melawan.” Salah satu polisi memasang borgol di tangan Lukman. “Lepaskan saya! Aku tidak bersalah!” teriak Lukman ketika 3 orang polisi mulai menyeretnya ke luar. Namun, tenaganya tak cukup untuk melawan. “Bapak ikut sa

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   110. Deal?

    “Kurang ajar! Beraninya kamu menjebakku!” teriak Lukman menatap Aldan dengan mata melotot. “Kamu tukang fitnah! Pasti kamu bersekongkol dengan Santoso 'kan? Cepat ngaku!”Aldan hanya tersenyum kecut sembari menggelengkan kepala ke arah Lukman yang tengah menatapnya dengan wajah merah padam. “Bangsat! Tukang fitnah!” raung Lukman sembari menunjuk kasar pada Aldan. Lalu dia menoleh ke arah Dhea dengan memasang wajah serius. “Saya harap Ibu tidak percaya dengan fitnahnya. Tidak mungkin saya melakukan perbuatan sekeji itu. Ini pasti jebakan untuk menyingkirkan saya. Putra dan Santoso pasti bersekongkol menjebak saya. Dari awal saya sudah curiga kalau Putra bukan orang baik-baik. Putra selalu berusaha menyingkirkan saya dari perusahaan. Putra punya ambisi untuk menjadi sekretaris di perusahaan cosmo indofood.”“Sudah selesai mengoceh?” sindir Dhea dengan senyuman kecut.Dhea memutar video rekaman itu kembali yang menunjukkan Santoso sedang menghubungi Lukman. Di sana diperdengarkan sang

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   109. Temuilah Akhir Riwayatmu!

    Pagi hari ini, Adelia membuat sarapan roti canai untuk Aldan dan Faizal. Mereka makan bersama-sama di ruang tengah.“Ow ya aku baru nyadar, kemarin kamu kok naik gojek? Kemana motormu?” tanya Adelia sembari menuangkan susu tambahan di roti canai.“Ow motorku rusak. Kemarin ditinggal di kantor,” jawab Aldan berbohong. Lalu dia menguyah roti canai miliknya.Sementara Faizal hanya fokus menyantap makanan di depannya, meskipun dalam benaknya sangat yakin motor Aldan rusak karena ada tangan jahil.“Eh aku berangkat ngantor dulu ya. Tukang gojeknya udah nungguin di depan.” Aldan bangkit dari duduknya sembari jari-jemarinya mengetik pesan di ponsel.“Iya, semangat. Fokus kerjanya. Urusan kalung liontin biar aku dan Faizal yang nyari,” ucap Adelia dengan senyuman kecil.“Aku juga akan mengompori beberapa media buat mengangkat kasus Joshua. Jadi Bos nikmati saja kehidupan di kantor, hehe,” sambung Faizal. Aldan tersenyum pada Faizal dan Adelia, “Thanks, aku bersyukur bisa mengenal kalian berd

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   108. Aldan Melihat Kalung Liontin

    Pada saat Adelia menuruni anak tangga pertama, dia menghentikan langkah ketika melihat di bawah sana kekasihnya sedang tidur pulas.“Nanti aja deh. Kasian aku,” gumamnya sembari memutar badan dan kembali melangkah ke dalam kamarnya.Adelia duduk di tepi ranjang dan mengamati kalung liontin berwarna putih yang ada di genggaman tangan.“Mungkinkah ini alasannya kenapa kalung ini seakan-akan menolak jika setiap kali aku ingin menguploadnya di medsos? Kalung ini ingin aku menjaganya agar gak jatuh ke tangan Hendrawan dan komplotannya, karena kalung ini bisa menjawab teka-teki siapa orang yang telah menyuruh mereka untuk membunuh orang tua Aldan,” ucap Adelia sembari membolak-balikkan benda berharga itu. “Jangan-jangan sebelum terjadinya insiden pembunuhan, pemilik kalung ini datang menemui Mamanya Aldan di rumahnya,” Adelia berhenti sejenak. Tatapannya menerawang jauh, mencoba menebak-nebak kejadian di rumah Aldan 10 tahun silam.“Dia ingin memberikan kalung ini pada Mamanya Aldan sebaga

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   107. Rencana Adelia

    “Itu artinya oknum-oknum aparat penegak hukum main belakang dengan Joshua. Mereka menyuruh Joshua pergi ke luar negeri untuk menghindari hukuman. Dan ketika masa tahanannya sudah jatuh tempo, Joshua akan kembali ke Indonesia dan menampakkan batang hidungnya ke publik. Dengan begitu publik akan percaya kalau selama 12 tahun Joshua ada di balik jeruji besi sesuai dengan masa tahanan. Dan jelas sekali bau bangkai di tubuh kepolisian akan tercium harum.” Adelia melanjutkan penjelasannya dengan mengekspresikan melalui gerakan tangan. Tatapan matanya menunjukkan bahwa dirinya sangat geram dengan permainan hukum yang dimainkan aparat penegak hukum di Negaranya.“Wahh sungguh hebat oknum-oknum di tubuh Pemerintah melakukan acara jual beli hukum,” lanjut Adelia sembari menggeleng-gelengkan kepala. Selain merasa geram, tatapannya juga penuh kekecewaan pada hukum di Negeri ini.“Lalu apa yang kamu dapatkan? Apa kamu punya rencana?” tanya Aldan berpura-pura penasaran. Sebenarnya ini hanya pancin

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   106. Dilema

    Adelia berhenti mengingat masa kecilnya. Saat ini dia lebih memikirkan perasaan Aldan.Adelia ikut merasakan apa yang dirasakan Aldan. Dia yakin kekasihnya mengalami kepedihan hidup dalam bayang-bayang pembunuhan tragis orang tuanya di depan matanya sendiri. Dia paham pria tampan itu tak mudah menjalani hidup yang dibenci kerabat-kerabatnya sendiri akibat korban fitnah, apalagi penjahat-penjahat itu masih berkeliaran menghirup udara bebas.Adelia menggeleng-gelengkan kepala dengan tatapan menerawang jauh, “Ternyata Hendrawan lebih jahat dari apa yang kubayangkan. Dia bukan hanya benalu yang suka mempermainkan hukum, ternyata dia juga seorang pembunuh yang sangat kejam.”“Hendrawan, Wahyu, dan pria bersepatu bukan seorang manusia. Mereka seorang iblis yang menyamar. Dan seorang iblis harus dimusnahkan,” sahut Faizal sembari mengepalkan tangan dengan tatapan penuh amarah.“Biar Tuhan yang menghukumnya,” tanggap Adelia sembari menatap Aldan yang tengah terlihat bersedih dan marah.Adelia

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   105. Mimpi Buruk Itu Gambaran Masa Lalunya

    “Aku akan bunuh kalian!” seru Aldan dengan suara meninggi di bawah alam sadarnya. Wajahnya semakin memerah, air mulai ke luar dari matanya. Tangannya juga terkepal sempurna.Adelia yang duduk di sampingnya semakin penasaran dengan mimpi buruk yang dialami kekasihnya. Awalnya dia mengira mimpi kekasihnya hanya sebatas bunga tidur, tetapi melihat reakasi yang ditunjukkan kekasihnya seperti memimpikan kejadian kelam di masa lalu.Di titik ini, Faizal yang tidur di kasur lipat sebelah Aldan, terbangun dan mendapati Adelia yang duduk di samping tubuh sang Bos yang tengah beraksi akibat mimpi buruk.“Putra kenapa?” tanya Adelia pelan pada Faizal.“Gak tau. Mungkin hanya mimpi buruk,” jawab Faizal sembari mengedikkan bahu. Dia berbohong, sebenarnya diirinya tahu kalau Aldan bukan hanya sebatas mimpi buruk.“Putra.” Adelia memanggil dengan lembut sembari mengusap keringat dan air mata Aldan. “Kamu mimpi apa sih.”“Papa! Mama!” Aldan berteriak sembari membuka matanya lebar-lebar. Dia terbangun

DMCA.com Protection Status