Alena seneng nih kayaknya. Kira2 dia dapat pesan dari siapa, ya. Ikuti terus kelanjutannya ya, Gaes. Jangan bosan-bosan. Terima Kasih.
From 08953477xxxx:Alena, ini gue Andrio. Sorry baru bisa chat sekarang. Hmm lagi ngapain?Alena pun mengetik.Nggak pa-pa. Lg habis teleponan sm Farah. Mau tidur jg, tapi pas lihat chat lo nggak jadi, deh.Kenapa nggak jd? Maaf ya gue ganggu Minta maaf muluk dari tadi. Gue mah seneng lo chat gue.Setelah mengirimkan chat tersebut, Alena membaca ulang pesannya. Dan sedikit membelalak. "Kok gue bilang seneng, sih? Tarik aja, deh." Alena baru akan menarik pesannya ketika centang dua pada pesan tersebut berubah biru. "Duh udah di baca lagi." Dia pun pasrah menatap tulisan mengetik pada pesan Andrio.Seriusan seneng gue chat?
"Cewek yang gue suka adalah ... siswi kelas XII IPS 4. Namanya ... Alena!" Kalimat itu selesai terucap bersamaan dengan Alena menghentikan langkahnya di tepi lapangan yang sudah ramai murid-murid berkumpul. Alena menyadari dirinya terlambat menghentikan aksi lelaki itu. "Gila. Andrio beneran nekat," gumamnya. Sepersekian dektik kemudian siswi-siswi yang berdiri di sampingnya menoleh ke arahnya. "Cowok lo tuh. Kayaknya dia mau nembak lo," celetuk siswi itu. "Iya," sahut siswi yang disebelahnya. "Mending lo samperin gih." Alena hanya diam, melirik siswi-siswi itu sekilas. Tatapannya kini terfokus pada Andrio yang berdiri di tengah lapangan sana sembari memegangi toa. Andrio menyadari kehadiran Alena dan langsung tersenyum ke arah gadis itu. Dan mendekatkan toa ke mulutnya lagi. "Alena gue cinta sama lo! Gue sayang sama lo. Gue mau lo jadi pacar gue!" teriaknya sambil matanya tak lepas dari melirik Alena. Seluruh pasang mata yang ada di lapangan itu menatap Alena yang sudah membatu
Rista memarkirkan mobilnya langsung memasuki garasi. Lalu mematikan mesin dan mencabut kuncinya. Dan keluar dari sana. Nyonya Bagaskara itu baru saja pulang dari belanja bulanan di mall. Wanita mengenakan dress terusan lengan pendek itu langsung masuk melalui pintu ruang tengah yang terhubung dengan garasi. "Bibi!" Dari ambang pintu dapur wanita paruh baya terlihat tergopoh-gopoh menghampirinya. "Iya, Bu? Ada yang bisa dibantu?" "Ambil belanjaan di bagasi mobil, ya, Bi. Semuanya bawa ke dapur, simpan di tempat masing-masing, diatur seperti biasa," perintahnya. "Iya, Bu." Asisten rumah tangganya itu pun segera ke garasi melaksanakan perintah. Sementara dirinya duduk di kursi sofa ruang televisi, meraih majalah yang ada di atas meja dan meletakkannya di pangkuannya. Baru saja dia membuka cover majalah itu, tiba-tiba Bibi memanggilnya membuatnya menoleh ke belakang. "Ada apa lagi, Bi?" "Di depan ada kurir ngantarin paket. Katanya buat Ibu dan dia mau Ibu sendiri yang menerimanya la
"Ada apa, Rista? Kenapa kamu teriak-teriak?" Rista berhenti berteriak saat mendengar suara itu. Dia menurunkan tangannya dan memandang ke sumber suara. "Mas Bagas?" Wanita itu pun memeluk suaminya yang berdiri di depan pintu garasi. "Mas, aku takut, Mas." Bagas yang melihat reaksi istrinya yang tak biasa, terheran-heran. "Iya, takut kenapa? Ada apa?" "Tadi ada kiriman paket katanya dari Alyssa." Rista bercerita sambil masih memeluk suaminya. "Tapi pas aku buka isinya bo-boneka ... boneka pocong, Mas, terus ada darahnya. Di tubuh boneka itu juga ada banyak jarumnya. Serem, Mas." Mata Rista memejam ngeri mengingat rupa boneka itu. "Mana bonekanya?" "I-itu ... Itu di halaman, aku takut." Rista menunjuk ke arah halaman. Wajahnya dibenamkan ke dada suaminya dalam-dalam. Dia sungguh takut jika harus melihat boneka pocong itu lagi. Bagas memandangi kotak yang terlihat menelungkup di halaman dengan tutup terbuka. "Sebentar aku liat dulu." Bagas melepas pelukan istrinya dan keluar garasi,
"Kemarin Mami nemuin tulisan warna merah di jendela." Setelah di desak anak dan suaminya akhirnya Rista mau bercerita. Mereka duduk-duduk di sofa ruang televisi. Rista bercerita sambil mengingat kejadian itu. "Mami lupa persisnya tapi tulisan itu mengisyaratkan kalau ada orang yang iri dengan keluarga kita dan ingin membuat kita menderita." Rista mengangkat kepalanya, menatap anak dan suaminya. "Dan Mami yakin paket barusan itu juga pelaku si peneror yang mengatasnamakan Alyssa. Dia mengirimkan boneka patung? Buat apa coba boneka patung?" "Tulisan di jendela? Siapa ya yang lakuin itu, Pi?" tanya Alyssa pada ayahnya. "Kenapa kamu nggak cerita sama kita waktu itu kejadian?" tanya Bagas. "Aku takut, Mas," jawab Rista. "Aku takut kalian nggak percaya. Aku juga ingin menyelidiki pelaku itu sendiri dulu. Setelah aku yakin baru aku kasih tahu kalian tapi ternyata teror itu malah menjadi dan sekarang dia mengirimkan boneka. Aku takut besok lusa teror itu datang lagi." Bagas menghela napas.
Waktu menunjukkan pukul dua dini hari. Penghuni rumah keluarga Bagaskara tengah terbuai ke alam mimpi. Bagas tidur nyenyak di samping istrinya, Rista, yang juga tidur. Sampai tiba-tiba mata Rista membuka dan samar-samar dia menangkap sosok bayangan berkelabat. Rista mengerjap-ngerjap dan mengucek matanya, memperjelas pandangannya. Terkejutlah dia dengan apa yang dilihatnya. Sosok manusia berpakaian hitam-hitam sedang menghadap lemari pakaiannya seperti berusaha membuka lemari itu. Tubuh Rista menegak seiring jerit tertahan keluar dari mulutnya. Mendengar suaranya, sosok itu berbalik. Wajah sosok itu hanya menampakkan mata karena dia memakai masker full face berwarna hitam. Sosok itu lantas mendekat ke Rista seiring jerit Rista yang makin nyaring. "Mas, Mas, ada rampok! Bangun, Mas!" Rista menggoyangkan tubuh suaminya dalam ketakutan dan kepanikan luar biasa. "Diam kau diam!" Sosok itu bersuara membuat Rista sedikit terperanjat dan makin ketakutan. Bagas pun terbangun dan terkejut
"Rista! Rista!" Bagas mencari istrinya. Seluruh ruang di rumahnya sudah dia jelajahi tapi istrinya tak kunjung di temukan. Padahal dia yakin perampok itu tidak membawa istrinya jauh sampai ke luar rumah karena pintu utama rumahnya masih dikunci dari dalam. Pria itu sejak tadi sudah panik setengah mati. "Mmph! Mmph!" Sampai dia mendengar suara di depan kamar tamu. Langkahnya pun terhenti, matanya membelalak. Dan langsung menuju kamar itu dan membuka pintunya. Namun sepertinya kamar itu dikunci dari dalam karena tidak bisa dibuka. "Rista!" Bagas menggedor pintu itu keras-keras. Agar istrinya meresponsnya. "Mmph! Mmph!" Dan suara itu terdengar kian nyaring seolah minta tolong. "Siapa di dalam? Keluarkan istri saya, Biadab?!" Bagas menggedor pintunya keras dengan emosi yang telah mencapai ubun-ubun. Senyap tak ada suara menyahut selain suara istrinya. "Rista, kamu yang sabar, ya? Aku cari kunci serapnya dulu!" Bagas lalu bergegas ke kamarnya untuk mencari kumpulan kunci ruangan di r
Pagi itu sekitar pukul delapan, Alena tengah menyiram tanaman yang ada di halaman kantor dengan teko penyiram tanaman. Di saat yang sama, dia melihat Alyssa yang baru datang ke kantor. Tapi tiba-tiba Alyssa berhenti di halaman kantor, gadis itu merogoh tasnya dan mengeluarkan ponsel. Seperti sebuah intuisi, Alena ingin memperhatikan gadis itu dengan saksama. Sepintas lalu, Alyssa terlihat sangat cantik dan menawan dengan gayanya yang fashionable, menunjukkan kesan kalau hidupnya amat bahagia dan kaya raya. Dan Alena baru menyadari ketika dia tak sengaja mendongak, di lantai kesekian yang terlihat dari sini sedang ada perbaikan. Alena melihat ada tangga lipat besi bertengger di atas pagar balkon lantai itu. Tepat di atas Alyssa yang sedang berdiri, menunduk mengotak-atik ponsel. Perasaan Alena mendadak tak nyaman. Detik berikutnya tangga lipat besi itu terjun ke bawah. Alyssa yang sibuk dengan ponselnya sama sekali tidak menyadari hal itu. Melihat itu, refleks Alena melepas tekony
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu