Setiap detik terasa begitu lama dalam hening yang menyapa. Sudah lebih dari lima menit mereka duduk di meja yang sama, di dalam kafe langganan Reanna. Namun, tetap saja tiada satu pun kata yang terucap dari mulut keduanya. Mata jernih itu memandang jemu pada segelas jus jeruk di hadapannya, lalu mengaduk-aduknya dengan sedotan tanpa berminat untuk meminumnya. Sekali lagi ia melirik dari ekor matanya pada Olivia, dan ekspresi wanita hamil itu pun masih tetap sama; menunduk. Reanna tidak mengerti apa yang sebenarnya wanita itu pikirkan sekarang. Ia hendak memulai pembicaraan, namun sekali lagi kecanggungan menguasai dirinya. Toh, yang mengajak bertemu adalah Olive. Itu artinya wanita di hadapannya inilah yang memiliki kepentingan dengannya. Ia akan tetap menunggu hingga bibir istri dari mantan tunangannya lebih dahulu buka suara."Bagaimana kabarmu, Reanna?" setelah kediaman yang cukup lama, pada akhirnya Olivia bertanya."Kabar saya sangat baik, seperti yang Anda lihat." Reanna menjaw
Hari yang begitu melelahkan, namun membahagiakan di saat yang bersamaan. Setelah beberapa waktu lalu Reanna hanya melewati hari-hari membosankan di dalam kediamannya, kini pada akhirnya Sang suami mengizinkan dirinya untuk kembali bekerja, dan tentu saja kembali bertemu dengan Tisha, sahabatnya. Hari ini menjadi salah satu hari terbaik untuknya, pasalnya hatinya pun telah merasa begitu ikhlas karena sudah benar-benar memberikan maaf untuk Olive dan juga Kalandra. Ia sudah merasa begitu nyaman berada di toko bunga itu; Carnation florist. Meskipun sejujurnya akhir-akhir ini banyak sekali panggilan kerja yang mulai berdatangan untuknya. Dan yah, tentu saja Reanna menolak semuanya, ia seorang istri dan juga seorang ibu sekarang. Tugas utamanya adalah mengurus suami dan juga anaknya. Suaminya tidak akan pernah mengizinkannya bekerja—pengecualian jika bekerjanya di Carnation florist, karena di sana ia masih bisa sembari menjaga Kia.Reanna merenggangkan badannya sejenak, kemudian bangkit d
Pagi itu hanya ada Reanna bersama Nathan di ruang makan, lengkap dengan keheningan yang mendominasi di antara keduanya. Sang bibi yang biasanya membantu memasak dan bersih-bersih rumah lagi-lagi absen untuk datang dikarenakan sedang tidak enak badan.Kecanggungan yang biasanya hadir di antara mereka perlahan musnah. Bahkan Reanna tampak dengan luwes melayani suaminya. Ia berdiri di sisi meja makan seraya menyendokkan nasi goreng buatannya ke permukaan piring ceper keramik berwarna putih di hadapan suaminya."Makan yang banyak, Mas," ucapnya, lengkap dengan senyuman manis."Kamu yakin?" berbeda dengan Reanna, Nathan justru menatapnya dengan raut wajah yang seakan penuh keraguan."Tentu saja." Atas respons Nathan, Reanna tampak sedikit menukikkan alisnya. "Kamu tidak perlu takut akan keracunan, rasa masakanku kali ini sudah lebih baik daripada nasi goreng pagi itu. Aku sudah banyak belajar dengan Bibi." Yah, tentu wanita itu masih ingat tentang nasi goreng super asin buatannya beberapa
"Mama cama Papa jadi pelgi hali ini, ya?" Kia bertanya dengan polos saat melihat kedua orang tuanya berjalan sambil menggeret koper. Ia berdiri pada anak tangga paling bawah yang menghubungkan lantai dua rumah mereka, ada Sang nenek yang berdiri di belakangnya. Sepertinya gadis kecil itu baru saja mandi. Terlihat dari rambutnya yang telah tersisir rapi. Gaun santai dengan warna pelangi berlengan tali spageti melekat di tubuhnya. Ia sudah tampak cantik dan rapi sepagi ini."Iya, Sayang. Kamu di rumah sama Nenek sama Kakek dulu, ya? Papa janji, nanti saat Papa dan Mama pulang bakalan bawakan oleh-oleh yang banyak buat Kia." Nathan yang menjawabnya, mewakili Reanna yang hanya bisa bungkam seribu bahasa.Meskipun penampilan sepasang suami-istri itu sudah rapi, namun sejujurnya Reanna masih ragu untuk pergi. Tentu alasannya adalah Kia. Ia sudah menganggap gadis kecil itu sebagai buah hatinya sendiri sejak awal, makanya ia merasa langkah kakinya begitu berat untuk meninggalkan. Setelah Na
Setelah terbang kurang lebih 1 jam 45 menit pada akhirnya Nathan dan Reanna telah sampai di Bali, tempat tujuan mereka untuk berbulan madu. Tadi setelah sampai di resort tempat mereka menginap, Nathan segera menghubungi Kia lewat panggilan video sesuai janjinya pada Sang istri. Dan barulah Reanna mampu tersenyum lega setelah melihat balita cantik di sebelah telepon sana tengah tersenyum bahagia, sedang asyik bermain bersama neneknya.Untuk sejenak melepas penat, pasangan suami-istri itu memutuskan untuk beristirahat selama beberapa jam di kamar resort sekaligus menunggu terik mentari sedikit meredup di kala senja. Dan kini mereka telah berada di tepi pantai Jimbaran, pantai terbaik di Bali untuk pasangan penganti baru.Pantai Jimbaran menawarkan pantai pasir putih bersih dengan bentangan garis pantai yang sangat panjang. Ombak di pantai Jimbaran tidak terlalu besar dan kedalaman air sangat dangkal, sehingga cukup aman untuk berenang ataupun berselancar. Kiranya hal tersebutlah yang me
Tak terasa sudah seminggu berlalu mereka menghabiskan waktu berbulan madu. Menikmati waktu intim berdua merupakan suatu hal yang bermakna dan kini waktunya mereka untuk kembali ke Jakarta setelah kurang lebih satu minggu berada di pulau Dewata.Beberapa oleh-oleh khas Bali sudah memenuhi satu tas ransel, sedang dimasukkan oleh kedua tangan Reanna. Buah tangan khusus yang mereka berikan untuk putri tercinta pula orang-orang di rumah. Ada berbagai baju, pie khas Bali, dan berbagai macam pernak-pernik yang hanya akan di temui di pulau itu."Apakah segini akan cukup?" kepala dengan rambut hitam tergerai panjang itu menoleh pada presensi Sang suami yang sedang duduk di sofa, sedang menikmati secangkir kopi. Asap tipis tampak mengepul pertanda bahwa kopi itu manis panas."Itu semua sudah lebih dari cukup, Sayang." Nathan menjawab setelah menyesap minumannya, memberikan senyuman yang selalu tampak menawan nan menenangkan. Namun, tatapan Reanna kembali pada oleh-oleh yang masih terhampar di
Langkah kaki panjang itu terdengar bergema di antara keheningan pagi yang baru saja menyapa. Reanna memutar kepalanya, melihat seseorang yang semakin mendekat ke arah ia dan Kia. Dan senyuman manisnya terbit begitu saja kala pandangan mereka saling berjumpa. Pria bersurai pirang yang kini dipangkas cepak itu sudah terlihat begitu rapi dengan kemeja hitamnya pagi ini. Nathan memotong rambutnya tadi malam, setelah kepulangan mereka dari bulan madu di Bali. Potongan rambut yang sejujurnya tak begitu Reanna sukai, sebab ia tak akan bisa lagi menjambaknya ketika mereka bermain kuda-kudaan di ranjang. Hal yang menjadi kebiasaannya ketika memadu cinta bersama pria itu.Astaga, bisa-bisanya Reanna mengingat hal tersebut di pagi-pagi begini!Wanita itu sedikit terkekeh melihat suaminya. Kemeja hitam dan putih hampir setiap hari pria itu kenakan. Ia tak habis pikir, suaminya sering sekali memakai baju berwarna Hitam—atau jika tidak, pasti warna putih. Sehingga jika ada yang tidak tahu, mungkin
"Sepertinya kamu mengalami kenaikan berat badan, Rea. Kamu terlihat lebih berisi daripada sebelumnya." Tisha mendudukkan dirinya di sisi sang sahabat ketika berucap begitu. Berbagai jenis bunga bergelar di hadapan mereka. Ah, mereka memang sedang mengerjakan beberapa pesanan pagi ini.Atas ucapan Tisha, Reanna mengalihkan tatapannya pada sekuntum bunga mawar di tangannya pada wajah sang sahabat yang menatap intens padanya. "Aku gendutan, ya?""B-bukan begitu." Tisha berujar panik. Ia takut jika Reanna tersinggung dengan kata-kata yang baru saja ia lontarkan padanya meskipun ia tidak bermaksud demikian. Ia memutar otaknya, mencoba memilih kata yang lebih bisa diterima. "Maksudku, kamu terlihat ... lebih bahagia. Begitu, Re," ucapnya kemudian dengan tawa kaku di akhir kata.Reanna sejenak terdiam. Jujur saja, ia tak merasa tersinggung atau apa pun itu ketika mendengar ungkapan sahabatnya. Sebaliknya, ia justru merasa senang. Bahkan Sang suami tidak menyadari perubahan pada dirinya. Pada
"Selamat, Dok. Bayi lelaki Anda lahir dengan sehat tanpa kurang suatu apa pun." Di belakang sosok perawat berseragam putih tersebut, terlihatlah sosok dokter kandungan wanita, seseorang yang bertanggung jawab melakukan proses persalinan operasi caesar Reanna. Sesosok bayi mungil berbalut kain putih terlihat dalam gendongan si dokter, tangisannya terdengar menggema.Tentu Nathan segera mendekat, meninggalkan dua sosok lain di belakang tubuhnya di ambang pintu, karena memang hanya sang dokter piranglah—yang notabenenya adalah suami pasien—yang boleh memasuki ruang pemulihan.Pria pirang itu menerima buntalan bayi merah tersebut dengan hati-hati, mengamati sejenak wajah mungil Sang putra. Jari telunjuk tangan kanannya yang bebas menyentuh pelan pipi tembam anaknya, dia ... benar-benar mirip dirinya dan juga Reanna.Namun, ia tak mampu lama-lama mengagumi anugerah Tuhan yang dititipkan padanya beserta istri tercinta. Hatinya masihlah khawatir sebelum melihat kondisi wanitanya. Ia mengalihk
"Bagaimana hasilnya, dr. Karin?" Nathan menelan salivanya dengan sedikit gugup ketika seorang dokter obgyn wanita mengamati monitor hitam alat USG-nya, ia harap-harap cemas. Tentu ia berharap jika hasil pemeriksaan rekan sesama dokter kandungannya itu bisa sedikit berbeda dari hasil yang ia dapatkan ketika memeriksa kandungan Sang istri beberapa hari lalu. Sedangkan Reanna, wanita hamil yang terbaring di ranjang tinggi tempat praktik dr. Karin hanya diam mengamati pula mendengarkan pembicaraan kedua orang dokter kandungannya. Ia pun sejujurnya gugup, namun berusaha menormalkan detakan jantungnya. "Janin dalam keadaan sehat, ketuban cukup, plasenta tidak menghalangi jalan lahir dan belum terjadi pengapuran. Hanya saja bayi dalam posisi oksiput posterior atau terlentang di dalam kandungan, mungkin hal tersebut yang membuat janin belum masuk panggul hingga sekarang," jawab dr. Karin apa adanya, tanpa melepas atensi dari layar monitor yang menampilkan keadaan kandungan Sang pasien, istri
"Tunggu sebentar, Sayang." Kedua tangan kekar itu melepaskan rengkuhannya dari tubuh Sang istri kemudian menarikkan sebuah kursi makan untuknya, menimbulkan suara decitan kecil akibat kaki tempat duduk yang bergesekan dengan lantai keramik di bawah kakinya. Sedangkan Reanna hanya tersenyum manis menanggapinya. Telapak tangan kanan dan kirinya tiada henti membelai permukaan perutnya yang terasa menegang, tentu diikuti gerakan janinnya yang semakin brutal dari dalam kandungan. Ah, bayi mereka memang super aktif."Pelan-pelan." Setelahnya, pria itu menuntun tubuh berisi Sang wanita untuk mendudukkan diri dengan hati-hati. Sungguh, Nathan sangat over protektif pada Sang istri akhir-akhir ini. Bahkan jika boleh, ia akan dengan senang hati menggendong tubuh Reanna tanpa mengizinkannya menapaki bumi.Reanna terkekeh sembari menggeleng singkat kala mendapatkan perlakuan suaminya yang begitu hangat, meskipun ia akui itu sedikit berlebihan. Namun, ia menerima segala perhatian itu dengan senang
"Kamu yakin?" mata biru itu menatap menelisik raut jelita Sang istri di depan cermin riasnya. Hari masihlah pagi, namun wanitanya sudah terlihat begitu rapi. Tubuh dengan kandungan yang sudah sangat besar itu terbalut dengan manisnya dress hamil selutut berwarna lilac, sedangkan rambut kelam yang dahulu begitu panjang kini terpangkas sebatas bahu, dikuncir sebagian; meninggalkan separuhnya lagi tergerai di belakang. "Tentu." Wanita itu menjawab dengan pasti, tak lupa mengurva senyuman manis untuk Sang suami. Ia lantas meletakkan sebuah lipstik berwarna pink kembali ke tempat semula, tentu setelah ia selesai mengoleskan benda itu pada kedua belah bibir ranumnya."Tapi, perutmu sudah sangat besar, Sayang ... apa itu tidak apa-apa?" raut tampan Si dokter pirang masihlah terlihat cemas. Mengabaikan kemeja hitam yang belum terkancing sempurna—yang melekat di tubuhnya, pria yang akan kembali bergelar sebagai ayah itu memposisikan diri di belakang tubuh Sang istri. Kedua netra biru itu kem
"Mama ... !!" teriakan keras nan memekakkan telinga dari Kia adalah hal yang menyambut Reanna dan Nathan saat mereka baru saja membuka pintu utama rumah Joana. Balita cantik nan menggemaskan itu berlari sambil merentangkan tangan, lalu masuk ke dalam dekapan ibu sambungnya ketika wanita yang tengah hamil muda itu merendahkan tubuh menyambutnya. Rasa hangat yang menjalari dada menuntun sudut-sudut bibir wanita itu menarik lengkungan senyuman."Merindukan Mama, hm?" tanyanya seraya membalas dekapan."Lindu~" pelukan balita itu semakin erat. Lengan-lengan mungilnya mengalungi leher Reanna, mencium wangi parfum yang biasa ibunya pakai penuh kerinduan. "Mama ke mana caja? Kenapa Kia tidak diajak?""Mama tidak ke mana-mana, Sayang. Hanya pergi sebentar untuk menenangkan diri." Reanna melepas pelukan demi menatap wajah imut Sang putri. Tangan-tangannya menangkup kedua pipi bak bapao Kia, lalu memberikan ciuman sayang di dahi.Dari arah ruang keluarga muncul sosok Joana, ia menebar senyum ba
"Apakah ... kamu sudah mencintaiku, Mas?" suara lembut nan pelan itu mengalun perlahan, menembus kesunyian. Sedangkan Nathan sejenak terdiam, sedikit terkejut dengan pertanyaan Sang istri yang di luar dugaan."Apakah aku harus menjawabnya?" pria itu menjawab pertanyaan Reanna dengan pertanyaan lainnya. Dan hal itu justru membuat raut wajah wanita itu mendung seketika. Spekulasi negatifnya kembali menyeruak dalam dada. Pria itu memang tidak memiliki rasa yang sama terhadapnya."Tidak perlu. Aku sudah tahu jawabannya." Reanna menunduk, menatap permukaan meja kaca di hadapannya dengan sendu. "Kamu tidak pernah mencintaiku," lanjutnya, semakin lirih di akhir kata."Tidak semua wanita bisa peka ternyata.""?" Reanna tersentak mendengar ucapan suaminya. Dengan spontan, ia menoleh cepat pada raut tampan Si dokter pirang."Tanpa kamu mengatakannya pun aku sudah tahu bagaimana perasaanmu padaku," ungkap Nathan, menatap tepat pada kedua mata indah istrinya penuh arti."Apa yang kamu tahu?" t
"Ekhem! Jadi?" ucapan Alona menyita kembali atensi mereka. Ah, Nathan hampir lupa tujuan utama ia mengajak Sang istri datang ke sana."Sebelumnya perkenalkan ... dia Reanna, istri kecilku." Kedua tangan besar Nathan hinggap di kedua bahu Sang istri, memperkenalkan. Meresponsnya, Alona menggulirkan pandangan mata kemudian tersenyum dengan manisnya kala menatap wajah istri Si dokter tampan. "Hay, Reanna ... kamu cantik sekali."Reanna hanya tersenyum malu-malu membalasnya. Di puji begitu membuat wajah ayunya sedikit merona."Dan Rea, dia bernama Alona, calon istri Arvi, Si dokter anak yang adalah sahabatku. Dia tunangan pria di sebelahnya." Kembali, Nathan berujar memperkenalkan."Salam kenal." Reanna berucap seadanya, sedikit membagi senyumnya."Kamu bisa memanggilku Kakak, atau mungkin Tante? Aku dua tahun lebih muda dari suamimu," ungkap Alona dengan senyuman yang tak luntur dari bibirnya."Kakak saja. Kamu terlihat masih sangat muda, Kak Alona.""Terima kasih.""Al, berikan penjela
"Pulanglah bersamaku."Ucapan itu menggema di dalam telinga Reanna. Wanita itu masih saja terdiam terpaku, menatap mata biru yang terus menatap lembut pada kedua mata indahnya. "Kembalilah, Rea ... kami sangat membutuhkanmu." Pria pirang di depannya kembali bersuara.Sedangkan Reanna memejam mata sarat akan luka kala ingatan tempo hari lalu menyeruak dalam kepala cantiknya. Ketika Sang suami dengan begitu akrabnya membersamai wanita lain selain dirinya."Kamu tidak membutuhkanku, Mas. Aku bukan apa-apa bagimu," ungkap wanita itu, selirih tiupan angin. Namun, cukup mampu di dengar Sang suami.Embusan napas pria itu terdengar berat setelahnya. Ia tidak habis pikir dengan jalan pemikiran Sang istri."Kamu istriku, Rea. Kamu bagian terpenting dalam keluarga. Keluarga kita, yang artinya bukan hanya tentang aku dan Kia. kamu pun ada di dalamnya." Nathan berusaha meyakinkan istrinya."...." Reanna tampak menunduk pedih mendengarnya. Apakah ia harus percaya? Sedangkan ia melihat sendiri de
[Saya sedang dalam perjalanan ke sana. Mungkin memang sedikit memakan waktu sebab jalanan menuju ke Florist cukup macet. Saya harap kamu bisa menahan Reanna untuk tetap berada di sana sampai saya sampai.]Pesan itu masuk hampir satu jam lalu, dan Tisha baru saja membuka ponselnya karena dirinya sedikit sibuk. Tentu pesan itu berasal dari nomor Si dokter tampan, suami sahabatnya. Sedangkan Reanna sudah tampak lebih baik sekarang, dia sedang merangkai sebuket bunga mawar merah untuk membunuh waktu, sebab Tisha memang belum memberinya tugas apa pun untuk mulai bekerja.[Sekarang sampai di mana?]Tisha membalas pesan itu dengan sedikit tergesa lalu melirik Reanna sejenak. Dan nyatanya dirinya tak perlu menunggu terlalu lama untuk mendapatkan balasan dari pria di seberang telepon sana.[Mungkin 5 menit lagi saya sampai. Posisi saya sudah dekat.]"Rea ... aku titip Florist padamu, ya? Sebentar saja." Tisha membuka suara, ia memang sedang berpikir untuk memberikan pasangan suami-istri itu r