Ikuti terus kelanjutannya ya. Jangan bosan-bosan.
Rista menatap Alena penuh kecurigaan beberapa saat, lalu beralih memandang anaknya. "Nggak ada apa-apa. Mami keluar dulu." Alyssa menatap Alena khawatir. "Al, Mami ngomong apa barusan? Lo nggak pa-pa 'kan?" Alyssa lalu mendekat ke Alena. "Gue nggak pa-pa." Alena menggeleng, tapi terlihat kentara sekali wajahnya sedih dan syok. "Sa, gue pulang sekarang, ya." "Kok cepat banget? Kan mau tiduran di sini." Alena menggeleng lagi. "Gue pulang sekarang aja." "Tapi kenapa, Al?" Alena tak menjawab dan malah berjalan menuju pintu. "Pasti gara-gara, Mami 'kan?" Langkah Alena langsung terhenti. "Mami ngomong apa, Al? Nggak usah dimasukin ke hati, ya?" Alena menoleh. "Nggak kok. Bukan karena siapa-siapa. Gue cuman mau pulang. Baru ingat kalau gue udah kelamaan di sini. Mbah Nani pasti udah nungguin. Mbah Nani butuh gue buat bantu dia jaga warteg." Alena beralasan. Mendengar itu Alyssa tak dapat berkata-kata lagi. Dan membiarkan saja Alena pergi. "Mami ngomong apa lagi, sih? Ish!" Alyssa
"Mas Bagas?" Rista terkejut bukan main ketika dia hendak masuk dan menemukan suaminya berdiri di depan pintu itu, suaminya menatapnya tajam dan penuh curiga. "Ada Alena datang?" tanya Bagas memastikan. "I-iya, dia baru aja pulang." "Kok nggak ngasih tahu aku?" "Aku aja baru tahu, Mas. Alyssa tadi yang ajak dia ke sini tiba-tiba. Alyssa juga nggak bilang ke aku." Bagas memperhatikan Rista lama dengan kecurigaan yang menjadi. "Dia pulang sendiri atau kamu yang usir dia?!" "Mas!" Rista tak terima dengan yang Bagas tuduhkan. "Aku nggak ngusir dia!" Bagas tak menghiraukan Rista dan malah pergi keluar entah hendak ke mana membuat Rista bingung. "Mas!" Rupanya Bagas mencari Alena untuk bicara dengan gadis itu. Namun, sayang Alena sudah pergi jauh. Bagas tak lagi mendapatkan sosoknya bahkan di luar pagar. Bagas menatap jalanan raya itu dari kejauhan dalam kegamangan. Lalu dia teringat sesuatu yang membuatnya tersadar dan bergegas masuk ke dalam rumah. *** Rista mondar-mandir di kam
Alena menelungkup di atas tempat tidur, membenamkan wajahnya dibantal. Gadis itu menangis sampai bahunya berguncang-guncang, sesekali terisak. Sungguh, sakit sekali hatinya mendengar tuduhan Rista. Makin diingat makin membuat perasaannya sesak. "Mau liat-liat atau mencuri?" "Kalau kamu nggak bisa dengerin saya lebih baik kamu nggak usah datang ke sini ...." Setiap kali datang ke rumah itu dia selalu mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan dan pulang dalam keadaan menangis. Apa memang dia tak perlu datang ke rumah itu lagi? Terlebih mengingat pertemuannya dengan Andrio di sana. Mengetahui fakta kalau Andrio dan Alyssa juga saling kenal dan mereka berpacaran. Itu yang paling menyakitkan. Dan itu artinya Andrio tidak memiliki perasaannya padanya lagi. Bagaimana bisa selama ini dia mengira Andrio masih memiliki perasaan terhadapnya? Sedangkan dirinya dan Andrio sudah lama tak bertukar kabar dan lelaki itu pasti sudah move on darinya. "Argghh!" Dalam tangisnya Alena menjerit. Tan
Sambil duduk di kursi meja makan, Alena akhirnya mengisahkan semua tentang keluarga ayahnya pada Mbah Nani. Masalah-masalah yang selama ini ingin dia tutupi dari orang tua itu akhirnya dia sendiri yang menceritakannya dengan suka rela.Namun, Alena tidak menceritakan tentang rencana dendamnya itu. Dia hanya mengisahkan bahwa dia sudah bertemu ayahnya dan keluarga ayahnya. Juga bagaimana sikap Rista, istri ayahnya sekaligus neneknya, terhadapnya.Sebenarnya Mbah Nani pun sudah mengenal watak istri ayahnya itu, Rista. Karena dulu Leyla pernah menceritakannya jadi tidak sulit bagi orang tua itu untuk memahami masalah yang Alena hadapi.Dan yang Mbah Nani tangkap saat ini adalah Alena begitu sedih karena perlakuan Rista terhadapnya."Mbah jadi penasaran sama Rista itu orangnya seperti apa? Memang dulu mendiang ibumu pernah bercerita ke Mbah cuman Mbah ndak pernah liat orangnya."Mbah Nani tak habis pikir ada perempuan sejahat Rista sampai-sampai wanita itu penasaran. Alena hanya diam sampa
Keesokan harinya sekitar pukul enam pagi Alena sudah ditelepon lagi oleh Alyssa di mintai segera datang karena Bagaskara akan segera ke kantor. Karenanya pagi itu sekitar pukul tujuh lewat sedikit, Alena sudah berdiri di depan pintu rumah itu. Beruntung hari ini pagi senin jadi dia tak harus bertemu Andrio. Seandainya tidak mendengar kata "Papi mau ngomong hal yang penting sama lo." Alena tak kan bela-belakan datang pagi-pagi ke sini. Gadis itu jadi makin penasaran sebenarnya hal penting apa yang ingin ayahnya bicarakan? "Assalamu'alaikum." Alena mengetuk pintu utama itu dengan perasaan berdebar. Tak menunggu waktu lama, pintu itu terbuka dari dalam. "Waalaikumussalam." Rista yang membukakan pintu. Melihat wanita itu jantung Alena makin berdebar. Wajahnya tegang menatap Rista. Peringatan tegas Rista tempo hari pun kembali membayanginya. Rista malah tersenyum. "Oh, Alena? Silakan masuk." Tak seperti biasanya, wanita itu terlihat ramah. Sungguh Alena makin terheran. Apakah wan
"Mereka cerita apa aja, Mbah?" Alena menatap Mbah Nani dengan mata berbinar ketika dia duduk di sofa ruang tamu. Gadis itu bahkan belum sempat ganti baju dan cuci muka karena tak sabar mendengar cerita itu. "Apa Ayah mengaku ke Mbah kalau aku anaknya?" Alena menunggu Mbah Nani bercerita dengan tersenyum tapi raut wajah Mbah Nani malah terlihat muram. "Kenapa Mbah?" Dan Mbah Nani menyadari raut wajah Alena yang tampak berharap. "Maaf Alena, Mbah nggak mau kamu berekspektasi terlalu tinggi tentang mereka. Cerita ini mungkin akan menyakiti hati kamu," jelas Mbah Nani menatap Alena iba. Dengan masih tersenyum, Alena menjawab. "Nggak pa-pa. Aku nggak ngarepin apa-apa kok. Aku cuman penasaran mereka cerita apa?" Mbah Nani terdiam sesaat sebelum berbicara. "Mereka mengaku ke Mbah kalau mereka keluarga kamu. Rista mengenalkan dirinya ke Mbah kalau dia adik dari nenekmu dan Bagas adalah suaminya." "Lalu Mbah?" "Sebagai satu-satunya keluarga kamu, mereka berterima kasih ke Mbah karena M
Alyssa duduk di ruang televisi, menatap tayangan berita di depannya. Namun, pikiran gadis itu tak mengarah ke sana. Dia lebih sibuk memikirkan hal lain. Dia mengingat percakapannya dengan Andrio sewaktu pulang dari kampus tadi sore. "Kakak nggak habis pikir aja kok bisa, ya, Alena itu keluarga kamu?" tanya Andrio ketika Alyssa membahas momen makan spaghetti bersama Alena tempo hari. "Kok bisa gimana, sih, Kak? Bisa aja kali. Emangnya aneh kalau aku dan Alena saudaraan?" respons Alyssa sambil terkekeh. "Nggak gitu. Cuman dunia sempit banget gitu, ya. Alena yang Kakak kenal juga saudara kamu," "Ya, kenyataan memang kadang seaneh itu. Tapi itulah faktanya." Andrio mengangguk-angguk. "Sa, sebenarnya Alena itu bukan cuman teman Kakak waktu SMA." Andrio mulai bercerita. Alyssa menoleh heran. "Maksudnya?" "Kakak pengin cerita jujur ke kamu. Tapi kamu janji jangan marah, ya?" "Iya, aku nggak marah kok." "Dulu Kakak pernah ada rasa sama Alena dan sebaliknya. Kita saling mencintai. Kak
Alena masuk ke kamarnya dan menutup pintu. Wajah gadis itu sedikit basah karena sudah dibasuh dengan air. Dia tinggal mengganti bajunya saja. Namun, Alena tak langsung mengganti pakaiannya. Pandangannya langsung mengarah pada foto-foto yang tertempel pada dinding samping cerminnya. Tak lain adalah foto Bagas, Rista dan Alyssa yang telah diconteng dengan spidol. Membuatnya kembali ingat dengan misinya. Dia menatap tajam foto-foto itu dari jarak dekat. Awalnya rencana pembalasan dendamnya sudah matang dan dia yakin dengan rencananya itu. Namun, semenjak bertemu Alyssa dan melihat sikap baik gadis itu terhadapnya, terlebih dia bertemu ayahnya lagi. Melihat wajah dan mengenang budi baik pria itu membuatnya serba salah. Hingga dia pun mulai terlena dan hampir melupakan rencana pembalasan dendamnya. Akan tetapi, tiap mengingat sikap Rista terhadapnya membuatnya sedih sekaligus benci, membuatnya jadi ingin menghancurkan wanita itu. "Kamu kenapa lancang ajak dia ke sini, Alyssa!" "Dan ken
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu