Pandangan Gavin lurus ke depan, sedang kedua tangan menggenggam erat pada pembatas rooftop. Dari ketinggian ini, dia dapat menikmati suguhan pemandangan sore Kota Boston yang terbentang di hadapan.
Beberapa kali dia menghela napas, dan juga menyugar rambut sebanyak itu pula.
"Shit," umpatnya sembari menghembuskan napas keras, kemudian menyesap air mineral dari botol yang dia bawa ke atap gedung hotel.
Fokus Gavin kembali pada ingatan seorang gadis yang masih tidur di atas kasur dalam kamar yang dia sewa sementara.
Ketika Gavin hendak menyesap minumannya kembali, tiba-tiba saja ponsel yang berada di saku celana berdering nyaring dan nama
Krista terbangun saat dia merasakan hangat tubuh seseorang tengah membungkusnya. Seketika gadis itu berputar cepat untuk berbalik badan dan melihat siapa yang memeluk dari belakang.Mata gadis dua puluh satu itu mengerjab-ngerjab hingga bulu mata lentiknya mengipas wajah begitu mendapati sosok pria berwajah rupawan yang terlelap di hadapan.Awalnya Krista hanya terdiam, memandangi pria yang mendengkur halus. Gurat wajah tampannya membuat Krista ingin meraba setiap lekuk yang membingkai dengan sempurna.Namun, dia pun menepis perasaan itu ketika ingatan banyak wanita mungkin telah melakukannya lebih dulu, membuat Krista meremas dada yang terasa n
Mata Krista yang basah menatap Gavin lekat. Dia bahkan tidak tahu harus berbuat apa pada pria yang telah berkali-kali membuat hatinya pecah berkeping-keping.“Tidak perlu peduli padaku,” ucap Krista sembari menarik tangan yang berada dalam genggaman hangat pria itu.“Aku tahu kau merasa nyeri di sini,” ucap Gavin dengan suara sedikit serak sembari menghembus pelan-pelan permukaan kulit Krista yang masih berdenyut akibat tamparan tadi.Rasanya hati Krista seperti diremas begitu perhatiannya teralih ke wajah rupawan yang berusaha meredakan nyeri bekas tamparan tadi. Bahkan, alam bawah sadarnya ingin mengelus pipi pria itu yang memerah bekas jejak telapak tangan. Namun dengan cepat dia menepis semua perasaan itu.“Mengapa kau tidak menjauh saja seperti tiga tahun ini,” bisik Krista dengan nada suara berderak dan bibir bergetar.Dia tidak kuat membendung air mata yang perlahan berlinang jatuh ke atas tangan mereka ke
Wajah Gavin seketika basah karena tiba-tiba saja wanita di hadapan menyiramnya dengan air mineral di depan semua orang. Untuk sesaat pria itu terpaku.Atmosfir di sekitar dengan sangat cepat berubah menjadi tegang.Dalam posisi berdiri, Krista memegang erat gelas yang berada dalam genggaman, di mana benda berbahan kaca tersebut menggantung di sisi tubuh sedang matanya sembab dengan manik mata bergetar ketika menatap pria di hadapan.Terdengar suara terkesiap dari segala arah, namun tidak mereka pedulikan.Setelah menarik napas, perlahan-lahan Gavin membuka kelopak mata yang tadi sempat tertutup karena refleks tubuh. Dia berkedip beberapa kali, sebelum akhirnya mata Gavin terbiasa dengan air di sekitar wajah.Pria itu tidak mengulas senyum, tidak pula terlihat marah. Ekspresinya sangat datar, tanpa ada emosi mengitari.Pandangan Gavin pun terarah pada gadis bertatapan melankolis di depannya begitu dia menyadari apa yang sedang terjadi.
Ketika pagi tiba, Krista membuka mata dengan pandangan bingung ke segala arah. Dia mendapati diri berada di kamar yang terasa asing. Seketika dia berada dalam keadaan de ja vu, terutama ketika sebuah tangan kekar memeluk dari belakang.“Gavin?” panggil Krista dengan nada suara sedikit bergetar. Berharap dia tidak berada di atas ranjang pria asing.“Hmm,” gumam pria itu, masih dalam keadaan mata terpejam.Mendengar suara maskulinnya, seketika perasaan lega memenuhi dada. Dan tanpa sadar dia mengelus permukaan lengan yang masih memeluk tubuhnya erat.“Apa kau tidak ada kuliah?” tanya pria itu dengan suara serak bangun tidur, sedang pelukannya semakin kuat, dan tanpa aba-aba Gavin menarik Krista hingga mendekati badan, sementara hidung pria itu mengendus tepat di balik telinga dan sepanjang leher bagian belakang.“Berhenti mengendusku!” geram Krista dengan suara rendah.Dia berusaha menjauhi
Perkataan Gavin pagi itu masih terngiang-ngiang di telinga, membuat Krista beberapa kali mencuri lihat pada pria yang menyetir di sebelah. Bahkan, dia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka saat ini.Belum lagi pria itu mengatakan sedang mencari pendamping dan menanyakan lamaran yang pernah dia ucap saat masih berusia tiga belas.Saat ini barulah Krista sadari, dia sangat percaya diri pada usianya yang sangat muda.“Berhenti menatap wajahku, Krista,” ucap pria itu masih dengan fokus ke depan, pada jalanan yang padat merayap.Tanpa mengatakan apa-apa, Krista pun mengalihkan pandangan ke luar jendela.Untungnya ada musik yang berputar dari radio sehingga suasana tidak terasa canggung. Namun, karena tidak ada topik pembicaraan, akhirnya Krista pun mencoba untuk sedikit bersuara. Setidaknya cukup untuk mengisi kekosongan di antara mereka.“Kapan kau akan kembali ke Denver?”Gavin hanya melirik
Gavin memperdalam ciuman dan dia pun memegangi kepala Krista bagian belakang untuk memberinya akses lebih mudah dan menahan gadis itu agar tidak bergerak menjauh, sedang tangan satunya mulai meraba pinggang dan panggulnya yang ramping.Begitu merasakan sentuhan di tubuh bagian bawah, barulah Krista tersadar dan tanpa diduga dia pun melakukan sesuatu yang menyakiti pria itu.Seketika Gavin merasakan bau amis darah yang menyebar di mulut saat gadis itu menggigit bibirnya yang berubah menjadi merah.Mata Gavin pun membuka cepat begitu merasakan sakit yang menyengat.Dalam sekejap tautan mulut keduanya terlepas. Dia tidak mengira Krista melakukan yang baru saja.Melihat ada celah untuk bebas, Krista pun mendorong dada Gavin untuk mundur beberapa langkah. Dan untung saja tidak ada apa-apa di belakangnya, sehingga pria itu tidak terluka.Mendapat gigitan cinta yang berlebihan, Gavin hanya memandang Krista dengan ekspresi yang tidak biasa tanpa sed
Suara kerincing dari mainan kunci yang terdengar di luar kamar membuat Krista menoleh ke arah sumber suara. Dia hendak menyuruh siapa pun di depan sana untuk tidak masuk saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan sosok Gavin hadir di ambang pintu dengan satu tangan di saku celana sedang mata memandang lurus ke arahnya.Seketika Krista terduduk di atas kasur dengan selimut melilit tubuh.“Mau apa lagi kau ke sini?” tanya gadis itu sengit sembari mendelik tajam.Gavin tidak menjawab dan dengan sikap diam dia menutup pintu di balik tubuh, mengurung mereka dalam kamar yang berukuran kotak sepatu.Pria itu melangkah masuk sembari menatap sekitar, pada lukisan dan beberapa vas kosong di atas meja yang dia yakini pernah diisi bunga-bunga pemberiannya.“Gavin!” geram Krista kesal sembari menyibak selimut yang menunjukan piyama yang dia pakai dengan tali satu dan memamerkan beberapa bagian tubuh.Mata pria itu langsung beralih
Ketika air matanya mulai mengering, Krista pun mengangkat kepala yang rebah dari dada Gavin.“Kau mau tahu sesuatu?” tanya Gavin dengan senyum samar, yang membuat Krista hanya menatap datar dengan wajah sembab.Pria itu membantu untuk mengusap pipinya yang penuh akan jejak air mata, sisa-sisa tangis yang sebenarnya masih belum reda.“Selama kita bersama, aku tidak pernah benar-benar dengan wanita lain.”Begitu perkataan tersebut keluar dari mulut pria di hadapan, tangan Krista seketika naik ke udara dengan ancang-ancang hendak menampar yang dengan cepat Gavin tahan.“Jangan mengatakan suatu kebohongan padaku!” desis Krista dengan sedikit meninggikan suara.Mata basah gadis itu pun berubah menjadi bara amarah yang terlihat berkilat-kilat.Melihat ekspresinya, sudut bibir Gavin berkedut sedang tatapan pria itu menunjukan bahwa dia berkata sebuah kebenaran.“Aku tidak berbohong, Little Gir
“Kemana kau akan membawaku?” tanya gadis itu ketika Gavin mengemudikan mobil menuju ke jalanan yang jauh dari kota, seolah-olah mereka menuju sebuah tempat terpencil.Dengan tatapan ingin tahu, Krista tidak bisa melepas pandangan pada pria yang menyetir di sebelah.Cukup lama Gavin akhirnya menjawab.“Kau akan tahu bila kita tiba,” ucap pria itu dengan senyuman simpul.Bahkan, Krista melihat sesuatu yang sangat tidak biasa dari cara Gavin menatapnya, seolah pria itu melihat bongkahan berlian dengan ekspresi antusias, yang seketika menghangatkan pipi gadis itu hingga bersemu merah.Bukannya kecanggungan yang tercipta, suasana di sekitar beruba
Saat terbangun pagi itu, Krista meraba sisi ranjang di sampingnya hanya untuk mendapati tempat itu terasa dingin, seolah-olah tidak ada tubuh yang berbaring di sana dalam waktu yang cukup lama. Seketika dia pun terkesiap dan terduduk sembari memperhatikan ke sekitar ruangan.Perlahan-lahan rasa takut mulai menjalari diri, membuat kepanikan menyelimuti hingga dia merasakan getir pada mulut.“Gavin,” panggil gadis itu, layaknya seseorang yang kehilangan.Dengan tergesa-gesa, Krista menyibak selimut sembari berlari keluar kamar menuju tangga ke lantai bawah.Napas gadis itu memburu ketika dia tiba-tiba saja melihat sosok Gavin tengah berdiri di dekat jendela di ruang keluarga dengan ponsel di telinga. Sembari menata napas, Krista memperhatikan pria di hadapan yang berpakaian sangat rapi dengan kemeja biru dongker membalut tubuh, lengkap dasi dan sepatu kulit hitam mengkilat.Mendengar suara yang berasa dari balik tubuhnya, pria itu p
Langit tampak mendung di pemakaman, membuat Krista mendongak sebentar sebelum memusatkan perhatian kembali pada dua batu nisan di hadapan.Lama dia terdiam, dengan kepala menunduk, menyembunyikan tangisan yang tadi sempat mengering.Sementara itu, Gavin yang berada di sampingnya sejak tadi hanya diam sembari mengawasi. Pria itu menatap batu nisan yang sering dia kunjungi selama beberapa tahun terakhir dengan tatapan sama sendunya dengan langit yang hendak menurunkan hujan.Dalam kesunyian yang menyelimuti, keheningan itu pun pecah dengan suara serak Krista yang berkata; “Terima kasih.”Mendengar ucapannya, Gavin hanya menoleh pelan.Kini, gadis itu memandang ke arahnya dengan mata yang basah kembali.“Terima kasih sudah merawat keduanya selama aku tidak ada,” lanjut Krista yang mendapat senyuman lemah.“Bagaimana kau tahu?” tanya Gavin lembut.Dia merapikan anak rambut gadis itu yang diterban
Sentuhan lembut di bahu membangunkan Krista. Tubuhnya menggeliat pelan sembari menoleh ke samping dengan mata sedikit terbuka. Kemudian, dia pun terdiam ketika mendapati wajah Gavin yang mengulas senyuman halus di wajah rupawannya.“Bangunlah sleepy head,” bisiknya pelan sembari mengelus pipi gadis itu.Krista tampak masih dikusai kantuk, membuat Gavin sedikit merasa bersalah telah membangunkan.“Kita ada di mana?” tanya Krista sembari melirik ke luar jendela.Dia pun terdiam saat mendapati bangunan yang sangat familiar.“Kita sudah tiba,” bisik Krista itu gugup saat menyadari mereka telah berada di dalam Kota Denver.Dengan cepat Gavin menggamit lengan gadis itu, lalu meremasnya hati-hati.“Ya. Aku akan membawamu ke tempatku,” ucap Gavin, tanpa melepaskan pegangan keduanya.Kepala Krista menunduk seketika, dia tahu bahwa Gavin mengerti perasaannya saat ini.“Ok
Gavin hendak membawa Krista ke dalam kamar hotel, saat tiba-tiba gadis itu menahannya.Mendapati mata Krista yang mendelik tajam, hati Gavin pun meringis melihat itu.“Masuklah, kita bisa bicarakan di dalam,” ucapnya, membuat Krista tampak ingin pergi, sehingga Gavin pun menangkup wajah gadis itu di antara kedua telapak tangan.Dia mendekatkan wajah dan berbisik pelan dengan tatapan mata yang lembut.“Kau tahu bahwa tidak ada pilihan untuk menghindariku, Baby Girl,” tambahnya sembari mengusap dagu Krista dengan kedua ibu jari penuh kehati-hatian. “Berkali-kali aku meminta kesempatan, namun kau tidak memberikannya. Dan ini satu-satunya cara yang kutahu untuk menghilangkan egomu itu.”Krista meremas jas yang melekat di tubuh Gavin. Dia ingin menumpahkan kemarahan, akan tetapi tatapan pria itu yang tulus membuatnya merenggangkan pegangan. Mata gadis itu berubah panas, sebelum akhirnya lelehan air mata bergulir pelan
Esok paginya, sebuah nada dering membangunkan Krista dari tidur lelap. Seketika dia terjaga dan meraba permukaan meja untuk mencari-cari benda pipih yang sangat ribut sejak tadi menjadi alarm pengganti.Namun, ketika melihat nama yang tertera di layar, seketika Krista menggeram kesal. Dia tidak ingin berbicara dengan pria tua itu di jam sepagi ini. Bisa-bisa mood-nya rusak seharian karena pastilah yang dibicarakan tidak jauh-jauh dari masalah hutang dan bank.Setelah mematikan ponsel, Krista kembali menarik selimut dan mengundang alam mimpi menyelimuti. Akan tetapi, suara gedoran keras yang berasal dari depan pintu membuat Krista menyibak selimut dengan gerakan marah.“Ini masih pagi!” hardiknya kesal.Kepala Krista berputar ke seluruh ruangan, mencari-cari keberadaan Linda yang ternyata tidak pulang sejak semalam.Sembari memijit pelipis, dia bergumam pelan; “Di saat semua orang memiliki kisah cinta yang berbunga, aku malah mende
Suasana hening di dalam mobil tampaknya tidak sedikit pun mengusik Gavin, karena sejak tadi dia terus mengulas senyuman sembari mengelus permukaan kulit Krista yang berada dalam genggaman.Sejak mereka berhenti di parkiran asrama, tidak satu pun dari keduanya keluar dari sana. Bahkan, rasa enggan berpisah terlihat jelas dari wajah Gavin yang terus memegangi tangan Krista.Pandangan pria itu tidak sedikit pun lepas, walau hanya sekedip saja. Seakan tidak ingin gadis itu pergi dan mereka kembali pada situasi semula.“Sebentar lagi libur semester, ikutlah denganku ke Denver,” ucap Gavin lembut.Mendengar itu, Krista membuang wajah dan menatap ke luar jendela. Tampaknya, dia masih belum menerima Gavin sepenuhnya. Atau mungkin, Gavin saja yang terlalu percaya diri bahwa hubungan mereka sudah lebih baik dari sebelumnya.“Jika kau tidak mau ke sana, aku akan menemanimu di sini,” tambahnya yang masih tidak Krista pedulikan.M
Sebuah tamparan mendarat di pipi Gavin hingga meninggalkan jejak merah seukuran lima jari.Seketika pria itu memejamkan mata, dan dia menarik napas panjang sebelum akhirnya membuka kelopak matanya kembali dengan tatapan mengunci pandangan mereka.Mata sebiru samudra yang diarahkan pada Krista menatap tulus, seolah mengisyaratkan bahwa dia akan menerima tamparan dari wanita itu sebanyak apa pun itu. Dan dengan jari-jemari yang mengelus pipi Krista lembuat, Gavin pun melontarkan pertanyaan yang sama kembali.“Maukah kau menikah denganku, Princess?” Tatapan matanya lurus ke depan, dan tidak sedikit pun dia membiarkan pandangan keduanya lepas.Lagi, satu tamparan mendarat di pipi Gavin yang seketika membuat kepalanya berputar Sembilan puluh derajat ke kiri.Tanpa mengatakan apa-apa, pria itu pun menoleh pelan untuk menatap Krista yang mendelik tajam dari balik bulu matanya yang basah. Bahkan, sebulir air matanya tampak menetes jatuh hingga
“Aku tidak bisa melakukannya,” jawab Jaxon dari seberang sambungan, membuat Krista terdiam seketika.Detak jantung gadis itu memompa cepat hingga keringat dingin membasahi telapak tangan.Susah payah Krista menata diri akan rasa tidak percaya yang perlahan menguasai.Saat dia hendak bertanya alasannya, pria itu pun menjawab dengan sendirinya.“Dengar, aku tahu bahwa kita punya kesepakatan, tapi untuk masalah ini aku benar-benar tidak bisa membantu. Kau bisa saja meminta yang lain, tapi kali ini aku angkat tangan.”Pembicaraan keduanya pun menjadi hening. Dan saat itulah Krista dapat mendengar suara serangga yang berasal dari danau di taman.Kini, matanya menatap lurus, pada siluet pria yang sabar menunggu di ujung jalan.Bila saja dia meneriakkan nama pria itu, maukah dia berlari ke tempatnya berdiri?Merasa diperhatikan, Gavin memiringkan kepala dan balas menatap dengan seksama. Seolah-olah dia me