“Dirham?”
Dirham masih kaku melihat wanita berparas cantik dengan baju yang cukup seksi dan elegan berdiri di depannya dengan wajah terkesima. Irfan yang tidak tahu apa-apa hanya bengong melihat ke-dua orang di depannya silih berganti.“Nana? Kamu ada di Jakarta?” mata Dirham berbinar seketika, kebahagiaan di wajahnya tidak bisa disembunyikan dari siapapun. Irfan hanya memperhatikan mereka berdua.
“I-iya, sudah seminggu aku di sini.” Juliana yang dipanggil dengan Nana oleh Dirham itu tersenyum manis pada Dirham.“Ada yang luka nggak tadi? Kita ke dokter ya?” setelah mengenali siapa wanita yang hampir saja ketabrak mobilnya, Dirham bertanya penuh khawatir, ingin memastikan keadaan Juliana, apa ada yang cedera.Sekali lagi Juliana tersenyum, Dirham masih belum berubah. Masih perhatian padanya seperti dulu. Ada sedikit harapan menyusup di hati wanita itu.
“I am okay Am, tadiTamparan keras dari Nora membuat kepala Dirham terteleng kesamping kanan, Dirham mengusap pipinya yang terasa sedikit pijar. Dia mengeraskan rahang, terdiam tanpa kata. “Mama kecewa sama kamu. Jangan sampai penyesalan yang kamu dapatkan nanti Am.” Wajah Nora memerah menahan amarah. Putranya sudah keterlaluan. “Ma, Am tidak bisa memaksa hati, untuk saat ini belum bisa. Sorry.. ” Dirham melangkah laju meninggalkan Nora yang kini terpaku menyadari apa yang baru saja dia lakukan. Ini pertama kali dia menampar putranya, ada sesal di relung hatinya, tapi kekesalan pada kalimat dan pendirian Dirham telah mengaburkan pandangannya. “Kenapa Ma?” Adam baru saja masuk dan melihat istrinya sedang termenung dengan wajah sedih. Matanya berkaca-kaca. “Ada masalah apa? Kok sedih gitu? Bertengkar dengan Am?” Adam menyentuh bahu istrinya. Nora menarik napas dalam. “Mama tidak mengerti dengan Am itu Pa, entah kenapa ber
“Gue juga tidak asing sepertinya.. ” “Hai Am, Jehan.” Dirham menoleh pada suara yang menegur mereka. Julia. Entah kebetulan atau apa sehingga mereka bertemu dengan Julia di tempat seperti ini. “Jue, sendirian?” Jehan bertanya pada Julia. Dirham sama sekali tidak memandang Julia, mungkin masih menyimpan rasa kesalnya karena Julia pernah bicara keterlaluan saat terakhir datang ke rumah keluarganya. “Am, masih marah? Sorry, waktu itu aku emosi. Kita lupain masa lalu ya, masih teman?” Julia mengulurkan tangannya mengajak Dirham untuk salaman. Pria tampan yang menjadi kegilaannya itu mengangkat wajah memandangnya sekilas dan menyambut uluran tangan Julia. “Friend!” “Yeay, thank you.” Julia bersorak gembira dengan sambutan Dirham. Jehan mengangkat keningnya sebelah heran dengan dua orang temannya itu. “Ada sesuatu yang aku lewatkan?” Jehan memi
Satpam membuka pintu pagar setelah mengenali mobil yang berhenti di depan.Jehan masih belum percaya sepenuhnya pada omongan Dirham tadi, bisa saja karena mabuk dia ngomong yang tidak-tidak.“Masnya nanti pulang naik apa kalau mobilnya dimasukkan?” pak Mansur nama satpam itu, baru seminggu ini mulai kerja lagi di rumah besar keluarga Assegaff. Jehan yang ditanya hanya tersenyum dan keluar dari mobil Dirham.“Gampang pak, saya sudah pesan Ojek online. Harus ambil mobil saya di suatu tempat.”Dirham keluar dari mobil dan memuntahkan isi perutnya. Kepalanya sakit. Perutnya mual.“Mau dibantu nggak Mas, tumben Mas Dirham pulang dalam kondisi mabuk gini.” Jehan mengurut belakang tubuh Dirham, dia melihat jam di pergelangan tangannya.23.30“Pak Adam ada nggak pak kalau jam segini?”Jehan kuatir Dirham kena marah dengan papanya.“Biasanya sudah t
“Hai, aku Romi sepupu tercinta suami kamu, jadi kamu juga bisa aku sebut sepupu ipar tercintaku. Duduk aja lagi, jangan tegang kek suami kamu, kaku kaya balok.” senyum Romi semakin lebar melihat Dirham mengeraskan rahangnya. Ternyata Dirham tidak pernah berubah dari dulu.Dinar tersenyum lucu mendengar ucapan Romi dan kembali duduk di samping suaminya. Ia mengambil secawan kopi untuk Dirham.“Sudah Am, lanjut makan! Rom, berangkat bareng Uncle saja ya nanti. Biar Irfan antar kamu sampai sana sekalian.” Adam sudah tahu tempat yang akan Romi tuju.“Baik uncle.” Romi duduk dan memilih sandwich untuk sarapan. Secawan kopi diberi oleh Nora padanya, disesap penuh perasaan. SementaraDirham kembali duduk dan meneruskan makannya.“Kopinya enak banget, sandwich-nya juga, aunty Nora paling top kalau soal masak.”“Ini semua Dinar yang masak, bukan aunty.”“Oh, wah pantesan.. &
Dinar terkesiap mendengar tuduhan tanpa dasar dari Dirham.“Lepas Am, sakit.” Dinar mencoba terus melepaskan diri dari cengkraman tangan Dirham, perut yang membukit membuatnya kesusahan bergerak.“Bro, jangan kasar dengan wanita bisa nggak?”Romi ingin membantu Dinar yang kini di tarik ke arah ruang tamu utama. Tapi Dirham tidak menghiraukannya.“Jangan pernah ikut campur urusan rumah tangga gue, suka-suka gue mau ngapain aja dengan dia.”“Am, wait!” Romi terus memanggil Dirham yang sekarang sudah menarik Dinar untuk ikut bersamanya menuju kamar atas.Pintu kamar dikunci dari dalam, lengan Dinar dilepaskan dengan kasar. Mereka sekarang berdiri tapi Dirham membelakangi istrinya.“Aku tidak suka anak aku kau ajak keluyuran dengan alasan periksa ke dokter.”Suara Dirham bergetar menahan emosi.“Aku tidak keluyuran, aku
“Kenapa tidak boleh, kamu mengandung anakku, wajar kan jika aku perhatian sama kamu, kalau kamu tidak makan, baby bisa sakit karena kurang asupan nutrisi.” ucapan Dirham sama sekali tidak bisa menghentikan air mata Dinar.“Hei, kenapa malah nangis, ada yang sakit?” Dirham duduk di depan istrinya, Dinar menggeleng dengan cepat. Airmata yang sudah deras mengalir diusap dengan punggung tangan.‘Kenapa kamu tidak bisa mengerti aku Am? Hatiku yang sakit.’Dalam hatinya Dinar berbicara sendiri.“Sekarang makan ya, aku suapin.”“Aku makan sendiri aja.”“Nggak! kamu nggak akan makan kalau dibiarkan.”Selain dia masih sebal dengan Dirham dia juga malu kalau disuapin makan. Dinar tidak mau Dirham melihat luka hatinya lewat tatapan mata mereka“Aku akan makan, nanti ku habiskan. Janji!”“Tidak ada bantahan.”Dirham mengang
Mengandung konten 21+, yang masih di bawah umur harap skip dulu.Dirham melangkah semakin dekat dengan istrinya, wajah Dinar tampak pucat karena ketakutan, aura kemarahan tergambar jelas di wajah suaminya.Ponsel yang berada di atas lantai diambil oleh Dirham. “Sudah berapa kali aku peringatkan sama kamu Di, jangan pernah sentuh barang-barang pribadi ku, ponsel ini juga termasuk privasi ku, jangan berani usik apapun itu!” Dirham memejamkan mata mencoba menahan amarahnya. Melihat perut istrinya yang besar entah kenapa bisa meredam emosinya. Wajah ketakutan Dinar cukup membuatnya kesal pada diri sendiri.‘Aaaaargh, aku kenapa.. ’“Aku.. aku tidak berniat Am, aku hanya... ”“Sudah! Sekarang tidur.” Dinar mengangguk pelan, hatinya lega karena Dirham tidak meneruskan kemarahan yang tadi membuatnya takut setengah mati. Tangan Dinar diraih, membuat empunya mendongak menatap wajah sa
“Tapi nanti, setelah anak itu lahir apa kau akan memisahkan dia dari ibunya?”“Kamu bisa menjaga dia nanti kan?” Mendengar itu air mata Dinar tidak bisa dibendung lagi, dia benci Dirham. Sampai hati dia meminta anaknya dijaga orang lain.‘Itu artinya? Itu artinya memang perpisahan sudah ada di depan mata, jahat kamu Am. Aku benci kamu sampai kapanpun aku benci!’ Kakinya yang lemah dipaksa untuk meninggalkan tempat itu, nampan yang tadi dibawa bersama dua cawan kopi ditinggalkan di meja ruang tamu kedua. Hatinya sakit. Dinar mengatur langkah menuju ke kamar atas, beberapa baju dikeluarkan dari lemari dan dimasukkan kedalam tas, dia tidak ingin menyerahkan anaknya jika harus dijaga oleh orang lain, anaknya butuh dia, dia butuh anaknya. Dinar bertekad akan membawa anaknya pergi dari rumah itu sekarang. Di ruang kerja. “Aku nggak paham maksud mu Am.”Nana yang duduk di depan Dirham berbicara dengan