Tiga tahun yang lalu! Terjadi peristiwa pembantaian di desa terpencil, Malaysia. Warga setempat menjadi korban kebengisan para terorris, tanpa ampun membunuh semua orang yang melawan. Perdana menteri memerintahkan angkatan tentara Malaysia untuk melumpuhkan para teroris. Pertempuran dan adu strategi pun tak terhindarkan. Namun, angkatan tentara Malaysia kewalahan karena para teroris menyandera warga setempat untuk dijadikan tameng. Bahkan beberapa prajurit perang banyak yang gugur di medan perperangan. Berbagai strategi dilakukan angkatan tentara perang, dimulai dari penyamaran hingga negosiasi. Namun, para teroris terlalu pintar untuk dikelabuhi. Semuanya berakhir sia-sia dan nyawa prajurit tumbalnya. “Apa yang harus kita lakukan, Jenderal? Mereka tidak bisa dibodohi. Kita harus cepat bertindak, sudah banyak korban yang meninggal.” Salah satu prajurit perang melapor. Sang Jenderal perang bingung. Dia bisa saja memerintahkan prajuritnya untuk melakukan penyerangan besar-besar
Aldan dan Faizal pun melenggang pergi menjalankan misi berbahaya. Mereka berhenti di semak-semak yang tidak terkena pengawasan kamera pengintai. Di depan sana ada beberapa mayat prajurit dan warga setempat yang begelimpangan.“Kita harus tidur di samping orang yang gugur,” kata Aldan.Faizal mengangguk, “Benar, kita harus memasuki area pengawasan mereka.”Di titik ini, Aldan dan Faizal sama-sama mengeluarkan sebuah cairan berwarna merah yang terbungkus plastik di saku celana. Mereka mengoleskan cairan itu ke baju dan calana agar seolah-olah terlihat seperti darah.“10 detik, Faiz,” ucap Aldan, Faiz pun mengangguk mengerti.Di detik selanjutnya, Aldan berucap lagi, “Apa Jenderal sudah siap?”“Siap.” Suara terdengar dari benda kecil yang terpasang di telinga Aldan dan Faizal.“Oke. Tekan tombol enter, sekarang,” titah Aldan.“Sudah.” Bersamaan dengan jawaban itu, Aldan dan Faizal berlari cepat ke arah mayat yang berada di depan sana. Mereka langsung tiduran dalam posisi tengkurap di sa
Faizal terkekeh geli, “Bagaimana? Apa komplotanmu datang? Haha mereka gak akan datang karena saudaraku sudah duduk di tempat layar komputer yang mengawasi seluruh kamera pengintai di daerah ini.” Orang itu membuka mata lebar-lebar, “Apa maksudmu?”“Saudaraku sudah berhasil masuk ke sana dan membunuh temanmu.”“Apa maksudmu?” orang itu bertanya kembali. Wajahnya semakin panik.“Ah sudahlah. Aku gak punya banyak waktu untuk menjelaskan padamu,” ucap Faizal santai. Lalu , dia tiba-tiba memberikan pukulan keras tepat di leher orang itu. UAKKKKKK!Orang itu memuntahkan isi perutnya yang disertai darah akibat pukulan kejutan yang begitu keras di leher, salah satu area titik vital manusia. Pukulan itu mengakibatkan cedera leher dan gangguan saraf.Tak mau menunggu lama, Faizal kembali memukul keras leher orang itu untuk mengakhiri hidupnya.“Huh ....” Faizal menghela napas panjang. Lalu dia bergerak cepat melepas pakaiannya untuk mengganti dengan pakaian khas kelompok teroris.Faizal berja
Melihat Adelia menunduk ketakutan, Aldan memejamkan mata dan menghembus napas pelan untuk menghilangkan energi pembunuh yang keluar dari dalam dirinya.Aldan kembali membuka mata, kini senyuman perlahan terbit di bibirnya, “Hei jangan menunduk terus dong. Wajah cantikmu gak keliatan.”Adelia mendongak perlahan. Dia menatap lekat-lekat pada Aldan. Sikap pria tampan itu sungguh sulit ditebak. Terkadang terlihat konyol dan bodoh, tetapi juga terkadang terlihat sangat mengerikan seperti seorang pembunuh bertangan dingin.“Ah aku jadi malu dilihat kamu terus,” canda Aldan sembari menutupi wajah dengan telapak tangannya.Adelia menghembus napas pelan, “Jangan perlihatkan aura mengerikan itu lagi di hadapanku.”Aldan menurunkan telapak tangannya, masih dengan menampakkan wajah konyol dan cengiran, “Hehe iya maaf. Tadi gak sengaja kok. Keluar begitu aja dari dalam diriku.”Hah, gak sengaja katanya? Adelia membatin sembari menggelengkan kepala.“Ow ya kalau boleh tau, siapa yang kamu incar?” t
“Ayo, cepat. Kita harus sampai terlebih dahulu.” Aldan menggandeng tangan Adelia, ke luar lewat pintu belakang.Adelia merasa aneh karena Aldan dan Faizal berjalan tergesa-gesa. Apalagi mereka masuk ke rumah kontrakan lewat pintu belakang yang kebetulan tidak terkunci.Aldan mengantarkan kekasihnya ke salah satu kamar yang ada di rumah kontrakannya, “Kunci pintunya, jangan dibuka sebelum aku selesai menemui tamuku,” pintanya dengan menerbitkan senyuman, sembari mengelus rambut Adelia.“Eh bukannya tadi kamu mengajakku untuk menemui tamumu?” Adelia protes.“Emm gak jadi. Nanti mereka mikirnya macem-macem kalau aku bawa cewek ke dalam rumah.” Aldan berbohong demi kebaikan Adelia kedepannya.“Oke, Baiklah. Tapi jangan lama-lama, ya.” Adelia pasrah, menuruti kemauan kekasihnya., Namun, sejujurnya dia merasa janggal lebih ke arah mencemaskan sang pujaan hati.Aldan mengangguk, “Gak lama kok. Palingan Cuma 20 menit. Janji,” ucapnya sembari mengangkat jari kelingkingnya.Adelia menautkan jar
Aldan menghampiri orang yang merekam kejadian barusan.“Boleh pinjam kameranya?” tanya Aldan sopan.Orang itu memberikan kamera itu dengan tubuh bergemetar hebat dan berkeringat dingin.“Wah bagus nih kameranya, merk canon. “Aldan memeriksa benda itu dan melepas memorynya.Aldan terkekeh geli melihat orang dihadapannya gemetar ketakutan. Lalu, dia mengembalikan kamera itu lagi, “Bagus hasilnya. Aku pinjam dulu memorynya.”Aldan memutar badan dan menghampiri keenam orang yang terkapar.“Ayo dong main lagi. Masa’ segitu doang kalian udah capek. Padahal aku lagi semangat main pukul-pukulan dengan kalian,” ucap Aldan, masih memasang wajah polos.“Iya nih seru sekali mainnya. Ayo dong main lagi, cepetan berdiri,” sambung Faizal, juga berakting.Aldan tiba-tiba mengernyitkan dahi, “Atau kalian mau pukul-pukulan sambil tiduran ya?”“Ow gitu ya?” sambung Faizal girang. “Seru juga kayaknya main sambil tiduran. Yaudah ayo.”Orang-orang suruhan itu pun memaksa berdiri menahan sakit untuk mengham
Aldan menceritakan asal mulanya bermusuhan dengan Lukman Wafa.Begitupun Adelia, menceritakan bahwa Lukman Wafa memang orang sombong yang menggunakan harta untuk bertindak semaunya.***Keesokan harinya, Aldan izin tidak masuk kerja dengan alasan kurang enak badan. Namun, sebenarnya dia izin untuk menghadiri persidangan Clara. Ketika pergi ke persidangan, dia menggunakan atribut penyamaran agar tidak dikenal oleh siapapun, kecuali Adelia. Begitupun Faizal yang juga mengubah identitas dirinya.Aldan, Adelia, dab Faizal berjalan masuk, bersiap menjadi saksi kehancuran dari Hendrawan dan komplotannya. Dua lelaki tampan itu duduk di deret depan kursi tamu, sedangkan Adelia masih pergi ke tempat Clara berada untuk mendampinginya.Aldan dan Faizal tersenyum miring saat melihat Malik yang sudah duduk di kursi tamu.“Lihatlah, dia masih terlihat santai. Menggemaskan sekali, rasanya tanganku ingin mencakar wajahnya,” ucap Aldan pelan menahan tawa."Aku penasaran apa dia tetap santai saat rekam
Video rekaman itu tersebar cepat dan sampai ke telinga Verra Kristian, tetapi dia yakin Papanya tak mungkin melakukan hal keji yang terkutuk. “Ini pasti ada kesalahpahaman atau mungkin ini adalah jebakan untuk menjatuhkan Papa,” gumam Verra cemas. Verra sudah meminta izin pada CEO perusahaan untuk pulang lebih cepat. Dia pergi ke kantor polisi, tempat Hendrawan ditahan. “Kenapa sih ada orang yang ingin Papaku celaka? Ini benar-benar fitnah yang kejam. Siapapun mereka, semoga hidupnya gak tenang.” Verra mengutuk orang-orang yang dianggapnya telah menjebak Hendrawan. Di matanya, Hendrawan sosok sempurna berhati Malaikat. *** “Cheers ...” seru Adelia sembari menempelkan gelas teh lemon miliknya pada gelas milik Aldan dan Faizal. Adelia tersenyum lebar, lalu meneguk setengah gelas teh lemon miliknya, “Akhirnya Clara bisa melanjutkan hidupnya kembali ... Ya aku tau, dia gak akan mudah melepaskan traumanya. Tapi setidaknya hukum telah ditegakkan dan dunia tau siapa yang bersalah.”
Di ruang tengah, Faizal dan Adelia tampak semangat mengerjakan tugasnya masing-masing. Faizal membuat beberapa akun berbagai media sosial untuk memanas-manasi perusahaan media agar meliput berita lama kasus Joshua Suherman yang masa tahanannya kurang dari 1 tahun.Sementara Adelia, dia mencari jenis-jenis kalung liontin di google. Meski matanya memerah efek tidak tdur semalaman, dia tetap semangat mencari sebuah petunjuk.“Faizal bagaimana? Sudah selesai?” tanya Adelia. Lalu dia menyruput kopi untuk memghilangkan rasa kantuk.“Sudah selesai. Tinggal menunggu respon. Semoga cepat trending. Semoga cepat dilihat dan dikomentari banyak netisen, biar seluruh media di Indonesia bakalan berlomba-lomba meliput kasus Joshua Suherman yang trending di medsos,” jawab Faizal sembari tetap bercelancar di dunia maya.“Sip. Kebobrokan hukum di Negara ini harus segera dibongkar.” Adelia mengerjap berulang kali untuk menghilangkan rasa kantuk yang semakin menyerang, dan akhirnya dia menggerakkan kedua
Verra dan Rangga sudah ada di depan pintu ruangan ceo.“Selamat pagi, bu Dhea.” Verra mengetuk pintu dengan sopan.“masuk,” sahut Dhea dari dalam.Verra dan Rangga masuk ke dalam. Mereka melirik ke arah Aldan yang sudah ada di sana. Seketika mereka bernapas lega melihat asisten manager keuangan itu tampak dalam keadaan sehat.“Duduklah,” kata Dhea.“Baik, Bu.” Verra dan Rangga memilih duduk di samping Aldan.“Ada keperluan apa kalian datang kesini?” tanya Dhea.“Barusan kami melihat pak Lukman dibawa polisi. Beliau katanya ditangkap karena terbukti menyuruh karyawan lainnya untuk mencelakai Putra. Jadi kami kesini untuk memastikan kalau Putra baik-baik saja.” Verra menjawab dengan sesekali menoleh ke arah Aldan yang duduk di sampingnya.Aldan melebarkan senyuman, “Saya baik-baik saja. Tuhan menolong saya dari kecelakaan.” Aldan memposisikan diri sebagai karyawan, bicaranya lebih sopan dan formal.Verra lagi-lagi bernapas lega. Dia benar-benar mengkhawatirkan Aldan. Padahal pria yang d
Aldan mengulurkan tangan, tetapi langsung ditepis oleh Lukman. “Jangan banyak gaya. Hadapi aku kalau berani!” raung Lukman penuh emosi. “Baiklah.” Aldan malah tersenyum santai. “Bapak tinggal pilih para napi mana yang ingin Bapak ajak berduel di dalam penjara.” Setelah mengatakan itu, Aldan tertawa lepas dengan mata menghina. Bahkan Dhea dan 3 orang polisi juga melemparkan tawa penuh ejekan. Tentu saja Lukman merasa terhina, tetapi keberaniannya justru semakin menciut. Tubuhnya gemetaran dengan detakan jantung yang berbunyi kencang. “Seret Pak Lukman,” titah Dhea menahan tawa. “Baik, Bu.” Ketiga orang polisi mengangguk dan melangkah mendekati Lukman. “Mau apa kalian, hah?!” bentak Lukman ketika 3 orang polisi mulai bekerja sama meringkus dirinya. “Bapak jangan melawan.” Salah satu polisi memasang borgol di tangan Lukman. “Lepaskan saya! Aku tidak bersalah!” teriak Lukman ketika 3 orang polisi mulai menyeretnya ke luar. Namun, tenaganya tak cukup untuk melawan. “Bapak ikut sa
“Kurang ajar! Beraninya kamu menjebakku!” teriak Lukman menatap Aldan dengan mata melotot. “Kamu tukang fitnah! Pasti kamu bersekongkol dengan Santoso 'kan? Cepat ngaku!”Aldan hanya tersenyum kecut sembari menggelengkan kepala ke arah Lukman yang tengah menatapnya dengan wajah merah padam. “Bangsat! Tukang fitnah!” raung Lukman sembari menunjuk kasar pada Aldan. Lalu dia menoleh ke arah Dhea dengan memasang wajah serius. “Saya harap Ibu tidak percaya dengan fitnahnya. Tidak mungkin saya melakukan perbuatan sekeji itu. Ini pasti jebakan untuk menyingkirkan saya. Putra dan Santoso pasti bersekongkol menjebak saya. Dari awal saya sudah curiga kalau Putra bukan orang baik-baik. Putra selalu berusaha menyingkirkan saya dari perusahaan. Putra punya ambisi untuk menjadi sekretaris di perusahaan cosmo indofood.”“Sudah selesai mengoceh?” sindir Dhea dengan senyuman kecut.Dhea memutar video rekaman itu kembali yang menunjukkan Santoso sedang menghubungi Lukman. Di sana diperdengarkan sang
Pagi hari ini, Adelia membuat sarapan roti canai untuk Aldan dan Faizal. Mereka makan bersama-sama di ruang tengah.“Ow ya aku baru nyadar, kemarin kamu kok naik gojek? Kemana motormu?” tanya Adelia sembari menuangkan susu tambahan di roti canai.“Ow motorku rusak. Kemarin ditinggal di kantor,” jawab Aldan berbohong. Lalu dia menguyah roti canai miliknya.Sementara Faizal hanya fokus menyantap makanan di depannya, meskipun dalam benaknya sangat yakin motor Aldan rusak karena ada tangan jahil.“Eh aku berangkat ngantor dulu ya. Tukang gojeknya udah nungguin di depan.” Aldan bangkit dari duduknya sembari jari-jemarinya mengetik pesan di ponsel.“Iya, semangat. Fokus kerjanya. Urusan kalung liontin biar aku dan Faizal yang nyari,” ucap Adelia dengan senyuman kecil.“Aku juga akan mengompori beberapa media buat mengangkat kasus Joshua. Jadi Bos nikmati saja kehidupan di kantor, hehe,” sambung Faizal. Aldan tersenyum pada Faizal dan Adelia, “Thanks, aku bersyukur bisa mengenal kalian berd
Pada saat Adelia menuruni anak tangga pertama, dia menghentikan langkah ketika melihat di bawah sana kekasihnya sedang tidur pulas.“Nanti aja deh. Kasian aku,” gumamnya sembari memutar badan dan kembali melangkah ke dalam kamarnya.Adelia duduk di tepi ranjang dan mengamati kalung liontin berwarna putih yang ada di genggaman tangan.“Mungkinkah ini alasannya kenapa kalung ini seakan-akan menolak jika setiap kali aku ingin menguploadnya di medsos? Kalung ini ingin aku menjaganya agar gak jatuh ke tangan Hendrawan dan komplotannya, karena kalung ini bisa menjawab teka-teki siapa orang yang telah menyuruh mereka untuk membunuh orang tua Aldan,” ucap Adelia sembari membolak-balikkan benda berharga itu. “Jangan-jangan sebelum terjadinya insiden pembunuhan, pemilik kalung ini datang menemui Mamanya Aldan di rumahnya,” Adelia berhenti sejenak. Tatapannya menerawang jauh, mencoba menebak-nebak kejadian di rumah Aldan 10 tahun silam.“Dia ingin memberikan kalung ini pada Mamanya Aldan sebaga
“Itu artinya oknum-oknum aparat penegak hukum main belakang dengan Joshua. Mereka menyuruh Joshua pergi ke luar negeri untuk menghindari hukuman. Dan ketika masa tahanannya sudah jatuh tempo, Joshua akan kembali ke Indonesia dan menampakkan batang hidungnya ke publik. Dengan begitu publik akan percaya kalau selama 12 tahun Joshua ada di balik jeruji besi sesuai dengan masa tahanan. Dan jelas sekali bau bangkai di tubuh kepolisian akan tercium harum.” Adelia melanjutkan penjelasannya dengan mengekspresikan melalui gerakan tangan. Tatapan matanya menunjukkan bahwa dirinya sangat geram dengan permainan hukum yang dimainkan aparat penegak hukum di Negaranya.“Wahh sungguh hebat oknum-oknum di tubuh Pemerintah melakukan acara jual beli hukum,” lanjut Adelia sembari menggeleng-gelengkan kepala. Selain merasa geram, tatapannya juga penuh kekecewaan pada hukum di Negeri ini.“Lalu apa yang kamu dapatkan? Apa kamu punya rencana?” tanya Aldan berpura-pura penasaran. Sebenarnya ini hanya pancin
Adelia berhenti mengingat masa kecilnya. Saat ini dia lebih memikirkan perasaan Aldan.Adelia ikut merasakan apa yang dirasakan Aldan. Dia yakin kekasihnya mengalami kepedihan hidup dalam bayang-bayang pembunuhan tragis orang tuanya di depan matanya sendiri. Dia paham pria tampan itu tak mudah menjalani hidup yang dibenci kerabat-kerabatnya sendiri akibat korban fitnah, apalagi penjahat-penjahat itu masih berkeliaran menghirup udara bebas.Adelia menggeleng-gelengkan kepala dengan tatapan menerawang jauh, “Ternyata Hendrawan lebih jahat dari apa yang kubayangkan. Dia bukan hanya benalu yang suka mempermainkan hukum, ternyata dia juga seorang pembunuh yang sangat kejam.”“Hendrawan, Wahyu, dan pria bersepatu bukan seorang manusia. Mereka seorang iblis yang menyamar. Dan seorang iblis harus dimusnahkan,” sahut Faizal sembari mengepalkan tangan dengan tatapan penuh amarah.“Biar Tuhan yang menghukumnya,” tanggap Adelia sembari menatap Aldan yang tengah terlihat bersedih dan marah.Adelia
“Aku akan bunuh kalian!” seru Aldan dengan suara meninggi di bawah alam sadarnya. Wajahnya semakin memerah, air mulai ke luar dari matanya. Tangannya juga terkepal sempurna.Adelia yang duduk di sampingnya semakin penasaran dengan mimpi buruk yang dialami kekasihnya. Awalnya dia mengira mimpi kekasihnya hanya sebatas bunga tidur, tetapi melihat reakasi yang ditunjukkan kekasihnya seperti memimpikan kejadian kelam di masa lalu.Di titik ini, Faizal yang tidur di kasur lipat sebelah Aldan, terbangun dan mendapati Adelia yang duduk di samping tubuh sang Bos yang tengah beraksi akibat mimpi buruk.“Putra kenapa?” tanya Adelia pelan pada Faizal.“Gak tau. Mungkin hanya mimpi buruk,” jawab Faizal sembari mengedikkan bahu. Dia berbohong, sebenarnya diirinya tahu kalau Aldan bukan hanya sebatas mimpi buruk.“Putra.” Adelia memanggil dengan lembut sembari mengusap keringat dan air mata Aldan. “Kamu mimpi apa sih.”“Papa! Mama!” Aldan berteriak sembari membuka matanya lebar-lebar. Dia terbangun