Menjelang jam dua siang, para perawat masuk ke ruangan Bagas, hendak membawa ranjang Bagas ke ruangan operasi. Alyssa yang melihat pemandangan itu jadi tegang dan cemas luar biasa. Jantungnya seketika terasa berdebar. Alyssa berharap operasi papinya berjalan lancar dan semua akan baik-baik saja. Alena pun demikian. Dia tentu berharap ayahnya bisa melewati proses operasi dengan baik dan segera sembuh. Alena sempat takut kalau operasi ayahnya gagal dan akan membuat keadaan pria itu makin memburuk. Terlebih ketika ranjang Bagas yang di bawa oleh dua perawat berhenti di depan mereka. Bagas terlihat terbaring tak sadarkan diri dengan sisa luka-luka di wajahnya yang masih terlihat. Salah satu perawat itu lalu menatap ketiganya yang berdiri di situ. "Siapkan darah golongan AB resus negatif satu kantong, buat jaga-jaga seandainya Pak Bagas kekurangan darah pasca operasi," ucap perawat itu. Mendengar itu Rista dan Alyssa saling pandang. Golongan darah AB resus negatif? Golongan darah Baga
Alena sudah melakukan pengecekan darah, ditemani Rista. Golongan darah Alena ternyata sama dengan golongan darah Bagas, yakni AB resus negatif. Pada saat mengetahui itu, Alena senang tak terkira. Dia juga sudah mengajukan ke perawat kalau dia bersedia melakukan transfusi darah untuk Bagas yang baru saja selesai operasi. Dia sangat bersyukur golongan darahnya sama dengan golongan darah Bagas. Karenanya dia bisa mendonorkan darahnya untuk ayahnya yang memang membutuhkan tambahan darah sebanyak dua kantong. Dan saat ini Alena sedang melakukan transfusi darah dalam ruangan. Sementara di luar ruangan, Alyssa dan Rista menunggunya sambil bercakap-cakap. "Tapi aku masih nggak habis pikir, deh, Mi. Kok bisa darahnya Alena sama dengan darah Papi? Apa karena kita keluarga? Tapi 'kan Alena keluarga sebelah Mami bukan sebelah Papi. Iya 'kan?" Alyssa tak berhenti mengoceh sejak tadi. Sejak mengetahui golongan darah Alena dan papinya sama, gadis itu sedikit syok, tapi dia juga bersyukur. Mereka j
Pengoperasian Bagas telah selesai, semua berjalan lancar. Dan kini tinggal menunggu Bagas siuman di ruangannya. "Pi, Papi cepat sembuh, ya." Alyssa sejak tadi menemani papinya dan terus berceloteh. Gadis itu duduk di kursi pada sisi ranjang Bagas. Membelai tangan papinya yang terpasang jarum infus. Pada kedua tangan Bagas, terpasang jarum. Tangan sebelah kirinya terpasang jarum infus, sedangkan tangan kanannya terpasang jarum transfusi darah. Dan tali-tali peralatan medis terpasang di tubuhnya. "Papi, maafin aku. Gara-gara aku Papi kayak gini. Aku sering nyusahin Papi selama ini. Aku belum bisa jadi anak yang mandiri dan membanggakan buat Papi dan Mami. Aku janji, Pi, nanti kalau Papi sembuh aku nggak akan nyusahin Papi lagi. Aku akan jadi anak yang mandiri dan dewasa. Semoga Papi cepat sadar, ya, pulang ke rumah, kumpul sama kita lagi ...." Sementara di luar ruangan, Alena hanya bisa memandang Bagas yang terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang melalui kaca yang tembus pandang.
Mendengar Alena bertanya demikian, Rista lalu menyeret Alena menjauh dari ruangan Bagas. Dia takut suara Alena terdengar oleh Alyssa yang ada di dalam ruangan. Ketika mereka telah berada di tempat yang cukup sepi, Rista menghentikan langkahnya dan melepaskan tangan Alena. "Ngomong apa kamu, Alena?" "Aku anak dari hasil perselingkuhan Kakek Bagas dengan Ibu," ulang Alena yang membuat Rista kian membelalak. "Makanya Nenek benci sama aku dan Ibu 'kan? Iya, aku udah tahu semuanya." "Apa yang kamu tahu?" tanya Rista kemudian sambil berusaha menahan gejolak di dada. "Aku tahu kalau Kakek Bagas sebenarnya adalah ayah kandung aku," aku Alena. "Aku tahu semuanya dari Ibu." Rista tak menyangka kalau Leyla justru membocorkan rahasia itu pada anaknya. Namun, dia berusaha tenang. Sebelum kemudian berkata. "Lalu kamu percaya?" "Aku percaya karena Ibu sendiri yang mengatakannya sebelum Ibu meninggal," "Kamu berharap Kakek Bagas menjadi ayahmu? Kamu pengin jadi anak orang kaya karena bosan jadi
"Penderitaan Ibu harus terbayarkan. Nenek harus merasakan apa yang Ibu rasakan dulu. Dan aku akan memberitahu ayah kalau aku sudah tahu semuanya, Alyssa juga." "Enak saja kamu." Rista menggeleng. "Saya nggak akan biarkan kamu memberitahu Bagas apalagi Alyssa. Alyssa nggak boleh tahu tentang masa lalu itu. Jangan macam-macam kamu, ya!" "Kenapa Alyssa nggak boleh tahu, Nek?" "Apa kamu nggak mikir gimana perasaan Alyssa kalau dia tahu kamu adalah anak papinya juga? Bagaimana perasaannya kalau tahu papi kesayangannya pernah selingkuh dengan ibumu? Saya nggak mau ya kalau sampai Alyssa tak menerima kenyataan itu dan nekat bunuh diri lagi. Selama ini mati-matian saya menyembunyikan rahasia ini dari anak saya dan kamu mau membongkarnya begitu saja? Nggak akan saya biarkan." "Tapi Alyssa udah dewasa, Nek. Dia harus tahu ya--" "Sini kamu." Rista serta-merta menarik lengan Alena, membawa gadis itu keluar dari area itu. "Pergi kamu dari sini. Saya nggak akan biarkan kamu merusak keluarga say
"A-Alena, Mi?" Alyssa menatap maminya tak percaya. Rista mengangguk mantap. "Mami tahu dari mana? Masak Alena, sih, Mi?" "Kamu harus percaya sama Mami, memang Alena pelakunya. Kamu juga merasa ada yang janggal 'kan? Kamu merasa aneh kenapa tiba-tiba dia ada di sini di saat Papi kamu sakit? Itu karena dia yang menyebabkan semua ini terjadi. Dia tahu kalau Papi kamu celaka makanya dia ke sini. Alena itu benci sama Mami, dia ingin menghancurkan Mami dan buat Mami celaka tapi mungkin dia nggak nyangka kalau justru Papi kamu yang jadi korbannya. Makanya dia terlihat begitu sedih sampai mau mendonorkan darahnya. Dia pasti merasa bersalah. Masuk akal 'kan asumsi Mami, Alyssa?" Alyssa termangap mendengar penjelasan panjang lebar itu. "Iya 'kan, Sa?" Alyssa mengerjap-ngerjap. "Tunggu, Mi. Mami bilang Alena benci sama Mami? Kenapa? Apa alasan Alena melakukan itu semua?" Rista terdiam. Dia tak mungkin memberitahu rahasia yang sebenarnya pada Alyssa. "Dan masak, sih, Alena sejahat itu, M
Seperti rencana sebelumnya, keesokan harinya, Alena pergi ke rumah sakit lagi untuk menjenguk Bagas sekaligus mencari kesempatan barangkali dia bisa berbicara empat mata dengan ayahnya jika pria itu sudah siuman. Hari itu masih pagi, sekitar pukul delapan. Keadaan rumah sakit pun masih sepi, hanya ada beberapa perawat yang hendak pulang dari berjaga malam, belum ada pengunjung seperti dirinya. Alena sengaja datang pagi-pagi agar tak bertemu Rista atau Alyssa. Dia juga tidak menyamar hingga dia berpenampilan seperti biasa--mengenakan dress selutut yang ditimpa jas kerja berwarna hitam--tidak memakai tudung kepala dan kacamata. Dia memakai tas bincing. Rambut panjangnya terurai seperti biasa Namun, ternyata perkiraannya salah. Baru saja mencapai depan ruang ICU, langkahnya terhenti. Dia melihat Alyssa yang baru saja keluar dari ruangan, menghampiri Andrio yang duduk di kursi. Rupanya Andrio datang menjenguk Bagas. "Hai, Kak," sapa Alyssa yang duduk di samping lelaki itu. "Sa, aku
"Papi udah sadar?" Alyssa baru saja balik dari toilet--yang ada di ruangan itu juga--ketika dia mendapati papinya membuka mata di atas ranjang. Gadis itu tersenyum lebar menghampiri papinya, dia senang papinya akhirnya sadar. "Papi, Alhamdulillah, Papi udah sadar." Alyssa kembali duduk di kursi sisi papinya. Mata hitam Bagas melirik Alyssa. Mimik wajah pria itu terlihat bergerak-gerak seperti ingin mengatakan sesuatu. "Kenapa, Pi?" "Mami kamu ... mana?" tanya Bagas dengan susah payah, suaranya terdengar amat lemah, bola matanya melirik penjuru ruangan itu, dia tak melihat Rista di ruangannya. Alyssa tersenyum. "Papi nyariin Mami? Mami lagi makan di kantin." "Kamu ... yang jagain ... Papi?" "Iya, Pi, aku yang setia jagain Papi dari kemarin. Aku nunggu Papi sadar. Alhamdulillah, sekarang Papi sadar juga." Alyssa ingin menangis rasanya. Sedih hatinya melihat papinya yang selama ini tampak gagah perkasa melindunginya dari marabahaya apa pun kini terbaring lemah antara hidup dan mati
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu