Waktu sarapan yang mereka lewati dengan canda tawa itu berakhir. Ketika Andrio siap-siap berangkat kerja, Alena dengan sigap mengantar suaminya sampai depan rumah. Dia takut keduluan Anjani. Sesampainya di teras, Andrio sempat mencium kening Alena yang langsung tersenyum. "Aku pergi dulu, ya." "Hati-hati di jalan, ya, Mas," pesan Alena. "Iya, Sayang." Lagi-lagi Alena menahan senyum. Jawaban Andrio tak dia duga. Andrio memanggilnya sayang di depan Anjani. Dan itu menunjukkan bahwa Andrio memang lebih menyayanginya ketimbang Anjani. Entahlah, rasanya dia cemburu dengan wanita yang berdiri di sampingnya kini. Dia tak ingin Anjani merebut perhatian Andrio darinya. Mobil Andrio melaju meninggalkan halaman yang sempit itu. Andrio sempat menghidupkan klakson singkat. Bersamaan dengan Anjani yang berdada ria. Selepas kepergian mobil itu, Alena memanggil Bi Jum untuk menutup pintu pagar. "Anjani saya mau ngomong sama kamu," ucap Alena sebelum masuk ke rumah. Anjani pun mengiringinya. Ke
Hari-hari terus berlalu. Keluarga Anjani--Bu Dedeh dan Rara--sudah balik ke kampung mereka, Desa Cikidang. Sejak kehadiran Anjani dan Bi Jum, suasana rumah megah itu terasa sedikit ramai. Rutinitas Alena pun berubah. Dia tak lagi memasak dan beberes rumah karena sudah ada asisten rumah tangga yang menggantikan perannya. Membuat Alena jadi lebih berantai-santai layaknya Nyonya seutuhnya. Anjani pun mulai kembali bekerja sebagai sekretaris setelah cukup lama dia cuti pasca pernikahannya. Tanpa terasa hampir tiga minggu usia pernikahan Andrio dan Anjani. Dan selama itu keduanya masih sungkan. Meski Andrio tak kunjung menyentuhnya, Anjani tak lelah memberi perhatian pada Andrio, tentu tanpa sepengetahuan Alena. Anjani cenderung memberi perhatian ke Andrio saat mereka sedang berdua saja. Tak hanya itu, Anjani juga berusaha agar Andrio bernafsu menyentuhnya. Wanita itu mengenakan pakaian seksi ketika Andrio tidur dengannya--meski Andrio hanya berbaring di sampingnya atau di lantai kamar
"Maaf, Nyonya. Bukannya saya lancang atau ikut campur," ucap Bi Jum di tengah-tengah percakapannya dan Alena yang baru saja membicarakan tentang alasan Alena menyuruh Andrio menikahi Anjani. Alena yang sedang mencuci piring di kitchen sink menoleh ke Bi Jum yang sedang mengaduk nasi gorengnya di wajan. "Kenapa, Bi?" "Tadi malam saya liat Tuan Andrio masuk ke kamar Nyonya Anjani dan nggak keluar-keluar lagi." "Iya, Bi. Memang saya yang suruh Mas Andrio tidur sama Anjani," jawab Alena tenang sambil meneruskan pekerjaannya. "Nyonya ndak pa-pa kalau suaminya ... maaf sama Nyonya Anjani?" Alena terdiam. Dia mengerti maksud Bi Jum. Mungkin Bi Jum berpikir kalau Alena sakit hati mengetahui jika Andrio tidur dengan madunya. Meski tidur dengan Anjani, Alena masih yakin kalau Andrio biasanya suka tidur terpisah di lantai kamar. Dan Bi Jum tentu tak tahu itu. Alena sudah biasa bercerita pada pembantunya itu tentang apa pun. Termasuk dia yang menyuruh Andrio menikah lagi karena dirinya tak
Sejak hari itu tanpa bertanya pun Alena tahu, Andrio dan Anjani sudah melakukan kewajiban mereka sebagai suami dan istri. Andrio pun jadi lebih sering tidur dengan Anjani. Kadang Alena sakit hati dan sedih, tapi dia lebih mengerti ini risiko yang harus dia terima. Hari itu libur, Andrio pun tidak ke mana-mana. Dia memilih nge-gym di rumah--di ruang olahraganya. Alena menyiapkan camilan dan minuman untuk diantarkan ke ruang olahraga suaminya. Dengan senang hati dia membawa nampan berisi makanan dan minuman leci dingin itu. Sekalian dia mau melihat suaminya nge-gym. Namun, tiba di ambang pintu ruang olahraga, langkah Alena terhenti seiring dengan senyumnya yang memudar. Ternyata dia sudah keduluan. Dia melihat Andrio dan Anjani sedang duduk di kursi yang ada di ruangan itu. Mereka tampak mengobrol sambil tertawa-tawa. Di atas meja dekat kursi itu juga terdapat sepiring kue dan dua botol minuman dingin. Anjani sudah menyiapkan semuanya lebih dulu. Anjani memakai pakaian ketat dan ce
Tak mau terus-terusan bersedih di rumah, Alena memutuskan keluar jalan-jalan untuk menenangkan pikiran. Dia mengendarai mobil sendiri. Di tengah perjalanan dia baru mengirim pesan pada suaminya. To Mas Andrio: Mas, aku keluar, ya. Jengukin makam Ibu dan Mbah Nani. Sekarang aku udh di jalan. Alena yakin, suaminya tak akan mempermasalahkan dirinya yang keluar lebih dulu baru memberitahu. Yang penting pria itu sudah tahu dia ke mana. Alena menghentikan mobilnya di depan sebuah TPU. Lalu turun dari mobil. Sebelum dia ke makam, dia singgah ke tempat penjualan bunga yang tak jauh dari makam tersebut. Setelah membeli bunga kertas yang dia bawa dalam keranjang di tangannya, Alena menyusuri tanah kuning yang mana kiri kanannya berjejer batu nisan berkeramik. Angin sepoi-sepoi dari pepohonan lebat di sekitarnya terasa berhembus menerpa wajah dan menerbangkan anak rambutnya. Lantas perempuan itu berhenti di depan makam yang bertuliskan nama Leyla Prameswari. Sejak menikah dia belum pernah me
Andrio berdiri menghadap balkon lantai dua, menatap pemandangan perumahan komplek dari ketinggian. Atap-atap rumah orang yang tidak bertingkat terlihat dari sini. Angin sepoi-sepoi berhembus terasa menyejukkan wajah. Pria itu sedang memikirkan seseorang. Tak lain adalah istrinya, Alena, yang pergi mendadak. Sesekali dia merogoh ponselnya dalam saku, mengecek balasan pesan dari Alena, tapi ternyata pesannya belum dibaca. "Katanya ke makam. Kok lama banget, sih?" gumamnya sambil kembali memasukkan ponselnya ke saku. "Ini udah sore lho, ngapain ke makam sore-sore." Andrio gusar. Perasaannya tak nyaman. Sementara itu di ruangan lain, Anjani sibuk berkhayal. Perempuan itu mengelilingi lantai dua rumah itu. "Hmm coba Mbak Alena sering-sering aja nggak ada di rumah kayak gini. Aku jadi bebas berduaan sama Mas Andrio." Wanita itu tersenyum geli. "Gini kali, ya, rasanya seandainya aku satu-satunya istri Mas Andrio sekaligus satu-satunya Nyonya di rumah ini. Pasti akan sangat menyenangkan .
Mobil yang Alena kendarai akhirnya tiba di depan pagar tinggi itu. Kebetulan ada Bi Juminten yang sedang menyapu-nyapu teras. Daun kering yang tersasar dari pohon tetangga sebelah di teras rumah itu membuat Bi Jum menyapu lagi. Bi Jum yang mendengar suara mesin mobil Alena langsung membukakan pagar. Mobil Alena pun langsung masuk menuju garasi. Begitu turun dari mobil, Alena langsung menyuruh Bi Jum untuk mengangkat barang-barang belanjaannya dari mobil. "Pantas Nyonya pulangnya sore. Belanjaannya banyak gini," respons Bi Jum ketika melihat kantong-kantong besar dan tootbag-tootbag belanjaan di bagasi yang terbuka. "Pasti Nyonya repot. Kenapa ndak ajak Tuan tadi buat temenin?" Alena tertawa. "Aku lama karena ke makam ibu dulu tadi, Bi. Aku juga nggak mau gangguin Mas Andrio." "Oala Nyonya ke makamnya Ibu?" "Iya, Bi. Boleh di bawa barang-barangnya." Alena menunjuk bagasi itu dengan kunci mobil. "Itu nggak cuma barang dapur. Ada juga perlengkapan pribadi aku. Oh iya aku juga beliin
Alena masuk ke kamarnya dengan linangan air mata dan sakit hati yang luar biasa. Wanita itu menutup dan mengunci pintu. Lantas terduduk di balik pintu, meratapi kesedihannya. Hal yang sering dia lakukan ketika bertengkar dengan suaminya seperti ini. Amarah yang selama ini dia pendam akhirnya keluar juga. Dan yang tak dia sangka, ketika dia memilih meluapkan amarah dan kekesalannya itu, sikap suaminya malah membuatnya makin sedih. Bayang-bayang awal pernikahan mereka kembali melintas di kepala. Di awal pernikahan mereka begitu bahagia sampai akhirnya dirinya dinyatakan mandul dan dia merelakan Andrio menikah lagi. Banyak hal yang sudah dia korbankan. Mulai dari berhenti kerja dan mengabdi menjadi ibu rumah tangga sampai merelakan suaminya menikah lagi. Dan itu semua hanya agar Andrio punya anak. Perjuangannya sudah sejauh ini dan dia tak ingin perjuangannya sia-sia. "Ya Allah aku nggak yakin apa aku bisa terus bertahan, tapi aku akan berusaha." Alena terus menangis seorang diri. *
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu