Usut punya usut ternyata Anna demam karena beberapa faktor yang mungkin jadi penyebabnya; Satu, dia memang kehausan karena kekurangan cairan hingga dehidrasi. Dua, Alena tanpa sadar memakaikan bayinya pakaian berlapis-lapis karena takut bayinya kedinginan. Alih-alih menghilangkan dingin, bayinya jadi kepanasan.Dan kini mereka sedang sibuk menggantikan pakaian yang tipis untuk Anna. Namun, tentu saja bayi itu masih kehausan. Dan Alena masih bingung bagaimana cara mengatasinya.Sampai akhirnya Alena nekat menyusui bayinya walau pun air susunya keluar sedikit. Dan ternyata cara itu cukup membuat bayinya tenang dan tidak menangis lagi. Walau asinya sedikit, bayinya terlihat menikmati proses menyusui itu. "Gimana? Asinya udah keluar?" tanya Andrio yang baru saja menaruh kain-kain bayi di lemari. Andrio duduk di samping Alena dan melihat istrinya yang coba menyusui."Nggak tahu, kayaknya ada sedikit. Lumayan lah dari pada nggak sama sekali," ucap Alena tanpa mengalihkan tatapannya dari ba
Alena baru saja selesai memandikan Anna dan Kenzy. Sebelum akhirnya dia menikmati sarapan di meja makan bersama Rara dan adik mendiang Anjani lainnya. Sarapannya yang tadi di taruh Bi Jum di atas nakas kembali dia keluarkan di ruang makan. Selama Alena bisa melakukan aktivitasnya seperti biasa, dia merasa tak perlu diperlakukan demikian. "Nyonya tuh harusnya sarapan di kamar aja. Nggak perlu ke sini. Kalau Tuan tahu hmm habis Bibi dimarahin. Kenapa, sih, Nyonya kalau dikasih tahu suka ngeyel." Bi Jum meletakkan lauk tambahan yang baru matang di atas meja. Sambil mengajak majikannya itu bicara. "Udah, Bi. Bibi nggak perlu khawatir, aku baik-baik aja, kok. Mas Andrio juga nggak mungkin marah kan dia nggak tahu, aku yang jamin," sahut Alena sambil menghabiskan sarapan nasi goreng ayamnya. "Tapi Nyonya emang sebaiknya jangan banyak gerak dulu. Dengerin Tuan harus banyak-banyak istirahat di kamar. Nyonya kan masih dalam fase nifas," beritahu pembantunya itu yang tentu sudah lebih banyak
"Ih cucu Oma pinter udah mahir jalannya ...." Alena berdiri menatap kaca jendela yang mana jendela itu mengarah ke arah taman di samping rumahnya. Dia melihat Kenzy diajarkan jalan sama Mama Marissa. Kenzy berjalan sambil dipimpin omanya. "Mama Marissa keliatan sayang banget sama Kenzy." Alena lalu menunduk, menatap bayinya dalam gendongan. Bayi itu sedang tidur. Dia teringat juga dengan ucapan-ucapan maminya dulu. " .... Entah kenapa sejak awal feeling Mami tuh nggak enak tentang mereka. Mami merasa mereka punya niat buruk sama kamu. Coba bayangkan seandainya Anjani nggak meninggal, mungkin dia sudah merebut Andrio seutuhnya dari kamu dan pelan-pelan dia akan menguasai keluargmu bahkan hartamu." "Nggak mungkin lah, Mi, Anjani sejahat itu," bantahnya. "Kamu jangan naif, Alena. Biar bagaimana pun Anjani itu seorang perempuan. Dia pasti ingin berada di posisi kamu." "Mungkin yang Mami bilang bener. Seandainya Anjani masih hidup, dia pasti jadi pusat perhatian keluargaku, mungkin ju
Tok! Tok! Tok! "Nyonya ... Nyonya ...." Samar, Alena mendengar suara Bi Jum memanggilnya. Sampai akhirnya Alena membuka mata dan suara Bi Jum makin terdengar jelas. Dia pun tersadar tadi asyik menangis hingga jatuh tertidur di samping bayinya yang juga tidur. "Iya, Bi!" Alena bangun untuk membukakan pintu karena pintu kamarnya sengaja dia kunci agar tak ada yang masuk dan melihatnya menangis. "Ada apa, Bi?" tanya Alena setelah membuka pintu. Dan melihat Kenzy di gendongan Bi Jum. "Saya mau beri tahu Bu Marissa sudah pulang barusan. Tadi saya panggil Nyonya nggak nyahut-nyahut. Jadinya beliau nitipkan Kenzy sama saya," jelas sang asisten rumah tangga itu. "Oh. Sini Kenzy nya." Alena mengambil alih Kenzy dari gendongan Bi Jum. Mata bayi itu terbuka lebar. Dia menatap Alena. "Kalau begitu saya permisi, Nyonya." Alena mengangguk. "Makasih, Bi." Sepeninggal Bi Jum, Alena menutup pintu. "Hei, udah puas, ya, mainnya sama Oma? Gimana mainnya? Seneng?" Alena mengajak Kenzy bicara samb
Sore itu Andrio pulang dari rumah sakit. Dia memarkirkan mobil di garasi seperti biasa lalu kemudian turun dari mobil dan masuk ke rumah. Dia mencari-cari istrinya yang tak dia temukan di ruang televisi seperti biasa. Istrinya itu juga tidak menyambut kepulangannya seperti biasa.Namun, dia mendengar suara tangis Kenzy yang begitu kencang, arahnya dari dalam kamar. Andrio pun bergegas menuju kamar dengan masih membawa tas kerjanya. Andrio membuka pintu dan melihat Alena berusaha mendiamkan Kenzy yang menangis kencang. "Ya Allah, Nak. Maafin Mama, ya, Nak. Mama nggak becus menjaga kamu," ucap Alena."Alena." Panggilan Andrio itu membuat Alena menoleh. Wajah wanita itu terlihat panik dan sedih. "Kenapa, Al?" Andrio mendatangi Alena. "Mas." Alena menangis."Kenzy kenapa?" Andrio menatap Kenzy dan Alena bergantian dengan tatapan khawatir."Kenzy kejedot box, Mas. Liat ini." Alena menunjuk memar yang kebiruan di dahi Kenzy. "Ini salahku, Mas. Aku teledor tadi." Alena menjelaskan sambil
"Apa?! Kejedot?! Bagaimana bisa?!" Nada suara Marissa meninggi, matanya melotot tajam ke Alena. "Kejedot di dinding box, Ma, semalam, dia nangisnya kencang banget--" "Ya jelas nangislah, Alena. Bocah seumur Kenzy, masih bayi kejedot pasti sakit banget. Kok bisa-bisanya sih kamu biarkan Kenzy sampai kejedot?" "Maaf, Ma ... Waktu itu aku lagi sibuk ganti popok Anna--" "Kamu pasti sengaja kan abaikan Kenzy? Mentang-mentang kamu sudah punya anak kandung, lalu kamu nggak urus Kenzy yang bukan anakmu!" Alena terkejut mendengar tuduhan itu. Dia menggeleng kencang-kencang. "Nggak begitu, Ma. Aku sama sekali nggak pernah berpikiran begitu! Kenzy udah kuanggap seperti anakku sendiri." "Alasan aja kamu. Nggak mungkin kamu anggap dia seperti anakmu sendiri, bukan kamu yang melahirkannya. Apalagi dia anak dari madumu sendiri. Kamu pasti masih sakit hati dan melampiaskannya ke Kenzy, iya kan?!" Lagi, Alena menggeleng, menatap ibu mertuanya tak percaya. "Aku mungkin emang belum bisa jadi ibu y
"Apa-apaan kamu, Alena?!" Alena yang sibuk berteriak-teriak sejak tadi seketika berhenti, mendengar suara suaminya di belakang. Dia menghapus air matanya cepat, lalu menoleh. "Mas." "Kamu kenapa marah-marah sama bayi kita?" Andrio menatap Alena melotot. "Aku baru pulang tadi, tiba-tiba Rara ngasih tahu aku, bilang kamu teriak-teriak di kamar. Kamu kenapa, Alena?!" Alena hanya diam sambil menunduk. Dia tahu dia salah dan suaminya pasti marah. Melihat istrinya tak menjawab, Andrio mengalihkan tatapannya pada Anna yang menangis kian kencang. Dan mencoba menggendong bayi itu. "Anak Papa kenapa nangis? Hmm?" Andrio mengajak bayi itu bicara dengan penuh kelembutan. "Kamu juga nggak ngompol, kok. Laper, ya?" Lalu pada Alena dia bertanya. "Dia udah kamu kasih susu?" "Udahlah, Mas," jawab Alena ketus. Walau asinya masih seret, Alena masih berusaha menyusui bayinya. Mereka belum sempat lagi untuk mencarikan susu formula yang cocok untuk bayinya. "Terakhir jam berapa?" "Baru satu jam la
Mobil Andrio akhirnya tiba di halaman rumah orang tuanya. Ketika turun dari mobil, Andrio mendapati papanya sedang membaca koran di kursi teras. Andrio berjalan mendekati papanya. Pria berusia setengah abad itu menyadari kehadirannya lebih dulu. Dia menatap Andrio heran. "Andrio ...." Pasalnya anaknya itu jarang main ke rumah, kecuali ada sesuatu yang amat penting. Putra juga menyadari raut wajah anaknya yang tampak kencang. Namun, ketika menatapnya, wajah Andrio berubah tenang. "Hai, Pa. Apa kabar, Pa?" Andrio menyalami tangan papanya. Putra masih memandangi anaknya itu penuh keheranan sebelum akhirnya menyahut. "Alhamdulillah, Papa sehat. Kamu gimana?" "Sehat juga, Pa." "Keluargamu? Anak istrimu sehat?" "Keluargaku sehat, Pa, tapi mentalnya enggak." "Apa maksudmu, Andrio?" Putra makin keheranan. Perasaannya mengatakan Andrio ke mari karena ada hal yang penting tampaknya benar adanya. "Mama cari masalah, Pa." Andrio memutuskan untuk mengadu pada papanya. "Masalah gimana?" P
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu