"Oh, iya, Pi. Kalau gitu aku ke dalam dulu, ya." Alyssa melirik maminya sekilas sebelum akhirnya masuk ke dalam. Bagas menatap Rista "Ada yang mau aku omongin sama kamu, Mi, ini tentang Alena." Rista melirik Alena sekilas sambil bersidekap dada. "Apa?" "Kita ngobrolnya di ruang tamu aja." "Oke," Alena pun berinisiatif mendorong kursi roda Bagas menuju ruang tamu. Dan Bagas membiarkannya. Sesampainya di sana, Rista duduk di sofa. "Ada apa, Pi?" "Duduk dulu, Alena," suruh Bagas pada Alena. Tanpa menjawab lagi, Alena pun duduk di kursi seberang Rista. "Aku mau bilang sama kamu sekali lagi. Alena bakal tinggal di sini bareng kita mulai besok." Raut wajah Rista langsung berubah seperti ingin membantah, namun Bagas cepat melanjutkan ucapannya. "Aku harap kamu menerima Alena dengan baik." Rista menghela napas dan menatap Alena sekilas. Wanita itu seperti ingin berbicara sesuatu, tapi dia tahan. Hingga akhirnya dia hanya diam. Bagas lalu berpaling ke Alena. "Alena, mulai besok kam
Seminggu sudah berlalu. Seminggu pula Alena tinggal di rumah Bagaskara. Awal-awal Alena menginap di rumah ayahnya terasa cukup mendebarkan. Di hari pertamanya tidur di rumah Bagas, matanya sulit terpejam lantaran banyak hal yang dia pikirkan. Dia senang, tapi juga takut, khawatir kalau sewaktu-waktu Rista mengadukan kelakuannya pada Bagas yang telah meneror keluarganya selama ini. Walau besar kemungkinan itu hanya ketakutannya karena Rista menepati janjinya dengan tidak membongkar rahasia itu sampai detik ini. Di sini dia merasakan suasana baru. Ketika dia bangun di pagi hari selalu ada suara-suara orang yang menyambutnya. Dia juga punya teman bicara, Alyssa. Dia tidak merasa sendiri dan sepi lagi seperti ketika dia di apartemen. Sikap Rista padanya juga mulai berubah baik, cenderung perhatian meski agak dingin. Entahlah, wanita itu tulus atau hanya bersandiwara di hadapan Bagas seperti ibu tiri pada umumnya. Alena tak masalah dengan itu, yang penting dia bisa hidup tenang di sini,
Kini mereka telah berkumpul mengelilingi meja makan panjang itu, menghadap sajian lauk pauk dan sayuran yang menggugah selera. Mereka menikmati makanan itu di selingi percakapan-percakapan sesekali bersenda gurau sampai tertawa ringan. Menghabiskan makanan dalam piring yang seharusnya memakan waktu sebentar itu jadi terasa lama. Sampai tanpa terasa kegiatan makan-makan itu pun selesai. Satu persatu mereka mulai beranjak dari meja makan tersebut. Namun, ada pula yang masih stay ngobrol di sana seperti Bagaskara, Rista dan Rina. Alena, Alyssa, Andrio dan Farah memilih berkumpul di teras samping. Alyssa dan Andrio duduk di kursi ayunan seperti biasa, sedangkan Alena dan Farah duduk berhadapan di kursi yang ada di sana. "Gue ngerasa de javu, deh," ucap Farah tiba-tiba menginterupsi percakapan Alena dan Alyssa. Alena dan Alyssa langsung memandang ke arahnya. "Iya, dulu kita pernah gini juga 'kan, makan bareng sambil ngobrol, ada Andrio juga, cuma bedanya dulu nggak sama mami papinya Aly
Cukup lama mereka mengobrol, Farah memutuskan pulang lebih dulu, gadis itu berjanji kapan-kapan akan datang lebih sering mengunjungi Alena ke sini. Kini tinggallah mereka bertiga--Alena, Alyssa dan Andrio yang masih belum ingin pulang. Namun, saat ini Alyssa izin ke toilet, meninggalkan Alena dan Andrio berdua saja. Keduanya saling diam sampai hanya hening meliputi mereka. Dari sudut matanya, Alena bisa menangkap Andrio memperhatikannya sejak tadi. Sampai gadis itu membalas pandangan itu dan mereka bersitatap. "Ngapain lo liat-liat gue?" tanya Alena ketus. Wajahnya masam. "Kok gitu nanyanya? Ketus banget? Liat aja nggak boleh," sahut Andrio. "Emang nggak boleh," Andrio hanya menghela napas. "Alena," panggilnya kemudian. Alena kembali menatapnya. "Kenapa?" Andrio malah berdiri, berjalan mendekat ke Alena dan duduk di kursi yang tadi diduduki Farah. "Ngapain, sih?" Alena makin heran menatapnya. Sejak tahu Andrio mengetahui dia dan Alyssa kakak-beradik, Alena jadi minder tiap kal
Lima tahun berlalu. Kedua gadis Bagaskara kian dewasa. Setelah melewati lika-liku proses kedokteran, mulai dari ujian, sumpah kedokteran, gelar dokter magang sampai akhirnya Alyssa berhasil mengantongi surat izin praktek. Begitu pula dengan Andrio. Andrio dan Alyssa telah resmi menjadi dokter sungguhan. Alyssa telah bekerja menjadi dokter umum di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta. Sementara Andrio, selain bekerja di rumah sakit, dia juga membuka praktek sendiri. Dan rencananya, Andrio akan mengambil dokter spesialis jantung lagi. Namun, sebelum itu, Andrio fokus pada hubungannya dengan Alyssa dulu. Mereka melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius, yaitu pertunangan. Hari itu, pertunangan keduanya di gelar di rumah mewah Bagaskara. Meski hanya di rumah, pesta pertunangan itu dirancang semeriah mungkin, layaknya di gedung hotel. Waktu itu pukul setengah dua siang, dan acara pertunangan itu sudah berjalan sekitar lima belas menit lalu. Saat acara itu berlangsung, Alena ma
"Alyssa, lo apa-apaan?" Alena menatapnya tak habis pikir. Alyssa meletakkan mik tersebut di atas meja bundar yang ada di hadapannya. Lalu berbicara pada Alena. "Alena." Lalu dia memandang Andrio yang sejak tadi berdiri di sampingnya. Lelaki itu bahkan juga terkejut tak menyangka dengan aksi yang Alyssa lakukan. "Kak Andrio." "Gue tahu kalian saling mencintai. Sejak dulu bahkan sampai sekarang. Dan gue nggak mau egois menghalangi cinta kalian." Alena tergamam sebelum akhirnya bertanya. "I-ini maksudnya apa, Alyssa?" "Cinta kalian itu hebat. Dan gue pengin lihat kalian bahagia. Gue udah ikhlasin lo buat Alena, Kak Andrio. Kalian bisa bahagia bersama." Alyssa tersenyum menatap keduanya. "Alyssa, maksud kamu apa? Kamu mengizinkan Kakak bersama Alena? Kamu yakin?" tanya Andrio memastikan. Tak dapat dimungkiri, perasaan lelaki itu senang namun meskipun begitu dia ingin memastikannya lagi. Dia memang ingin bahagia bersama Alena, tapi dia juga tidak mau jika Alyssa menjadi menderita. Dan
Satu tahun kemudian. Perempuan mengenakan kebaya putih itu menatap pantulan wajahnya yang berias dan bersanggul di depan cermin. Sementara di luar sana, ijab kabul mungkin akan segera terlaksana. Perempuan itu lalu menunduk, sesekali memejam. Perasaannya kini sulit didiskripsikan. Senang, bahagia, cemas bercampur jadi satu sampai-sampai dia gugup. Dia senang dan bahagia tentunya karena akhirnya menikah dengan lelaki yang dia cintai. Dia juga cemas, khawatir kalau pernikahan ini tak berjalan lancar sampai proses ijab kabul. Berkali-kali dia meremas jemarinya untuk menenangkan perasannya. Tanpa sadar air matanya menitik. Sebentar lagi dia benar-benar bersatu dengan lelaki yang dia cintai. Rasanya dia hampir-hampir tak percaya. Terdengar pintu ruangan dibuka. Perempuan itu mengangkat kembali kepalanya hingga menatap kaca. Dari pantulan kaca itu, dia bisa melihat dua gadis berkebaya masuk dan mendekat ke arahnya. Mereka tak lain Alyssa dan Farah. Alyssa merangkul pundaknya dan mengusa
Halo, Gaes. Jika kalian pikir cerita ini sudah berakhir? Kalian salah. Cerita ini masih berlanjut, kok. Setelah ini aku bakal bikin sequel dari cerita ini. Iya sequel. Judulnya "Alena dan Andrio" Di cerita "Alena dan Andrio" akan menceritakan perjalanan hidup Alena dan Andrio setelah menikah. Ada banyak lika-liku yang mereka lewati. Tapi akan lebih banyak manisnya, kok. Kalian tungguin, ya. Jangan keluarin dulu cerita ini dari perpustakaan kalian. Terima kasih buat yang udah ngikutin cerita aku sampai sejauh ini. Oh, iya, setelah ini nanti aku juga bakal bikin prekuelnya (cerita yang sebelumnya) Di cerita sebelumnya itu mengisahkan kehidupan Leyla dan Rista waktu masih kecil sampai gadis. Kalian mau baca nggak? Komen, ya. See you
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu