Part29. Nyaris Tergelincir
Dengan menggunakan lingerie berwarna ungu yang berbahan transparan, perlahan Gita mendekati Ramdan. Sementara lelaki itu masih berpaling sambil menundukan pandangannya. "Yah, inilah gadis cupu itu sekarang. Sudah jauh berubah. Kini lebih cantik dan seksi kan, Pak?" bisik Gita di telinga Ramdan sambil perlahan memeluk tubuh pria berbadan kekar itu. Meskipun Ramdan sudah berusaha berpaling dari Gita, namun nalurinya sebagai laki-laki membuatnya tak kuasa menahan hasratnya yang ikut terbawa suasana. Terlebih saat hangat tubuh gadis itu menyentuh punggungnya, membuat pria itu nyaris tak mampu menahan diri. "Hadirmu tempat berlindungku ... dari kejahatan syahwatku ..." tiba-tiba terdengar suara nada dering
Part31. Gayung Bersambut "Kamu masih ingat dengan Akira?" tanya Ramdan. "Akira? bentar -bentar ... Oh wartawan berjilbab yang sering liputan kriminal itu? ingat dong. Kenapa? apa kamu menyukai gadis itu?" tanya Seno. "Iya. Tapi ... apa aku pantas untuknya ya?" ucapnya ragu. "Yah ... coba saja dulu. Menurutku dia gadis yang baik. Sepertinya cocok untuk kamu, Dan. Aku cukup mengenal gadis itu," ucapnya. "Beberapa kali bertemu ia tak pernah mau bersentuhan dengan lawan jenis. Selain itu, dia juga cantik, nggak jauh beda dengan Merlyn, kan? Tapi ini lebih baik. Bagaimana, apa perlu aku bantu sampaikan?" tanya Seno bersemangat. "Eh jangan. Biar aku saja ya
Part32. Backstreet Akira merasa bingung bercampur khawatir, bila hubungan mereka diketahui oleh Edy. Ia tahu pria itu masih marah padanya lantaran cinta yang ia tolak berkali-kali. "Bagaimana kalau untuk sementara masalah ini kita rahasiakan dulu, Pak?" tanya Akira ragu. "Mengapa harus dirahasiakan? pada akhirnya semua orang akan tahu, kan. Termasuk Edy," ucap Ramdan tak setuju. Ia bahkan berniat ingin mengumumkan kepada seluruh karyawan, rencana untuk menikahi gadis di depannya. Kenapa harus disembunyikan? baginya urusan Edy tak menjadi masalah. Toh Akira sudah memilihnya. Akan tetapi Akira bersikeras merahasiakan hubungan mereka. Akhirnya Ramdan mengalah dan berjanji bertemu kembali di luar jam kerja.
Part 33. Dinner Time Setelah melaksanakan solat magrib, Akira tertegun si depan cermin lemari pakaiannya. Menatap penampilannya malam ini. Berbeda dari hari-hari biasanya, kali ini ia mengenakan baju gamis berwarna biru muda dengan jilbab senada. Lalu memoleskan bedak tipis ke pipi dan lipgloss merah muda di bibir. Jantungnya berdegub kencang, perasaannya bercampur antara rasa senang dan khawatir, karena pria yang akhir-akhir ini banyak mengisi hari-harinya akan menjemput dan mengajak ke suatu tempat. Ini pertama kalinya ia mau memenuhi ajakan seseorang lelaki untuk keluar malam, di luar jam kerja. Karena itu ia meminta Meta menemaninya. "Kira-kira diajak jalan kemana ya?" pikir Akira. Sambil menunggu Ramdan menjemput, Akira menghubungi kakaknya-Sari. Ingin mengabarkan soa
Part 34 Sakit HatiSatu Jam Sebelumnya Sore itu, Edy sengaja pulang lebih awal dari tempatnya bekerja. Sebab, pria itu berencana ingin menemui Akira di kos, sambil membawakan makanan favorit gadis berhijab itu. Dia pun berharap Akira mau memaafkan atas tingkah lakunya yang kurang baik belakangan ini. Pria itu kemudian melajukan kendaraannya sambil membayangkan Akira akan senang dengan hadiah yang dibawakannya. Namun saat tiba di persimpangan, Edy mendapati sebuah Pajero Hitam metalik masuk menuju kos Akira. Ya, tak salah lagi, kendaraan itu adalah milik Ramdan, pimpinannya di perusahaan. Seketika pikiran Edy berkecamuk. Perlahan pria itu kemudian menepikan kendaraan dari kejauhan sambil mengamati yang sedang terjadi. "Lho ngapain Ramdan ke kos Akira. Bukannya ini sudah di luar jam kerja?" tanyanya dalam ha
Part 35. Disekap Pagi itu, Akira berencana meliput sebuah berita feature. Di sebuah kampung yang terletak sekitar beberapa meter dari kota. Dari informasi yang ia terima ada seorang warga diduga gila sedang dipasung karena kerap mengamuk dan melukai warga sekitar. Akan tetapi orangtua dari pemuda itu tak rela bila anaknya dipasung. "Berita bagus ini," pikir Akira. Tak seperti biasa, kali ini Akira memutuskan berangkat seorang diri. Sebab, Meta dan Bimo sedang meliput berita lain. Mengendarai sepeda motor kesayangannya, gadis itu dengan semangat mencari alamat sesuai pesan singkat yang diterimanya. Cukup sulit menemukan lokasi rumah tersebut. Apalagi beberapa warga yang ia tanya tak mengetahui alamat tersebut. Sampai akhirnya, gadis itu berhenti di depan sebuah rumah bercat hijau m
Part 36. Kabur "Cepat buka pintunya! Atau kami dobrak!" teriak seseorang di luar kamar mandi. Akira terkejut, ketahuan! Jantungnya berpacu dengan sangat cepat, hanya ini kesempatannya untuk melarikan diri. Ia melihat ke bawah lagi, lalu Bismillah. Hupp! Akhirnya gadis itu meloncat, kakinya mendarat tak sempurna diantara belukar berduri. "Aduh, sakit!" lirihnya. Tak berlama-lama menikmati rasa sakitnya. Akira langsung berdiri dan mencari-cari arah menuju jalan utama. Ia harus menemukan orang untuk menolongnya. Dengan napas memburu gadis itu terus berlari ke jalan raya. Sayup-sayup terdengar suara gedoran pintu yang semakin keras sepertinya mereka berhasil mendobrak pintu.
Lelaki itu terhempas jatuh ke lantai dan menggeram marah mendapat perlawanan dari Akira. Mencoba bangkit namun gadis itu kini meraih sendok yang ada di dekatnya. Entah apa fungsi benda itu sekarang. Namun Akira tetap menodongkannya ke arah Edy. "Jangan mendekat! atau sendok ini bisa membuatmu buta!" geramnya marah. Menyaksikan itu, Edy hanya tertawa dan kembali mendekati Akira yang kini beringsut mundur. Ia ingin melepaskan jeratan di kaki namun Edy masih terus mengawasinya. "Apa kamu mau menyerangku pakai benda itu. Sudahlah menyerah saja," kata Edy meremehkan. Dengan mata berkilat marah, lelaki itu bergerak ingin meraih sendok yang ada si tangan Akira. Namun dengan gesit gadis itu menyarangkan benda itu ke wajah Edy.
"Setidaknya akan ada yang melihat jejak ini," pikirnya. Ia berdoa semoga orang-orang di depannya tidak menyadari apa yang ia perbuat di belakang. Ada 3 kaleng cat ia buka dan tumpahkan semua isinya. Berharap ada pengendara yang menyadari keanehan ini. Sambil sesekali mengintip ke luar. Ternyata kendaraan mulai memasuki jalan utama, hatinya semakin berharap ada yang memperhatikan cat yang tumpah di mobil ini. Tiba-tiba dirasakan perlahan mobil bergerak lambat dan kini berhenti. Menajamkan pandangan mengintip ke luar, ternyata mereka sedang berada di pinggir sebuah kantor pemerintahan. Saat itu masih pagi jam kerja, seharusnya banyak orang di bangunan itu. Tak lama Edy membuka mobil dan keluar dari kursinya. &
Part57. Ketika Ulat Bulu Datang Pagi itu Mufidah berencana untuk menemani putranya di rumah. Setelah beberapa hari sebelumnya ia selalu pergi meninggalkan demi restorannya yang sedang berkembang pesat. Meskipun ada Yanti orang kepercayannya yang bisa menghandel, tetap saja ia harus memantau secara langsung agar tidak terjadi kecurangan dalam pengelolaan keuangan di setiap cabang resto miliknya. "Sayang, bagaimana kakinya? apa masih sering terasa sakit?" tanyanya pada Ramdan yang sedang berjalan mengelilingi kolam renang yang ada di sayap kanan rumah mereka. "Baik," jawabnya cuek. Lelaki itu bahkan tak menoleh saat Mufidah berjalan menghampirinya. "Obat nya sudah diminum, Nak?" katanya sambil berdiri tak jauh dari putranya yang kini duduk di tepi kolam. Lelaki itu membiarkan kakinya tenggelam dal
Part56. SepiPoV Ramdan "Bi ...! tolong ambilkan ponsel saya di kamar!" teriakku pada Bi Ijum. Wanita itu segera berjalan tergesa menuju kamarku. Tak lama kemudian datang dengan ponsel di tangannya. "Ini, Den," ucapnya sopan. "Ada lagi yang perlu Bibi bantu?" tanyanya sebelum berlalu. "Tidak ada. Trima kasih, Bi," sahutku. "Oh ya, Mama biasa pulang jam berapa dari restonya?" tanyaku. "Biasanya sore kalau normal, Den. Tapi kalau sedang sibuk Nyonya bisa sampai malam," jelasnya. "Kalau butuh apa-apa, panggil Bibi saja, Den," katanya tersenyum. Wanita paruh baya itupun berlalu dari hadapan
Part 55. Berpisah "Saya pamit pulang ya, Pak." Lelaki itu tak menyahut, padahal posisi kami tidak jauh, hanya berjarak 1 meter pasti dia bisa mendengar ucapanku. Tapi kenapa tak merespon, apa dia melamun? "Pak ! saya pamit mau pulang," kataku lagi mengeraskan suara. Ia menoleh dan menatapku intens dari atas hingga ke bawah, seperti sedang menilai penampilanku. "Kenapa pulang? Apa kamu lelah membantuku?" ucapnya pelan namun cukup membuatku tersindir. Ah lagi-lagi aku merasa serba salah. Aku pulang ini karena ingin menemui mamak dan keluarga, tapi meninggalkan lelaki yang telah mengalami kecelakaan karena berniat menjemputku ini rasanya sangat membuatku putus asa. "Tidak, Pak. Saya akan kembal
Part54. Amnesia "Nggak usah sok baik, aku bisa jalan sendiri, Kok!" ketus Ramdan saat aku mencoba membantu bangkit dari posisinya yang kini terduduk di rumput taman. "Astaga orang ini, nggak bersyukur banget ada yang mau bantu! Coba kalau bukan bos ku sudah kutinggalkan dari tadi orang ini!" omelku kesal. "Apa kamu bilang?" sentaknya. "Eh ng--nggak ada bilang apa-apa kok, ayo jalan lagi! atau bapak mau istirahat dulu sambil makan? sahutku asal. "Tidak usah! saya jalan lagi saja!" ucapnya sambil berusaha bangkit dari duduknya dengan tangan bertopang pada tiang lampu taman. Jatuh bangun lelaki ini belajar berjalan, hingga terlihat bulir keringat menetes di dahinya. Wajah tampannya yang terlihat sedikit tirus
Part53. Sadar Setelah menerima telpon dari mamak. Aku masuk ke ruangan Ramdan, kulihat kondisinya masih sama. Tidak ada perubahan. Padahal kata dokter Yusuf, ia akan sadar setelah 1 jam pasca operasi. Ini sudah hampir 2 jam belum tampak perubahannya. Ada apa ini? Aku mulai panik, begitu juga dengan Tante Mufidah dan om Fatih. "Kok belum sadar ya, Om?" Om Fatih hanya menggeleng tak mengerti. Sementara Tante Mufidah terus menggenggam tangan putranya. Sambil mengucapkan kalimat-kalimat memotivasi untuk bangun. "Coba kita hubungi dokter Yusuf," ucapnya sembari meraih ponsel dari sakunya. Aku memilih duduk di sisi lain ranjang pasien meraih mushaf yang kuletakkan di atas nakas, lalu membacanya dengan lirih. Kubaca terus hingga membuatku tenang. Tak lama ti
Part52. SenduPov Akrom "Rom, sedang sibuk tidak? aku mau bicara sesuatu." Pesan dari Akira kuterima. Gadis yang sedang coba untuk kucintai. Iya, saat ini aku sedang belajar untuk mencintainya. Tinggal hitungan hari dan kami akan segera menikah. Tetapi saat mendengar penuturannya ditelpon. Aku sungguh merasa menjadi lelaki yang tak dihargai. Hari itu Akira menelpon untuk memintaku membatalkan pernikahan kami. Ada- ada saja permintaan gadis itu. Aku jelas merasa heran mendengarnya, apalagi saat ia menjelaskan alasannya sungguh membuatku sakit hati. "Sebenarnya ... aku mencintai orang lain, Rom. Maaf, aku sepertinya tidak bisa melanjutkan perjodohan ini. Bisakah kamu menyampaikan kepada orangtuamu bahwa aku menolak untuk menikah denganmu?" tutur gadis itu.
Part 51. Dilema Pasca operasi pengangkatan cairan dalam otak Ramdan. Ada dua orang perawat mendorong ranjang pasien menuju ke ruang perawatan. Sementara itu kedua orang tua Ramdan bersama Akira berdiri bersisian di dekat pintu mengamati sosok yang masih belum sadar. Wajah mereka terlihat penuh harap bercampur cemas. Masing-masing berdoa dalam hati agar lelaki yang mereka cintai itu segera membuka mata dan berbicara seperti biasa. Menurut keterangan dokter Yusuf yang menangani Ramdan. Ia akan segera pulih dalam waktu 60 menit pasca operasinya. Ketiganya duduk mengelilingi ranjang pasien, menunggu waktu 1 jam yang terasa begitu lama. Akira yang merasa lapar karena belum mengisi perut sejak pagi, mau tidak mau terpaksa harus keluar untuk mencari makan. "Bu ... Ira mau keluar dulu yah. Mau mencari makanan, ib
Part 50. Keluar Negeri Sudah sepekan lebih Ramdan terbaring koma di rumah sakit. Bahkan beberapa kali kondisinya menurun, sehingga dokter yang menanganinya terpaksa memasangkan alat bantu pernafasan dan pemicu detak jantung. Sementara, Akira yang terus berada disisi Ramdan tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya doa yang selalu ia panjatkan berharap calon suaminya itu cepat sadar dan pulih kembali. "Bos .. ayo bangun! Kamu sudah janji tidak akan meninggalkan aku kan?" ucap Akira sambil mengusap air matanya. Pagi itu, saat tengah menjaga Ramdan, tiba-tiba dokter datang membawa kabar baik. Bahwa untuk mempercepat pemulihan, pasien perlu dibawa berobat keluar negeri. "Bagaimana kondisinya. Apa sudah sadar?" tanya dokter. "Belum dokter. Tidak
Bab 49. Koma Setelah dirawat selama seminggu belum juga ada tanda-tanda Ramdan akan sadar. Hampir setiap hari ada saja orang yang datang menyambangi kami. Berita mengenai musibah itu menyebar dengan cepat. Mereka datang secara bergantian, terkadang relasi kantor Ramdan, termasuk beberapa pejabat tinggi daerah yang mengenal Ramdan secara pribadi. Juga para karyawan kantor. Sebagian menyempatkan datang saat malam hari. Demikian juga Pak Agus sahabat Ramdan. Sementara itu, Om Fatih secara otomatis mengambil alih perusahaan. Ia turun langsung menggantikan pekerjaan putranya. Syukurlah kondisi perusahaan berjalan dengan baik. Tak ada kendala berarti, Andre dan Arya bekerja dengan baik bersama tim lainnya. Berdasarkan diagnosa dokter, Ramdan mengalami koma yang terjadi karena kerusakan sal