Riri datang membawa berkas ke ruangan Angel. Terlihat perempuan cantik, modern, dan kuat itu sedang melamun di depan komputer. Bara benar, mata Angel terlihat sembab hari ini.
“Memangnya sembab banget ya, Ri?”
“Hemm, lumayan, Bu. Bengkak … ibu lagi mata panda ya? Kurang tidur ya,” tanya Riri seraya berdiri di depan Angel.
“Hemm … kurang tidur iya, sedih iya,” ucap Angel menunduk sambil menggoyangkan pulpen di atas meja.
“Ibu nangis? Kenapa, Bu?” tanya Riri polos.
“Ri, kamu kan juga kenal suamiku ya. Menurut kamu, pernikahanku dan Mas Nick itu gimana?”
“Hah? Gimana apanya, Bu? Aku gak mau … humm … maksudku, gak mau ikut campur,” kata Riri sambil menyelipkan rambutnya di telinga.
“Yaa … kamu sebagai orang luar, melihat aku dan Mas Nick itu gimana? Apa memang terlihat ya, kalau pernikahan kami sudah …”
“Sudah apa, Bu, tanya Riri bingung.
“Ah ya sudahlah, gak usah dibahas. Tolong ambilkan kompres aja kali ya, mau kompres mata. Ambilkan lap dan air es aja ya,” ucap Angel tersenyum.
“Iya, oke Bu. Oh ya bu, saya sekalian mau kasih kabar bahwa Pak Bara kasih tugas ke luar kota. Tiga hari,” kata Riri.
“Hah? Kamu diajak ke luar kota? Mau ngapain?!”
“Bukan, Bu. Bukan saya. Tapi ibu. Pak Bara minta ibu dampingi dia untuk ke acara pameran handicraft di Bali. Acaranya tiga hari. Berangkat lusa, tiketnya sedang diurus,” kata Riri.
“WHAT? KOK DADAKAN BANGET? KENAPA MAIN PERINTAH AJA SIH,” tanya Angel bingung.
“Hemm, saya hanya diminta bilang aja sama ibu,” kata Riri.
Angel bangkit dari kursinya, dengan ekspresi kesal dan tergesa-gesa, Angel menyambangi ruangan Bara. Para tamu sudah pulang dan diantar Bara ke pintu utama. Bara terkejut saat berbalik, melihat Angel sudah memasang tampang marah.
“Maksud kamu itu apa sih mas?!”
“Apa? Tolong kalau bicara, nadanya lebih sopan dan rendah ya. Saya ini atasan di sini,” kata Bara kaku.
“Mas Bara yang terhormat, saya kaget sekali karena tiba-tiba tanpa koordinasi saya diminta ke Bali. Tiket juga sudah diurus. Ini maksudnya apa? Oke, memang semua keputusan itu ada di tangan kamu. Tapi bukan berarti main paksa tanpa koordinasi kan?”
“Saya butuh kamu,” kata Bara menatap Angel dengan tatapan mata tajam.
Hembusan AC berdesir meniup angin kipas angin yang menyambar ke berhembus ke arah rambut Angel. Terlihat ekspresi Angel yang salah tingkah, namun tertutup rambutnya.
“Saya butuh kamu karena kamu yang lebih mengerti seputar perajin kerajinan tangan. Biasanya perempuan yang paling paham. Akan tetapi satu hal, agenda di sana padat sekali. Karena kita akan menyesuaikan dengan kementerian,” kata Bara menyambung dengan kalimatnya.
“Saya …”
“Ini perintah. Saya berhak memaksa atau semacam instruksi. Ingat, enam bulan ini saya yang memimpin di sini. Atau bahkan, seterusnya. Seterusnya jika kamu tidak bisa mengembalikan uang saya,” kata Bara menyeringai dan kembali ke ruangannya.
“Huftt!”
Angel menghela nafas dalam-dalam mencoba untuk bersabar. Satu hal yang paling utama, adalah mendapatkan izin suami.
“Halo,” kata Nick di ujung telepon.
“Boleh kan aku ke luar kota? Tiga hari esok harus ke Bali. Maklum, aku bukan pimpinan lagi sekarang,” ujar Angel menghubungi suaminya saat berada di ruangannya.
“Apa aku bisa melarang? Apa kamu pernah mendengar aku? Apa kalau aku larang, kamu tidak akan pergi? Enggak kan,” kata Nick sinis.
“Kok kamu bilang begitu sih mas …” kata Angel serba salah.
“Ya kamu kan memang selalu sibuk. Mau ke mana juga,posisiku jauh di bawah kamu. Maka kamu dan keluarga kamu pasti memandang aku rendah,” kata Nick.
“Bisa gak sih mas, kita ngomong tanpa berdebat? Aku hanya ingin minta izin ke luar kota, simple,” kata Angel lemah.
“Terserah kamu. Sesimple itu,” tegas Nick membalas sang istri lalu menyudahi pembicaraan sesegera mungkin.
Dengan hati yang sedih, Angel memutuskan tetap berangkat karena dia memang tidak punya pilihan. Beberapa hari di hari H keberangkatan, Angel berangkat sendiri, tanpa Riri. Ada banyak agenda yang harus dia penuhi selama di Bali.
Selama di pesawat, Angel banyak menulis catatan beberapa agenda yang akan dia lakukan di sana. Ini menjadi perjalanan dinas pertama di mana dia sudah tidak menjabat sebagai pimpinan. Perjalanan yang panjang itu akhirnya berakhir di sebuah hotel.
“Ini kunci kamar ibu. Setelah ini, ada pesan dari Pak Bara, bertemu di ruang meeting Cendrawasih. Ada meeting jam 3 sore ya, Bu,” kata pihak lobi.
“Langsung meeting? Saya kan baru landing,” kata Angel geleng-geleng kepala.
“Oh saya hanya sampaikan pesan aja, Bu,” kata pihak lobi.
“Keterlaluan. Rodi!”
Angel menarik kopernya, lalu dibantu oleh OB. Dia bergegas, hanya diberi waktu 1 jam untuk istirahat, lalu langsung masuk ke ruang rapat.
“Ah akhirnya kamu datang juga, Angel. Ini para perajin dan juga pihak yayasan kerajinan tangan. Kita langsung meeting ya,” kata Bara dengan gaya cool.
“Kamu datang jam berapa di sini?”
“Oh saya sih sudah datang sejak tadi pagi jam 6. Karena saya naik pesawat pribadi, dengan penerbangan pagi,” kata Bara.
“Nice! Kenapa sih, rapatnya bukan malam aja? Atau sore? Saya masih lelah,” ujar Angel berbisik.
“Tidak ada waktu bersantai kalau mau maju. Harus kerja keras,” kata Bara begitu angkuh.
“Arogan!”
Angel tidak sempat istirahat dan langsung menjelaskan berupa presentasi di depan para klien. Bara hanya ditemani oleh dua orang anak buahnya, sekretaris dan notulen.
“Kita maraton, rapat lagi setelah ini. Ada pihak kementerian,” kata Bara santai
“Kamu mau menyiksa aku ya? Gak kasih jeda sedikitpun?” ucap Angel menghampiri Bara.
“Nama kamu Angel, tapi malah marah-marah terus sih? Udahlah, kita ini kan hanya menyesuaikan waktu dengan klien. Ayo, segera kamu siapkan semuanya,” kata Bara memerintah.
Angel semakin pucat, keringat mulai mengucur di dahi. Mungkin memang benar, Angel lelah. Dari semua masalah yang dihadapi saat ini, ditambah dia harus langsung mengurus pekerjaan, instruksi dari Bara, membuatnya lelah.
“Pak Bara, Bu Angel pucat,” bisik sekretaris Bara.
Angel duduk sebentar memegang keningnya. Dia meminta pelayan membawakan secangkir teh manis. Bara yang melihat hal itu melangkah selangkah dua langkah dan menarik kursi lalu duduk di samping Angel.
“Ya sudah, kalau memang kamu lelah, mau istirahat dulu, gak usah ikut meeting yang selanjutnya. Biar saya saja,” kata Bara tiba-tiba.
“Apa?”
“Iya, kamu kembali ke kamar hotel aja. Biar saya yang rapat dengan klien,” ujar Bara dingin.
“Searogan kamu, bersedia bilang begitu? Apa aku gak salah dengar?”
“Walaupun menurut kamu arogan, aku tetap punya hati. Sudah, kembali saja ke kamar,” kata Bara bangkit dari kursinya lalu merapikan jasnya dan ke luar ruangan, berpindah rapat ke ruangan lainnya.
Senyum kecil Angel tersungging sedikit di bibirnya. Seolah merespons dan berterima kasih atas kemurahan hati Bara yang mengizinkannya untuk istirahat.
Segelas minuman dingin dengan hiasan bunga tropical ada di samping Angel yang sedang duduk di pinggir kolam renang infinity pool di tepi pantai, di Bali. Dengan tank top seksi dan celana pendek, Angel mencelupkan kedua kakinya ke dalam air kolam renang seraya menikmati langit yang bertabur bintang. Matanya sesekali menatap ponselnya, menanti kabar atau sekadar perhatian dari sang suami. Pencahayaan temaram di tepi kolam renang membuat mata Angel berkaca-kaca. “Better?”Leher Angel mendongak ke atas mencari sumber suara. Bara datang menghampirinya dengan mengenakan sweater biru dongker dan celana jeans yang membuatnya begitu menawan. Baru kali ini Angel melihat Bara tidak mengenakan jas. “Better apanya,” tanya Angel menarik kakinya dari dalam kolam renang lalu berdiri dan mencari kursi seraya menggenggam telepon di tangan kanan dan gelas di tangan kiri. “Ya kondisinya. Tadi katanya kelelahan. Besok pameran sudah dimulai. Akan lebih sibuk lagi, butuh kondisi yang fit,” kata Bara den
CHEERS!Bara menutup malam pameran di Bali dengan barbekyu party, Angel bersama beberapa karyawan terlihat ikut hanyut dalam momen itu. Sesekali Bara menatap Angel dengan tatapan mata dingin penuh makna, namun Angel tidak menyadarinya. “Kita deal ya!”“Tapi kenapa pak, kami tidak boleh pakai skincare dan kosmetik milik bu Angel? Kami tahu reviewnya bagus juga,” kata para klien. “Tidak usah. Saya yang memimpin saat ini. Pakai label perusahaan saya saja,” kata Bara deal-dealan dengan para klien tanpa sepengetahuan Angel. Klien sepakat dengan Bara yang semakin menguasai perusahaan itu. Di sisi lain, Angel hanya bisa mengikuti permainan Bara. Dia fokus dengan ponselnya, menghubungi suaminya selagi Bara ngobrol dengan para klien. Angel membawa piring berisi beberapa sate barbekyu dan menepi sejenak untuk menghubungi Nick. “Kamu itu kenapa sih, Mas? Kenapa kamu kasar banget sama Mama,” kata Angel kepada suaminya dengan lirih. “Kasar gimana sih?”“Kamu di mana sekarang,” tanya Angel men
Angel cukup terkejut melihat keberadaan Nick yang sudah berada di rumah saat dia pulang dari Bali. Dengan senyum yang tersungging di bibir, Angel menghampiri suaminya dengan tas selempang masih ada di bahunya. “Ya ampun, Mas! Aku gak nyangka lho kamu ada di rumah. Aku senang banget kamu di sini jam segini,” kata Angel melihat ke arah jam dinding, masih pukul 5 sore. Ini menjadi momen langka untuk mereka karena Nick pulang lebih cepat, ada di rumah lebih pagi. Nick yang sedang makan itu akhirnya menaruh garpu dan sendok di piringnya. “Iya, aku sudah pulang dari jam 4 sore. Tadinya mau hubungi kamu, mau jemput kamu di bandara. Ya sudahlah, karena kamu gak mungkin bisa dihubungi kalau lagi di pesawat, aku langsung pulang ke rumah aja,” tutur Nick memegang tangan Angel. Angel merasa berseri-seri, duduk di samping suaminya seraya mencondongkan tubuhnya untuk lebih intim. Suatu sikap yang tidak biasa dilakukan oleh Nick kepada sang istrinya. “Ahhh kamu so sweet banget Mas. Aku bahagia
“Angel!”“Angel!”Bara dua kali memanggil Angel yang sedang melamun saat menggoyangkan pulpen di atas meja. Wajah Angel murung dan seolah penuh beban pikiran. “Angel!”“Oh iya, Mas, Gimana ya?”Angel kikuk dan terkejut saat namanya dipanggil sekali lagi. Bara tersenyum kecil hingga mendekat ke arah Angel. Mereka sedang berada di ruang rapat, bicara dengan para klien. “Proposal kamu ini saya tolak! Semua produk ganti pakai punya perusahaan saya!”“Lho Mas! Kok gitu sih? Perusahaan kita merger ini bukan berarti semua produk saya dibumihanguskan kan? Kenapa produk kami gak boleh berkibar juga? Ya kalau kami gak bisa jualan juga, artinya ini sama saja perusahaan kamu dong! Bukan merger namanya, tapi ganti kepemilikan,” ucap Angel berteriak di depan wajah Bara, di hadapan para klien yang resah dan saling menoleh. “Kamu lupa perjanjian kita? Semua keputusan, ada di tangan saya!”“TERSERAH! SAYA GAK MAU ANDIL DALAM SETIAP PROJECT APAPUN! SAYA CAPEK!”“Angel!”Angel ke luar ruangan karena
Angel tiba-tiba tergerak untuk menelepon seseorang setelah selesai bicara dengan suaminya di telepon. Agak ragu memang, Angel menggigit bibirnya sendiri lalu mematikan ponselnya. Kriiing! Kriiing! “Ngel, tadi kamu telepon Ibu?” tanya ibu mertua, ibunya Nick. “Ehhh iya Bu. Kepencet,” kata Angel beralasan seraya bangkit dari kursi kerjanya lalu melihat ke arah jendela. “Ohhh kepencet. Hemm ibu kira kenapa. Nick nanti malam mau ke sini katanya karena besok akan berangkat dari sini, mau ke luar kota. Ibu kira kamu ikut,” kata sang mertua baik-baik saja. “Hemm … aku malah gak tahu Bu,” ujar Angel murung. “Gak tahu gimana maksudnya?” “Ehhh … enggak enggak. Maksudku, aku malah gak tahu bisa ikut apa enggak, karena memang klinik aku lagi sulit. Ada banyak sekali yang harus dibenahi. Jadi sebagai istri, aku dukung karier Mas Nick aja,” kata Angel menutupi sikap suaminya, dan tidak mau banyak mengeluh. “Ahhh … jangan terlalu sibuk. Kan akhir pekan ini ada libur tanggal merah plus ak
Saat long weekend tiba, Angel sudah berdandan sejak pukul 9 pagi. Dia memasang catok rambut kemudian menyiapkan dress yang cantik beserta blazer. “Ah enak banget sih kalian semua, sudah long weekend. Saya tetap harus kerja nih,” tutur Angel lewat grup chat para dokter dan karyawannya dulu, tanpa ada Bara di dalamnya. “Ah ibu, kami juga kan para dokter tetap on duty. Tetap masuk karena harus melayani pelanggan. Ya memang sih, ada yang shift dan piket bergantian. Yang liburan sih Riri tuh, ke Lombok katanya,” kata para dokter menyebut nama Riri. “Hehe, iya nih. Holiday dulu ya,” tulis Riri. Angel hanya bisa tersenyum membaca pesan di grup para karyawannya yang nyaris menganggur jika klinik ditutup. Yang utama, Angel merasa lega karena gaji mereka sudah dibayar dengan lancar saat ini. Angel menuruni anak tangga dan melihat ke meja makan. Si mbak ART sudah menghidangkan cereal dan roti tawar sesuai pesanan Angel. Krrriiing! Kriiiing!“Ya halo Ma,” kata ibunya Angel dari Singapura.
Croissant sisa satu menjadi saksi di antara mereka berdua. Rasa almond dan keju membuat Bara masih melirik croissant itu. “Yakin kamu gak mau?” tanya Bara melirik ke arah Angel dan croissant. “Hehe, kamu mau? Ambil aja. Atau saya belikan lagi,” kata Angel mulai tidak kaku saat bicara dengan Bara. “Ya udah, buat saya saja,” ucap Bara mengambil croissantnya lagi lalu mengunyahnya. Angel mesem-mesem melihat sikap Bara sambil menunjuk ke sudut bibir CEO sombong itu. Bara lantas memegang sudut bibirnya dengan tangannya. “Bukan, bukan yang itu, tapi yang kiri,” tutur Angel menunjuk ke arah sudut bibir Bara. Bara lantas mengambil tisu dan membersihkan dagu dan sudut bibirnya dari remah-remah roti. Dari arah berlawanan, Angel hanya bisa tersipu melihat tingkah Bara. Hingga akhirnya obrolan itu terpecahkan oleh suara ponsel. “Maaf ibu, HPnya Pak Nick saya yang pegang selama 2-3 hari ini. Karena memang di sini agak susah sinyal, dan Pak Nick bilang, gak bisa sering-sering balas chat atau
Bara berhenti di sebuah rumah mewah, meski lebih kecil jika dibandingkan rumah orang tuanya. Dari dalam mobil, Bara melihat ke sekeliling. “Ayahmu juga ada di sini?”Pertanyaan soal ayah langsung yang pertama ditanyakan Bara kepada Angel. Dan tentu saja Angel menjawabnya dengan gelengan kepala. “Papa sama Mama jarang pulang ke Jakarta. Mereka menetap di Singapura. Kalaupun ke sini, ya gak di rumah ini. Ini kan rumah saya bersama suami. Kalau Papa Mama, rumahnya gak jauh dari sini sih. Tapi rumah di sana ya dijaga sama anak buah mereka,” ujar Angel tersenyum. “Ohhh … pasti ayahmu sosok yang terlalu angkuh …”“Apa?” tanya Angel heran. “Oh maksudku, pasti ayahmu sosok yang tidak begitu akrab dengan anaknya, karena pulangnya saja jarang atau jarang bertemu,” kata Bara mengalihkan. “Ya memang kalau dibilang dekat, saya lebih dekat dengan ibu saya. Tapi Papa saya sosok yang tegas namun tetap lembut pada anaknya,” ujar Angel. “Ya belum tentu lembut pada anaknya, tapi lembut juga pada r
Angel melotot menatap Bara saat mendengar Bara menyatakan perasaannya. Sang perempuan berbadan dua itu sedikit memastikan apa yang sebenarnya Bara katakan. "Maksud kamu gimana mas? Aku gak paham," ujar Angel. "Ya maksudku sudah jelas Ngel. Bahwa aku sayang sama kamu. Entah kenapa, ini semua seperti proses. Jujur, awalnya aku sangat benci kamu dan ayahmu, namun setelah aku mengenal kamu lebih jauh, justru hidupku menjadi lebih baik, aku lebih banyak tersenyum. Kamu mengisi kekosongan dan mengusir rasa dendam itu Ngel," kata Bara menyatakan panjang lebar. "Apaan sih kamu mas ..."Angel mencoba menghindar dan menuju ke arah pintu ruang kerjanya. Bara lantas memegang bahu Angel. "Jangan marah Ngel, aku hanya menyatakan yang sebenarnya, yang aku rasakan," kata Bara. "Mas ... aku ini istri orang. Bahkan, aku sedang mengandung anak suamiku," kata Angel dengan mata berkaca-kaca. "Aku hanya mau tanya satu hal sama kamu Ngel," kata Bara. "Apa itu mas," sahut Angel. "Apakah kamu masih ci
Angel sudah jauh lebih baik hari ini. Dia sudah mulai bisa tersenyum saat masuk ke kantor. Sudah sepekan sejak Angel masuk rumah sakit dan dinyatakan hamil. "Ya baik! Deal ya pak! Kita jalankan kerja sama ini," kata Bara saat bersalaman dengan klien kemudian menoleh ke ruang kaca. Angel melintas dengan membawa tas tangan dengan penampilan yang sudah jauh lebih baik. Lantas kemudian Angel masuk ke dalam ruangannya. Bara bergegas menuju ke ruangan Angel. "Sehat Ngel?" tutur Bara tersenyum kecil. "Hei ... mas. Iya udah lebih baik," kata Angel tersenyum dan sudah jauh lebih tegar. "Syukurlah. Aku senang dengarnya. Gimana? Sudah lebih bisa rileks atau ..." "Ya, sudah mas. Aku sudah lama menginginkan anak ini," kata Angel memegang perutnya. "Iyaaa ... aku paham. Kalau kamu memang tidak sanggup, pulang gak apa-apa. Gak usah ke kantor," ujar Bara. UWEEKK! UWEEEK! Angel tiba-tiba mual. Dia lantas beranjak dari bangkunya lalu menuju wastafel. Bara cukup menunjukka
Nick bertanya kepada satpam di depan rumah Angel. Saat menurunkan kaca jendela, satpam tentu sudah mengenal majikannya. Saat mendekat, Nick mengajak satpam tersebut ngobrol. "Pak Nick gak masuk? Sudah lama sekali Pak Nick tidak pulang. Ibu lagi hamil katanya pak. Selamat ya," kata satpam enggan ikut campur. "Ah iya pak. Ya ... memang saya gak mungkin pulang. Mungkin bapak sudah tahu ..." kata Nick terlihat bimbang. "Iya pak. Yang sabar ya pak, saya ikut doakan yang terbaik," kata satpam. "Di dalam sedang ada tamu saya lihat," kata Nick menyelidik. "Ah iyaa... ada Pak Bara. Beberapa kali sering ke sini sejak bu Angel sering sakit dan hamil," kata satpam. "Ohhh ... sering datangnya?" tanya Nick. "Hemm ... ya sejak bu Angel masuk rumah sakit, dan pulang dari rumah sakit aja sih pak," kata satpam. Nick melihat ke arah mobil Bara. Dia mengangguk dan langsung pamit kepada satpam tanpa masuk. Lalu Nick memberikan sekantong plastik mangga dan bubur ayam untuk Angel. "Tolong kasih ya
Nick melihat istrinya pagi hari. Semalaman, Nick tidur di sofa. Wajah Riri cemberut dengan tanpa senyum sedikitpun. Nick bangkit dari sofa memegang bahu Riri dari belakang. "Jangan gitu dong sayang, jangan marah," kata Nick saat Riri tengah menyiapkan sarapan. "Apaan sih! Jangan sentuh sentuh aku," ucap Riri ketus. "Sayang ... aku kan memang masih suaminya Angel. Jadi wajar kalau kami memang tidur bareng. Dia aku kasih nakah batin," kata Nick mencoba merayu Riri. "Gila kamu ya! Berani-beraninya kamu berpikir seperti itu!" kata Riri. "Ya bukan berani-beraninya, saat itu memang Angel merayu aku, dan aku ....""TERGODA! AH KAMU EMANG DOYAN!" tukas Riri sambil mengacungkan pisau. "Sayang, please! Tolong mengerti," kata Nick. "Ya terus, kalau Angel sedang hamil anak kamu, terus, kamu gak jadi cerai? Terus nasib aku gimana? Terus jadi yang kedua seumur hidup? Hah!" "Ya gak begitu juga sayang ... Angel juga gak mau nerima aku lagi. Tapi, tentu memang kami belum bisa bercerai. Tapi ak
Pagi hari, Nick termenung di balkon apartemen. Riri dengan dress dan perut yang mulai terlihat, memberikan jus di pagi hari. Sang istri siri juga membawakan buah untuk suaminya. "Sayang, kok kamu melamun aja sih? Semalam pulang jam berapa? Aku udah tidur," kata Riri sambil memetik satu buah anggur. "Hemm iya, jam 11 malam," kata Nick sambil menatap ke arah sejauh mata memandang dengan dingin. "Oh gitu, kok gak bangunin aku sih? Terus, sekarang kamu ke kantor? Temani aku aja dong sayang," kata Riri langsung duduk di pangkuan Nick. "Aduh ..." kata Nick langsung mengelak lalu menghindar perlahan."Ada apa sih sayang? Kok kamu kayak sembunyikan sesuatu dari aku," kata Riri mulai curiga. "Hah? Gak apa-apa," kata Nick. "Pasti kamu mikirin Bu Angel kan? Jujur!" kata Riri. Nick hanya menggeleng dan menoleh ke arah Riri dengan dingin. Dia berdiri lalu memegang besi balkon sambil menatap jalan.Riri mulai resah, dan bingung dengan sikap suami yang dirampasnya. Lantas, Riri memeluk Nick d
TING TONG! ART membuka pintu. Bara yang datang, membawakan beberapa plastik berisi makanan. Pukul 7 pagi saat ini. "Pak Bara ... ada apa ya?" tanya ART sudah mengenalnya. "Angel ada? Sudah bangun?" tanya Bara ramah. "Non Angel lagi di area belakang, lagi minum jus di area kolam renang," kata ART. "Saya susul ya. Sudah makan belum dia?" tanya Bara lagi. "Tadi sih bu Angel katanya sedang mual. Jadi makanya minta dibikinin jus dan buah aja," kata ART. "Oh gitu, ya sudah, saya ke dalam ya," kata Bara seraya melangkah. Bara mengintip ke arah kolam renang. Terlihat Angel tengah menyantap buah sambil melamun. Tatapan matanya kosong dan memang sedang banyak pikiran. "Ehem! Morning," kata Bara tiba-tiba. "Ehhh ... mas Bara? Kok ada di sini," tanya Angel seraya berdiri menyambut atasannya. 'Ya kebetulan sebelum ke kantor sekalian lewat. Ada bubur sumsum dan kacang ijo nih. Mau yang mana? Belum sarapan kan," tanya Bara seraya memperlihatkan makanan yang dipegangnya. "Ya amp
Bara membantu Angel untuk pindah ke ruang perawatan. Pukul 19 malam ini, Widuri pamit saat Angel sudah lebih tenang. Bara tidak beranjak, seharian bersama Angel. "Bener, gak perlu aku temani?" tanya Widuri. "Gak perlu Wid. Gak apa-apa. Gak usah. Terima kasih. Kamu kan harus kerja lagi besok," kata Angel. "Besok aku akan ke kantor Nick. Akan aku bahas soal penundaan perpisahan kalian," kata Widuri. "Nanti ... kalau Mas Nick tanya, bilang aja, perceraian akan diurus setelah klinik laku terjual. Karena aku belum bisa juga bayar uang yang diminta oleh dia," ucap Angel sudah ikhlas. "Kenapa sih gak bilang kalau kamu hamil aja?" tanya Widuri. "Gak usah ... nanti aja. Aku gak mau berebut suami dengan Riri yang juga sedang hamil. Aku gak sudi dia bantu aku selama kehamilanku," ujar Angel kembali menangis. "Yang sabar ya Ngel," kata Widuri. Bara hanya menyimak obrolan mereka dengan mengupas kulit jeruk untuk Angel. Selanjutnya, Bara kemudian mengantar Widuri hingga ke pintu. "Mas Bara
"Iya halo, tante," tutur Bara menjawab telepon yang masuk. "Lho ini siapa?" tanya ibunya Angel di ujung telepon. "Saya Bara," kata Bara. "Lho Nak Bara. Sedang sama Angel ya? Kok teleponnya sama kamu?" tanya ibunya Angel bingung. "Tante ... ini ... Angel ... tadi pingsang. Sekarang sedang di rumah sakit," kata Bara. "APA? YA AMPUN! RUMAH SAKIT? KONDISINYA GIMANA? ADUHHH," kata ibunya Angel panik. "Tante tenang aja dulu. Angel sudah kami temani kok. Sejauh ini kondisinya sadar, sudah ditangani dokter," kata Bara. "Di rumah sakit mana? Nanti kamu chat tante ya! Biar tante dan om langsung ke sana. Kok bisa?" tanya ibunya Angel. "Tadi, Angel sempat bertengkar dengan Nick, tante. Di kantor. Ya setelah itu, Angel mungkin syok dan pingsan," kata Bara. "ITU ORANG LAGI GARA-GARANYA! SELALU AJA NYUSAHIN ANAK SAYA! YA SUDAH, TOLONG YA BARA. DI SANA ADA SIAPA?" tanya ibunya Angel. "Ada Santi kok tante, sekretaris saya. Widuri juga sebentar lagi datang, tadi sudah dikabari," kata Bara. "
Suara pertengkaran terdengar dari dalam ruangan Angel. Santi dan beberapa dokter hingga karyawan menguping dari luar. Mereka penasaran dengan apa yang terjadi. "Kasihan ya Bu Angel, dengar-dengar sih, rumah tangganya di ujung tanduk," kata salah satu karyawan. "Aduh, itu ribut banget lho, lebih baik segera buka pintunya daripada terjadi apa-apa," kata salah satu dokter. "Eh apa benar, WIL atau selingkuhan suaminya itu adalah si Riri? Soalnya, gue sempat dengar begitu. Apalagi Riri juga kan dipecat ya," kata yang lainnya. "Sssst, jangan pada gosip. Gimana ini," ucap Santi mencoba mengetuk pintu terus. BRUKK!BRUUUK!"Jahat kamu mas! Kamu tega mengkhianati aku, apa salahku? Aku sudah berusaha mencoba pasang badan buat kamu di depan Papa Mama! Kenapa sih?! Tega banget," teriak Angel dari dalam. "YA KARENA KAMU GAK BISA KASIH AKU ANAK!"Tak Tok Tak TokSuara pantofel pria terdengar masuk ke dalam. Pria itu terhenti sejenak langkahnya begitu dia melihat karyawan dan sekretarisnya ber