Setelah melewati jam istirahat, Alena dan Mira kembali ke kantor, bekerja seperti biasa sampai waktu menunjukkan pukul delapan malam. Mira sempat menawarkan Alena pulang bersama, tapi Alena tidak mau dengan mengatakan kalau dia naik taksi saja. Mira sudah pulang sepuluh menit lalu. Keadaan kantor sudah sepi, hanya menyisakan beberapa CS yang sedang bersiap pulang dan beberapa karyawan yang lembur. Selain Mira, tidak ada karyawan CS yang begitu ramah padanya. Paling ketemu hanya menegur dan tersenyum. Itu bagus bagi Alena yang tidak ingin didekati terlalu banyak orang asing. Alena membuka lokernya untuk mengambil pakaian ganti yang sudah dia siapkan. Lalu mengganti seragamnya ke toilet. Tak lama kemudian Alena keluar dalam keadaan sudah memakai pakaian bebas--kaos ketat putih yang dilapisi outer hitam panjang dengan bawahan celana jins. Alena pulang menggunakan taksi yang sudah dia pesan melalui aplikasi di ponselnya. Namun, di tengah jalan, taksi itu berhenti. Alena mengalihkan pa
"Eh nggak usah takut gitu sama Abang. Santai aja. Niat kita 'kan baik mau nganterin. Iya nggak?" tanya lelaki itu pada temannya. "Namanya siapa?" tanya lelaki berambut gondrong sambil merokok. Alena menggeleng lagi. "Nggak!" Ketiga lelaki pereman itu saling pandang melihat aksi Alena. Lelaki berambut seperti anak punk dan mengenakan anting dan kalung mendekati Alena yang matanya sudah berair. Lelaki itu lantas mencekal pergelangan tangan Alena membuat Alena berteriak kencang. Jantung gadis itu terasa ingin lepas. "Diam nggak lo! Jangan teriak-teriak!" Lelaki itu mulai berang. Alena meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari pegangan lelaki itu. "Lebay banget ya teriak-teriak. Dikira kita mau ngapain dia kali." Lelaki berkepala plontos yang sejak tadi hanya menonton, ikut menyahut. "Tauk, nih. Di apa-apain beneran baru tahu rasa!" timpal lelaki berpenampilan anak punk yang meregangnya. "Jangan. Jangan! Tolong ....!" Alena berteriak tertahan. "Hmmp!" Tapi kemudian mulutnya dibeka
"Alena?" "A-Andrio?" Alena dan lelaki itu saling pandang. Lalu lelaki itu tersenyum. Tapi tidak dengan Alena yang masih tercengang. "Alena, lo nggak apa-apa 'kan?" Raut wajah Andrio berubah khawatir sambil memegangi kedua bahu Alena. Alena sedikit terkejut menyadarinya, lalu gadis itu menggeleng. Sepersekian detik kemudian Alena memeluk Andrio membuat Andrio sedikit terkejut. Entah ada angin apa yang merasuki gadis itu hingga memeluk lelaki di hadapannya. "Gue takut, gue takut banget," lirih Alena sambil mengeratkan pelukannya di tubuh lelaki itu. Matanya yang memejam berair. Jantungnya masih terasa berdebar kencang. Dia sungguh takut. "Iya, iya, lo tenang, ya. Ada gue di sini. Peremannya juga udah pergi." Andrio menenangkan sambil membalas pelukan Alena. Senyap. Sampai beberap detik kemudian, Alena membuka matanya dalam dekapan lelaki itu yang membungkus tubuhnya hangat dan teringat sesuatu. Alena langsung mendorong lelaki itu membuat Andrio terkejut. "Ma-ma'af. Ma'af gue-gue n
"Oh, jadi Ibu lo udah meninggal? Innalillahi Wa'ina'ilahi Rajiun. Maaf Al gue nggak tahu. Gue turut berduka cita, ya. Lo pasti sedih banget 'kan?" Sepanjang perjalanan pulang Alena mengisahkan tentang ibunya yang sudah meninggal pada Andrio setelah lelaki itu banyak bertanya dan Alena tak punya pilihan selain jujur. "Kalau itu nggak usah lo tanya lagi. Farah saksinya betapa terpuruknya gue." "Farah teman lo waktu SMA?" "Iya, siapa lagi?" "Lo masih temanan sama dia?" "Ya masih lah. Dia satu-satunya sahabat gue. Oh iya, balik lagi ke cerita gue. Gue bahkan hampir bunuh diri tahu nggak, tapi Farah nggak tahu tentang itu karena waktu itu dia udah sibuk sama kuliahnya. Dan gue nggak mau merepotin dia muluk." "Lo mau bunuh diri? Serius?" "Iya. Dan Mbah Nani itu yang nolongin gue. Sejak itu gue sadar, nggak seharusnya gue berpikir untuk bunuh diri lagi. Jadi gitu asal mula gue bisa kenal Mbah Nani. Sampai sekarang gue tinggal di rumahnya karena gue nggak punya siapa-siapa lagi." "Ya
"Andrio! Apa maksudnya ini, hah?!" Putra mengangkat sebuah surat peringatan dari kampus tempat Andrio kuliah. Pria itu marah besar tatkala mengetahui keterangan yang ada di surat itu. Andrio yang tengah sibuk nge-gym terkejut bukan main melihat reaksi papanya. Tapi dia berusaha terlihat tenang. "Itu surat dari kampus, Pa," jawabnya santai dan masih melanjutkan aktivitasnya. "Bagaimana bisa kamu sampai hampir di DO?!" Andrio lalu menghentikan aktivitasnya dari mengangkat barbel. Dia berjalan ke arah sofa tunggal yang ada di ruang olahraga itu dan duduk di sana. "Aku nggak kuat, Pa, kuliah kedokteran. Aku nggak sanggup." Andrio berterus terang. Seketika Putra meradang mendengar pengakuan putranya. Dia berjalan mendekati putranya. "Dasar anak yang nggak tahu diuntung kamu! Kamu tahu berapa biaya yang sudah Papa keluarkan demi membiayai kuliah kamu?! Di luar sana banyak orang yang ingin kuliah tapi tidak bisa!" Tangannya yang memegang kertas menunjuk-nunjuk udara. Andrio mendongak, m
"Kamu ngelamunin apa, sih, Sayang? Aku perhatiin dari tadi diam muluk," tanya Alyssa dengan nada manja. Andrio hanya menghela napas. "Masih mikirin masalah Papa kamu, ya?" Alyssa berdiri di samping Andrio. Saat keluar tadi Andrio langsung mendatangi Alyssa di rumahnya. Dan kebetulan gadis itu sedang tidak sibuk. Andrio mengajak kekasihnya itu keluar menemaninya. Dengan senang hati perempuan yang sangat mencintainya itu menurutinya. Mereka menghabiskan waktu hampir seharian hari ini. Mereka sudah mengelilingi banyak tempat. Mulai dari makan di mal, foto-foto di taman, berkeliling kota Jakarta sampai bosan hingga menjelang sore, Andrio mengajak kekasihnya itu ke gedung rooftop apartemen ayahnya. Andrio menceritakan semua masalahnya pada gadis-nya termasuk dia yang hampir di Drop Out. Namun, tetap saja pikiran Andrio belum sepenuhnya tenang. "Aku nggak tahu harus sampai kapan aku begini. Selalu nurutin kemauan orang tua aku yang aku sendiri nggak sanggup menjalaninya," jelas Andrio d
Hari-hari Alena bekerja di perusahaan itu sebagai Cleaning Service berjalan lancar. Tidak ada masalah yang berarti selain beberapa CS dan OB senior yang kadang menyinyirnya secara halus. Atau kadang Alena yang mengeluh karena letih saking banyaknya pekerjaan yang dibebankan padanya setiap harinya. Tanpa terasa dua minggu sudah Alena bekerja di sini dengan shift bergilir, seminggu masuk pagi dan seminggu masuk siang. Gadis itu makin terbiasa dan paham dengan tugasnya. Minggu ini dia mendapat shift pagi. Saat ini gadis itu sedang menyapu lantai bagian lobi. Dan ketika dia memandang ke depan, dia terkejut melihat seorang pria berjas yang begitu dia kenali. Pria berjas itu tengah lewat di hadapannya dan menuju ruangannya. Alena membelalak tak menyangka. "Kok ada Kakek Bagas di sini?" Kakek Bagaskara kerja di sini?" Jeda sejenak dia teringat sesuatu. "Oh iya, dulu 'kan Ibu pernah bilang kalau Kakek Bagas kerja di kantor sebagai direktur. Apakah beliau direktur di perusahaan ini? Kemarin
"Ngapain pake topi segala?" "Gue takut di kenalin jadi gue mau nyamar gitu." Alena meringis. Dalam hatinya sedikit jengkel karena Mira banyak bertanya. Dia harap setelah ini Mira tidak bertanya lagi kenapa dia harus menyamar. "Pake topi ini aja, nih." Mira meraih topi yang terletak di atas meja entah milik siapa. Dan untungnya gadis itu tidak banyak bertanya lagi. "Topi siapa tuh?" "Topi Bang Sarkum pasti, nih. Diletakkan di sini. Pakai aja nanti gue bilangin ke orangnya." Bang Sarkum adalah Office Boy juga. Lelaki itu memang biasa memakai topi. "Iya, deh. Gue buat minum dulu. Apa nih? Teh hangat, ya?" "Iya." *** "Permisi." Alena mengetuk pintu ruangan yang terpampang tulisan Chief Executive Official dengan tangan sebelahnya membawa nampan berukuran sedang berisi dua cangkir teh hangat. Tak lama kemudian pintu dibuka dan menampakan seraut wajah gadis cantik. Alena tahu, dia adalah Alyssa. "OB nganterin minum, ya?" tanya Alyssa memastikan. Alena yang mengenakan masker plus top
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu