Ikuti terus kelanjutannya, Gaes. Makasih buat yg baca cerita aku sampai sejauh ini. Jangan bosan-bosan, ya.
Alyssa kesal dengan Andrio. Mood-nya hari ini rusak seketika, padahal tadi dia sangat senang bisa melihat pameran lukisan yang dia idam-idamkan itu. Dia bahkan tidak jadi membeli lukisan. Meskipun lelaki itu sudah menjelaskan kalau dia tak mencintai Alena lagi. Namun, tetap saja dia masih kesal. Alyssa tidak bisa sepenuhnya lagi percaya pada pacarnya itu. "Anak Mami pulang-pulang kok wajahnya cemberut?" Rupanya Rista memperhatikan anaknya sejak gadis itu menutup pintu. Alyssa terkejut melihat maminya berdiri di hadapannya. "Mami?" "Kenapa, Sayang?" Alyssa menghela napas. Lalu berjalan gontai menuju sofa ruang tamu dan menghempaskan bokongnya di sana. "Kak Andrio, Mi." "Kamu ribut lagi sama Andrio? Masalah apa, sih?" Rista ikut duduk di samping Alyssa. "Coba cerita sama Mami." Alyssa langsung teringat dengan masalah itu. Alyssa menatap maminya. "Alena, Mi." Mendengar nama Alena, Rista membelalak. "Alena? Kenapa tiba-tiba jadi Alena?" "Iya, Mi. Tadi Kak Andro liat Alena ada di
Niat Andrio malam ini ingin begadang menyelesaikan tugasnya mengisi lembar follow up pasien. Dalam bayangannya, dia akan mati-matian menahan kantuk demi menyelesaikan pekerjaan itu. Namun, kini setelah dia menyelesaikan pekerjaannya dan berusaha tidur. Matanya tak kunjung terpejam. Bahkan waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Matanya tak terasa berat sama sekali. Dia juga tidak menguap. Lantaran banyak hal yang dia pikirkan. Terutama kejadian-kejadian malam ini. Termasuk pertemuannya dengan Alena yang tak terduga di pameran lukisan tadi. Hingga lelaki itu hanya berbaring, menatap langit-langit kamar dengan pikiran berkecamuk. Dulu Andrio berusaha mati-matian melupakan gadis itu. Dan kini ketika dia telah lupa kenapa tiba-tiba gadis itu muncul lagi? Dan yang tak dia mengerti dengan dirinya adalah perasaannya yang masih terasa berdebar tiap kali melihat gadis itu. Dia selalu merasakan sesuatu setiap kali bertemu gadis itu. Andrio menyadari sesungguhnya dia masih mencintai gad
Andrio, sebaiknya kamu naik ke atas, selamatkan Alyssa, bujuk dia pelan-pelan, ya. Biar Om yang awasi dia dari sini," ucap Bagas yang berdiri di sampingnya sejak tadi. Andrio menatap Bagas dan mengangguk kencang. "Baik, Om." Andrio pun bergegas masuk ke rumah itu dan naik ke lantai atas melalui tangga. Sesampainya di lantai atas, lelaki itu langsung membujuk Alyssa dengan segala upaya. "Alyssa, Kakak mohon Alyssa jangan begini. Yang kamu lakukan ini nggak akan menyelesaikan masalah. Kamu naik, ya, kita bicara baik-baik." Alyssa yang berdiri di pinggiran balkon menoleh dan menepiskan tangan Andrio yang menyentuhnya. "Apa yang mau dibicarakan, Kak? Semuanya udah jelas! Kak Andrio cinta sama Alena dan Kak Andrio pengin pacaran sama Alena 'kan?" "Andrio." Rista ikut menyahut membuat Andrio menatapnya. "Kamu yang udah buat Alyssa begini, saya nggak mau tahu, kamu harus bertanggung jawab. Kamu harus bisa bujuk dia!"
"Andrio!"Suara Marissa memanggil disusul ketukan pintu terdengar samar-samar."Andrio, bangun, Nak! Ini udah jam berapa? Katanya ada koas hari ini. Andrio!"Andrio tersadar. Kelopak matanya yang masih terasa berat, membuka karena panggilan yang terdengar samar itu.Sepersekian detik kemudian dia membelalak dan langsung melirik jarum jam weker di atas nakas samping tempat tidurnya yang menunjukkan pukul setengah enam. Andrio kian melotot. "Udah jam segini!" Tubuhnya pun menegak di atas tempat tidur. Biasanya dia bangun lebih awal sekitar setengah lima atau jam lima. "Iya, Ma, iya!" sahutnya kemudian.Dia bangun kesiangan pasti karena tak dapat tidur memikirkan Alena, entah jam berapa semalam dia baru dapat terlelap. Bergegas lelaki itu bangun dari tempat tidur dan bersiap-siap.***Pagi itu keluarga Bagaskara tengah menikmati sarapan pagi di meja makan sambil berbincang hangat mengenai koas Alyssa. Bagas&nb
Jendela ruang tamu yang besar dan tinggi itu bolong. Kacanya pecah dan kepingannya berserakan di lantai. Si Bibi tampak gemetaran membaca kertas ditangannya."Ada apa, Bi?" Rista mendekat ke asisten rumah tangganya.SI Bibi menghadap majikannya dan menunjukkan kertas itu. "Ini Bu, Pak, rupanya ada orang yang melempar kaca jendela dengan batu besar yang dibungkus kertas ini. Isinya surat ancaman, Bu." Bibi tampak pucat saking ketakutannya. Tangannya yang terulur ke Rista terlihat gemetar."Surat ancaman?" Rista menatap bibi tak percaya.Bagas langsung menyambar surat itu dan membacanya. Rista dan Alyssa yang berdiri di belakangnya ikut membaca tulisan di kertas kusut itu.NIKMATILAH DULU KEBAHAGIAAN KALIAN SAAT INI KARENA SEBENTAR LAGI KEBAHAGIAAN ITU AKAN MUSNAH.Rista dan Alyssa membelalak, mereka saling pandang."Serem banget, Mi," bisik Alyssa.Bagas meremas surat kusut itu geram membuat kertas itu menjadi bentuk bola.
Tangan putih dan feminim itu menabur bunga kertas merah nan segar di atas gundukan tanah berbatu nisan bertuliskan nama Leyla Prameswari.Ya, tangan itu milik Alena. Semenjak sudah memimpin perusahaan, Alena sudah jarang menjenguk makam ibunya. Terhitung hanya sebulan sekali. Hari ini dia berusaha menyempatkan diri menjenguk makam ibunya.Alena menatap lekat tulisan pada batu nisan itu. "Bu, nggak terasa hampir tujuh tahun Ibu meninggalkan aku. Ibu di atas sana pasti ngeliat perjuangan aku selama ini 'kan, Bu? Alhamdulillah, sekarang aku udah jadi orang sukses, Bu." Alena berbicara sendiri."Seandainya Ibu masih di samping aku, Ibu pasti bisa menikmati semuanya." Gadis itu tersenyum. Lalu menengadah menatap langit mendung. "Tapi aku percaya, Ibu di sana juga bahagia 'kan?" Dia lalu teringat sesuatu dan kembali menatap nisan ibunya. Dan tiba-tiba pandangannya memburam, hidungnya terasa pedas."Aku belum bahagia, Bu. Aku belum bisa bahagia meskipun ak
Alena tengah menyetir mobilnya menuju kantor. Namun tiba-tiba dia dapat telepon, dari nomor tak dikenal. Sambil menyetir, Alena mengangkat telepon itu menggunakan earphone. "Halo, dengan siapa?" sahutnya lebih dulu dengan pandangan ke depan fokus menyetir. "..." "Pihak rumah sakit? Iya saya sendiri, ada apa?" "..." "Apa? Iya, iya. Saya segera ke sana." Sambungan terputus. Alena melepas earphone dari telinganya. "Ya ampun Bu Ratih masuk rumah sakit." Alena panik. Niatnya ingin ke kantor dia urungkan dan memutar haluan menuju rumah sakit. Dalam perjalanan, Alena mengirimkan chat pada sekretarisnya untuk menangani tugasnya. Melalui chat itu dia juga mengabarkan kalau dia harus ke rumah sakit sekarang. *** Sesampainya di rumah sakit, Alena langsung menanyakan ke bagian resepsionis di kamar mana pasien Bu Ratih di rawat. Setelah mendapat alamat kamar dari resepsionis, Alena langsung menuju ke sana dengan tergesa-gesa. Lagi-lagi gadis itu merasa de javu. Ini bukan pertama kalinya
Berita meninggalnya Bu Ratih membuat gempar orang-orang. Sebagai mantan CEO perusahaan, banyak orang yang mengenal Bu Ratih, apalagi beliau terkenal sangat baik dan senang membantu. Orang-orang di luar sana tentu tak lupa dengan budi baiknya. Berita meninggalnya tentu menghebohkan orang-orang. Terutama para staf karyawan perusahaan, teman-teman sebayanya, termasuk Mbah Nani. Juga sanak saudaranya. Alena memberitahu kabar duka itu pada orang-orang. Termasuk para karyawan kantor dan Mbah Nani. Mbah Nani begitu terpukul dan sedih mengetahui sahabat tersayangnya meninggal mendadak. Bukan mendadak sebenarnya, karena wanita itu memang mengidap penyakit jantung sejak dulu, umurnya bahkan lebih muda dari Mbah Nani. Kiriman rangkaian bunga bela sungkawa berdatangan dari para karyawannya ke rumah Bu Ratih yang mewah. Hari itu juga makam Bu Ratih di gelar. Suasana prosesi pemakaman itu begitu pilu. Orang-orang terdekat yang melayat menangis. Apalagi sanak saudaranya, seperti paman, bibi, se
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu