Kehamilan Anjani sudah genap sembilan bulan. Jenis kelamin bayi itu pun tentu sudah diketahui yaitu berjenis kelamin laki-laki. Perhatian Andrio tentu tak pernah surut. Orang tua Andrio pun kembali mengunjungi Anjani di rumah itu. Mereka berkumpul di ruang tamu. Alena yang baru balik dari dapur karena habis menyuruh Bi Jum untuk membuatkan mereka minuman, mendengar percakapan mereka yang sepertinya sudah berlangsung sejak tadi. "Akhirnya kita punya cucu juga, ya, Pa. Laki-laki lagi," ucap Marissa pada suaminya, Putra. "Dia nanti yang bakal nerusin perusahaan Papa." Anjani yang duduk di sofa, didampingi Andrio, hanya tersenyum senang sambil mengelus perutnya yang sudah besar. "Namanya siapa, ya, Pa, kira-kira?" tanya Marissa lagi. "Gimana kalau Kenzy Alvaro aja. Bagus 'kan?" "Belum juga lahir, Ma, udah dikasih nama," sahut Andrio. "Nggak pa-pa. 'Kan persiapan." Marissa tak mau kalah. "Tapi katanya pamali lho, Ma. Kasih nama kalau bayinya belum lahir," sahut Andrio lagi. "Ah, Ma
Tengah malam, dini hari, ketika Andrio tidur dengan Alena, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar mereka dengan keras di susul rintihan perempuan seperti orang kesakitan. "Mas ....!! Andrio terbangun lebih dulu mendengar sayup-sayup suara itu sampai dia mendengar jelas kalau itu suara Anjani. Kantuk Andrio pun seketika sirna kala dia teringat sesuatu. Pria itu langsung bergegas bangun dan membuka pintu. Terlihat Anjani yang kesakitan sambil memegangi perutnya. "Mas, aku udah mau lahiran ini, Mas!" Andrio menatapnya dengan raut khawatir. "Iya, iya. Aku bangunin Alena dulu." Tanpa banyak bicara lagi, Andrio kembali ke tempat tidur, membangunkan Alena yang masih tidur nyenyak. "Alena, Alena, bangun, Sayang ..." Andrio menggoyangkan lengan Alena. Alena pun mulai mengerjap-ngerjap. Dia melihat wajah Andrio terlihat tegang. "Ada apa, Mas?" "Anjani kontraksi, Al. Dia udah mau melahirkan. Tolong bilangin Bi Jum buat nyiapin bajunya, ya." Alena yang belum sadar sepenuhnya dan tiba-
Proses melahirkan itu berjalan lancar. Anjani berhasil melahirkan bayinya dengan normal. Bayi itu juga sudah diadzankan oleh Andrio. Waktu pertama kali melihat bayi itu di samping Anjani yang terbaring lemah, Alena merasa terharu. Ingin sekali dia menggendong dan mencium bayi yang masih terpejam dengan kulit merah itu. "Bayi kamu lucu, ya." Alena lalu menatap Anjani. "Iya, yang penting sehat dan normal," jawab Anjani yang juga memandangi bayinya sambil tersenyum. "Anjani," panggil Alena lagi. "Iya, Mbak?" Anjani beralih menatap Alena. Alena tersenyum. "Terima kasih, ya, kamu sudah berjuang melahirkan bayi itu, kamu sudah berhasil memberi Mas Andrio keturunan." "Anak itu anakku juga, Mbak. Sudah seharusnya aku berjuang untuknya," jawab Anjani. Alena meraih tangan Anjani. "Maafin saya, ya. Selama ini kadang bersikap nggak menyenangkan sama kamu." Anjani tersenyum. "Nggak pa-pa, Mbak. Saya maklum." Alena terdiam. Dia tidak tahu apakah Anjani tulus dan benar-benar memaafkannya,
Empat puluh hari pasca melahirkan sudah Anjani lalui. Keadaannya pun sudah pulih. Anjani juga sudah kembali aktif bekerja di kantornya. Dan selama Anjani tidak berada di rumah, Alena-lah yang menggantikan peran Anjani mengurusi Kenzy. Sebenarnya Andrio ingin menyewa babbysitter untuk merawat anak mereka, hanya saja Alena melarang. Katanya biar dia saja yang mengurus dan menjaga Kenzy. Lagi pula Kenzy masih bayi, tidak akan begitu repot mengurusinya. Seperti saat ini. Di rumah tidak ada orang selain dirinya, Bi Jum yang sibuk di dapur dan Kenzy yang kini di gendongannya. Alena memangku bayi itu di tepi kasur kamarnya. Menatapi wajah bayi itu yang sedang tidur. Meski Kenzy bukan anak kandungnya, dia berandai-andai kalau Kenzy adalah anak kandungnya. "Begini kah rasanya jadi Ibu ...," gumamnya seorang diri. Dia tiba-tiba teringat mendiang ibunya. Ibunya yang melahirkannya, ibunya juga membesarkannya seorang diri tanpa suami. Lalu dia membayangkan dirinya membesarkan seorang anak ta
"Halo, Bu, ada apa?" Anjani mengangkat telepon dari ibunya sambil memangku Kenzy. "...." Anjani tersenyum. "Alhamdulillah, Bu. Kenzy sehat, semuanya baik-baik aja." "...." "Hubungan aku sama suamiku dan Mbak Alena juga baik-baik aja." "...." Anjani terdiam mendengar ibunya berceloteh panjang lebar. Lalu wajah wanita itu berubah muram. Sebelum akhirnya dia menjawab. "Aku nggak bisa, Bu. Aku nggak tega sama Mbak Alena. Dia baik sama aku, Bu, sama anakku juga." Rupanya Bu Dedeh berusaha menghasut Anjani agar anaknya itu berbuat ulah lagi seperti sebelum-sebelumnya untuk membuat Alena dan Andrio bertengkar hingga akhirnya Alena memilih keluar dari rumah itu. "...." "Nggak, Bu, aku nggak mau!" Wajah Anjani berubah sengit. "Dengan Mas Andrio nggak menceraikanku sudah cukup buatku ...," Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka. Anjani sedikit terperanjat dan menoleh sekilas. Ternyata Andrio masuk ke kamar. "Bu, udah dulu, ya, teleponannya. Ada suamiku," bisik Anjani sebelum akhirnya
Berhari-hari berlalu. Alena masih sering memikirkan kesepakatan awalnya dengan Anjani. Ingin juga membicarakannya, tapi selalu saja gagal. Dia seperti tidak diberi kesempatan untuk membicarakan hal itu. Terlebih ketika dia melihat sikap Andrio yang begitu hangat dan romantis ke Anjani. Dia takut suaminya justru marah dan membencinya jika dia meminta Andrio menceraikan Anjani. Hingga pada akhinya dia hanya bisa memendam perasaan itu sendiri. Hari ini hari libur. Meski pun libur, Andrio tetap mendapat giliran jaga di rumah sakit pagi ini. Sedangkan Anjani tidak masuk kantor hingga dia bisa menjaga anaknya, Kenzy. Tapi hari itu tidak seperti biasanya. Alena mengajak Anjani menemaninya belanja bulanan di Mall. Anjani dengan senang hati menerima ajakan itu. Dengan menitipkan Kenzy ke Bi Jum, mereka pun berangkat menggunakan mobil. Alena yang menyetir. Alena sengaja mengajak Anjani pergi. Niat hati sepulang dari pasar, dia akan membicarakan perjanjian itu. *** Mobil yang Alena kendarai
Alena berlari ke arah kerumunan, tak peduli dengan belanjaannya yang berserakan di jalan. Isinya keluar dari kantong. Hancur di pijak orang-orang yang lewat. Dia menyibak paksa kerumunan itu hingga terlihatlah perempuan terbaring kaku dengan kondisi mengenaskan. Wajahnya masih terlihat jelas. Namun, di bawah kepalanya darah kental sudah menggenangi jalan. Kaki sebelah kirinya terlihat bengkok ke kanan dan berdarah-darah. Alena mematung. Kakinya seketika lemas serasa tak mampu menopang tubuhnya berdiri. Ini benar-benar seperti mimpi. Alena berharap ini mimpi. "Anjani!!" *** Di bantu oleh warga, Alena yang histeris dan mayat--entah pantas dikatakan mayat atau tidak--Anjani di bawa ke rumah sakit terdekat. Alena menangis sejak tadi di dampingi oleh seorang ibu-ibu. Sementara mayat Anjani diperiksa oleh dokter di ruangan. Meski kecil kemungkinan, Alena berharap Anjani masih bisa diselamatkan. "Bu, bisa tinggalkan saya sendiri?" pinta Alena pada ibu itu. "Neng, udah mendingan? Apa
Kuburan bernisan Putri Anjani binti Wibowo itu sudah tertutup sempurna dan bertabur bunga. Para pelayat pun sudah pada bubar, menyisakan keluarga inti mendiang Anjani. Tak terkecuali Bu Dedeh yang langsung datang dari kampung mendengar kabar anaknya meninggal karena kecelakaan. Sepanjang prosesi pemakaman Anjani berlangsung, Bu Dedeh orang yang paling histeris. Wanita itu terus menangis dan berteriak-teriak di depan kuburan sang anak seolah tak rela anaknya pergi meninggalkannya secepat ini. Tragedi itu persis seperti Alena yang kehilangan ibunya dulu. Alena jadi teringat akan dirinya dulu. Alena sungguh kasihan melihat Bu Dedeh. Alena bisa merasakan apa yang dirasakan wanita itu. Anjani adalah anak pertamanya sekaligus punggung keluarganya. Jika Anjani pergi siapa pula yang menafkahi keluarganya? Dengan kesedihan yang mendalam, Alena memberanikan diri menyentuh bahu Bu Dedeh yang setia meratapi makam anaknya. "Sabar, Bu ...." Namun, tanpa di duga Bu Dedeh menepis tangannya kasar
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu