Tangan putih dan feminim itu menabur bunga kertas merah nan segar di atas gundukan tanah berbatu nisan bertuliskan nama Leyla Prameswari.
Ya, tangan itu milik Alena. Semenjak sudah memimpin perusahaan, Alena sudah jarang menjenguk makam ibunya. Terhitung hanya sebulan sekali. Hari ini dia berusaha menyempatkan diri menjenguk makam ibunya.
Alena menatap lekat tulisan pada batu nisan itu. "Bu, nggak terasa hampir tujuh tahun Ibu meninggalkan aku. Ibu di atas sana pasti ngeliat perjuangan aku selama ini 'kan, Bu? Alhamdulillah, sekarang aku udah jadi orang sukses, Bu." Alena berbicara sendiri.
"Seandainya Ibu masih di samping aku, Ibu pasti bisa menikmati semuanya." Gadis itu tersenyum. Lalu menengadah menatap langit mendung. "Tapi aku percaya, Ibu di sana juga bahagia 'kan?" Dia lalu teringat sesuatu dan kembali menatap nisan ibunya. Dan tiba-tiba pandangannya memburam, hidungnya terasa pedas.
"Aku belum bahagia, Bu. Aku belum bisa bahagia meskipun ak
Alena tengah menyetir mobilnya menuju kantor. Namun tiba-tiba dia dapat telepon, dari nomor tak dikenal. Sambil menyetir, Alena mengangkat telepon itu menggunakan earphone. "Halo, dengan siapa?" sahutnya lebih dulu dengan pandangan ke depan fokus menyetir. "..." "Pihak rumah sakit? Iya saya sendiri, ada apa?" "..." "Apa? Iya, iya. Saya segera ke sana." Sambungan terputus. Alena melepas earphone dari telinganya. "Ya ampun Bu Ratih masuk rumah sakit." Alena panik. Niatnya ingin ke kantor dia urungkan dan memutar haluan menuju rumah sakit. Dalam perjalanan, Alena mengirimkan chat pada sekretarisnya untuk menangani tugasnya. Melalui chat itu dia juga mengabarkan kalau dia harus ke rumah sakit sekarang. *** Sesampainya di rumah sakit, Alena langsung menanyakan ke bagian resepsionis di kamar mana pasien Bu Ratih di rawat. Setelah mendapat alamat kamar dari resepsionis, Alena langsung menuju ke sana dengan tergesa-gesa. Lagi-lagi gadis itu merasa de javu. Ini bukan pertama kalinya
Berita meninggalnya Bu Ratih membuat gempar orang-orang. Sebagai mantan CEO perusahaan, banyak orang yang mengenal Bu Ratih, apalagi beliau terkenal sangat baik dan senang membantu. Orang-orang di luar sana tentu tak lupa dengan budi baiknya. Berita meninggalnya tentu menghebohkan orang-orang. Terutama para staf karyawan perusahaan, teman-teman sebayanya, termasuk Mbah Nani. Juga sanak saudaranya. Alena memberitahu kabar duka itu pada orang-orang. Termasuk para karyawan kantor dan Mbah Nani. Mbah Nani begitu terpukul dan sedih mengetahui sahabat tersayangnya meninggal mendadak. Bukan mendadak sebenarnya, karena wanita itu memang mengidap penyakit jantung sejak dulu, umurnya bahkan lebih muda dari Mbah Nani. Kiriman rangkaian bunga bela sungkawa berdatangan dari para karyawannya ke rumah Bu Ratih yang mewah. Hari itu juga makam Bu Ratih di gelar. Suasana prosesi pemakaman itu begitu pilu. Orang-orang terdekat yang melayat menangis. Apalagi sanak saudaranya, seperti paman, bibi, se
Sore itu Alyssa sedang berjaga di IGD dengan teman koasnya, Santi. Karena memang sore itu IGD sedang sepi, terakhir kali pasien masuk tadi siang. Alyssa dan temannya yang sedang gabut, memilih belajar membaca buku-buku kedokteran, sesekali mereka mengobrol dan bercanda hingga tertawa. Dan tiba-tiba Alyssa kepikiran dengan maminya di rumah. Sampai sekarang mami atau bibi belum ada meneleponnya. Apakah keadaan rumah memang baik-baik saja? Atau mereka tidak sempat menelepon karena sedang dalam bahaya? Tak mau berpikir terlalu jauh dan agar perasaannya tenang, Alyssa pun menelepon maminya. "Gue nelepon mami gue dulu, deh," gumam Alyssa lebih pada dirinya sendiri, tapi bisa didengar oleh Santi yang duduk di sebelahnya. Santi menoleh ke Alyssa yang sudah mendekatkan ponsel pipih itu ke telinga. "Lagi sibuk kerja neleponin mami muluk. Dasar anak mami," Tuduhan itu sungguh membuat Alyssa jengkel hingga gadis itu melirik tajam temannya. Namun, dia tak membantah. Dia merasa tak perlu mencer
Andrio dan Alyssa pun pulang bersama dalam satu mobil yang dibawa Andrio. Sedangkan motor Alyssa disimpan di bagasi mobil Andrio. Dalam perjalanan kedua sejoli itu tidak bicara hingga menyisakan keheningan di udara yang dingin karena AC. Sampai akhirnya Alyssa membuka percakapan lebih dulu. "Kakak kenapa tiba-tiba mau jemput aku?" Itu bukan pertanyaan basa-basi. Pasalnya selama mereka koas Andrio tidak pernah berinisiatif mengantar jemputnya. Dan Alyssa pun tak pernah meminta antar-jemput seperti ketika mereka masih kuliah. Karena dia tahu masing-masing sibuk dengan kegiatannya apalagi mereka koas di rumah sakit yang berbeda. Karenanya tak heran Alyssa bertanya demikian. "Kakak pengin aja, sekalian memperbaiki hubungan kita. Kakak nggak mau kamu ngambek terus hanya karena masalah sepele," jawab Andrio sambil fokus menyetir. "Jadi sekarang nggak marah lagi 'kan?" Andrio menoleh sekilas. Alyssa tersenyum simpul. Inilah salah satu sikap Andrio yang dia sukai. Lelaki itu selalu bersika
Alena duduk merenung di meja kerjanya dalam apartemen mewahnya. Suasana hatinya masih sedih atas perginya Bu Ratih. Meski Bu Ratih mengidap penyakit jantung sejak lama tapi bagi Alena kepergian Bu Ratih begitu cepat dan mendadak. Dia bahkan belum terlalu lama mengenal wanita itu. Alena menutup kedua wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan kedua siku menjejak di atas meja. Berusaha menahan rasa sedihnya. Perlahan orang-orang yang baik dan yang dia sayangi pergi. Sekarang yang dia punya hanyalah Mbah Nani. Saat Alena sibuk dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba ponselnya di atas meja kerja berbunyi. Alena langsung tersadar dan mengangkat kepalanya. Melirik layar ponsel, siapa yang menelepon. Gadis itu pun langsung mengangkat teleponnya kala melihat nomor yang dia kenali. "Halo, ya, ada kabar apa?" "..." Alena mendengarkan laporan dari lelaki di seberang sana baik-baik sambil sesekali menyugar rambut hitamnya dan menyandar di kursi "Hmmm lalu?" "..." "Pacarnya?" Tubuh Alena meneg
"Mami!" Alyssa memanggil maminya begitu dia membuka pintu yang tidak dikunci dan masuk ke rumah. Gadis itu tampak celingukan mencari maminya. Tak lama kemudian, seorang wanita keluar. "Hai, Sayang, kamu udah pulang rupanya?" Lalu wanita itu menatap lelaki yang berdiri di samping anaknya. "Kamu pulang sama Andrio?" "Iya, Mi." Alyssa tersenyum. "Hai, Tante." Andrio mengulurkan tangan menyalami wanita itu. Setelah peristiwa itu berlalu bertahun-tahun lamanya, sikap Rista padanya perlahan berubah baik seperti sedia kala dan Andrio pun tak takut lagi dengan wanita itu. Rista menatap keduanya heran. Bagaimana bisa dua sejoli ini pulang bersama, tidak seperti biasanya. Alyssa yang mengerti pun langsung menjelaskan. "Kak Andrio tadi inisiatif jemput aku, Mi, di rumah sakit," jelasnya. Mendengar itu Rista langsung ber 'oh' ria. "Motor kamu kemana?" "Motor aku masih di bagasi Kak Andrio." "Nanti aku keluarin," ucap Andrio pada Alyssa. Alyssa mengangguk. "Oh, iya, Mi. Kak Andrio ke sini
Belakangan ini sejak Alena tak lagi tinggal bersamanya, Mbah Nani sering sakit-sakitan, sakit pinggang, sakit lutut. Alena takut sakit Mbah kian parah jika tak diobati. Karenanya Alena menyarankan agar orang tua itu rutin periksa ke rumah sakit agar diberi resep obat juga sama dokter. Hari ini jadwal Mbah Nani chek-up ke rumah sakit, ditemani oleh Alena. Dan ketika nama lengkap Mbah Nani dipanggil, orang tua itu memandang ke Alena yang duduk di sampingnya. "Alena, kamu tunggu sini saja, yo. Mbah mau cek dulu." "Mbah bisa sendiri?" "Bisalah, cuma ke situ sebentar, kamu jangan ke mana-mana," "Iya, Mbah." Orang tua itu berdiri, masuk ke ruang dokter yang memanggilnya barusan. Alena di tempat duduknya merenung. Dia tiba-tiba mengingat suara dokter yang memanggil Mbah tadi, suaranya laki-laki. Tapi Alena merasa tak asing dengan suara itu. "Apa cuman perasaan gue aja, ya," gumamnya. Lalu gadis itu kembali bermain ponsel. Sekitar setengah jam Alena menunggu, akhirnya Mbah Nani kelu
Andrio memeluk tubuh Alena dari belakang. Tangannya yang berbungkus jas kedokteran melingkar di pinggang gadis itu, erat. Matanya terpejam menghidu aroma harum rambut Alena yang dia rindukan. "Gue kangen banget sama lo, Al," bisik pemuda itu. "Andrio, apa-apaan! Lepasin!" Alena berdesis sambil berusaha melepas lingkaran lengan Andrio di perutnya. Gadis itu melirik ke orang-orang yang berlalu-lalang di halaman itu. Dia sungguh malu dengan apa yang Andrio lakukan terhadapnya. "Ini tempat umum, Andrio!" Alena sedikit bersyukur karena Mbah Nani tidak melihat interaksi mereka. "Oh, jadi kalau nggak di tempat umum, mau, ya, dipeluk kayak gini." Mendengar itu, Alena makin geram dan mencubit lengan Andrio tapi agaknya lelaki itu tak kesakitan sama sekali. Lelaki itu malah makin memperkuat pelukannya. "Apa lo nggak kangen sama gue? Ke mana aja lo selama ini? Apa lo nggak capek menghindar dari gue?" "Gue nggak kangen sama lo," "Masak, sih?" Alena lalu teringat sesuatu. Andrio masih pacar
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu