Abigail masih duduk menghadap layar laptop, mengawasi pergerakan indeks saham untuk beberapa anak perusahaannya. Ia berharap kali ini akan kembali memenangkan beberapa perusahaan incarannya. Ia ingin menanamkan aset di perusahaan pertambangan. Prospek yang cukup bagus dan potensial.
Sesekali ia menghubungi Tamara, sekretarisnya untuk melakukan pemeriksaan secara manual dengan menghubungi perusahaan miliknya. Beberapa hari ini akan menjadi hari paling menegangkan baginya dan juga seluruh karyawan perusahaannya. Tak lama ponselnya berdering. Nama Alona tertera di sana. Panggilan rutin yang selalu dilakukan bibinya terlebih setiap kali perusahaan mereka ikut dalam trading besar seperti saat ini. “Halo, Bi,” sapa Abigail, tanpa mengalihkan mata elangnya dari layar. “Kau jangan hanya duduk di depan layar, jangan lupakan perutmu. Bibi tidak mau sampai asam lambungmu kambuh lagi. Siapa nanti yang akan mengurus jika kau sakit?” “Iya, Bi ... aku tahu. Kami sedang bersaing ketat dan aku tidak bisa meninggalkannya sedetik pun jika tak ingin saham incaranku dimenangkan perusahaan lain.” “Paman juga sedang berjaga di sini, tenang saja.” Kali ini sepertinya telepon sudah berpindah ke tangan pamannya. Memberi dukungan pada keponakan sekaligus anak angkatnya. “Aku tidak akan biarkan saham itu jatuh ke tangan Zacamers. Paman, kau harus memberi dukungan penuh padaku, awasi dan remote semua dari tempatmu, oke?!” Mendengar nama Zacamers, bulu kuduk Alex meremang. Kilas balik peristiwa belasan tahun lalu seolah kembali satu per satu. Inilah hal yang ia takutkan, jika nanti Abigail harus menghadapi musuh ayahnya. Meski begitu, mau tak mau ia pasti akan tetap menghadapi gerombolan kelas berat seperti keluarga Emerson. Alex tahu benar apa hubungan Emerson dengan semua ini, ia hanya tak ingin mengatakan apa pun pada Abigail. Gadis itu sudah terlihat lebih tenang dan matang, sehingga sepertinya sudah lupa akan perkataannya ketika remaja dulu. Dan Alex yakin Abby tak akan melakukan rencana untuk balas dendam. “Zacamers? Oh, perusahaan multinasional itu?” tanya Alex, berpura memastikan. Abigail terdengar menyerukan kekesalannya di seberang sana. “Ayolah, Paman, jangan overrated. Perusahaan kita juga multinasional, singa di antara para singa saham. Kita selalu memenangkan tender bahkan dengan nilai triliunan. Tuan muda Emerson ini, hanya anak ingusan yang baru membasahi kaki di bidang ini. Ia tak mungkin menang.” Alex hanya tertawa mendengar seruan bangga dari keponakannya. Ia merasa bahagia Abigail kini hanya terfokus pada kemajuan perusahaan dan dirinya. Bukan lagi pada dendam kesumatnya. “Paman sangat bahagia kau sudah mulai terbiasa dengan perusahaan dan segala sesuatunya. Kau pasti akan menjadi pengusaha wanita yang sukses, Abby.” Alex mengulas senyum haru di seberang sana. Matanya mulai berkaca, tetapi ditepisnya perasaan itu. Ia tak ingin merusak semangat Abigail. Ia tak ingin Abigail merasa bahwa dirinya sedang bersedih. Abigail sudah bisa berdiri di kakinya sendiri, dan itu yang membuat Alex haru. “Jangan katakan Paman menangis. Tidak, Paman ... aku baik-baik saja di sini. Paman dan Bibi juga harus baik-baik saja dan bahagia. Aku mencintai kalian.” Abigail mengakhiri pembicaraan dengan orang tua angkatnya. Tak hanya Alex yang sedang didera haru, Abigail pun merasakan hal yang sama. Namun, ia kini sedang mengusap air mata yang belum sempat tertumpah. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menangis. Tidak untuk saat ini. *** Abigail melangkah tergesa. Ia bergegas menuju ke kantor saat mendapat kabar bahwa perusahaan asuhannya tak berhasil memenangkan tender bernilai milyaran itu. Baru kali ini ia kalah telak. Kalah karena salah strategi. Seharusnya ia tak memberangkatkan perusahaan yang baru dibesarkannya beberapa tahun ini. Abigail mengepalkan tangan, sedikit kesal atas pilihannya sendiri. Terlebih ketika mengetahui siapa yang memenangkan tender tersebut. Zacamers—perusahaan yang baru saja menetas, bahkan belum seumur jagung. Nama Zachary Emerson pada akhirnya menjadi headline di setiap majalah bisnis. Dan dirinya menempati urutan kedua. Bukan lagi dengan julukan singa betina, karena seekor buaya jantan telah mengalahkannya, dengan telak. “Jangan mencemaskannya, Nona Genovhia. Kau hanya kalah satu kali. Berikutnya kita pasti bisa merebut posisi itu kembali,” ucap Tamara, sembari meletakkan cangkir di atas meja Abigail. Gadis itu mengangguk. “Bukan masalah kekalahannya, Tam, melainkan siapa yang telah berhasil mengalahkanku. Bocah ingusan. Bisa kau bayangkan? Abigail Genovhia dikalahkan seorang pengusaha muda yang baru saja menetaskan anak asuhnya bla bla bla ... menyedihkan.” Tamara tersenyum menanggapi kekesalan atasannya. Kemudian dengan hati-hati ia menyampaikan kabar yang baru saja ia terima. “Uhm, Nona ... sebenarnya ada hal yang ingin aku sampaikan.” “Hmm ... katakan saja.” Abigail menyeruput tehnya sembari menyimak apa yang akan disampaikan sekretarisnya. “Tadi aku mendapat telepon dari seorang pria. Ia mengaku bernama Zachary Emerson dan memintaku untuk menyampaikan bahwa dia mengajakmu untuk makan siang bersama. Ehm ... berdua.” Abigail tersedak mendengar nama yang baru saja disebutkan oleh Tamara. Zachary Emerson ... adalah si buaya jantan yang berhasil menekuknya pada tanding saham dan kini ia mengajak Abigail makan siang? Apa maksud dan tujuannya melakukan itu? “Bagaimana, Nona Genovhia apakah kau setuju untuk—“ “Jika nanti ia menelepon lagi, minta untuk langsung menghubungiku,” potongnya, sebelum Tamara menyelesaikan kalimat. Dengan segera gadis itu mengangguk kemudian keluar dari ruangan Abigail meninggalkan atasannya yang mulai tenggelam dalam angannya sendiri.*** Abigail dengan gaun merah yang melekat pas di tubuhnya dipadukan blazer hitam memperlihatkan sisi anggun namun misterius. Rambut panjangnya diikat ke atas agar terlihat rapi dan kasual tanpa meninggalkan kesan formal. Ia melangkah yakin memasuki sebuah restaurant yang terletak di sudut 21 street, jauh dari pemukiman dan hanya toko serta bangunan-bangunan retail dan sarana hiburan yang berjajar rapi. Seorang pria berjas hitam rapi menyambutnya dan mengarahkan ke sebuah meja di mana pria lain dengan warna rambut serupa tembaga bersetelan jas kelabu telah duduk manis menantinya. Ia segera bangkit ketika melihat kedatangan Abigail. “Nona Genovhia.” Pria itu mengulurkan tangan padanya, menyambut sang singa betina yang berhasil ia tundukkan dengan sekali tebas. Sebuah kiasan yang epic dalam dunia bisnis yang kini mereka geluti. Abigail menerima ajakan Zachary adalah karena ingin mengetahui seberapa gahar kemampuan dan kecerdasan pria ini sehingga berhasil mengalahkannya. Gadis itu menyambut ukuran tangan Zachary. “Panggil saja Abigail, tak perlu terlalu formal, Tuan Zachary.” “Kau pun formal, cukup Zachary saja. Atau Zac juga boleh, agar terdengar akrab.” Abigail mengangguk, setuju dengan permintaan pria itu. Apa pun itu, asalkan ia bisa mengorek informasi penting dan ilmu dari lelaki ini yang bisa ia terapkan, ia rela. Pada mulanya mereka membahas masalah proyek, saham dan segala yang tak jauh dari pekerjaan. Mereka bahkan berencana untuk membangun relasi antara anak perusahaan milik Abigail dan Zachary. Namun, banyak hal yang perlu mereka rencanakan, dan akan dibahas pada pertemuan selanjutnya. Lalu berikutnya, apa yang mereka bicarakan mulai keluar dari topik bisnis. Mulai dari hobi, makanan kesukaan, bahkan tentang kekasih. Abigail sedikit membenci pembahasan itu, tetapi tak terlalu ia tunjukkan. Bagaimana pun kesan pertama sangatlah penting. Ia tak ingin banyak yang mengetahui tentang kehidupan pribadinya. Selama ini ia berhasil hidup di balik bayangan, hanya agar rencana balas dendamnya bisa berjalan lancar meski ia belum berhasil menemukan dalang di balik semua kemalangan yang menimpa dirinya dan keluarganya. Zachary seperti bisa membaca rasa tidak nyaman yang sengaja tak ditunjukkan Abigail padanya. Ia pada akhirnya kembali mengajak gadis itu untuk bertemu di lain kesempatan. Dengan dalih untuk membahas tentang rencana proyek mereka sekaligus mendekatkan diri pada rival bisnisnya yang potensial. Ia ingin mempelajari kemampuan Abigail, hingga ia dijuluki singa betina. Ia tak tampak menyeramkan di mata Zachary. Justru terlihat cantik dan memesona—di luar bayangannya, bahwa Abigail adalah wanita paruh baya yang kejam dan otoriter, serta ambisius. Zachary tak tahu, bahwa apa yang ia lihat saat ini hanyalah salah satu topeng yang digunakan Abigail. Topeng berbeda yang telah ia persiapkan untuk musuh yang berbeda. *** Abigail duduk di atas singgasananya sembari meremas bola squishy di tangannya. Ia mengingat bagaimana pertemuannya dengan Zachary beberapa hari lalu, dan beberapa waktu sebelumnya. Hari-hari belakangan mereka memang lebih sering bertemu sekedar makan siang atau menikmati kopi, sekaligus menjalin pertemanan. Sejenak melupakan persaingan mereka. Abigail pun, setiap bersama Zachary, sesaat bisa melupakan persaingan bisnis antara mereka. Terlebih Zachary memang tipe pria humoris yang bisa membuatnya tertawa. Atau setidaknya pura-pura tertawa. Ia masih Abigail yang sama. Dingin, ambisius, dan hidupnya bukan untuk bermain-main. Siapa pun yang menghalangi jalannya, maka akan tercatat sebagai musuhnya. Tak terkecuali Zachary. Namun, untuk kali ini sebentar saja, tak ada salahnya jika ia bermain bersama pemain baru. Pria ini pun sepertinya membuka peluang yang cukup lebar baginya untuk masuk dan mengajaknya ‘bersenang-senang’. Sesekali pula ia mengizinkan pria itu untuk memilih jenis permainan yang ia suka, sebelum akhirnya Abigail-lah yang memegang kendali. Jika itu terjadi, maka sudah saatnya Zachary bersiap dengan kekalahan. Abigail membaca sekali lagi pesan yang tertulis di layar ponselnya. Pria itu mengajaknya bertemu, lagi. Abigail ingin melihat kali ini permainan seperti apa yang disajikan Zachary padanya, terlebih saat melihat lokasi yang menjadi tempat pertemuan mereka. Kediaman Zachary Emerson.Abigail dan pria berkumis tebal dengan jas kulit berwarna coklat membungkus tubuhnya, kini tengah duduk di tempat yang sama seperti beberapa waktu sebelumnya. Mereka memutuskan untuk bertemu setiap dua minggu sekali untuk menyetorkan informasi yang ia dapatkan kepada Abigail. Terlebih setelah kekalahan Abigail dalam perang bisnis beberapa waktu lalu, Mr. Thompson kebetulan mengikuti juga perkembangan berita tersebut, membuatnya tak sabar untuk menyampaikan hasil investigasinya. Senyum terulas di sisi wajah Abigail. Lipstik merah menyala yang terpoles di bibirnya menambah kesan dominan dan mungkin antagonis bagi sebagian besar orang yang tidak mengetahui latar belakang gadis itu. Informasi yang ia dapat dari Mr. Thompson cukup sebagai penunjuk arah baginya. Hanya tinggal menyusun rencana untuk langkah selanjutnya. Sepeninggal Mr. Thompson, Abigail mengambil ponsel, kemudian menekan nomor pria itu dan menunggu jawaban dari seberang. Ia membenarkan duduk, melipat kaki dengan anggu
Setelah pertemuannya dengan Zachary beberapa kali, Abigail mulai menemukan ritme dan siasat untuk menaklukkan pria itu. Terakhir kali mereka bertemu, Abigail sudah bisa melihat ada ketertarikan di mata pria itu. Kali ini saatnya ia membalas kebaikan Zachary. Ia berencana mengundang pria itu untuk makan malam, ia yang akan menjamu sendiri tamu istimewanya, bahkan mempersiapkan segala bahan yang dibutuhkan. Untuk mendapatkan ikan paus, ia harus menyiapkan jala yang besar. Bahkan bila perlu, ia akan menggunakan peledak untuk menghancurkannya mangsanya. Apa pun akan ia lakukan demi lancarnya misi balas dendam ini. Abigail berjalan santai mendorong keranjang belanjaan dan memilih bahan yang ia butuhkan. Hingga tak sengaja ia berpapasan dengan seseorang. Seolah takdir memiliki kehendak yang sama, Zachary kini berdiri di hadapan Abigail nyaris tertabrak kereta belanja milik gadis itu. “Whoa ... lihat jalan–“ Zachary membulatkan mata saat melihat siapa yang berada di depannya sekaran
Mr. Thompson menyodorkan sebuah kartu nama pada Abigail. Dengan cepat gadis itu meraihnya dari meja dan membaca barisan huruf yang tertulis di sana. Alice Denver, merupakan detektif yang direkomendasikan oleh Mr. Thompson untuk menyelidiki dan mencari keberadaan adik Abigail. Beberapa saat Abigail terdiam, menimbang-nimbang keputusan darinya apakah akan menyewa Alice atau tetap menyerahkan semua pada Mr. Thompson. Sejauh ini ia tidak mengalami masalah dengan pria itu. Namun, justru pria itu sendiri yang menyarankan untuk memakai jasa lain agar kasus tidak tercampur. Terlebih, Abigail masih mampu membayar bahkan ratusan detektif sekali pun. Ia hanya mempertimbangkan, dengan adanya pihak lain yang ia gerakkan, itu berarti latar belakang keluarganya akan diketahui lebih banyak orang. Dan ia tak ingin itu terjadi. “Ia sangat kompeten dan bisa dipercaya, jika itu yang menjadi pertimbanganmu, Nona Genovhia.” Mr. Thompson berusaha meyakinkan Abigail untuk segera membuat keputusan. Gad
Hari Minggu terasa lambat berlalu bagi Abigail. Ia merasa bosan hanya berdiam di rumah tanpa kawan. Sejak dulu ia memang menghindari pertemanan dengan siapa pun. Ia tak ingin citra yang telah ia bentuk sejak awal akaan sirna, karena ada orang terdekat yang mengenali dirinya yang sesungguhnya. Itulah sebabnya Abigail lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah atau kampus. hanya sendiri dan tenggelam dalam bacaan di hadapannya. Dan itulah yang dikenal orang darinya, seorang kutu buku yang dingin dan tertutup. Namun, di usianya yang sudah menginjak kepala tiga, ia mulai merasa hidupnya membosankan. Ia teringat masa kecilnya, memiliki seorang teman pria, satu-satunya yang dapat ia percaya. Sayang, pertemanan mereka hanya sebentar karena berikutnya yang ia tahu, pria itu sudah tidak lagi berada di Estern Shore, kota asal mereka. Ia lalu
Sidney dan Zachary berada dalam mobil setelah acara makan malam mereka. Suasana yang semula mesra dan hangat, berubah seketika tatkala Zachary mendadak terlihat sedang termenung. Matanya menatap lurus ke jalan beraspal di hadapannya, tetapi beberapa kali ia nyaris menyerempat kendaraan lain, bahkan sampai hampir bertabrakan. Sidney sangat mengenal pria itu, ia tak akan hilang fokus seperti sekarang jika tak ada masalah yang mengganggu pikirannya. "Ada apa denganmu, sayang? Sejak tadi kau seperti tidak benar-benar berkonsentrasi pada jalanan di hadapanmu." Sidney membuka obrolan, karena mengerti Zachary tak akan memulai jika ia tidak mengawali. Pria itu pada mulanya menolak unuk menjawab. Ia bergeming, tak mengucap sepatah kata pun. Berpura fokus pada jalanan padat di hadapannya, padahal sesungguhnya pikirannya sudah tak berada di tempat seharusnya.
Abigail menghentikan mobil saat melihat siapa yang duduk di pinggir jalan bersama seorang gadis. Tak salah lagi, itu adalah Zachary dan gadis yang tampak tak asing. Mungkin itu gadis yang bernama Sidney, kekasih Zachary. Ia bergegas keluar dari mobil dan menghampiri keduanya. "Zac? Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya Abigail, dan ia tak perlu mengulangi pertanyaan ketika matanya tertuju pada kemerahan yang ada di kening Zachary. Sidney bangkit kemudian mendekat pada Abigail. Keduanya tampak bagaikan sepasang musuh yang hendak menghancurkan satu sama lain. Tatapan tak suka terlihat dari sorot mata Sidney, sementara Abigail yang berdiri di depannya terlihat tenang. "Hai, aku Abigail, rival sekaligus calon rekan bisnis Zachary. Kau pasti ...." Abigaail mengulurkan tangan hendak
Tamara masuk ke ruangan Abigail, saat atasannya itu terlihat sedang merenung. Tamara yang telah bekerja pada Abigail sejak awal sangat memahami bagaimana perangai dan karakter bos-nya. Terlebih jika wajahnya muram seperti hari ini. "Apakah ada yang mengganggu pikiran anda, Nona Genovhia?" tanya gadis yang berusia lebih muda empat tahun darinya. Gadis itu bergeming, menanti jawaban Abigail. Ia tak akan beranjak sebelum memastikan bahwa atasannya baik-baik saja. Abigail menggeleng. "Tamara, katakan padaku, apakah aku terlihat tua?" tanya Abigail, polos. Tamara berusaha untuk tidak tersenyum apalagi tertawa, meski ekspresi wajah polos Abigail membuatnya ingin melakukan itu. Namun, ia tahu bahwa ini bukan perkara main-main. Ini adalah masalah yang cukup serius. Tamara menghormati Abigail. Meski gadis itu seringkali memint
Abigail dan Zachary telah selesai menikmati sajian makan malam mereka. Meski Abigail tidak bisa memahami pertemanan seperti apa yang diharapkan oleh Zachary, tetapi ia yang memanb tidak serius dengan apa yang dilakukan dan dikatakannya pada pria itu, tak ingin ambil pusing. Toh hubungan yang ia bangun dari awal dengan pria itu hanya demi kepentingan bakas dendamnya. Tak ada perasaan apa pun dalam hati Abigail gerhadap pria itu. Sama sekali. Kini mereka telah duduk bersantai menonton tayangan televisi, seperti layaknya sahabat. Tertawa saat melihat adegan yang mengocok perut, beradu argumen saat pemain favorit mereka ternyata merupakan musuh bebuyutan. Bahkan mereka bercanda tanpa batas, kini hampir terlihat seperti sepasang kekasih. "Kau akui saja kalau akhirnya aku yang jadi pemenang, Abby. Kau kalah." Zachary mengamb
Belum pukul lima bahkan, tetapi Zachary sudah berada di ruangan Abigail sekarang. Duduk dengan manis memerhatikan gadis yang akan segera menjadi kekasihnya itu kini tengah bergulat dengan setumpuk berkas. Belum lagi beberapa map yang dibawa oleh Zachary sore ini.“Seriously, you gonna be killing me, Zac! Berkas ini … file bulan lalu, kan? Mengapa baru diserahkan hari ini?” tanya Abigail, sembari menatap pria di hadapannya dengan sorot tajam.“Sidney yang menyimpannya. Kupikir ia telah menyerahkan padamu. Sepertinya ia memang tak ingin jika aku bertemu denganmu, karena itu ia menyembunyikan file itu,” terang pria itu, berharap mendapat pemakluman dari gadis di hadapannya“Hmm … gadis itu cukup berbahaya, rupanya. Aku jadi takut.”Zachary bangkit dari tempatnya, menuju ke tempat di mana Abigail duduk, ia kemudian berjongkok dan meraih jemari gadis itu untuk diremasnya lembut.“Sekarang ia tak akan ada di sekeliling kita lagi, Abby. Sekarang hanya ada aku dan kau.”“Ke mana lainnya?” tan
Abigail duduk di depan meja kerjanya, menghadap pada tumpukan berkas dan laptop yang masih menyala. Kemarin ia tak langsung datang pada Zachary meski demi mengabarkan tentang berakhirnya hubungan dirinya dan Ashton. Seperti yang selalu ia katakan, ia hanya ingin melampiaskan dendnya pada keluarga Emerson, jadi apa pun yang terjadi pada Zachary, tak akan pernah penting bagi gadis itu. Satu pria yang dicintai Abigail, hanyalah Ashton. Ia tak pernah memikirkan pria lain. Meski terkadang ada desir aneh muncul di hatinya setiap memikirkan Zachary, dengan cepat ia singkirkan semua itu. Zachary hanyalah sarana. Meski mungkinnia tak bersalah, tetapi tetap saja salah ketika ia terlahir dari keluarga Emerson. Terlebih ia merupakan putra dari Garry Emerson, pria yang telah menghancurkan keluarganya juga kebahagiaannya. Pria yang telah membuat dirinya dan Gin menjadi yatim piatu, memisahkan dirinya dan Gin sekian lama. Ia tak mungkin bisa memaafkan sikap pria itu dan apa yang telah ia lakuka
Abigail berlari sekuat yang ia mampu demi mengejar Ashton yang mungkin saja sudah naik ke pesawat. Ia masih berharap pria itu sedang menanti di lounge, menunggu kedatangannya setidaknya untuk sekedar ciuman selamat tinggal. Namun, ketika tiba di bandara, ia hanya mendulang kekecewaan lantaran tak menemukan Ashton di mana pun. Ia nyaris meninggalkan bandara saat kemudian peia itu berdiri tepat di hadapannya. "Abby-bear ... apa yang kau lakukan di sini?a apakah kau ingin ikut—" Abigail menggeleng cepat. "Uhm ... tidak. Ya, sebenarnya aku sangat ingin ikut bersamamu, Ash. Namun, kau tahu, kan kalau aku masih memiliki tanggung jawab atas apa yang telah kumulai?" "Kau benar." Ashton mengangguk sembari mengulas senyum pedih. Ini sungguh perpisahan terpahit yang pernah ia rasakan. Ia tak menyangka jika dirinya harus berakhir sendiri lagi, meninggalkan Abigail dengan mimpi yang tak pernah terwujud. Mimpinya untuk menikahi satu-satunya wanita yang ia cintai di dunia ini setelah ibunya. Ki
Abigail tengah menikmati sarapan bersama Gin, saat terdengar suara bel. Salah seorang asisten rumah tangga tergopoh membuka pintu dan disusul suara langkah kaki mendekat, serta kehadiran seorang pria berambut sewarna tembaga. Sorot matanya tampak cerah dan bersinar seketika tatkala menemukan gadis tercintanya yang tengah meneguk jus di tangannya. "Hey, Zac. Kemarilah, bergabung bersama kami." Abigail membuka piring di atas meja tepat di sampingnya, kemudian salah seorang pelayan menuangkan jus ke dalam gelasnya, lalu menyajikan sepiesi pancake. "Apa hang membawamu kemari sepagi ini?" tanya Abigail, setelah Zachary mulai menikmati sarapannya. "Oh, maaf ... habiskan dulu sarapanmu, kita bicara nanti." Abigail mengulas senyum, yang sesungguhnya tak ingin ia sunggingkan. Bagaimana tidak, dirinya tengah patah hati karena kepergian Ashton, dan sekarang harus beramah tamah dengan pria yang merupakan sasaran dari misinya, sungguh itu membuatnya hak bers
Ashton terenyak kala mendengar apa yang baru saja diucapkan kekasihnya. Ia beringsut bangkit dan duduk menghadap pada Abigail yang duduk bersandar pada tepian ranjang. "Kau tidak serius mengatakan itu, kan, Abby?" tanya pria itu lagi, berusaha meyakinkan diri bahwa Abigail saat ini mungkin tengah mengerjainya, seperti apa yang biasa dilakukan gadis itu. Namun, tak ada jawaban dari Abigail, ia tetap bergeming dengan ekspresi penuh kesedihan. "Maafkan aku, Ash. Aku tak ingin kita mengakhiri hubungan ini. Kau tahu, aku hanya ... maukah kau mendengarkanku dulu?" Abigail membenarkan selimut yang menutupi dadanya, kemudian meraih jemari kekasihnya, kemudian mengecupnya. "Masih ada beberapa hal yang harus kulakukan, Ash. Demi kedua orang tuaku dan adikku." Ashton mengerutkan dahinya kala mendengar perkataan Abigail. "Apa itu? Mungkin aku bisa membantumu, agar segalanya bisa lebih cepat selesai, dan kita bisa segera menikah." Gadis itu menggeleng.
Sidney membelalakkan maniknya kala mendengar kalimat yang dengan ringannya diloloskan oleh Zachary. Ia tak menyangka bahwa kisah cintanya harus berakhir begitu menyedihkan. Sbeelumnya, belum pernah ada yang mencampakkannya seperti ini. Ia termasuk wanita paling didambakan oleh beberapa pria di kampus bahkan di dunia bisnis. Mungkin. Sampai akhirnya Zachary, dan beberapa pria mengetahui kualitas Abigail yang jelas tak hanya mengandalkan kecantikan luar saja, melainkan juga kecerdasan yang berhasil membuat pria sekelas Zachary dan Ashton bisa begitu bertekuk lutut. Itu salah satunya yang membuat Sidney sangat tidak menyukai gadis itu. Ia hampir saja mengetahui banyak hal mengenai kisah hidup Abigail, jika tidak dihalangi oleh seorang pria dan wanita misterius yang ia tidak ketahui. Tepat saat dirinya datang berkunjung ke unit rehabilitasi kejiwaan di mana Selena dirawat. Salah seorang perawat bersedia memberi keterangan mengenai Abigail, tetapi seorang pria yang tidak ia kenali memin
Zachary tak mampu menahan reaksinya akan perkataan Abigail. Mengapa ia harus kaget? Bukankah sejak awal hal itu yang menjadi permasalahan antara dirinya dan Zachary? Bahwa Abigail merasa menjadi wanita murahan karena ia bersedia saja tidur dengan pria itu sementara pria itu jelas sudah memiliki kekasih. Zachary yang selalu datang pada Abigail dan berakhir dengan hubungan panas, pada akhirnya akan selalu kembali lagi pada Sidney dan mungkin akan mengulang apa yang dilakukannya dengan Abigail. Sungguh sangat tak adil bagi Abigail, bukan? Wajar, jika lantas ia meminta apa yang seharusnya menjadi haknya. Zachary mengangguk paham. Ia kemudian membiarkan salah satu jemarinya membelai lembut wajah mulus Abigail, yang berhasil membuat gadis itu kesulitan untuk bernapas. Karena hanya dengan seperti itu saja mampu menyentuh sisi hati yang terdalam dari gadis itu. "Bagaimana dengan calon tunanganmu? juga rencana pertunangan yang hanya tinggal menghitung waktu .
"Jadi begitu? Kau melupakanku dan tidak mengundangku?" tanya seorang gadis yang jelas kedatangannya selalu membuat suasana Abigail memburuk seketika. Untuk apa ia datang jika dirinya tidak diundang? Tentu saja, untuk menyusul kekasihnya. Abigail menghentikan apa yang sedang ia lakukan. "Sedang apa kau di sini, Sidney? Kau tidak diundang." Gadis itu berbalik demi menghadapi gadis cantik yang sejak tadi berada di balik punggungnya. "Oh, begitu, ya? Lalu, mengapa kau mengundang Zachary? Bukankah ia adalah rival bisnismu? Atau ... jangan-jangan kalian ada hubungan di balik puinggungku." "Mengapa pikiranmu selalu mengarah ke sana? Apakah kau punya bukti?" Sungguh, andai ia tidak sedang mengatur taktik lain, saat ini juga ia akan mengiyakan tudingan Sidney itu. Bukankah ia dan Zachary memang ada hubungan? Bahkan hubungan terlarang. Hmm ... bagaimana sebutan yang sesuai untuk hubungan mereka? Karena keduanya bahkan tidak berteman. "Aku akan buktikan it
"Aku menginginkan hatimu, Abby ... aku ingin tempat di sana, yang tidak terjamah oleh siapa pun, dan hanya untukku saja." Zachary mengulang kalimatnya yang tentu saja membuat Abigail terdiam sekarang. Apa yang harus ia katakan, jika apa yang diminta Zachary adalah hal yang jelas sulit untuk ia kabulkan. Menang. Ia menang, kan, sekarang? Ia sudah berhasil membuat Zachary begitu mendambakannya. Begitu menginginkannya, bahkan rela melakukan apa pun. Begitu yang pria itu katakan tadi, kan? Lalu apa lagi? Bukankah ini saatnya menjadikan Zachary hancur berkeping-keping untuk menghancurkan Emerson? Tidak. Bagi Abigail, ini belum saatnya. Membuat Zachary begitu gila, ternyata bukan akhir dari semuanya. Dendam ini membuat Abigail lebih gila lagi. Ia menginginkan lebih. Ia mau yang lain lagi. Ia ingin membuat luka lain yang lebih lebar menganga di hati Zachary, membuatnya gila, hancur, tak berdaya, agar ia lebih puas. Dendam ini membuat Abigail menggila. Membuatnya kecanduan ketika seg