“Maaf ya Ken, aku agak tertahan karena mengobrol sebentar dengan Mama.” Maxim menyalakan mesin mobil. “Kamu mau makan roti? Itu aku bawa banyak roti, semuanya baru diantar. Ada air mineral juga. Kalau kamu pengin yang lain, tolong beri tahu aku. Oke?”
Kendra menoleh ke kanan, memandang Maxim dengan tatapan sendu. “Terima kasih, Max. Kamu tidak perlu repot-repot me....”
“Aku tidak merasa repot sama sekali. Tenang saja,” tukas Maxim. Mobil yang dikemudikan lelaki itu mulai bergerak meninggalkan halaman rumah Maxim. “Kalau butuh sesuatu, jangan sungkan untuk memberitahuku,” ulangnya.
Maxim baru melihat sendiri Kendra mengeluarkan air mata setelah mereka berada di perjalanan. Gadis itu sengaja menghadap ke kiri, berpura-pura sedang menikmati pemandangan. Namun telinga bisa Maxim menangkap isakan halus yang coba disembunyikan.
Maxim tidak pernah merasa menjadi orang yang tak berguna seperti saat itu.
“Kalau kamu betul-betul berterima kasih padaku, cobalah makan roti yang tadi kubawa. Minimal, perutmu harus terisi supaya tidak masuk angin. Aku tidak mau kamu sampai sakit, Ken. Atau, kamu mau makan yang lain?” respons Maxim.Kendra memandang lelaki itu selama beberapa detik sebelum akhirnya menjawab dengan suara agak serak, “Aku mau makan roti saja.”Maxim benar-benar lega saat Kendra akhirnya menyantap sebuah roti isi abon. Sementara dirinya sendiri memilih roti kismis dan roti kelapa. Setelah itu, mereka pun melanjutkan perjalanan.“Kamu tidur saja, Ken. Nanti kalau sudah sampai, akan kubangunkan,” saran Maxim.“Mana mungkin aku bisa tidur saat ini?” desah Kendra.Maxim akhirnya tak berkomentar. Sepanjang perjalanan, mereka nyaris berdiam diri. Keduanya cuma sesekali bertukar kata. Meski ingin menghibur Kendra, Maxim tak tahu caranya. Saat itu, dia begitu iri pada kedua saudara lelakinya yang jauh
Entah apa yang pernah terjadi di masa lalu. Namun Maxim yakin, masalahnya tidak sederhana. Dia cukup mengenal Kendra dan tahu bahwa gadis itu adalah orang yang penyayang. Pasti ada alasan kuat hingga Kendra terkesan tak menyukai kehadiran Djody. Kendra ternyata menanggung banyak beban, jauh lebih besar dibanding dugaan Maxim semula.Betapa ingin Maxim mengajukan pertanyaan tentang ayah Kendra. Namun dia tahu bahwa gadis itu takkan sudi memuaskan rasa penasarannya. Karena itu, Maxim pun menahan diri mati-matian.“Max, kalau kamu pengin kembali ke Jakarta, silakan saja. Aku nanti bisa pulang sendiri,” ucap Kendra sebelum ibunya dikebumikan. “Aku takutnya kamu merasa tidak nyaman karena kondisi keluargaku.”Entah apa maksud kalimat terakhir Kendra itu. Yang jelas, Maxim menolak mentah-mentah. “Aku tidak akan ke mana-mana. Aku cuma akan pulang ke Jakarta bersama kamu. Dan kamu tak perlu mencemaskan ini-itu. Aku baik-baik saja. Nya
Kendra terbangun dengan kepala pusing dan mata nyeri. Dia memang terlalu banyak menangis tadi malam. Setelah Maxim mengantarnya pulang, tetangganya mulai berdatangan. Untungnya mereka tidak berlama-lama mengucapkan belasungkawa. Sehingga Kendra punya waktu untuk sendiri. Kendra hanya ingin menangis dan berduka karena tidak punya keleluasaan untuk melakukan itu sebelumnya. Ada banyak orang yang mengawasinya saat berada di Bandung, terutama Maxim.“Kenapa kamu mau bersusah payah mengantarku ke Bandung, Max? Kamu bahkan menungguiku di sini. Padahal, seharusnya itu sama sekali tak perlu,” komentar Kendra saat mereka baru saja berkendara menuju Jakarta.“Aku tidak bersusah payah, kok!” respons Maxim. “Dan aku merasa memang perlu melakukan ini. Bukan karena sok mau menjadi pahlawan atau apalah. Aku cuma merasa ini langkah yang tepat.” Lelaki itu melirik Kendra sekilas. “Tolong jangan mengajukan pertanyaan senada lagi. Karena ja
Kendra menatap Maxim, ingin mengucapkan sesuatu. Namun kemudian gadis itu merasa akan lebih bijak jika dia mengurungkan niatnya. “Aku tidak akan bersikap plin-plan.”Ya, dia memang tidak berniat mengusir Maxim. Setelah melihat upaya pria itu pagi ini, mana mungkin Kendra memintanya pergi? Lagi pula, Kendra baru saja menyadari bahwa dia membutuhkan teman. Saat ini, Kendra tak mau sendiri di rumahnya.“Kamu menangis semalaman, ya? Matamu masih bengkak.” Maxim bersuara lagi.Tahu tidak ada gunanya berbohong, Kendra mengangguk. “Setelah kamu pulang, banyak tetangga yang datang. Dan ... aku jadi banyak mengeluarkan air mata. Semoga tubuhku tidak kekurangan cairan.” Kendra berlama-lama menatap Maxim.“Hei, kenapa memandangku seperti itu? Aku adalah orang yang selalu memegang janji. Aku tidak merasa kasihan padamu.” Maxim menautkan alisnya.Gadis itu tergelak melihat ekspresi Maxim. “Aku tidak bilang a
Kendra menduga, kematian ibunya sudah membuat sel-sel otaknya menjadi abnormal. Mungkin tidak semua, melainkan hanya sebagian kecil. Akan tetapi, malah memberi impak yang tidak simpel bagi gadis itu. Parahnya lagi, hal itu terkait dengan Maxim, orang terakhir yang semestinya menjadi teman Kendra berbagi rahasia.Bukti yang tak terbantahkan terkait sel otaknya yang tak bekerja seperti biasa adalah Kendra kehilangan kontrol diri. Gadis itu membuka banyak cerita masa lalu kepada Maxim tanpa berpikir panjang. Padahal selama bertahun-tahun, Kendra lebih suka menyimpan semuanya sendiri. Namun, berhadapan dengan Maxim yang bicara sangat panjang, ternyata membuatnya tak berdaya.“Ayah dan ibuku bercerai saat aku masih SMP. Aku bahkan yakin kalau ibuku tidak benar-benar menyadari apa yang terjadi. Hal itu yang membuatku sangat marah pada Ayah. Ketika mereka berpisah, Ayah memintaku untuk tinggal bersamanya. Tapi, mana aku bisa meninggalkan Ibu? Aku makin marah saat menden
Kendra bersiul mendengar kalimat lelaki itu. “Coba ya Max, kalau kamu setiap saat bisa bersikap seperti ini. Dalam arti, tidak suka marah tanpa alasan jelas. Kita pasti tidak akan bertengkar dan bisa hidup damai. Aku dan kamu juga tidak membuang-buang energi karena adu mulut berkali-kali.”“Hmm,” balas Maxim tak jelas.“Eh, iya, ada satu hal yang membuatku penasaran. Sebenarnya, ada apa sih dengan Bandung? Kamu selalu bersikap menyenangkan selama kita di sana. Dan saat ini, Maxim Yang Menyenangkan masih bertahan setelah kita kembali ke Jakarta,” kicau Kendra lagi.Maxim kesulitan menemukan kata-kata untuk merespons, dan itu membuat Kendra merasa senang. Karena biasanya Maxim pasti bisa menemukan kalimat untuk membalasnya. Seringnya, versi ketus yang bisa membuat sakit hati. Untung saja hati Kendra bisa digolongkan sebagai jenis yang kebal dan tangguh, sehingga tak mudah terluka karena lelaki ini. Meski Kendra sendiri tidak tah
Kendra tertawa penuh kemenangan. Dia tidak mengira jika si kaku Maxim bisa membuatnya gembira hari ini. Dia bahkan sudah tertawa beberapa kali. Ini hal yang bagus mengingat apa yang baru saja dialami oleh Kendra.“Kalau untuk satu orang saja aku harus menghabiskan banyak energi seperti itu, kalikan dengan tiga. Atau sepuluh. Menyulitkan sekali pastinya. Lalu masih ada Mbak Rossa yang tidak mau menerima berita negatif. Semua yang ditugaskan padaku harus diselesaikan sesuai harapannya. Mbak Rossa itu bisa dibilang mirip diktator.” Gadis itu menempelkan telunjuk kanannya di bibir. “Ssst, awas saja kalau kamu sampai membocorkan obrolan kita ini pada orang lain,” ancam Kendra dengan mimik pura-pura serius.“Jadi, di kantor kamu sering dimarahi?” Maxim ingin tahu.Kendra mengangguk mantap. Katanya, “Iya, sama kamu dan Mbak Rossa.”Maxim mengatupkan bibirnya. Kendra merasa geli melihat pria itu sedang berjuang untu
Kendra senang dengan kehadiran Maxim di rumahnya. Pria itu –entah menyadarinya atau tidak- membuat bebannya tak seberat yang diduga Kendra. Meski Maxim kesulitan untuk bercanda dengan lepas dan mungkin lupa menyembunyikan ekspresi masamnya yang masih muncul. Namun setidaknya lelaki itu tidak lagi mengomel atau marah tanpa memberi penjelasan apa pun.“Max, mumpung libur, aku mau mengajakmu ke suatu tempat.” Kendra tiba-tiba teringat satu tujuan yang dulu sering dikunjungi. Sayang, belakangan dia tak pernah lagi singgah ke sana karena alasan pekerjaan. Kendra sekarang nyaris tak punya waktu karena disibukkan oleh setumpuk tugas di The Matchmaker.“Kamu mau mengajakku berlibur?” Mata Maxim tampak berbinar.Kendra tertawa. “Kamu sudah lama tak pernah liburan, ya?”“He-eh,” aku Maxim.“Duh, kasihan! Pantas saja Bapak Maxim begitu bersemangat. Nantilah kalau aku sudah kaya, baru aku akan membaya
Seperti dugaan Sean, Maxim meradang sepulang dari Singapura dan mendapati kekasihnya sudah berkantor di tempat Sean. Lelaki itu berusaha keras membuat Kendra mempertimbangkan tawaran untuk bergabung di Buana Bayi. Ketika ditolak, Maxim mulai mengomel. Dia bahkan merasa bahwa Kendra sok idealis. Juga pemilik The Matchmaker yang sudah membuat keputusan tidak masuk akal. Bla bla bla.Kendra sampai merasa pelipisnya berdenyut. Padahal, gadis itu sudah berjuang untuk memberi tahu Maxim dengan bahasa seringan mungkin. Dia pun sengaja menunda mengabari sang kekasih setelah Maxim kembali bekerja di hari Senin. Kendra mendatangi ruang kerja Maxim setelah jam kantor usai.Awalnya, Maxim begitu senang karena pacarnya datang berkunjung. Namun begitu diberi tahu bahwa Kendra sudah empat hari bekerja di kantor Sean, Maxim pun langsung menunjukkan kekesalannya. Lelaki itu juga tak senang karena Kendra tak mengatakan apa pun saat didesak Rossa untuk mengundurkan diri. Sean yang menyus
Kendra terpana mendengar kata-kata Sean barusan. “Kamu ... apa?”Sean tidak buru-buru menjawab. Lelaki itu bersandar di kursinya dengan gaya santai. “Sebelumnya, aku cuma bilang kalau aku melakukan ini bukan karena Maxim. Tapi karena kamu sendiri, Ken.”Kendra yang tak paham maksud lelaki itu, mengerutkan glabelanya. “Maksudmu?”“Begini. Selama kamu mewakili The Matchmaker, aku menilai bahwa kamu adalah orang yang berkomitmen pada pekerjaan. Punya kemauan keras juga. Contoh nyata yang tak terbantahkan adalah bagaimana kamu bisa membujuk Maxim sehingga akhirnya bersedia mengikuti acara kencan yang masih diejeknya sebagai acara norak sampai detik ini. Buatku, itu adalah poin plus, Ken.”“Aku boleh menganggap itu sebagai pujian?” gurau Kendra.“Tentu saja! Karena itu memang pujian, kok!” sahut Sean. “Nah, sekarang kita sampai pada poin utamanya, yaitu tawaran pekerjaan yang
“Oke. Memangnya kamu kira aku ini laki-laki bawel yang akan melapor ini-itu pada Maxim? Nanti juga dia akan tahu,” kata Sean. “Tapi memang berita ini bikin aku kaget setengah mati. Tidak menyangka ada drama baru hanya karena kamu dan Maxim berpacaran. Lalu, masih ditambah lagi dengan Aiden. Ck ck ck.” Sean geleng-geleng kepala.“Itu bukan salahku,” Kendra membela diri, merujuk pada Aiden.Sean menyeringai. “Kamu ternyata penuh pesona ya, Ken. Aku tak bisa membayangkan seperti apa reaksi Maxim kalau dia tahu bahwa ada laki-laki kelas kakap yang jadi pesaingnya. Siap-siap saja diikuti pengawal pribadi yang akan memastikan kamu tidak diganggu oleh laki-laki mana pun,” guraunya.Kendra mencebik tapi akhirnya dia malah tertawa. Gadis itu merasa geli membayangkan Maxim yang pencemburu itu mengetahui jika ada pria lain yang menyukai Kendra. Namun di sisi lain, Kendra tahu Maxim sudah berjuang untuk sedikit berubah sehingg
Pertanyaan Sean itu mengagetkan Kendra. Tadinya dia mengira lelaki itu menelepon cuma untuk menganggunya karena Maxim sedang berada di Singapura. Atau sekadar memamerkan hubungan dengan pasangan kencan pilihan Sean di acara Dating with Celebrity yang masih berlanjut hingga kini.“Kamu tahu dari mana?” Kendra balik bertanya. Dia merasa heran karena Sean bisa mengetahui informasi itu.“Bisakah kamu datang ke kantorku, Ken? Kurang nyaman kalau harus bicara di telepon. Sementara sepuluh menit lagi aku harus bertemu dengan salah satu klien,” pinta Sean. “Aku punya waktu luang di atas jam tiga.”Kendra menjawab tanpa pikir panjang, “Oke. Aku akan ke kantormu. Mumpung sedang jadi pengangguran dan tak punya jadwal meeting dengan klien,” guraunya.“Sip, kutunggu ya, Ken.”“Eh iya, tolong jangan dulu ngomong apa pun soal ini pada Maxim ya, Sean,” sergah Kendra sebelum l
Setelah meninggalkan mantan kantornya, Kendra langsung pulang. Dia sempat mampir ke supermarket untuk berbelanja beberapa kebutuhan. Gadis itu juga membeli camilan dalam jumlah lumayan banyak. Mungkin dia akan menghabiskan satu minggu ke depan dengan bersantai di depan televisi sembari menikmati aneka makanan kecil.Selama ini, Kendra memang ingin mencari pekerjaan yang sesuai dengan disiplin ilmunya. Namun, itu menjadi cita-cita yang sengaja ditangguhkannya. Hingga detik ini, Kendra sama sekali belum serius berusaha untuk mencari pekerjaan lain di luar The Matchmaker. Akan tetapi hari ini dia harus menghadapi kenyataan yang sama sekali tak pernah terbayangkan. Jauh lebih mudah berimajinasi bahwa dirinya akan meninggalkan The Matchmaker atas keinginan sendiri, bukan karena dipaksa untuk membuat pilihan.Membayangkan dia sudah resmi menjadi pengangguran, Kendra pun menjadi luar biasa cemas. Mendadak, masa depannya terlihat buram dan gelap. Apa yang akan dilakukann
Kendra meninggalkan kantor The Matchmaker dengan kehebohan di belakangnya. Karena gadis itu memang tak menyembunyikan fakta yang sebenarnya. Dia tak mau kelak pengunduran dirinya malah diikuti dengan tuduhan ini-itu yang sama sekali tak benar. Karena tentunya Kendra tak lagi ada di biro jodoh itu untuk membela diri.Paling tidak, Kendra merasa berhak memberi tahu kebenaran versi dirinya. Terserah saja jika dianggap sikapnya kekanakan. Apakah setelah ini Rossa akan berkoar-koar tentang versinya yang bisa saja berbeda, itu masalah lain. Kendra tak mau memikirkan hal itu dan memusingkan sesuatu yang tak bisa dikontrolnya.“Kamu betul-betul harus mengundurkan diri?” Neala masih tak percaya. Kendra sengaja mengajak Neala dan Pritha ke ruang rapat supaya mereka bisa bicara bertiga dengan leluasa. Gadis itu merasa berutang penjelasan pada keduanya, orang-orang terdekat Kendra di The Matchmaker.“Iya. Untuk apa aku bohong?” komentar Kendra dengan
Keluar dari ruangan Rossa, kepala Kendra terasa berputar. Dia berharap semuanya cuma mimpi buruk yang kebetulan datang bertandang tanpa aba-aba. Akan tetapi, Kendra tahu yang ini bukan mimpi.Demi menenangkan diri, gadis itu buru-buru menuju toilet yang bersebelahan dengan pantri. Dia butuh waktu untuk memikirkan apa yang akan dilakukan saat ini. Langsung pulang atau menunggu hingga jam kerja berakhir? Masing-masing ada risikonya.Jika Kendra langsung pulang, pasti dia akan menghadapi banyak pertanyaan dari rekan sejawatnya. Padahal, Kendra merasa saat ini dia butuh ruang untuk bernapas. Karena ada banyak sekali kejutan yang didapatnya hari ini. Bertubi-tubi pula.Sementara jika gadis itu menunggu hingga jam kantor berakhir dan berpura-pura tak terjadi sesuatu, sisa hari ini mungkin akan berjalan lancar dan aman. Dia bisa menghindari hujan pertanyaan mengapa harus mengundurkan diri hari ini. Kecuali Rossa memutuskan untuk meminta Kendra meninggalkan kantor secep
Tubuh Kendra menegang selama beberapa sekon. Dia menatap Rossa dengan kening berkerut. “Ini serius, Mbak?” Kendra mencari tahu. “Saya harus putus dari Maxim?”“Tidak ada yang mengharuskan,” sahut Rossa cepat. “Tadi kan saya cuma bertanya. Kalau saya memintamu putus dari Maxim, bagaimana? Apa kamu bersedia?”Kendra menjawab di detik yang sama, “Tidak, Mbak. Maaf. Saya tidak melihat alasan kenapa saya dan Maxim harus putus. Kami tidak melanggar kontrak apa pun. Selain itu secara etika, saya juga tidak merasa ada masalah. Karena saya dan Maxim berpacaran berbulan-bulan setelah syuting Dating with Celebrity selesai. Tidak ada ‘cinta lokasi’ selama saya mengurusi Maxim sebagai klien kita.” Kendra membuat tanda petik di udara.Rossa beranjak dari tempat duduknya. Perempuan itu melangkah ke arah kulkas kecil di sudut ruang kerjanya. Rossa mengambil dua kaleng soda. Salah satunya diserahkan
Rossa tersenyum masam. “Tapi versi Judith tidak seperti itu. Kamu menjadi orang ketiga yang membuat hubungannya dengan Maxim menjadi jauh. Intinya, Judith mengkritik keras kebijakan-kebijakan The Matchmaker sehingga ada klien yang akhirnya malah berpacaran dengan pegawai di sini dan meninggalkan pasangan kencan yang sudah dipilih. Menurut kamu, mendengar tuduhan semacam itu dilontarkan oleh salah satu peserta kencan sekaligus sponsor acara Dating with Celebrity, apa yang harus saya lakukan?”Pertanyaan Rossa itu sungguh sulit untuk dijawab. Karena bukan kapasitas Kendra untuk mengajari perempuan itu apa yang harus dilakukan atau sebaliknya. Namun kalimat-kalimat bosnya yang menempatkan Kendra sebagai si penggoda, menyedot konsentrasi gadis itu lebih besar. Dia mustahil diam saja tanpa membela diri.“Tuduhan Judith sama sekali tidak benar, Mbak. Saya tak pernah menjadi orang ketiga yang merusak hubungannya dengan Maxim. Seperti yang saya bilang tadi, k