"Semoga lekas sembuh, ya? Obatnya diminum sehari tiga kali. Kalau yang salep, dipakai sehabis mandi." Arvi menebar senyum ramah pada seorang balita yang duduk di pangkuan ibunya, lalu mengusap rambut halus itu sekilas. Pasien kecilnya itu datang dengan keluhan gatal dan bentol-bentol di beberapa bagian tubuhnya, alergi dingin yang mampu dokter anak itu simpulkan. Meskipun hanya penyakit ringan, namun orang tua lelaki kecil bermata lebar itu terlihat begitu mencemaskannya. Dan baru merasa lega ketika Arvi mengatakan bahwa kondisi anak mereka baik-baik saja."Iya, Dok. Terima kasih," ucap Si ayah, mewakili. "Ayo, Sayang ... ucapan terima kasih sama Pak dokter."Dan balita itu segera menuruti perintah ayahnya. Berucap dengan cedal, namun terdengar begitu menggemaskan. "Telima kacih, Pak doktel.""Sama-sama."Senyum Arvi terus mengembang ketika kedua orang tua beserta anak mereka bergerak keluar dari ruangannya bersama seorang suster yang menjadi asistennya. Keduanya tampak begitu bahagia
Nathan berlari tunggang langgang setelah memarkirkan mobil milik Arvi di parkiran. Ia memasuki ruang Instalasi Gawat Darurat sembari memakai handscoon di kedua tangannya. Sudah tidak ada waktu lagi, kondisi pasien yang dikabarkan seorang perawat yang meneleponnya tadi sudah tidak memungkinkan untuk menunggu lebih lama lagi.Setelah langkah kakinya menjejak ke dalam, suasana tegang menyapanya. Ada seorang wanita dengan perut besar tampak lemah di atas ranjang. Sepertinya wanita itu memiliki kendala ketika melahirkan. Di sisinya terdapat seorang pria yang terlihat selalu menggenggam tangannya. Pria yang Nathan tebak adalah suami dari Si pasien. Seorang bidan yang awalnya berdiri di bagian bawah kaki wanita itu segera bergerak menyambutnya dengan wajah begitu panik. "Dok ....""Bagaimana kondisinya?" tanya Nathan, mencoba tenang. Ia melangkah menuju ranjang pasien."Bukaannya sudah lengkap, Dok. Tapi, bayinya belum juga keluar. Sedangkan pasien sudah dalam keadaan lemah.""Kenapa tidak l
Segala gerakan Reanna terhenti ketika handphone yang ia letakkan di atas meja bergetar, di layarnya terdapat sebuah notifikasi pesan masuk dari ayah Kia. Gadis manis itu meletakkan buket bunga yang belum selesai ia kerjakan, memilih untuk membaca pesan itu lebih dahulu.'Malam ini saya akan pulang sedikit larut, tolong kamu jaga Kia sampai saya kembali. Saya akan menambah gajimu nanti.'Reanna melirik pada presensi Kia yang sedang memainkan boneka beruang kecil di sisinya dengan setitik senyuman. Semburat senja yang masuk ke dalam ruangan menimpa wajah gadis kecil itu, membuatnya tampak bercaya. Cantik sekali."Sepertinya aku akan lembur malam ini."Ucapan Reanna segera ditanggapi oleh Tisha. Ia melirik ke arah Sang sahabat melalui ekor mata, sedikit menjeda kegiatannya. "Kenapa?""Pak dokter pulang malam. Sedang banyak pasien sepertinya." Kedua bahu mungil Reanna terangkat singkat, dengan menipiskan garis bibirnya. Setelah ia mengetikkan balasan pesan di dokter tampan, ia kembali mel
Lampu indikator ruang operasi itu masih menyala, tanda tindakan bedah sedang berlangsung di dalam sana. Jari-jemari kedua tangan kekar itu saling meremas ketika rasa cemas kian menyeruak dalam dadanya. Dalam hatinya selalu merapal doa, mengharap keselamatan dua nyawa yang begitu berarti dalam hidupnya.Ya, istrinya sedang berjuang di balik pintu dengan kaca buram itu, berjuang untuk melahirkan kehidupan baru, anak mereka. Meskipun melewati jalur operasi caesar pada akhirnya, setelah ia mencoba melahirkan dengan pervaginam tetapi gagal di bukaan enam. Apalagi dengan kadar hemoglobin dalam darah istrinya yang begitu rendah, tentu saja Nathan tidak ingin mengambil resiko dengan memaksakannya melahirkan dengan normal. Ia lebih dari tahu apa yang akan terjadi, ia pun seorang dokter obgyn.Mata biru itu kembali menatap jam dinding pada tembok putih rumah sakit itu. Sudah lewat dari setengah jam yang lalu Sang istri memasuki ruang bedah sana. Namun, hingga detik ini pintu tebal itu belum jug
Ketika dr. Adams sudah pergi dengan mobil hitamnya, Tisha bergerak mendekati Reanna dan juga Kia dengan membawa seikat bunga kuning di tangannya. Ia yang sedari tadi hanya menjadi pengamat, kini mengeluarkan pertanyaan. "Kenapa Papamu?"Sementara itu Reanna masih saja terdiam menatap kepergian dokter tampan itu. Kepalanya sedang berpikir keras, mencoba menggali ingatannya yang mungkin saja ada hubungannya dengan kejadian di hari sebelumnya.Namun, nihil.Yah, selain raut lesu yang tampak jelas di wajah Pak dokter tadi malam ketika menjemput Kia pulang—yang Reanna duga akibat kelelahan. Selanjutnya, gadis manis itu menatap Kia yang sudah terduduk nyaman di tempatnya, memainkan sebuah boneka di tangannya. Ah, gadis kecil itu sedang berulang tahun hari ini.Dan di detik itu Reanna tersentak ketika ia baru saja menyadari sesuatu. "Tunggu dulu ... bukankah istri dr. Adams meninggal setelah melahirkan Kia? Berarti ulang tahun Kia bertepatan dengan hari meninggalnya istrinya 'kan, Sha?" ia m
Ingar-bingar yang begitu memekakkan telinga sama sekali tak mengganggu pria itu. Kepala berambut pirang itu menunduk, dengan jari-jemari besarnya yang berkali-kali memijat kening. Sepertinya ia terlalu banyak meminum alkohol malam ini."Sudah cukup, Nathan. Kamu bisa pingsan jika terus-menerus minum seperti itu." Arvi, pria berambut kecokelatan yang duduk di sampingnya memperingatkan.Namun, dokter tampan itu hanya membalasnya dengan dengkusan. Tangan kanannya kembali meraih gelas kecil berisi cairan bening itu, meneguknya sekaligus. Entah sudah gelas ke berapa yang diminumnya."Tumben sekali kamu mengajakku ke sini? Biasanya kamu paling anti ke tempat seperti ini." Arvi terkekeh kecil ketika mengucapkannya, kemudian pria itu meneguk sedikit minuman beralkohol di hadapannya."Aku butuh teman, Ar."Arvi meliriknya, memberikan perhatian seutuhnya pada raut wajah sahabatnya yang memerah karena mabuk."Ada hal yang mengganggumu?" tanyanya.Nathan tak langsung menjawab pertanyaan Arvi. Hany
Malam semakin larut, suara jarum jam yang berdetak terdengar begitu nyaring dalam kesunyian, mendominasi ruangan kamar Kia. Reanna terlihat mondar-mandir di dalamnya, handphone berwarna hitam yang berada dalam genggamannya terlihat menyala. Sesekali gadis itu terlihat menempelkan benda persegi panjang nan pipih itu pada telinganya, kemudian helaan napas panjang keluar dari mulutnya ketika lagi-lagi hanya suara operator telepon yang menjawab panggilannya. Rasa cemas semakin nampak pada wajah cantiknya ketika pandangan mata indah gadis itu kembali melihat jarum jam dinding yang hampir menyentuh angka dua belas tepat tengah malam, dan dokter tampan itu belum juga terlihat pulang.'Sebenarnya apa yang terjadi denganmu, Mas?' Reanna kembali bertanya-tanya dalam hati.Ia bertambah gelisah ketika satu pemikiran buruk menghinggapi kepala cantiknya. Ia menggigiti kuku jemarinya, mengekspresikan betapa ia begitu mengkhawatirkan Si dokter berambut pirang. Sungguh, ia sangat takut jika terjadi
Menyadari bahwa pria yang saat ini bersamanya masih begitu mencintai mendiang istrinya, Reanna tersenyum miris. Ia tidak tega. Tangan kanannya kembali meraih pipi kiri Nathan, membelainya perlahan. "Aku di sini, Mas. Aku bersamamu. Jadi, jangan menangis lagi," ungkap gadis itu dengan mempertahankan senyuman. Reanna sangat paham apa yang dirasakan pria itu. Tiga tahun bukanlah waktu yang cukup lama untuk menyembuhkan luka. Semuanya butuh proses. Kehilangan seseorang yang begitu dicintai untuk selama-lamanya sangatlah menyakitkan, ia tahu itu dengan pasti. Ia pun pernah merasakannya dulu ketika ibunya meninggal dunia. Dan pria di hadapannya ini kehilangan belahan jiwanya, seseorang yang bertahun-tahun hidup bersama sebagai istri, di saat seharusnya mereka merasa bahagia atas kelahiran Sang buah hati. Sungguh, Reanna bahkan tidak bisa membayangkan sehancur apa hati pria itu. "Jangan tinggalkan aku lagi, Sayang. Kumohon ... aku tidak sanggup." Bahu lebar itu berguncang, seiring baju b
"Selamat, Dok. Bayi lelaki Anda lahir dengan sehat tanpa kurang suatu apa pun." Di belakang sosok perawat berseragam putih tersebut, terlihatlah sosok dokter kandungan wanita, seseorang yang bertanggung jawab melakukan proses persalinan operasi caesar Reanna. Sesosok bayi mungil berbalut kain putih terlihat dalam gendongan si dokter, tangisannya terdengar menggema.Tentu Nathan segera mendekat, meninggalkan dua sosok lain di belakang tubuhnya di ambang pintu, karena memang hanya sang dokter piranglah—yang notabenenya adalah suami pasien—yang boleh memasuki ruang pemulihan.Pria pirang itu menerima buntalan bayi merah tersebut dengan hati-hati, mengamati sejenak wajah mungil Sang putra. Jari telunjuk tangan kanannya yang bebas menyentuh pelan pipi tembam anaknya, dia ... benar-benar mirip dirinya dan juga Reanna.Namun, ia tak mampu lama-lama mengagumi anugerah Tuhan yang dititipkan padanya beserta istri tercinta. Hatinya masihlah khawatir sebelum melihat kondisi wanitanya. Ia mengalihk
"Bagaimana hasilnya, dr. Karin?" Nathan menelan salivanya dengan sedikit gugup ketika seorang dokter obgyn wanita mengamati monitor hitam alat USG-nya, ia harap-harap cemas. Tentu ia berharap jika hasil pemeriksaan rekan sesama dokter kandungannya itu bisa sedikit berbeda dari hasil yang ia dapatkan ketika memeriksa kandungan Sang istri beberapa hari lalu. Sedangkan Reanna, wanita hamil yang terbaring di ranjang tinggi tempat praktik dr. Karin hanya diam mengamati pula mendengarkan pembicaraan kedua orang dokter kandungannya. Ia pun sejujurnya gugup, namun berusaha menormalkan detakan jantungnya. "Janin dalam keadaan sehat, ketuban cukup, plasenta tidak menghalangi jalan lahir dan belum terjadi pengapuran. Hanya saja bayi dalam posisi oksiput posterior atau terlentang di dalam kandungan, mungkin hal tersebut yang membuat janin belum masuk panggul hingga sekarang," jawab dr. Karin apa adanya, tanpa melepas atensi dari layar monitor yang menampilkan keadaan kandungan Sang pasien, istri
"Tunggu sebentar, Sayang." Kedua tangan kekar itu melepaskan rengkuhannya dari tubuh Sang istri kemudian menarikkan sebuah kursi makan untuknya, menimbulkan suara decitan kecil akibat kaki tempat duduk yang bergesekan dengan lantai keramik di bawah kakinya. Sedangkan Reanna hanya tersenyum manis menanggapinya. Telapak tangan kanan dan kirinya tiada henti membelai permukaan perutnya yang terasa menegang, tentu diikuti gerakan janinnya yang semakin brutal dari dalam kandungan. Ah, bayi mereka memang super aktif."Pelan-pelan." Setelahnya, pria itu menuntun tubuh berisi Sang wanita untuk mendudukkan diri dengan hati-hati. Sungguh, Nathan sangat over protektif pada Sang istri akhir-akhir ini. Bahkan jika boleh, ia akan dengan senang hati menggendong tubuh Reanna tanpa mengizinkannya menapaki bumi.Reanna terkekeh sembari menggeleng singkat kala mendapatkan perlakuan suaminya yang begitu hangat, meskipun ia akui itu sedikit berlebihan. Namun, ia menerima segala perhatian itu dengan senang
"Kamu yakin?" mata biru itu menatap menelisik raut jelita Sang istri di depan cermin riasnya. Hari masihlah pagi, namun wanitanya sudah terlihat begitu rapi. Tubuh dengan kandungan yang sudah sangat besar itu terbalut dengan manisnya dress hamil selutut berwarna lilac, sedangkan rambut kelam yang dahulu begitu panjang kini terpangkas sebatas bahu, dikuncir sebagian; meninggalkan separuhnya lagi tergerai di belakang. "Tentu." Wanita itu menjawab dengan pasti, tak lupa mengurva senyuman manis untuk Sang suami. Ia lantas meletakkan sebuah lipstik berwarna pink kembali ke tempat semula, tentu setelah ia selesai mengoleskan benda itu pada kedua belah bibir ranumnya."Tapi, perutmu sudah sangat besar, Sayang ... apa itu tidak apa-apa?" raut tampan Si dokter pirang masihlah terlihat cemas. Mengabaikan kemeja hitam yang belum terkancing sempurna—yang melekat di tubuhnya, pria yang akan kembali bergelar sebagai ayah itu memposisikan diri di belakang tubuh Sang istri. Kedua netra biru itu kem
"Mama ... !!" teriakan keras nan memekakkan telinga dari Kia adalah hal yang menyambut Reanna dan Nathan saat mereka baru saja membuka pintu utama rumah Joana. Balita cantik nan menggemaskan itu berlari sambil merentangkan tangan, lalu masuk ke dalam dekapan ibu sambungnya ketika wanita yang tengah hamil muda itu merendahkan tubuh menyambutnya. Rasa hangat yang menjalari dada menuntun sudut-sudut bibir wanita itu menarik lengkungan senyuman."Merindukan Mama, hm?" tanyanya seraya membalas dekapan."Lindu~" pelukan balita itu semakin erat. Lengan-lengan mungilnya mengalungi leher Reanna, mencium wangi parfum yang biasa ibunya pakai penuh kerinduan. "Mama ke mana caja? Kenapa Kia tidak diajak?""Mama tidak ke mana-mana, Sayang. Hanya pergi sebentar untuk menenangkan diri." Reanna melepas pelukan demi menatap wajah imut Sang putri. Tangan-tangannya menangkup kedua pipi bak bapao Kia, lalu memberikan ciuman sayang di dahi.Dari arah ruang keluarga muncul sosok Joana, ia menebar senyum ba
"Apakah ... kamu sudah mencintaiku, Mas?" suara lembut nan pelan itu mengalun perlahan, menembus kesunyian. Sedangkan Nathan sejenak terdiam, sedikit terkejut dengan pertanyaan Sang istri yang di luar dugaan."Apakah aku harus menjawabnya?" pria itu menjawab pertanyaan Reanna dengan pertanyaan lainnya. Dan hal itu justru membuat raut wajah wanita itu mendung seketika. Spekulasi negatifnya kembali menyeruak dalam dada. Pria itu memang tidak memiliki rasa yang sama terhadapnya."Tidak perlu. Aku sudah tahu jawabannya." Reanna menunduk, menatap permukaan meja kaca di hadapannya dengan sendu. "Kamu tidak pernah mencintaiku," lanjutnya, semakin lirih di akhir kata."Tidak semua wanita bisa peka ternyata.""?" Reanna tersentak mendengar ucapan suaminya. Dengan spontan, ia menoleh cepat pada raut tampan Si dokter pirang."Tanpa kamu mengatakannya pun aku sudah tahu bagaimana perasaanmu padaku," ungkap Nathan, menatap tepat pada kedua mata indah istrinya penuh arti."Apa yang kamu tahu?" t
"Ekhem! Jadi?" ucapan Alona menyita kembali atensi mereka. Ah, Nathan hampir lupa tujuan utama ia mengajak Sang istri datang ke sana."Sebelumnya perkenalkan ... dia Reanna, istri kecilku." Kedua tangan besar Nathan hinggap di kedua bahu Sang istri, memperkenalkan. Meresponsnya, Alona menggulirkan pandangan mata kemudian tersenyum dengan manisnya kala menatap wajah istri Si dokter tampan. "Hay, Reanna ... kamu cantik sekali."Reanna hanya tersenyum malu-malu membalasnya. Di puji begitu membuat wajah ayunya sedikit merona."Dan Rea, dia bernama Alona, calon istri Arvi, Si dokter anak yang adalah sahabatku. Dia tunangan pria di sebelahnya." Kembali, Nathan berujar memperkenalkan."Salam kenal." Reanna berucap seadanya, sedikit membagi senyumnya."Kamu bisa memanggilku Kakak, atau mungkin Tante? Aku dua tahun lebih muda dari suamimu," ungkap Alona dengan senyuman yang tak luntur dari bibirnya."Kakak saja. Kamu terlihat masih sangat muda, Kak Alona.""Terima kasih.""Al, berikan penjela
"Pulanglah bersamaku."Ucapan itu menggema di dalam telinga Reanna. Wanita itu masih saja terdiam terpaku, menatap mata biru yang terus menatap lembut pada kedua mata indahnya. "Kembalilah, Rea ... kami sangat membutuhkanmu." Pria pirang di depannya kembali bersuara.Sedangkan Reanna memejam mata sarat akan luka kala ingatan tempo hari lalu menyeruak dalam kepala cantiknya. Ketika Sang suami dengan begitu akrabnya membersamai wanita lain selain dirinya."Kamu tidak membutuhkanku, Mas. Aku bukan apa-apa bagimu," ungkap wanita itu, selirih tiupan angin. Namun, cukup mampu di dengar Sang suami.Embusan napas pria itu terdengar berat setelahnya. Ia tidak habis pikir dengan jalan pemikiran Sang istri."Kamu istriku, Rea. Kamu bagian terpenting dalam keluarga. Keluarga kita, yang artinya bukan hanya tentang aku dan Kia. kamu pun ada di dalamnya." Nathan berusaha meyakinkan istrinya."...." Reanna tampak menunduk pedih mendengarnya. Apakah ia harus percaya? Sedangkan ia melihat sendiri de
[Saya sedang dalam perjalanan ke sana. Mungkin memang sedikit memakan waktu sebab jalanan menuju ke Florist cukup macet. Saya harap kamu bisa menahan Reanna untuk tetap berada di sana sampai saya sampai.]Pesan itu masuk hampir satu jam lalu, dan Tisha baru saja membuka ponselnya karena dirinya sedikit sibuk. Tentu pesan itu berasal dari nomor Si dokter tampan, suami sahabatnya. Sedangkan Reanna sudah tampak lebih baik sekarang, dia sedang merangkai sebuket bunga mawar merah untuk membunuh waktu, sebab Tisha memang belum memberinya tugas apa pun untuk mulai bekerja.[Sekarang sampai di mana?]Tisha membalas pesan itu dengan sedikit tergesa lalu melirik Reanna sejenak. Dan nyatanya dirinya tak perlu menunggu terlalu lama untuk mendapatkan balasan dari pria di seberang telepon sana.[Mungkin 5 menit lagi saya sampai. Posisi saya sudah dekat.]"Rea ... aku titip Florist padamu, ya? Sebentar saja." Tisha membuka suara, ia memang sedang berpikir untuk memberikan pasangan suami-istri itu r