"Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i, bahwa nasab anak yang lahir di luar perkawinan ada pada ibunya. Yang artinya nafkah anak tersebut diwajibkan pada ibunya. Sedangkan ayahnya tidak betkewajiban untuk memberikan nafkah pada anak tersebut. Bahkan anak di luar pernikahan dianggap tidak memiliki pertalian darah dengan ayah biologisnya. Sehingga ayahnya ini boleh menikahi anaknya tersebut." Suara ustadzah itu terdengar menggema dalam ruangan masjid yang cukup besar. Alena terperangah mendengarnya. Anak di luar nikah tidak berhak mendapat nafkah dari ayahnya? Itu tidak adil. "Akan tetapi, mayoritas ulama mengatakan bahwa, meskipun ayah biologis tidak memiliki pertalian dengan anak yang lahir di luar pernikahan, ayah tersebut tidak diperbolehkan menikahi anaknya," lanjut ustadzah tersebut. "Selain itu, ayah juga tidak berkewajiban memberikan nafkah dan warisan terhadap anak tersebut. Hal ini tentu berbeda dengan pandangan hukum di negara kita." "Dalam pertimbangannya, tidak adil jika hu
Mobil keluarga Bagas telah sampai di depan gerbang rumahnya yang menjulang. Alyssa yang menyetir mobil itu. Sedangkan di belakangnya, Rista duduk menemani suaminya yang juga duduk di belakang. Alyssa menghidupkan klakson sampai gerbang tinggi itu membuka, termundur ke belakang, dibukakan oleh satpamnya yang berjaga. Alyssa pun kembali menjalankan mobilnya sampai ke halaman. "Oke, udah sampai," ucap Alyssa tersenyum saat menoleh ke belakang. "Udah sampai, Pi," ujar Rista pada suaminya. Alyssa turun dari mobil lebih dulu. Lalu membukakan pintu mobil bagian penumpang, tempat mami dan papinya duduk. Rista membantu suaminya turun dari mobil. Sedangkan Alyssa beralih membuka bagasi mobil, menurunkan kursi roda yang sudah mereka siapkan. Selama di rumah, Bagas menggunakan kursi roda saja untuk memudahkannya berjalan. Mereka masuk melalui pintu garasi. Rista membuka kunci pintu yang terhubung dengan garasi, sebelum akhirnya mendorong kursi roda Bagas masuk ke ruang keluarga yang luas, dii
Sebenarnya ada banyak hal yang ingin Bagas tanyakan mengenai keadaan gadis itu selama ini yang bisa mengalami perubahan sejauh ini. Namun akhirnya dia hanya bertanya. "Katanya kamu yang sudah mendonorkan darahmu buat Kakek?" Pertanyaan Bagas menyadarkan Alena dari keterkejutannya. "Eng ... Iya, Kek," jawab Alena kemudian. "Aku seneng Kakek udah sembuh dan boleh pulang. Alhamdulillah." Gadis itu tersenyum. "Terima kasih, ya, Alena," ucap Bagas kemudian. "Sama-sama, Kek." Bagas lalu teringat sesuatu. "Oh iya, masuk dulu, yuk." "Ada Alena?" Bagas dan Alena langsung menoleh ke sumber suara. Terlihat Rista berdiri di depan pintu, sambil bersidekap dada. Dia menatap Alena dengan pandangan tak suka. Alena bisa menangkap itu. "Iya, Mi," jawab Bagas. "Suruh Alena masuk, Mi." Rista masih terdiam memperhatikan Alena. Alena tahu wanita itu terkejut melihat kehadirannya. "Silakan masuk," ucap wanita itu akhirnya disertai membuka pintu lebar-lebar. Alena hanya mengangguk dan tersenyum kak
"Aku ... kangen sama Ayah," lirih Alena kemudian, seiring dengan bulir yang tertahan sejak tadi meluruh di pipinya. Serta raut terkejut yang dia tangkap dari wajah Bagas. "Iya, Ayah. Aku udah tahu semuanya ... Aku udah tahu kalau sebenarnya Kakek Bagas adalah Ayah aku ...," tambah Alena lagi memperjelas kalimatnya. Alena menangkap mata Bagas sedikit membelalak. Namun, kembali netral secepat kemunculannya. "Aku tahu semuanya dari Ibu." Lagi ucapan Alena membuat Bagas terkejut. Alena lalu terdiam sambil mengusap air matanya. Entahlah, apa yang dilakukan Bagas setelah ini. Apakah pria itu akan mengakuinya? Namun, yang pasti perasaannya cukup lega sudah mengungkapkan semuanya. Dia sudah berhasil mengalahkan ketakutannya selama ini. Belum sempat Bagas berucap, Alena yang semula duduk di kursi lalu berubah berjongkok sampai lututnya menyentuh lantai, berlutut di hadapan Bagas yang duduk di kursi roda. "Aku kangen sama Ayah." Alena mendongak menatap Bagas dengan cucuran air mata. Kedua
"Apa, Pi? Jadi Alena itu sebenarnya saudara tiri aku?" Alyssa menatap papinya tak percaya. Gadis itu bahkan mengubah posisi duduknya. "Pa-Papi serius?" Bagas yang duduk di kursi roda, mengangguk. "Papi serius." "Gi-gimana ceritanya, Pi?" Anak dan ayah itu kini sedang berada di taman yang ada di belakang rumah mereka. Sengaja Bagas mengajak anaknya itu untuk bicara empat mata mengenai masalah itu di sini. Kebetulan saat ini Rista sedang keluar belanja bulanan. Dan Bagas memanfaatkan waktu itu untuk mengajak Alyssa--yang saat itu sedang sibuk mengisi lembar follow up pasien-nya di ruang keluarga--bicara empat mata. Bagas merasa ini adalah waktu yang tepat untuk Alyssa mengetahui semuanya. Terlebih mengingat sikap Rista tempo hari yang memarahi Alena dan mengusir gadis itu. Dia harap Alena tidak jera datang ke sini dan bisa memaklumi sikap Rista. Pria itu menghela napas sambil mengusap wajahnya. "Ceritanya panjang, Nak ...." Bagas pun pelan-pelan mengisahkan masa lalunya dengan Leyla
Setelah memberitahu Alyssa tentang siapa Alena, Bagas mengambil langkah lebih tegas lagi. Beliau mengajak Alena untuk tinggal bersamanya. Pria itu sudah merundingkan itu dengan Alyssa yang setuju-setuju saja dengan keputusan ayahnya itu. Walau sempat bersitegang dengan Rista yang marah karena Alyssa sudah mengetahui kebenaran rahasia itu. Rista juga tidak setuju dengan rencana Bagas yang hendak membawa Alena tinggal bersama mereka. Namun, Bagas tidak peduli. Dia tetap membawa Alena tinggal bersama mereka dan meminta agar Rista menerima Alena dengan baik. Alena juga sudah menceritakan ke Bagas bagaimana perjalanannya selama ini hingga bisa sesukses sekarang. Itu semua tak jauh dari bantuan Mbah Nani, juga mendiang Bu Ratih, temannya Mbah Nani. Karenanya Bagas juga ingin menemui Mbah Nani lagi untuk mengucapkan terima kasih. Dan hari minggu ini, Bagas meminta Alena untuk datang ke rumahnya, membahas masalah ini. "Iya, sebentar!" teriak Alyssa dari dalam sambil berlari kecil ke arah
"Jadi kedatangan saya ke sini mau mengucapkan terima kasih sama Mbah, sekali lagi saya mengucapkan terima kasih," ujar Bagas tatkala telah berhadapan dengan Mbah Nani di ruang tamu. Untuk kedua kalinya, pria itu mendatangi Mbah Nani. Kali ini dengan tujuan yang berbeda. Ketika sampai di rumah orang tua itu, Mbah Nani agak terkejut melihat kedatangan mereka--Alena, Alyssa, dan Bagas. Pasalnya, Alena pun tak mengabari rencana kedatangannya itu terlebih dulu. Mbah Nani langsung menyuruh mereka masuk dan duduk di ruang tamu. Setelah bicara sepatah dua kata, Bagas langsung mengutarakan maksud kedatangannya ke mari. Dia juga mengatakan kalau Alena sudah dia anggap anak dan tinggal bersamanya. Alena bisa hidup layak sampai sejauh ini karena berkat bantuan Mbah Nani, karenanya Bagas mengucapkan terima kasih. "Alhamdulillah, kalau kamu akhirnya menyadari kesalahan kamu," balas Mbah Nani menatap Bagas yang duduk di kursi roda di hadapannya. Alena bisa melihat wajah Mbah Nani terlihat getir sa
Setelah berbicara panjang lebar dan mengungkapkan penyesalannya pada Mbah Nani, Bagas dan anak-anaknya pun pulang. Dan setelah ini mereka akan mengunjungi makam Leyla sekaligus makam Bu Ratih yang juga berjasa dalam hidup Alena. Dalam perjalanan menuju ke makam, Alena bercerita mengenai anak jalanan yang dia tolong selama ini. Kini anak jalanan itu sudah dia belikan rumah yang layak untuk tinggal, dinding semen dan lantai full keramik, berukuran sedang, cukup untuk mereka tinggal beramai-ramai. Alena bahkan berniat menyekolahkan mereka juga. Dan Alena tak punya keinginan untuk menitipkan anak-anak itu ke panti asuhan. Alyssa dan Bagas senang dan takjub mendengar cerita Alena. "Papi sama Alyssa setuju 'kan dengan apa yang aku lakukan ini?" tanya Alena sambil menyetir. "Setuju, dong. Kenapa nggak?" sahut Bagas yang duduk di belakang lebih dulu. "Papi senang dengan tindakan mulia kamu itu, Nak. Iya 'kan, Sa?" Alyssa yang duduk di samping Alena mengangguk mantap. "Iya, Alena. Aku sam
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu